ditulis oleh Lindsay Kyte
Master Zen, aktivis perdamaian, dan guru dari kehidupan berkewawasan (mindful living) – Beliau merupakan satu dari sekian pemimpin spiritual berpengaruh pada masa kini. Ajarannya jelas, mendalam, dan orisinal. Ia menjawab tantangan pribadi dan global yang hadapi semua orang saat ini. Beliau telah membawa Dharma ke jutaan orang dan membantu mendefinisikan agama Buddha untuk dunia modern. Lindsay Kyte menceritakan kisah tentang apa yang barangkali menjadi ajaranya yang palin berpengaruh – Keberaniannya dalam kehidupan.
Kelahiran Engaged Buddhism:1926-1959
Pada tahun 1926, seorang anak laki-laki bernama Nguyen Xuan Bao lahir di ibukota kekaisaran kuno Hué, Vietnam. Ia tertarik pada ajaran Buddha sejak usia dini. Salah satu kenangan masa kecilnya yang pertama adalah melihat lukisan Buddha yang tersenyum dan damai. Suatu kali, dalam trip perjalanan sekolah, dia kecewa karena tidak bertemu dengan pertapa Buddhis bijaksana, namun ketika ia meneguk air dari sumur alami, dia merasa sangat segar. Ia kemudian menggambarkan pengalaman itu sebagai pengalaman religius pertamanya.
Bertentangan dengan keinginan orang tuanya yang merasa kehidupan seorang biksu akan terlalu sulit, Nguyen Xuan Bao tetap bergabung dengan kehidupan monastik Buddhis ketika berusia enam belas tahun. Pada usia 23 tahun, dia ditahbiskan menjadi biksu. Ia diberi nama Thich Nhat Hanh.
Biksu muda ini dikirim untuk mengikuti pelatihan di institut Buddhis tradisional, namun dia merasa tidak puas dengan kurikulumnya yang terbatas. Ia lalu pergi ke Universitas Saigon, tempat dia bisa mempelajari sastra dunia, filsafat, psikologi, dan sains selain agama Buddha.
Pada pertengahan usia dua puluhan, Thich Nhat Hanh sudah memiliki daftar prestasi yang mengesankan. Dia telah mendirikan wihara, memiliki beberapa buku yang diterbitkan, dan dikenal karena pandangan reformisnya tentang agama Buddha. Ketika pendirian Buddhis Vietnam kala itu sangat apolitis, ia percaya umat Buddha harus terlibat langsung dalam penderitaan banyak orang – dan itu berarti terlibat dalam kehidupan politik bangsa.
Ini terjadi pada saat perang delapan tahun antara Prancis dan perjuangan nasionalis Viet Minh untuk mengakhiri pemerintahan kolonial. “Dinding wihara kami di Hué dipenuhi dengan lubang peluru,” Thich Nhat Hanh mengingatnya dalam buku terbarunya, Inside the Now. “Prajurit Prancis menyerang wihara kami, mencari para pejuang yang melawan ataupun makanan, menuntut kami menyerahkan satu-satunya karung beras yang tersisa. Para biksu terbunuh, meskipun mereka tidak bersenjata.”
Namun baik keyakinan maupun keberaniannya tidak goyah: “Kami tahu bahwa semangat dari inspirasi puitis, hati spiritualitas, dan pikiran cinta kasih tidak bisa dipadamkan oleh kematian.”
Sebagai tanggapan terhadap perang yang makin besar, Nhat Hanh mendirikan gerakan Engaged Buddhism. Misinya adalah menerapkan ajaran dan praktik Buddhis pada penderitaan dunia nyata yang disebabkan oleh perang, ketidakadilan sosial, dan penindasan politik. “Kami ingin menawarkan pandangan yang baru – suatu agama Buddha yang dapat bertindak sebagai rakit, untuk menyelamatkan seluruh negara dari kondisi keputusasaan terhadap konflik, perpecahan, dan perang,” kenangnya.
Istilah Engaged Buddhism untuk perdamaian bergema dalam diri para pemuda Buddhis Vietnam. Nhat Hanh diangkat sebagai pemimpin redaksi majalah Vietnamese Buddhism, memimpin pertemuan yang dihadiri oleh ratusan orang, dan merintis suatu majalah untuk para monastik muda bernama The New Lotus Season.
