Satu Kesatuan Yang Saling Terhubungkan

Satu Kesatuan Yang Saling Terhubungkan
Retret Nyepi Maret 2024, di Pondok Sadhana Suddhi Bhavana, Cimahi

Saya awalnya ragu untuk ikut retreat Nyepi Maret 2024. Alasannya karena mengingat Desember tahun lalu, lama perjalanan Jakarta – Bandung 5 jam, kemudian Bandung ke Jakarta sekitar 4 jam. Tapi mulai berpikir cari pembelaan, sepertinya akan lancar long weekend ini karena biasanya saat mulai atau selama bulan puasa, jalanan Jakarta – Bandung – Jakarta lebih sepi #harapan.

Setelah pulang retreat Desember, kebetulan ada kumpul keluarga lalu ditanya, kegiatannya apa saja dan apa yg didapat selama retreat. Dan tentu saja semua pengalaman dan pelajaran yang baik ataupun kurang baik (menurut pendapatku) aku ceritain, dan ternyata berhasil sepupuku Indira mau ikut retreat. Jadi lebih yakin mau ke Bandung karena ada navigator yg bisa diajak ngobrol, curhat, nyanyi bareng sepanjang perjalanan walau kena macet.

Saya telat sampai di Pondok Sadhana Suddhi Bhavana (PSSB), ikut briefing sebentar langsung meditasi jalan di hutan. Selama meditasi jalan, yang menjadi perhatian saya bukan menyadari napas atau menyadari langkah kaki, tapi sandal yang menginjak tanah, kaki yang kena tanah, celana yang kena cipratan tanah. Sepanjang meditasi jalan saya sibuk dengan mengangkat-angkat celana supaya tidak kotor, pikiran sibuk ke belakang – harusnya tadi di jalan lebih cepat jadi tidak terlambat dan bisa ganti celana duluan, lalu sibuk ke depan – habis ini cuci kaki, bersihkan sandal, ganti celana, bersihkan celana, ke Gedung Serba Guna (GSG) menaruh tas, pilih tempat tidur, pindahkan mobil dst.

Meditasi jalan walaupun hujan
Meditasi jalan menikmati pemandangan

Selama sibuk sendiri dengan langkah dan pikiran, lalu saya melihat Bhante dan teman-teman melangkahkan kaki dan jalan dengan tenang, menikmati udara sekitar. Melihat itu semua seperti reminder bagi saya untuk kembali ke momen ini, coba menyadari napas masuk keluar, menyadari langkah kaki kanan kiri, mengabaikan tanah yang menempel di sandal, kaki, celana, merasakan cuaca saat itu, dan dari sini baru menyadari peranan dan pentingnya komunitas dalam berlatih.

Di malam hari saat pembabaran Sutra Lima Cara Memadamkan Api Kemarahan, saya terkesan dengan cara keempat. Selama ini kalau saya dihadapkan dengan orang yang perbuatan, ucapan, niatnya buruk, maka saya anggap orang itu sebagai orang yang jahat, kejam, tidak berperikemanusiaan dsb. Jika kemarahan saya sudah muncul, dan pada akhirnya saya berpikir, biarkan saja dia buruk seperti itu toh nanti dia sendiri yang akan terima akibatnya (sekarang saya pikir ini lebih seperti menyumpahi).

Lalu di cara keempat dalam Sutra tersebut disebutkan bahwa sesungguhnya dia adalah orang yang benar benar menderita, jika kita bisa membuka pintu hati dengan cinta dan belas kasih, maka kita bisa memadamkan bara api kemarahan dan menolong orang tersebut untuk bertransformasi dan merealisasikan kebahagiaan. Selama ini saya berpikir bahwa orang tersebut yang membuat orang lain menderita, tapi setelah mendengar cara keempat ini, saya akan coba belajar untuk mempraktikkan dengan berpikir sebaliknya bahwa sebenarnya orang tersebutlah yang paling menderita.

Saya pernah lihat judul buku “No Mud, No Lotus” oleh Thich Nhat Hanh. Saya belum baca buku itu, hanya sinopsisnya dan sejauh yang saya mengerti adalah tanpa penderitaan (ibarat : lumpur), kamu tidak bisa menemukan kebahagiaan (ibarat : bunga teratai). Penderitaan dan kebahagiaan seperti satu kesatuan yang saling terhubungkan. Di sinopsis buku itu ditulis cara mendapatkan kebahagiaan adalah dengan mengakui atau merangkul (bukan lari menghindar) penderitaan dan mengubahnya. Ceramah dari Bhante mengenai transformasi ini juga yang menjadi salah satu pelajaran dan PR buat saya praktikkan. Sekarang saya berpikir “No Mud, No Lotus” apakah pengertiannya sama dengan proverb yang lebih sering didengar “No Pain, No Gain” ?

No Mud No Lotus, Thich Nhat Hanh @ParallaxPress

Terima kasih kepada Bhante Nyanayasha atas pembacaan Sutra, sharing dan ceramah Dharma yang diberikan. Semoga apa yang saya dapatkan dari retreat ini, dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Terima kasih kepada pengurus PSSB, para volunteer, panitia, peserta retreat, yang sudah merencanakan, melaksanakan, mendukung, berbagi pelajaran dan pengalaman selama retreat. Datang ke retreat ini rasanya seperti datang ke konser musik; selain bisa melupakan stress dan merasakan ambience yg nyata, batin juga mendapatkan nutrisi.

Terima kasih kepada tim security, tim dapur, dan khususnya Pak Asep yang sudah membantu mengatasi kesalahan saya.

