Sosok tubuh seperti melayang menuju ke tengah panggung kosong. Setiap geraknya hening, seperti menghayati setiap tarikan dan embusan napas. Setelah duduk merapikan jubah, Thich Nhat Hanh (84) melalukan anjali. Ia membungkukkan tubuh, mengatupkan kedua tangan, membentuk kuncup bunga, seperti menyodorkan “sekuntum teratai untukmu”; simbol kedamaian dan kesadaran akan kesalingterkaitan.
Oleh: Maria Hartiningsih
Sumber: Kompas cetak tahun 2010
Keheningan sekitar lima menit seperti ritual, membumikan kaligrafi “Practice from the heart” yang melatari panggung, sebelum Thay—sapaan akrab Bhante Thich Nhat Hanh di Plum Village, yang artinya Guru, dalam bahasa Vietnam—memulai ceramahnya di depan sekitar 900 peserta retret di Caringin, Sukabumi, pekan lalu.
Ia berbicara tanpa teks, sambil duduk, kadang berdiri, berjalan perlahan ke papan tulis, menjelaskan istilah-istilah dalam psikologi Buddhisme dengan contoh-contoh sederhana dari kehidupan riel. Humornya subtil. Ketika lonceng kesadaran bergema, dia berhenti, kembali pada keheningan sepanjang tiga kali embusan napas.
Keteduhan Thay memancarkan tatapan mata dan bibir yang selalu tersenyum, Namun, suara lembut di balik tubuh yang tampak ringkih itu mengandung energi ajaib yang menggedor kesadaran terdalam, menguakkan selubung demi selubung penderitaan di balik realitas yang ditangkap sepintas oleh lima indera.
Ceramah Dharma selama empat hari itu mengeluarkan orang dari gulungan hidup serba cepat, kompetisi ketat meraih lebih banyak dan lebih banyak lagi, mengejar batas tak terbatas; ilusi “kemajuan” dan “kesuksesan”.
Kejaran target membuat orang tak punya lagi kemampuan menghidupi momen demi momen berharga dalam kehidupan sehari-hari, seberapa pun besar kekayaan dan kemewahan material yang dimiliki. Kemampuan mendengar sirna. Komunikasi di dalam dan di luar rumah macet, tidak bisa saling mengerti, tidak bisa melihat penderitaan orang lain, terus menuduh dan menyalahkan pihak lain. Sikap itu menggelembungkan persepsi yang keliru, melahirkan kegelisahan, kemarahan, kebencian, ketakutan, kekerasan, kalau akarnya tidak dikenali.
Ia menceritakan kisah seorang suami yang menuduh istrinya berselingkuh selama beberapa tahun ia berada di medan perang. Persepsi itu keliru, tetapi tak pernah terkuak karena keduanya membisu, sang istri dikuasai kesedihan, sampai memutuskan bunuh diri. Suatu malam, di bawah lentera, si anak menunjuk bayangan di dinding, “Pak, Ibu bilang itu ayahku…”
Perang dan terorisme, menurut Thay, juga lahir dari persepsi keliru. Akarnya, kesalahpahaman, nir-toleransi, kebencian, ketiadaan harapan dan pembalasan, tak bisa disentuh apalagi dihancurkan oleh bom dan peluru kendali. “Persepsi keliru adalah sumber segala penderitaan,” tutur Thay.
Ajakan “Pulang”
Retret selama lima hari itu adalah ajakan “pulang ke rumah”; di sini, kini (in the here and now). Latihan meditasi adalah kembali kepada napas berkesadaran dan jalan berkesadaran. Napas adalah sahabat setia, seperti bumi solid tempat berlindung dari berbagai situasi mental, pikiran, emosi, dan persepsi.
“Bagi praktisi meditasi, kalau Anda sedang marah, Anda tidak akan melakukan apa pun kecuali kembali kepada napas untuk mengetahui apakah akar kemarahanmu berasal dari persepsi kekeliruan. Kalau Anda mengenalinya, Anda terbebaskan….”
Menurut Thay, di dalam kesadaran terdapat sedikitnya dua lapisan. Di lapisan bawah, menurut tradisi Buddha, tersimpan 51 benih yang muncul sebagai mental positif dan negatif. Di lapisan atas adalah kesadaran pikiran atau bentuk-bentuk mental.