Selama waktu ini, Nhat Hanh bertemu Cao Ngoc Phuong, seorang mahasiswi biologi yang khawatir bahwa umat Buddha tidak cukup peduli tentang orang miskin. Dia kemudian menjadi Sister Chan Khong, murid terdekatnya dan salah satu dari “tiga belas pohon aras,” sekelompok aktivis muda yang bersemangat untuk belajar bersama dan mendukungnya.
Tidak mengherankan, makin populernya gerakan Engaged Buddhism menarik pertentangan dari para pendiri Buddhis konservatif. Nhat Hanh dituduh menyebarkan benih perbedaan pendapat dan jurnalnya kemudian dihentikan.
“Itu masih terlalu radikal untuk mayoritas para tetua dalam pengembangan Buddhisme,” kenangnya. “Mereka menepis gagasan-gagasan kami, dan mulai membungkam suara kami dengan mantap.”
Nhat Hanh dan para pengikutnya membutuhkan tempat untuk perlindungan spiritual, dan pada tahun 1957 mereka mendirikan Phuong Boi – Fragrant Palm Leaves Hermitage – di dataran tinggi Vietnam. Beliau mengatakan bahwa itu adalah “tempat untuk memulihkan luka kita dan melihat secara mendalam apa yang terjadi pada kita.” Sampai hari ini, beliau menganggap itu sebagai rumahnya yang sejati.
Sekolah Pemuda untuk Layanan Sosial: 1960-1965
Pada tahun 1960, ketenteraman Phuong Boi hancur ketika agen pemerintah Vietnam Selatan memasuki pertapaan itu. Mereka menangkap salah satu anggota dan memaksa yang lain agar masuk ke suatu dusun strategis untuk “perlindungan.” Thich Nhat Hanh lalu melarikan diri ke Saigon.
Di sana, ia memutuskan untuk menerima beasiswa studi perbandingan agama di Universitas Princeton. Masa tiga tahun pemimpin muda Buddhis ini di Amerika nantinya akan menjadi transformatif – secara politis dan spiritual.
Sangat ironis sebenarnya bahwa salah satu guru agama Buddha terbesar di Asia memiliki pengalaman spiritual transformatifnya di Barat- di perpustakaan Universitas Columbia, tepatnya.
Setelah menyelesaikan studinya di Princeton, ia ditunjuk sebagai dosen agama Buddha di Columbia. Suatu hari di perpustakaan, dia menemukan sebuah buku yang diambil hanya dua kali sebelumnya – sekali pada tahun 1915 dan sekali lagi pada tahun 1932. Memutuskan untuk menjadi peminjam ketiga, dia memiliki keinginan yang kuat untuk bertemu dengan dua peminjam lainnya. Namun mereka telah lenyap – dan begitu pula dengan dirinya. Ia memiliki pengalaman kekosongan yang mendalam, yang dia jelaskan dalam jurnalnya: “Segala sesuatu yang dianggap ‘saya’ akan hancur. Lalu apa yang sebenarnya di sana mulai menampakkan dirinya…. Seperti belalang, saya tidak mempunyai pemikiran tentang yang bersifat ketuhanan.”
Thich Nhat Hanh nantinya akan menulis bahwa ketika Beliau menjadi seorang biksu di Vietnam, ia menyadari mengenai suatu perjalanan di Barat.
Sementara itu, perang di tanah airnya makin membesar secara dramatis, dengan keterlibatan Amerika Serikat (AS) yang makin banyak dan rezim presiden Katolik Roma, Ngo Dinh Diem, yang menekan umat Buddha (mayoritas) di negara itu. Pada tahun 1963, biksu Thich Quang Duc membakar dirinya hingga meninggal dunia sebagai bentuk protes, dan aksi bakar diri lainnya pun menyusul.
Di AS, Thich Nhat Hanh menjadi pelopor gerakan antiperang. Berbicara dari pengalamannya tentang kehidupan masyarakat Vietnam, ia melakukan puasa selama lima hari yang dipublikasikan dengan baik dan dilaporkan ke PBB tentang pelanggaran hak asasi manusia di Vietnam Selatan.