Saya minta maaf juga karena kekepoan saya kemarin jadinya salah satu fasilitas di PSSB rusak.

Semoga bisa bertemu lagi di kesempatan lainnya. (Clarissa)

Ajaran Buddha Tetaplah Satu

Ajaran Buddha Tetaplah Satu
Foto bersama di Stupa Dhamek, @Varanasi

Perjalanan ke India sangat berkesan dan tidak akan pernah terlupakan. Menjadi suatu pengalaman yang luar biasa karena dapat berjodoh untuk pilgrim ke tempat bersejarah agama Buddha bersama dengan Plum Village Asia dengan tema “Old Path White Clouds”.

Tur ini memiliki 3 destinasi kota yaitu Varanasi, Bodhgaya, dan Rajgir. Masing- masing destinasi memiliki kesan yang bersejarah bagi saya. Kami bersama-sama berangkat menuju Varanasi menggunakan pesawat terbang domestik dengan jarak tempuh selama 1,5 jam.

Menurut saya, sesi yang paling berkesan di Varanasi adalah saat mengunjungi Taman Rusa Isipatana (Deer Park) tempat Buddha membabarkan khotbah Dharma pertama kali kepada 5 petapa. Day Of Mindfulness yang diadakan di Taman Rusa Isipatana yang menurut saya sangat berbeda suasananya karena saya dapat menginjakkan kaki dan merasakan energi positif secara langsung di tempat Buddha membabarkan Dharma. Selama ini hanya mengetahui dalam lagu Sutra Dhammacakapavatana, dan sekarang bisa melihat peninggalan dalam bentuk stupa secara nyata. Sungguh tidak terbayangkan sebelumnya.

Stupa Dhamek
Foto bersama di Stupa Dhamek

Destinasi berikutnya adalah Bodhgaya yang ditempuh dari Varanasi selama 6 jam menggunakan bus. Bodhgaya adalah Kota tempat Siddharta mencapai penerangan sempurna. Keesokan harinya, kami mengunjungi Mahabodhi Temple pukul 05.00 pagi hari. Saat sesi meditasi duduk, objek meditasi saya kala itu adalah burung-burung yang berterbangan dan hinggap di sekitaran Mahabodhi Stupa.

Meditasi duduk tidak hanya duduk memejamkan mata, tetapi bisa juga saat memfokuskan diri pada suatu objek tertentu. Saya membayangkan dan mengamati burung yang berterbangan di sekitar stupa Mahabodhi. Saya membayangkan menjadi seperti burung yang sangat beruntung dapat melihat bagian dalam stupa. Saya juga mengamati burung-burung dan bertanya-tanya pada diri sendiri, “Mengapa tidak ada burung yang dapat mencapai puncak stupa? Terlihat beberapa burung yang berusaha untuk terbang ke puncak stupa, tetapi mereka jatuh ke tingkat bawah stupa tersebut, apa mungkin karena keajaiban atau sebuah gravitasi?” Hingga sekarang masih menjadi pertanyaan bagiku.

Saat ada waktu untuk free time, saya bersama dengan teman-teman pergi untuk mengunjungi Japanese Temple dan Butanese Temple yang ada di sekitar hotel. Dari temple ini, saya menjadi tahu bahwa agama Buddha memiliki berbagai tradisi yang berbeda-beda, Namun, ajaran Buddha tetap satu yaitu “Dharma”.

Setelah mengunjungi temple, saya kembali ke hotel karena sesi selanjutnya terdapat jadwal untuk mengunjungi Siddharta Compassion Trust yaitu sekolah gratis yang membuat anak dari keluarga kurang mampu dapat menuntut ilmu. Anak-anak dari sekolah ini menyadarkan saya untuk bersyukur karena memiliki orang tua yang menyokong saya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Selama ini, saya difasilitasi dengan kebutuhan yang cukup dan serba tidak kekurangan, tetapi terkadang saya “tidak sopan” terhadap orang tua saya. Saya tahu bahwa orang tua selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya, tetapi saya yang kurang menyadari akan hal itu. Mulai sekarang, saya akan berlatih untuk mendengar secara mendalam agar dapat menjadi yang lebih baik lagi.

Setelah mengunjungi sekolah, saya bersama dengan rombongan pulang ke hotel untuk menyantap makan malam yang telah disediakan oleh pihak hotel. Dari hari pertama sampai hari kedelapan, saya sering menemukan brokoli yang dihidangkan. Tetapi, saya selalu tidak ingin mengambil sayur tersebut karena saya sangat tidak menyukainya.

Menjadi sebuah tantangan dalam diri saya untuk mencoba memakan brokoli karena brokoli tersebut sering dihidangkan oleh pihak hotel. Akhirnya, saya bisa merubah rasa benci dan tidak suka terhadap sebuah makanan. Seketika saya sadar bahwa brokoli adalah sebuah makanan yang tak bersalah. Jangan hanya karena tidak suka menjadi menghindar dari makanan tersebut. Dari sini, saya belajar untuk lebih menghargai makanan dan belajar untuk makan makanan yang saya tidak sukai.

Destinasi ke-3 adalah Rajgir. Pada saat sesi Day of Mindfulness yang diadakan di Bamboo Forest, tempat yang sangat nyaman dan cocok untuk bermeditasi di bawah pohon yang rindang dan teduh. Sesi Dharma Talk ini sangat dinantikan oleh saya karena yang mengisi sesi Dharma Talk adalah Thay Phap Kham, Seketika, saya merasakan seperti Buddha yang sedang membabarkan Dharma di bawah pohon Bodhi.

