Beberapa minggu yang lalu adalah hari-hari menjelang tahun baru Imlek atau dikenal juga sebagai hari raya awal musim semi, saya yang terlahir sebagai etnis Tionghoa dan dibesarkan dalam tradisi Tionghoa, tentu saja menyambutnya dengan suka-cita.
Salah satu tradisi yang masih dipegang teguh adalah membersihkan seluruh rumah, termasuk menggosok kaca jendela agar mengkilat, membersihkan daun pintu, mencuci tirai, dan mengecat dinding rumah.
Selain kesibukan tradisi tersebut, rasanya awal musim semi memang selayaknya disambut gembira oleh seluruh manusia yang terlahir di negara empat musim.
Artinya, musim dingin yang menggigit dan menyusahkan bahkan untuk berjalan saja harus seperti penguin atau tangan/kaki patah akibat jatuh tergelincir telah berlalu digantikan dengan musim semi yang ceria.
Renovasi Rumah
Pada tahun ini, selain membersihkan rumah keluarga kami juga berencana merevonasi bagian rumah yang sudah melapuk. Di tengah pekerjaan renovasi, karena satu dan lain hal tukang bangunan absen seminggu. Akibatnya jadwal selesai pun mulur dan seluruh rumah berantakan, kotor, berdebu lebih lama dari perkiraan, padahal hari raya sudah sangat dekat.
Karena cemas dan gregetan, dalam hati saya membatin, ini si Bapak lama banget kerjanya, masa mengecat dua teralis jendela saja setengah hari tidak selesai-selesai. Saat si Tukang istirahat makan siang, saya ambil kuas dan cat besi, mulai mengecat.
Polesan pertama…. Ugh emulsi catnya memisah, cat dan teralis tidak mau saling menempel. Cat menetes semena-mena ke lantai, menambah kekotoran. Tidak kehilangan akal, saya berhenti mengecat dan mengalasi seluruh lantai dengan koran bekas, kemudian mulai mengecat lagi.
Masalah baru timbul, posisi teralis yang menghadap ke halaman membuat mata menentang cahaya, silau sekali, sukar sekali melihat mana yang belum terkena cat dan mana yang sudah. Makin dicat, makin belepotan, benar-benar tidak beres.
Dengan berteriak saya bertanya, “ini harus dicat dua kalikah?” Si Tukang menjawab, “benar”. Ok, berarti cat pertama belepotan tidak apa, nanti diperhalus dicat kedua. Seluruh teralis jendela akhirnya selesai dan hasilnya bisa ditebak tidak rapi sama sekali. Cat kedua akhirnya diteruskan oleh Tukang yang sudah selesai makan siang.
Jarak Pandang
Kemudian saya beralih membersihkan lantai dan dinding yang terkena percikan cat dan semen. Pada jarak pandang mata dengan objek sekitar 45-50 cm, terlihat jelas hampir seluruh lantai dan dinding dikotori percikan cat dan sisa-sisa semen, ada yang sebesar kancing baju ada pula yang setitik jarum, semua tidak luput dari pandangan saya.
Nih, Tukang jorok sekali kerjanya, kenapa tidak hati-hati saat bekerja, omel saya dalam hati. Keringat yang menetes di dahi dan punggung tak saya hiraukan, sampai berjam-jam kemudian saya menyerah karena pinggang mulai berontak.
Pandangan mata akhirnya lepas dari obyek lantai dan dinding, menjauh, melebar dan makin lebar……tiba-tiba semua terlihat bersih. Haiiiiii…… ke mana hilangnya si titik cat, ke mana hilangnya tetesan semen? Indahnya rumah saya, tidak ada tanda goresan kuas di teralis, tiada debu di sela-sela lantai, tiada percikan cat sedikit pun. Ajaib sekali rasanya tiba-tiba semua telah bersih. Apa benar sudah bersih? penasaran saya memperpendek jarak pandang, dan segala kotoran muncul kembali, mengganggu kembali.
Pengadilan Pikiran
Label “bersih” dan “kotor” sedetik demi sedetik berubah-ubah sedemikian cepat. Saya terhenti mengosok lantai dan merenung, kotor dan bersih adalah persepsi yang dibentuk oleh pengadilan (judgement) pikiran dan pengetahuan bawah sadar bahwa bersih adalah seharusnya begini-begini dan begini dan jika tidak memenuhi kriteria tersebut artinya kotor.
Persepsi makin parah ditambah dengan tudingan bahwa si Tukang bekerja serampangan. Kenyataannya benda-benda itu masih seperti itu adanya. Entah kita labeli dengan istilah bersih atau kotor, benda itu tetap ada di situ, sesuai karakternya.
Bagaimana dengan perasaan hati? Berkaca dari pengalaman bersih dan kotor di atas, jika perasaan hati dibiarkan larut dan intens hanya merasakan sisi kotor saja, maka kita pun akan terus menerus memperkuat kebiasaan untuk menilai segala sesuatu dari sisi buram, sisi kotor… kotor…kotor…kotor. Padahal ada sisi lain, bersih, yang cukup sering kita abaikan.
Alangkah melelahkannya hidup jika berfokus pada sisi buram terus-menerus, lepaskan pandangan dan kita akan melihat matahari masih ada di luar memberikan cahaya dan kehangatan kepada kita, keluarlah dan sentuhlah dunia dengan jiwa lapang, maka hidup pun berseri.
KSHANTICA anggota Ordo Interbeing Indonesia, volunteer retret mindfulness, dan aktif di MBI DKI Jakarta