Ketika suatu kudeta militer yang didukung AS menggulingkan rezim Diem pada tahun 1963, Nhat Hanh kembali ke Vietnam dan mengajukan ajakan perdamaian ke Unified Buddhist Church (UBC), yang telah dibentuk untuk menyatukan berbagai sekte agama Buddha Vietnam. Dia menyerukan penghentian permusuhan, pendirian suatu lembaga Buddhis untuk para pemimpin negara, dan pembentukan lembaga untuk mempromosikan suatu perubahan sosial tanpa kekerasan.
UBC mendukung lembaga tersebut, yang dibuka pada tahun 1964 sebagai Institute for Higher Buddhist Studies, tetapi dua usulan lainnya ditolak karena dianggap merupakan mimpi yang tidak realistis. Tanpa gentar, Nhat Hanh menanggapinya dengan membangun desa-desa perintis untuk melatih penduduk dalam swasembada dan perubahan sosial.
Pada tahun 1964, Nhat Hanh menjadi kepala editor The Sound of the Rising Tide, yang menjadi bacaan mingguan Buddhis paling populer di Vietnam. Puisinya digunakan sebagai lagu protes oleh penduduk Vietnam yang menginginkan perdamaian – dan tentunya dikecam oleh kedua belah pihak dalam perang tersebut.
Menyadari bahwa pendidikan diperlukan agar dapat menjadi tindakan nyata, Nhat Hanh mendirikan Sekolah Pemuda untuk Layanan Sosial (Schoolof Youth for Social Service/SYSS) yang terkenal. Para anggota perdamaian SYSS mempertaruhkan hidup mereka pergi ke daerah pedesaan untuk mendirikan sekolah, membangun klinik kesehatan, dan membangun kembali desa-desa yang hancur akibat perang.
Pada tahun 1964, banjir besar melanda Vietnam Selatan, menewaskan 4.000 orang dan menghancurkan ribuan rumah. Nhat Hanh memimpin anggota SYSS untuk membawa bantuan ke daerah-daerah terpencil. Risiko tembakan peluru, tidur di kapal dalam badai yang dingin, membantu warga sipil dan tentara yang terluka dari kedua pihak, mereka melihat penderitaan mereka sebagai ekspresi solidaritas dengan orang-orang yang mereka coba bantu. Sebagai isyarat simbolis, Nhat Hanh melukai jarinya dan membiarkan darahnya menetes ke sungai.
“Ini,” katanya, “adalah doa untuk semua korban yang tewas dalam perang dan banjir.”
The Order of Interbeing: 1966
Pada tahun 1966, Thich Nhat Hanh menahbiskan enam pemimpin SYSS dan menjadikannya The Order of Interbeing, komunitas yang didedikasikan untuk membawa agama Buddha langsung ke arena politik dan sosial. Anggotanya berkomitmen untuk melayani sesama dan mempraktikkan Empat Belas Latihan Kesadaran.
Sister Chan Khong adalah salah satu dari enam anggota asli, dan begitu juga teman terdekat Dharma-nya, seorang wanita muda bernama Nhat Chi Mai. Sister Chan Khong menulis dalam memoarnya, Learning True Love, bahwa suatu hari suara Sister Mai dengan anehnya menjadi lembut saat dia membaca latihan kesadaran kedua belas, Penghormatan untuk Hidup: “Jangan membunuh. Jangan biarkan orang lain membunuh. Temukan apa pun yang mungkin berarti untuk melindungi kehidupan dan membangun kedamaian.”
Beberapa minggu kemudian, Sister Mai menempatkan patung Bunda Maria dan Avalokiteshvara di depannya, lalu membakar dirinya sendiri. Dalam puisi dan surat-suratnya, ia meminta kepada umat Buddha dan Katolik untuk bekerja sama demi perdamaian, dan untuk perdamaian itulah maka dia kemudian mengorbankan dirinya.
Percaya bahwa cara terbaik untuk membantu menghentikan perang adalah dengan berbicara langsung kepada orang Amerika tentang harapan bangsa Vietnam akan perdamaian, maka Thich Nhat Hanh menerima undangan dari Universitas Cornell untuk memulai tur ceramahnya di AS. Beliau meninggalkan Vietnam yang dipikir hanya beberapa minggu saja dan meninggalkan Sister Chan Khong yang bertanggung jawab atas gerakan-gerakannya selama ini.