Di Kota Rajgir, terdapat sesi pemotongan rambut yang diadakan di Puncak Burung Nasar (Vulture Peak). Vulture Peak adalah tempat Buddha banyak membabarkan Dharma. Saat saya menaiki puncak tersebut, yang ada di dalam benak saya itu, betapa luar biasanya Buddha yang menjadikan Vulture Peak sebagai tempat kediaman untuk bertapa karena saya mungkin tidak sanggup jika harus rutin untuk naik dan turun Vulture Peak.

Selama perjalanan ini, kami dikelompokkan dalam Bamboo Family. Jadi, setiap sesi Dharma Sharing, kami selalu berbagi pengalaman apa saja yang di alami selama berziarah ini. Berkat Bamboo Family ini, saya bisa meng-improve skill saya karena saya berbagi pengalaman dengan orang Internasional yang pastinya tidak mengerti bahasa Indonesia.

Meskipun Inggris saya tidak lancar, mereka tetap mengerti apa yang saya katakan. Dari Dharma Sharing ini, saya juga menjadi belajar berdasarkan dari pengalaman orang lain karena terdapat pepatah bahwa pengalaman orang lain adalah guru kita. Saya merasa sangat beruntung karena selama sekolah hanya bisa mempelajari sejarah saja dan tahun ini bisa merasakan dan melihat sendiri betapa indah dan fantastic sekali Kota India yang kaya akan sejarah agama Buddha.

Foto di Puncak Burung Nasar (Vulture Peak)
Dharma Sharing @SitusNalanda

Saya sangat berterimakasih kepada Ci Susan yang telah memberikan sponsor sehingga meringankan pengeluaran untuk terbang ke India, kepada Br. Phap Tu yang telah mengajak saya sehingga saya bisa ikut merasakan berada di tempat bersejarah agama Buddha ini dan menjadi translator selama acara berlangsung.

Saya juga berterimakasih kepada Aunty Yuyu, Aunty Marnis, Ko Ferry, Ci Sumiko yang menemani saya selama di India dan berpraktik Mindfulness Shopping untuk membeli souvenir kepada mama papa saya karena telah mengizinkan saya untuk terbang ke India dan mengikuti acara ini hingga selesai. Semoga saya dapat mengikuti Next Trip jika diadakan lagi.

Terimakasih kepada Plum Village Hong Kong dan Plum Village Thailand yang telah mengatur acara ini sehingga acara dapat terealisasi dan berjalan dengan lancar. (Phinawati Tjajaindra)

Dunia yang Kita Miliki

Dunia yang Kita Miliki

Hanya ketika kita bersama-sama menaruh perhatian dan praktik spiritual kepada bumi ini, saat itulah kita akan memiliki sarana perubahan yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis lingkungan.

Thich Nhat Hanh
Hanya ketika kita mempersatukan kepedulian kita terhadap planet ini disertai dengan latihan spiritual, kita akan memiliki sarana untuk melakukan transformasi pribadi yang mendalam yang diperlukan untuk mengatasi krisis lingkungan yang akan datang. Thich Nhat Hanh memberikan kita prinsip-prinsip panduan untuk ekospiritualitas (ecospirituality) baru dalam hidup yang penuh kesadaran.

Kita seperti orang yang berjalan dalam tidur, tidak tahu apa yang sedang kita lakukan atau ke mana tujuan kita. Apakah kita bisa terjaga atau tidak, tergantung pada apakah kita bisa berjalan dengan penuh kesadaran di Bumi ini, Ibu Pertiwi. Masa depan semua kehidupan, termasuk kehidupan kita, bergantung pada langkah sadar kita. Kita harus mendengar lonceng kesadaran yang berbunyi di seluruh planet ini. Kita harus mulai belajar bagaimana hidup sedemikian rupa agar masa depan cerah untuk anak dan cucu kita bisa terwujud.

Saya telah lama duduk bersama Buddha dan berkonsultasi denganNya mengenai masalah pemanasan global, dan ajaran dari Buddha sangatlah jelas. Jika kita masih terus hidup seperti yang selama ini, mengonsumsi makanan tanpa mempertimbangkan masa depan, menghancurkan hutan dan ikut menjadi faktor terjadi emisi gas rumah kaca, maka perubahan iklim yang menghancurkan tidak dapat dihindari. Sebagian besar ekosistem kita akan hancur. Permukaan air laut akan naik dan kota-kota pesisir akan terendam banjir, memaksa ratusan juta pengungsi meninggalkan rumahnya, sehingga menimbulkan peperangan dan wabah penyakit menular.

Kita membutuhkan kebangkitan kolektif. Massa masih terlelap tidur. Mereka tidak mendengar suara bel.

Kita membutuhkan kebangkitan kolektif. Ada di antara kita, pria dan wanita yang telah tersadarkan, namun itu tidaklah cukup; massa masih belum tersadarkan. Mereka tidak mendengar suara bel ini. Kita telah membangun sistem yang tidak dapat kami kendalikan. Sistem ini menggiring diri kita, dan kita telah menjadi budak dan korbannya. Kebanyakan dari kita harus mengorbankan waktu dan nyawa kita sebagai gantinya, demi memiliki rumah, mobil, kulkas, TV, dan sebagainya. Kita terus-menerus berada di bawah tekanan waktu. Di masa lalu, kita mampu menghabiskan tiga jam untuk secangkir teh, menikmati kebersamaan dengan teman-teman kita dalam suasana yang tenang dan spiritual. Kita bisa mengadakan pesta untuk merayakan mekarnya salah satu bunga anggrek di taman. Namun, saat ini kita tidak mampu lagi membeli barang-barang tersebut.