“Ketika benih kemarahan bermanifestasi menjadi bentuk mental, kita tak boleh membiarkannya terlalu lama sendirian di dalam kesadaran kita. Kita harus mengundang benih kebersadaran untuk menjaganya, menenangkannya.”
Thay melanjutkan, “Benih kebersadaran akan mengenali benih-benih negatif yang muncul. Tiada ada pertempuran di antara dua energi itu. Tugas benih kebersadaran adalah mengenali benih lain sebagaimana adanya, lalu memeluknya lembut, seperti ibu memeluk anaknya yang menangis. Prinsip meditasi Buddhis adalah nondualitas dan nonkekerasan. Nondualitas berarti engkau adalah kemarahan dan kebersadaran.”
Latihan berkesadaran melalui bernapas dan berjalan membuat benih kebersadaran menjadi bentuk mental dan meningkatkan energi kebersadaran.
“Sebagai praktisi meditasi, Anda harus mengawasi hakikat pikiran yang berasal dari salah satu dari 51 bentuk mental. Kalau yang diproduksi adalah pikiran welas asih, maka yang muncul adalah sikap saling pengertian, welas asih dan non-diskriminasi. Inilah yang disebut berpikir benar oleh Buddha.”
Latihan kebersadaran juga mencakup berpikir benar, pandangan benar, berbicara benar, dan bertindak benar. “Berpandangan benar yang didapat dari latihan meditasi, kebersadaran, dan konsentrasi membantu kita menyentuh kebenaran interbeing (saling menjadikan), kesalingterkaitan, kebenaran kesementaraan dan non-diri..”
Dalam bahasa yang lebih sederhana, latihan hidup berkesadaran adalah latihan eling (dan wasapada), dengan menemukan “maitri” di dalam diri. Kualitasnya disimbolkan sebagai bunga merekah, embun segar, kesolidan gunung, dan kekokohan bumi, ketenangan dan kejernihan air, dan ruang tak bersekat di angkasa luas.
“Maitri tak bisa dibeli dengan uang berapa pun banyaknya,” ujar Thay.
Sang Guru
Thich Nhat Hanh dikenal sebagai salah satu Guru Zen terkemuka, intelektual, sekaligus penyair, penulis (menulis lebih dari 100 buku, diterjemahkan dalam berbagai bahasa, yang terbaru adalah The World We Have: A Buddhist Approach to Peace and Ecology), tokoh perdamaian internasional. Menurut Sister Chan Khong dalam bukunya Learning True Love: Pengamalan Ajaran Buddha di Masa Tersulit (1933, terjemahan 2009), Thay suka berkebun dan ahli dalam pekerjaan manual.
Dilahirkan di Vietnam Tengah, 11 Oktober 1926, ia menjalani hidup yang luar biasa. Ia mengalamai tiga perang, bertahan hidup dari penyiksaan, dan lebih dari 30 tahun di pengasingan. Lulusan Universitas Princeton, Amerika Serikat dan pernah mengajar di Universitas Cornell dan Universitas Colombia di AS itu juga mendirikan organisasi pelayanan sosial, menyelamatkan manusia perahu, dan memimpin Delegasi Buddhis Vietnam pada Perundingan Perdamaian Paris. Martin Luther King menominasikannya sebagai penerima Penghargaan Nobel Perdamaian tahun 1967.
Sejak usia 16 tahun, ia telah menjadi samanera (calon biksu), aktivis perdamaian, dan pencari jalan. Dia adalah kepala sebuah wihara di Vietnam yang silsilahnya dapat ditelusuri sampai lebih dari 2.000 tahun ke belakang.
Ia mendirikan Universitas Buddhis Van Hanh dan Ordo Interbeing, dan membangun jalan untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai “Engaged Buddhism”; praktik penghayatan nilai-nilai spiritual dalam tindakan sehari-hari.
Thay mendapat suaka dari pemerintah Perancis dan kemudian membangun dan memimpin komunitas Plum Village di Selatan Perancis, wihara Buddha dan pusat pelatihan hidup berkesadaran bagi orang awam.