Keberangkatannya memberikan peluang bagi masyarakat Vietnam Selatan yang sudah menunggu kesempatan itu. Universitas Van Hanh menghentikan hubungannya dengan SYSS dan menuduh Sister Chan Khong sebagai seorang komunis. Meskipun anggota SYSS diserang, mereka tetap berjuang mengumpulkan dana dan dengan berani bertahan dalam pekerjaan mereka untuk meringankan penderitaan sesama tanpa memihak manapun.
Di AS, Nhat Hanh bertemu dengan tokoh-tokoh penting dari kedua sisi perang, termasuk Menteri Pertahanan Robert McNamara, senator anti-perang William Fulbright, dan seorang Kristen kontemplatif terkenal Thomas Merton.
Thich Nhat Hanh membangun hubungan yang erat dengan promotor perdamaian besar lain pada masanya – pemimpin hak sipil Martin Luther King, Jr. Dalam suatu surat kepada King, Nhat Hanh mendesaknya untuk secara terbuka menentang Perang Vietnam, ia menulis, “Saya percaya dengan sepenuh hati bahwa para biksu yang membakar diri itu bukan berharap kematian dari para penindas, tetapi hanya pada perubahan dalam kebijakan mereka. … Saya juga yakin demi semua keberadaan saya bahwa perjuangan untuk kesetaraan dan kebebasan yang Anda pimpin di Birmingham, Alabama, bukan untuk menyerang orang-orang kulit putih, melainkan pada intoleransi, kebencian, dan diskriminasi. Merekalah musuh sejati manusia – bukan manusia itu sendiri.”
Ketika Nhat Hanh bertemu dengan King secara pribadi, ia mengatakan kepadanya bahwa umat Buddha Vietnam menganggap King sebagai bodhisattva. Ketika King kemudian menominasi Thich Nhat Hanh untuk menerima Hadiah Nobel Perdamaian, dia mengatakan kehormatan itu akan “mengingatkan seluruh bangsa bahwa orang-orang baik akan selalu siap untuk memimpin elemen-elemen yang berseteru keluar dari jurang kebencian dan kehancuran. Itu akan membawa kembali (mereka) pada ajaran keindahan dan cinta yang ditemukan dalam kedamaian.”
Pada bulan Juni 1966, Thich Nhat Hanh mempresentasikan proposal perdamaian di Washington yang mendesak Amerika untuk menghentikan pengeboman dan menawarkan bantuan rekonstruksi yang bebas dari syarat politik atau ideologi. Beliau menekankan bahwa dia dan para pengikutnya tidak menyukai sisi manapun dalam perang dan hanya menginginkan perdamaian.
Sebagai tanggapan, pemerintah Vietnam Selatan langsung melarangnya kembali ke rumah. Perjalanan damai yang seharusnya berlangsung beberapa minggu menjadi empat puluh tahun di tempat pengasingan.
Pengasingan: 1966-2004
Thich Nhat Hanh mengatakan bahwa pengasingan dari Vietnam terasa seperti sel yang terpisah dari tubuhnya. Terlepas dari penderitaan pribadinya, pengasingan memungkinkannya bekerja untuk perdamaian dengan lebih bebas, dan, seperti yang dilakukan oleh Yang Mulia Dalai Lama, ini merupakan dasar baginya untuk menjadi guru spiritual yang terkenal di dunia seperti sekarang ini.
Dengan suaka yang diberikan di Prancis, Nhat Hanh lalu menjadi ketua Delegasi Perdamaian Buddha Vietnam. Selama beberapa tahun berikutnya, kegiatannya termasuk mendirikan Gereja Buddhis Terpadu di Prancis, memberi ceramah di Sorbonne, dan sebagai delegasi untuk perundingan perdamaian Paris. Ketika Sister Chan Khong juga akhirnya bergabung dengannya di Prancis, pemerintah Vietnam Selatan juga mengasingkannya.
Ketika perang di Vietnam berakhir pada tahun 1975 dengan kemenangan Vietnam Utara, masyarakat Vietnam non-komunis – kurang lebih sebanyak dua juta – mulai mengungsi dari negara itu. Ratusan ribu orang mempertaruhkan perjalanan yang berbahaya melalui laut. Mereka kemudian dikenal sebagai orang-orang kapal.
Pada 1978–1979, nasib orang-orang kapal menjadi krisis kemanusiaan yang besar. Mereka menjadi korban dari kapal yang penuh sesak, badai laut, dan pembunuhan serta perkosaan oleh para bajak laut. Kalau pun mereka berhasil sampai ke negara lain, mereka tertahan di kamp-kamp pengungsi. Terkadang kapal-kapal mereka dibuang kembali ke laut.