Kita berkesimpulan bahwa waktu adalah uang. Kita telah menciptakan sebuah masyarakat dengan keadaan yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin, dan di dalamnya kita begitu terjebak dalam permasalahan-permasalahan yang ada pada diri kita sendiri sehingga kita tidak mampu untuk menyadari apa yang sedang terjadi dengan umat manusia  juga planet bumi ini. Dalam benak saya, saya melihat sekelompok ayam di dalam kandang sedang berebut benih padi-padian, tanpa sadar bahwa dalam beberapa jam mereka akan disembelih.

Masyarakat Tiongkok, India, dan Vietnam masih mendambakan “American Dream” (Impian Amerika), seolah-olah impian tersebut adalah tujuan utama semua umat manusia—setiap orang harus memiliki mobil sendiri, rekening bank, telepon seluler, pesawat televisi. Dalam 25 tahun, populasi Tiongkok akan mencapai 1,5 miliar orang, dan jika masing-masing dari mereka ingin mengendarai mobil pribadi, Tiongkok akan membutuhkan 99 juta barel minyak setiap hari. Namun produksi minyak dunia saat ini hanya 84 juta barel per hari, sehingga Impian Amerika tidak mungkin terwujud bagi Tiongkok, India, atau Vietnam. Impian Amerika tidak mungkin lagi terwujud bagi Amerika. Kita tidak bisa terus hidup seperti ini. Ini bukanlah perekonomian yang berkelanjutan (sustainable economy).

Kita harus mempunyai mimpi yang lain: mimpi tentang persaudaraan, cinta kasih, dan welas asih, bahwa mimpi itu mungkin terjadi persis di sini dan saat ini. Kita memiliki Dharma; kita mempunyai sarana; kita memiliki cukup kearifan untuk dapat mewujudkan impian ini. Hidup sadar penuh (Mindfulness) adalah inti dari keterjagaan, pencerahan. Kita berlatih menyadari pernapasan agar bisa hadir di sini pada saat ini, sehingga kita bisa mengenali apa yang terjadi di dalam diri dan di sekitar kita. Jika yang terjadi dalam diri kita adalah keputusasaan, kita harus menyadarinya dan segera bertindak. Kita mungkin tidak ingin menghadapi formasi mental tersebut, namun ini adalah kenyataan dan kita harus mengenalinya agar dapat mengubahnya.

Kita harus mempunyai mimpi yang lain: mimpi tentang persaudaraan, cinta kasih, dan welas asih, bahwa mimpi itu mungkin terjadi persis di sini dan saat ini. Kita memiliki Dharma; kita mempunyai sarana; kita memiliki cukup kearifan untuk dapat mewujudkan impian ini.

Kita tidak perlu putus asa terhadap pemanasan global; kita bisa bertindak. Jika kita hanya menandatangani petisi dan melupakannya, jelas tidak akan ada perubahan. Tindakan mendesak harus diambil pada tingkat individu dan kolektif. Kita semua mempunyai keinginan yang besar untuk dapat hidup damai dan dalam lingkungan yang dilestarikan secara berkelanjutan. Hal yang belum dimiliki oleh sebagian besar dari kita adalah cara nyata untuk mewujudkan komitmen sehari-hari atas kehidupan berkelanjutan. Kita belum mengelola diri sendiri dengan baik. Kita tidak bisa menyalahkan para pemimpin yang menyebabkan bahan kimia mencemari air minum, kekerasan yang terjadi di lingkungan sekitar, peperangan yang menghancurkan begitu banyak nyawa. Inilah saatnya bagi setiap orang untuk bangun dan bertindak lebih nyata dalam lingkungan masing-masing.

Kekerasan, korupsi, penyelewengan kekuasaan, dan penghancuran diri sendiri terjadi di sekitar kita, bahkan di kalangan pemimpin, baik spiritual maupun sosial. Kita semua tahu bahwa hukum di negara kita tidak cukup kuat untuk menangani korupsi, takhayul, dan kekejaman. Hanya keyakinan, tekad, kebangkitan, dan mimpi besar yang dapat menciptakan energi yang cukup kuat untuk membantu masyarakat kita bangkit dan menuju pantai perdamaian dan harapan.

Agama Buddha adalah bentuk humanisme terkuat yang kita miliki. Hal ini terjadi agar kita dapat belajar hidup bertanggung jawab, welas asih, dan cinta kasih. Setiap praktisi Buddhis harus menjadi protektor lingkungan. Kita mempunyai kekuatan untuk menentukan nasib planet kita. Jika kita sadar akan situasi yang sebenarnya, akan terjadi perubahan kolektif dalam kesadaran kita. Kita harus melakukan sesuatu untuk membangunkan setiap orang. Kita harus membantu Buddha membangunkan mereka yang hidup sementara terlelap dalam mimpi.

Namun segalanya, termasuk Buddha, selalu berubah dan berkembang. Berkat latihan kita dalam melihat secara mendalam, kita menyadari bahwa penderitaan di masa kita berbeda dengan penderitaan di masa Siddhartha, dan karena itu metode latihannya juga harus berbeda. Itulah sebabnya Benih Buddha di dalam diri kita juga harus berkembang dalam berbagai cara, sehingga Buddha bisa relevan dengan zaman ini.