Nhat Hanh dan sekelompok kecil pengikutnya di Prancis sadar bahwa mereka harus turut membantu. Sister Chan Khong menyewa suatu kapal nelayan di Thailand, berpakaian seperti seorang nelayan, dan pergi ke laut untuk membantu orang-orang kapal tersebut. Setiap kali dia dan timnya menemukan kapal pengungsi, mereka memberinya makanan, bahan bakar, dan petunjuk menuju ke kamp pengungsi terdekat.
Dalam suatu rencana yang lebih ambisius, Nhat Hanh mengumpulkan uang untuk menyewa dua kapal besar, Roland dan Leapdal. Baru beberapa minggu di laut, mereka sudah menyelamatkan lebih dari delapan ratus orang-orang kapal dan berencana untuk membawa mereka ke Guam dan Australia. Meskipun rencana itu dihalangi oleh Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi, Nhat Hanh dan para pengikutnya tetap terus menyoroti penderitaan orang-orang kapal tersebut agar menjadi perhatian dunia, meyakinkan banyak negara dengan tujuan supaya mereka mau menerima para pengungsi dari Vietnam ini.
Pada tahun 1971, setelah mendapatkan ketenangan yang mereka dambakan selama ini di Phuong Boi, Nhat Hanh dan para pengikutnya membeli suatu properti negara dengan suatu rumah kecil kumuh di sebelah tenggara Paris. Mereka menyebutnya Sweet Potatoes, dan itu menjadi pusat latihan pertama Thich Nhat Hanh di negara Barat.
Sweet Potatoes awalnya dijadikan sebagai suatu tempat tinggal sepanjang tahun bagi sebelas orang yang selamat dari perang, tetapi pada tahun 1982 rumah itu terlalu kecil untuk menampung orang-orang yang ingin berlatih di sana. Masyarakat lalu membeli tanah di Prancis selatan yang akhirnya sekarang menjadi Plum Village, namanya diambil dari buah manis yang tumbuh di wilayah tersebut walau tanahnya berbatu. Salah satu hal pertama yang mereka lakukan ialah menanam kebun buah plum dan keuntungannya digunakan untuk membantu anak-anak di negara-negara berkembang.
Bagi Thich Nhat Hanh, Plum Village merupakan bentuk kelahiran kembali semangat Phuong Bio. Hidup berkewawasan dipraktikkan dalam kegiatan sehari-hari – makan, berjalan, bekerja, atau menikmati secangkir teh dengan orang lain – dan pada tahun 1983 ada 117 praktisi di Plum Village. Ini kemudian menjadi kediaman utama Nhat Hanh, pusat komunitasnya dari seluruh dunia, dan monastik Buddha terbesar dan paling aktif di negara Barat.
Pada tahun 1987, Thich Nhat Hanh mendirikan Parallax Press di California untuk menerbitkan tulisan-tulisannya dalam bahasa Inggris, ditambah dengan buku-buku lainnya tentang ajaran Buddha dan kedamaian. Pada tahun 2000, ia mendirikan pusat pelatihan pertamanya di Amerika — Deer Park Monastery di California Selatan — dan komunitas mahasiswanya di Amerika tumbuh pesat.
Pada pertengahan 2000-an, Thich Nhat Hanh dinyatakan sebagai seorang guru agama Buddha utama, pengarang buku terlaris, dan pengajar terkemuka kehidupan sadar. Sebagaimana yang beliau lakukan sejak awal, berliau bekerja untuk membuat agama Buddha menjadi relevan dan mudah dipraktikkan. Seperti yang ditulisnya dalam Being Peace, “Anda bukanlah seorang pengamat, Anda adalah pelaku.”
Kembali ke Vietnam: 2005-2008
Thich Nhat Hanh akhirnya melihat tanah kelahirannya lagi pada tanggal 11 Januari 2005. Seorang guru Buddhis yang terkenal di dunia, baru kemudian diizinkan untuk kembali pulang setelah dilakukan negosiasi yang panjang dengan pemerintah komunis Vietnam. Selama perjalanan, ia ditemani oleh para anggota The Order of Interbeing — yang didirikan 41 tahun sebelumnya di Saigon pada masa perang — dan juga bersama murid-murid lainnya.