Buddha di zaman kita dapat menggunakan telepon, bahkan telepon seluler, namun Beliau bebas, tidak terikat pada telepon seluler itu. Buddha di zaman kita mengetahui bagaimana membantu mencegah kerusakan ekologi dan pemanasan global; dia tidak akan merusak keindahan planet ini atau memboroskan seluruh waktunya untuk bersaing satu sama lainnya. Buddha di zaman kita ingin menawarkan kepada dunia sebuah etika global, sehingga setiap orang dapat menyepakati jalan yang baik untuk diikuti. Ia ingin memulihkan keharmonisan, memupuk persaudaraan, melindungi seluruh spesies di planet ini, mencegah pembalakan hutan, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Ketika Anda mempraktikkan Lima Latihan Sadar Penuh, Anda menjadi seorang bodhisattwa yang membantu menciptakan keharmonisan, melestarikan lingkungan, menjaga perdamaian, dan memupuk persaudaraan.

Karena Anda adalah penerus Buddha, Anda harus membantunya menawarkan kepada dunia sebuah jalan yang dapat mencegah kerusakan ekosistem, jalan yang dapat mengurangi jumlah kekerasan dan keputusasaan. Anda akan sangat berbaik hati membantu Buddha untuk terus mewujudkan apa yang Beliau mulai sejak 2600 tahun yang lalu.

Planet Bumi kita mempunyai beragam kehidupan, dan setiap spesies bergantung pada spesies lain agar dapat bermanifestasi dan berlanjut. Kita tidak hanya berada di luar satu sama lain tetapi kita berada di dalam satu sama lainnya. Sangatlah penting untuk merangkul Bumi dalam pelukan, dalam hati kita, untuk melestarikan planet yang indah ini dan untuk melindungi semua spesies. Sutra Teratai (Lotus Sutra) menyebutkan nama bodhisattwa khusus: Dharanimdhara, atau Pemangku Bumi (Earth Holder), seseorang yang melestarikan dan melindungi bumi.

Pemangku Bumi adalah energi yang menyatukan kita sebagai suatu organisme. Dia adalah sejenis insinyur atau arsitek yang tugasnya menciptakan ruang untuk kita, membangun jembatan untuk kita lintasi dari satu sisi ke sisi lain, membangun jalan agar kita bisa menuju ke orang yang kita cintai. Tugasnya adalah meningkatkan komunikasi antara manusia dan spesies lain serta melindungi Bumi dan lingkungan. Dikatakan bahwa ketika Buddha mencoba mengunjungi ibunya, Mahamaya, Dharanimdhara-lah yang membangun jalan yang dilalui oleh Buddha. Meskipun bodhisattwa Pemangku Bumi disebutkan dalam Sutra Teratai, tidak ada satu bab pun yang dikhususkan sepenuhnya untuknya. Kita harus mengenali bodhisattwa ini agar dapat bekerja sama dengannya. Kita semua harus ikut membantu menciptakan babak baru baginya, karena Pemangku Bumi sangat amat dibutuhkan di era globalisasi ini.

Saat Anda merenungkan sebuah jeruk, Anda melihat bahwa segala sesuatu di dalam jeruk ikut serta dalam pembentukan jeruk tersebut. Tidak hanya bagian jeruk saja yang termasuk dalam jeruk; kulit dan biji jeruk juga merupakan bagian dari jeruk. Inilah yang kita sebut sebagai aspek universal dari jeruk. Segala sesuatu yang ada pada jeruk adalah jeruk, tetapi kulitnya tetaplah kulitnya, bijinya tetap bijinya, bagian dari jeruknya tetap bagian dari jeruknya. Hal yang sama juga terjadi pada bola bumi kita. Meskipun kita menjadi komunitas dunia, orang Perancis tetap menjadi orang Perancis, orang Jepang tetap menjadi orang Jepang, umat Buddha tetap menjadi umat Buddha, dan orang Kristen tetap menjadi orang Kristen. Kulit jeruk tetap menjadi kulitnya, dan bagian-bagian pada jeruk tetap menjadi bagian-bagiannya; bagian-bagiannya tidak harus disulap menjadi kulit agar tetap harmonis.

Namun, keharmonisan tidak mungkin terjadi jika kita tidak memiliki etika global, dan etika global yang dirancang oleh Buddha adalah Lima Latihan Sadar Penuh. Lima Latihan Sadar Penuh adalah jalan yang harus kita tempuh di era krisis global ini karena ini adalah praktik persaudaraan, pengertian dan cinta, praktik melindungi diri sendiri dan melindungi planet ini. Lima Latihan Sadar Penuh merupakan realisasi nyata dari mindfulness. Latihan iut  non-sektarian. Latihan itu tidak mengandung tanda-tanda dari agama, ras, atau ideologi tertentu. Sifat latihan itu adalah universal.

Buatlah keputusan Anda, lalu bertindaklah untuk menyelamatkan planet Bumi kita yang indah ini. Mengubah cara hidup Anda akan secara langsung memberi Anda banyak sukacita.

Ketika Anda mempraktikkan Lima Latihan Sadar Penuh, Anda menjadi seorang bodhisattwa yang membantu menciptakan keharmonisan, melindungi lingkungan, menjaga perdamaian, dan memupuk persaudaraan. Anda tidak hanya menjaga keindahan budaya Anda sendiri, tetapi juga budaya lain, dan semua keindahan di Bumi. Dengan adanya Lima Latihan Sadar Penuh di hati Anda, Anda sudah berada di jalur transformasi dan penyembuhan.

Dalam latihan pertama, kita bertekad untuk menjunjung tinggi semua kehidupan di bumi dan tidak mendukung tindakan pembunuhan apa pun. Dalam latihan kedua, kita bertekad untuk mempraktikkan kemurahan hati dan tidak mendukung ketidakadilan dan penindasan sosial. Dalam latihan ketiga, kita berkomitmen untuk berperilaku bertanggung jawab dalam hubungan pasangan dan tidak melakukan pelecehan seksual. Latihan keempat mewajibkan kita untuk melatih ucapan penuh kasih dan mendengarkan secara mendalam untuk meringankan penderitaan orang lain.

Praktik konsumsi dan makan dengan penuh berkesadaran adalah tujuan dari latihan sadar penuh yang kelima.

Sadar akan penderitaan yang disebabkan oleh konsumsi tanpa berkesadaran penuh, aku bersedia menjaga kesehatan dengan baik, secara fisik maupun mental, bagi diriku sendiri, keluarga, dan masyarakat dengan cara berlatih makan, minum, dan mengonsumsi dengan penuh kesadaran. Aku akan berlatih menatap mendalam terhadap cara aku mengonsumsi Empat Jenis Makanan yaitu makanan lewat mulut, kesan impresi, niat, dan kesadaran. Aku bertekad untuk tidak menggunakan alkohol, obat-obat terlarang, terlibat dalam perjudian atau produk-produk seperti: situs internet, permainan elektronik, program televisi, film, majalah, buku, dan percakapan tertentu yang mengandung toksin. Aku akan berlatih untuk kembali pada momen kekinian untuk menyentuh elemen-elemen kesegaran, penyembuhan, dan nutrisi dalam diriku dan di sekitarku, tidak membiarkan penyesalan dan kemurungan menyeretku kembali ke masa lalu, juga tidak membiarkan kecemasan, ketakutan, dan kemelekatan menarik aku keluar dari momen kekinian. Aku bertekad untuk tidak menutupi kesepian, kecemasan, atau penderitaan jenis lainnya dengan cara tenggelam dalam mengonsumsi. Aku akan merenungkan sifat saling bergantungan dan mengonsumsi dengan sedemikian rupa agar aku bisa terus menumbuhkan kedamaian, suka cita, dan kesehatan badan jasmani serta kejernihan kesadaran sendiri maupun kolektif dalam keluarga, masyarakat, dan dunia ini.

Latihan sadar penuh yang kelima adalah jalan keluar dari situasi sulit yang dihadapi dunia kita. Ketika kita mempraktikkan latihan kelima, kita mengenali dengan tepat apa yang harus dikonsumsi dan apa yang harus ditolak untuk menjaga tubuh, pikiran kita, dan bumi agar tetap sehat, dan tidak menyebabkan penderitaan bagi diri sendiri dan orang lain. Konsumsi secara berkesadaran adalah cara untuk menyembuhkan diri dan dunia. Sebagai keluarga spiritual dan keluarga manusia, kita semua dapat membantu mencegah pemanasan global dengan mengikuti praktik ini. Kita harus menyadari kehadiran Bodhisattva Pemangku Bumi (Earth Holder) dalam diri kita masing-masing. Kita hendaknya menjadi tangan, lengan Pemangku Bumi agar mampu bertindak cepat.

Anda mungkin pernah mendengar bahwa Tuhan ada di dalam kita, Buddha ada di dalam kita. Namun kita masih memiliki gagasan yang samar-samar tentang apa yang dimaksud dengan Buddha di dalam diri kita dan Tuhan di dalam diri kita. Dalam tradisi Buddhis hal ini sangat jelas. Buddha bersemayam di dalam diri kita sebagai energi—energi perhatian, energi konsentrasi, dan energi wawasan—yang akan menghasilkan welas asih, cinta kasih, sukacita, kebersamaan, non-diskriminasi. Teman-teman kita dalam tradisi Kristen berbicara tentang Roh Kudus atau Roh Kudus sebagai energi Buddha. Di mana pun Roh Kudus hadir, di situ ada penyembuhan dan kasih. Kita dapat berbicara dengan cara yang sama yaitu kesadaran penuh, konsentrasi, dan pandangan terang. Energi kesadaran penuh, konsentrasi, dan wawasan memunculkan kasih sayang, pengampunan, kegembiraan, transformasi, dan penyembuhan. Itulah energi seorang Buddha. Jika Anda dipenuhi oleh energi itu, Anda adalah seorang Buddha. Dan energi itu dapat dipupuk dan termanifestasi sepenuhnya dalam diri Anda.

Sungguh luar biasa menyadari bahwa kita semua berada dalam satu keluarga, kita semua adalah anak-anak dari bumi ini. Kita hendaknya saling menjaga satu sama lainnya dan menjaga lingkungan semesta, dan hal ini menjadi mungkin dilakukan dengan mempraktikkan kebersamaan. Perubahan positif pada kesadaran individu akan membawa perubahan positif pada kesadaran kolektif. Melindungi planet ini harus menjadi prioritas utama. Saya berharap Anda akan meluangkan waktu untuk duduk bersama, minum teh bersama sahabat dan keluarga, dan mendiskusikan hal-hal ini. Undanglah bodhisattwa Pemangku Bumi untuk duduk dan berkolaborasi dengan Anda. Buatlah keputusan Anda, lalu bertindaklah untuk menyelamatkan planet Bumi kita yang indah. Mengubah cara hidup Anda akan segera memberi Anda banyak sukacita. Kemudian penyembuhan bisa dimulai. (Alih bahasa: Gracia Stephanie)

Adapted from The World We Have: A Buddhist Approach to Peace and Ecology, by Thich Nhat Hanh. © 2008 by Unified Buddhist Church. With permission from Parallax Press, www.parallax.org.