Beliau fokus pada pembangunan agama Buddha yang relevan dengan generasi muda. Beliau menyerukan kesetaraan gender dalam kalangan Buddhis di Vietnam. Ia menerbitkan empat bukunya dalam bahasa Vietnam. Dua wihara dibangun kembali dengan Nhat Hanh sebagai kepala spiritualnya, dan ratusan anak muda memohon untuk menjadi murid-murid monastiknya. Prajna Monastery, tidak jauh dari Phuong Boi, menjadi pusat pelatihan mereka.
Namun itu adalah cerita yang sama seperti beberapa dekade sebelumnya di Vietnam Selatan – pemerintah komunis khawatir bahwa begitu banyak orang, terutama anak muda dan orang-orang yang berpendidikan tertarik pada ajaran Nhat Hanh. Sehingga beberapa umat Buddha khawatir pemerintah akan memanfaatkan kunjungan itu untuk memberikan kesan kebebasan beragama padahal pelanggaran terus berlanjut. The Unified Buddhist Church of Vietnam, yang secara teknis ilegal, meminta Nhat Hanh untuk mengkritik kurangnya kebebasan beragama di sana.
Ketika Thich Nhat Hanh melakukan kunjungan kedua ke Vietnam selama tiga bulan untuk mengajar, retret, dan upacara-upacara pada tahun 2007, tujuannya ialah untuk memulihkan luka perang yang diderita oleh kedua belah pihak.
“Jika kita tidak mengubah penderitaan dan luka tersebut sekarang, maka itu akan diteruskan ke generasi berikutnya, “katanya kepada orang-orang Vietnam. “Mereka akan menderita dan mereka tidak mengerti mengapa. Lebih baik kita lakukan sesuatu untuk mengubah penderitaan itu.”
Nhat Hanh memimpin beberapa kelompok yang anggotanya hingga 10.000 orang di retret meditasi dan memberi ceramah di wihara-wihara yang penuh dengan orang-orang yang menentang ketidaksetujuan pemerintah terhadap tampilan keagamaan. Intinya adalah “Upacara Penyembuhan Besar-Besaran,” disebut juga “Grand Requiem Masses.” Nhat Hanh memimpin upacara penyembuhan selama tiga hari di tiga kota – satu di utara, satu di wilayah tengah, dan satu di selatan – dan ribuan orang Vietnam ikut berpartisipasi. Orang-orang dari seluruh dunia juga diundang agar mengetahui bahwa ada jutaan orang yang tewas selama perang, dan bahkan komunis dipersilakan untuk membaca teks-teks yang menonjolkan sisi kemanusiaan.
Selama kunjungan ini, Nhat Hanh bertemu dengan presiden Vietnam dan mengajukan proposal khusus tentang kebebasan beragama, termasuk membubarkan polisi agama yang korup. Beliau menerbitkan proposal ini dan kembali ke Vietnam untuk ketiga kalinya sebagai pembicara utama pada Perayaan Waisak PBB 2008 yang diadakan di Hanoi.
Kali ini di sana ada reaksi. Dalam beberapa minggu, pemerintah mulai mengambil langkah-langkah untuk melawan Prajna Monastery, yang telah berkembang menjadi lebih dari lima ratus monastik muda dalam kurun waktu empat tahun sejak kunjungan pertama Nhat Hanh.
Selama bulan-bulan berikutnya, pemerintah memutus aliran air, listrik, dan saluran telepon ke wihara, menjadikan monastik sebagai korban pelecehan fisik dan seksual, serta mengirim orang-orang bayaran untuk melemparkan tinja ke para biksu. Pada Desember 2009, semua biksu dan biksuni dipaksa bubar dari Prajna Monastery. Saat ini, tidak ada lagi pusat latihan dalam tradisi Plum Village di Vietnam.
Guru Dunia
Pada umurnya yang ke 92 tahun, Thich Nhat Hanh diakui sebagai salah satu guru spiritual paling berpengaruh di dunia. Buku-buku terlarisnya telah mengajarkan dharma dan kesadaran kepada jutaan orang. Beliau telah menginspirasi para aktivis perdamaian dan lingkungan. Beliau telah mengumpulkan komunitas yang memiliki dedikasi tinggi untuk melanjutkan ajarannya ke masa depan. Beliau telah membantu membawa Buddhisme keluar dari wihara-wihara ke dalam setiap aspek kehidupan kita saat ini. Beliau telah membawa manfaat yang sangat besar bagi kita semua.