Sumber: https://www.lionsroar.com/the-world-we-have/

A moment to come back to my true home

A moment to come back to my true home
Walking Meditation @PondokSadhanaAmitayus

Taking my time to get away from the city lights, heavy traffic and fast-paced environment.

I arrived at Pondok Sadhana Amitayus,

I feel blue and liberated as I look up to the vast clear skies.
I feel green and nourished as I look down on the wild field of grass.
I feel yellow and accepted when the sun embraces my standing body.
I touch white and empty like the clouds painting the sky.

Several times, the vibrating sound of the bell as it penetrates through space has invited me to come back home to myself.

I sense transparency and arriving as I attend to my steps.
I sense clear and present as I notice my breath.
I am one with the cosmos as my knees and naked forehead touch the earth.

A sensation of being alive in my heart and a smile on my face appeared as I watched a living, happy community sitting, eating and singing harmoniously. A circle that is present for one another.

Practicing mindfulness and chanting the sutras for several days here transforms a feeling of restlessness into calmness. A chaotic mind turns quiet. The fast beating heart begins to slow down. Enmity gently turns into compassion.

Arriving here is an invitation to come back and be present to my true home. A home of true peace and harmony.

Composed by Astrid Padmanita K

Menyusuri Jejak Langkah Thầy

Menyusuri Jejak Langkah Thầy

Guru Dharma Mitchell Ratner merefleksikan perjalanan ziarahnya menelusuri kehidupan dan silsilah Thích Nhất Hạnh di Vietnam, yang memberinya pemahaman mendalam tentang Thầy dan dirinya sendiri.

Mitchell berada di gerbang masuk tiga pintu yang ikonik di Kuil Từ Hiếu, kuil asal Thích Nhất Hạnh; foto milik Evermind Media. Semua foto lainnya oleh Mitchell Ratner.

Pada tahun 2019, Suster Định Nghiêm bercerita kepada saya tentang sebuah ide yang terpikir di dalam hatinya. Dia merasa ada banyak biarawan dan umat awam pengikut Thầy yang tidak berasal dari Vietnam yang akan lebih memahami ajaran dan praktik jika mereka lebih mengenal sejarah Buddhis yang kaya di Vietnam serta peristiwa dan berbagai tempat yang telah menempa kehidupan Thầy. Sister Định Nghiêm dan saya kemudian memulai perencanaan awal untuk melakukan tur ziarah. Namun, karena pandemi COVID dan kesehatan Thầy yang menurun, ziarah Mengikuti Jejak Thầy yang pertama tertunda.

Setelah wafatnya Thầy pada tahun 2022 dan meredanya kekhawatiran akan COVID, Suster Định Nghiêm, bekerja sama dengan Suster Tuệ Nghiêm, merencanakan ziarah pada Januari 2023. Kelompok peziarah bertemu pada tanggal 6 Januari di rumah Hà Nội yang luas milik teman-teman Vietnam di Plum Village untuk memulai tur ziarah selama delapan belas hari; beberapa dari kami dapat berpartisipasi secara menyeluruh, dan yang lain hanya sebagian. Ada tiga puluh orang peserta – jumlah yang tepat untuk bisa nyaman berada di dalam bus wisata Vietnam. Pada pertemuan awal, ada delapan wihara di Plum Village (dari Vietnam, Perancis, Indonesia, Thailand, dan Malaysia), dua kepala biara Korea, dan sekitar dua puluh umat awam (dari Amerika Serikat, Spanyol, Perancis, Jerman, Korea, Thailand, Indonesia, Hong Kong, Malaysia, dan Singapura). Sister Định Nghiêm dan Tuệ Nghiêm, biksuni senior dari New Hamlet di Plum Village, Prancis, menjadi tuan rumah, pemandu, sejarawan kehidupan Thầy, penerjemah, dan pembimbing kami.

Selama ziarah, kami menghabiskan malam di Hà Nội, Thanh Hóa, Đà Lạt, Huế, dan Gunung Yên Tử, serta satu malam menginap di kereta malam. Sehari-hari kami sering bepergian dengan bus untuk mengunjungi tempat-tempat yang penting bagi kemajuan Thầy sebagai pribadi dan sebagai guru. Ziarah ini terkadang meliputi latihan retret dengan meditasi duduk dan berjalan; grup belajar dengan para sister pengorganisir dan pemandu lokal yang menyajikan presentasi tentang pentingnya tempat-tempat yang akan kami kunjungi; dan sebuah tempat untuk percakapan dari hati ke hati selama berhari-hari mengenai kehidupan kami dan praktik ajaran Buddha yang kami jalani. Singkatnya, sangat luar biasa!

Lima pertemuan yang sangat menyentuh hati saya dan membantu saya memahami Thầy dengan sudut pandang yang baru: Gunung Thanh Hóa dan Na, Chùa Dâu (biara Buddha pertama di Vietnam), raja-raja yang tercerahkan dari Dinasti Trần Nhân, Gunung Yên Tử, dan Kuil Từ Hiếu.