“Hidup kita sendiri harus menjadi pesan yang ingin kita sampaikan.”
Thich Nhat Hanh
Bersama Yang Mulia Dalai Lama, Thich Nhat Hanh merupakan penggerak utama agama Buddha di Barat. Beliau telah menjual lebih dari tiga juta buku di Amerika saja, termasuk buku-buku klasik seperti Being Peace, The World We Have, The Miracle of Mindfulness, dan The Heart of the Buddha’s Teachings. Diterjemahkan ke dalam tiga puluh lima bahasa, lebih dari seratus judulnya berkisar dari ajaran tentang kesadaran dalam kehidupan sehari-hari hingga karya ilmiah tentang Zen, sutra, dan psikologi Buddhis, ditambah lagi dengan buku anak-anak dan puisi.
Dalam buku-buku dan pengajarannya, Thich Nhat Hanh telah menerapkan filsafat dan praktik Buddhis dalam hubungan, politik, komunitas, lingkungan, ketertiban, dan hubungan internasional. Beliau meluncurkan Wake Up, suatu gerakan mendunia bagi generasi muda untuk berlatih dalam kehidupan yang berkewawasan dan menciptakan program Etika Terapan internasional untuk melatih para guru agar mengajarkan kewawasan sepenuhnya di sekolah-sekolah.
Thich Nhat Hanh telah menciptakan komunitas yang tersebar di seluruh dunia dengan lebih dari enam ratus monastik dan puluhan ribu umat awam. Plum Village di Prancis tetap menjadi pusat pelatihan dan wihara yang terpenting bagi komunitas. Sementara itu di AS, beliau telah mendirikan Deer Park Monastery di Escondido, California; Blue Cliff Monastery di Pine Bush, New York; dan Magnolia Grove Monastery di Batesville, Mississippi. Umat awam dapat bergabung dengan lebih dari seribu komunitas di kota-kota di seluruh Amerika Utara dan Eropa.
Visi Thich Nhat Hanh tentang agama Buddha yang terlibat secara sosial dan politik telah berkembang menjadi gerakan di seluruh dunia yang menginspirasi umat Buddha dari berbagai sekolah untuk berkomitmen demi perdamaian, keadilan sosial, dan melindungi lingkungan. Nhat Hanh sendiri telah memimpin pawai perdamaian, berpidato di Kongres AS, dan membawa orang Israel dan Palestina bermeditasi bersama-sama. Ketika ia berusia delapan puluh tahun, ia menyampaikan pidato kepada UNESCO yang menyerukan penyudahan siklus kekerasan, peperangan, dan perubahan iklim.
Pada November 2014, Thich Nhat Hanh menderita stroke serius. Membutuhkan waktu sepuluh bulan sampai akhirnya dia dapat berbicara lagi, dan hanya beberapa kata. Meskipun dia tidak diharapkan untuk melanjutkan peran publiknya, ajarannya akan terus berlanjut. Suatu perbendaharaan tulisan-tulisan yang mendalam, sangha yang hidup, dan puluhan ribu praktisi yang terinspirasi akan membawa pesannya kepada generasi mendatang. Di atas segalanya, seperti yang ditulisnya dalam The World We Have, “Hidup kita sendiri harus menjadi pesan yang ingin kitasampaikan.” Demikianlah, kehidupannya sendiri yang penuh keberanian, kasih sayang, dan pencerahan merupakan ajaran terbesarnya.
Sumber: Lion’s Roar
Naskah diterjemahkan oleh: Mira, disunting kembali oleh: Endah & Br. Phap Tu
2 Comments for “Kisah Hidup Thich Nhat Hanh”
A Drop of Enlightenment in the Boundless Ocean – Plum Village Indonesia
says:[…] It was led by Bhante Nyanabhadra (Br. Pháp Tử), a student of the world-renowned Zen Master, Thich Nhat Hanh. Bhante Nyanabhadra faced through many challenges in order to become one of 800 disciples of this […]
Thich Nhat Hanh | id.wikipedia.org - DataMasuk
says:[…] Kisah hidup Thich Nhat Hanh – Plum Village Indonesia […]