Gunung Thanh Hóa dan Gunung Na

Salah satu tujuan pertama kami adalah kota Thanh Hóa, tempat keluarga Thầy pindah saat dia berusia lima tahun. Kami tiba di pagi hari dan makan siang sederhana di sebuah restoran vegetarian kecil di bagian kuno dari kota ini, yang kebetulan memiliki sebuah kutipan dan foto Albert Einstein di sebelah meja kasir. Pada sore hari, kunjungan ke museum arkeologi membangkitkan minat saya terhadap sejarah Vietnam dan pengaruhnya terhadap kehidupan dan ajaran Thầy- sebuah cara pandang terhadap dunia yang terpengaruh oleh latihan dan profesi saya sebagai antropolog sosial. Sebelum melakukan ziarah, hampir semua yang saya ketahui tentang sejarah Vietnam berada pada abad ke-20.

Fokus utama museum arkeologi di Thanh Hóa adalah budaya Dong Son, yang muncul sekitar tiga ribu tahun yang lalu di Lembah dan Delta Sungai Merah, yang secara umum sama dengan Vietnam Utara saat ini. Suku Dong Son mahir dalam bercocok tanam padi dan terampil dalam membuat peralatan perunggu. Seiring berjalannya waktu, sebuah wilayah yang luas secara geografis, hierarkis, dan memiliki struktur seperti negara muncul, dipimpin oleh para penguasa turun-temurun yang menciptakan dan memelihara sistem hidrolis untuk budidaya pertanian dan perlindungan terhadap banjir, mengelola perdagangan, dan mencegah serangan dan invasi. Antara tahun 43 dan 299 Masehi, daerah Lembah Sungai Merah yang produktif dalam pertanian merupakan bagian dari distrik administratif yang disebut Pemerintahan Jiaozhi (Quận Giao Chỉ). Meskipun penduduknya sebagian besar berbahasa Vietnam, mereka diperintah oleh dinasti-dinasti Tiongkok.

Para anggota ziarah di taman budaya terbuka di Tràng An, bagian dari Situs Warisan Dunia Kawasan Budaya dan Alam UNESCO di Delta Sungai Merah Vietnam. Selain pemandangannya yang terkenal, situs ini memiliki bangunan bersejarah dan kuil dari Hoa Lư, ibu kota pertama Đại Việt (Việt Besar), yang didirikan pada tahun 986.

Hotel kami terletak di pusat modern Thanh Hóa setinggi sepuluh lantai dan sepi, dengan hanya sedikit tamu. Namun, kekosongan lobi sangat mendukung malam itu karena ruang makan yang terletak di sebelahnya menyediakan sinyal Wi-Fi terbaik di hotel itu. Pada pukul 21.00 waktu Vietnam, yang sama dengan pukul 09.00 di Amerika Serikat bagian Timur, saya berpartisipasi pada sebuah seremoni langsung dan online untuk mentransmisikan Latihan Lima Perhatian Penuh kepada para praktisi di wilayah Washington DC. Ketika mengakses internet di hotel dan mengingat kutipan Einstein saat makan siang, saya dikejutkan oleh betapa jauh perkembangan Thanh Hóa saat ini dibandingkan dengan kota provinsi yang Thầy kenal di tahun 1930-an.

Keesokan paginya, kami melakukan perjalanan dengan bus ke Gunung Na, salah satu dari tiga lokasi paling suci di Vietnam. Thầy mengunjungi gunung tersebut dalam sebuah perjalanan sekolah saat berusia sebelas tahun. Dia berharap dapat bertemu dengan seorang pertapa yang diceritakan oleh gurunya tinggal di gunung tersebut. Pergi sendiri, Thầy menemukan gubuk sederhana milik pertapa tersebut, tetapi tidak menemukan pertapa itu. Kemudian dia menemukan hal lain yang mengubah jalan hidupnya. Thầy menyebutnya sebagai pengalaman spiritual pertamanya. Dalam buku At Home in the World, ia menulis:

Ketika saya berjalan makin dalam ke hutan, saya mendengar suara air yang menetes. Itu adalah suara yang indah. Saya mulai mendaki ke arah suara itu, dan segera saya menemukan sebuah sumur alami, sebuah kolam kecil yang dikelilingi oleh batu-batu besar dengan berbagai warna. Airnya sangat jernih sehingga saya bisa melihat sampai ke dasar …. Airnya terasa sangat enak. Saya belum pernah merasakan sesuatu yang seenak air itu. Saya merasa sangat puas; saya tidak membutuhkan atau menginginkan apa pun – bahkan keinginan untuk bertemu dengan pertapa itu pun hilang. Saya merasa bahwa saya telah bertemu dengan pertapa itu.

Thích Nhất Hạnh, At Home in the World (Berkeley: Parallax Press, 2016), hal. 23-24.

Kelompok kami duduk bermeditasi di dekat sebuah kuil feng shui di puncak gunung. Gubuk pertapa itu sudah lama hilang. Namun, kami dapat berjalan menuruni gunung untuk berkumpul di sekitar sumur dan mencicipi airnya.

Kunjungan Thầy ke Gunung Na berkontribusi pada cita-citanya untuk menjadi seorang biksu. Ketika ia berusia enam belas tahun, ia melakukan perjalanan dengan kereta malam dari Thanh Hóa ke Huế untuk menjadi samanera di Kuil Từ Hiếu, ditemani oleh kakak laki-lakinya yang sudah menjadi biksu di sana. Kelompok ziarah kami meniru perjalanan Thầy dengan menaiki kereta malam ke Huế. Saya berbagi bilik tidur dengan para kepala biara Korea, keduanya memancarkan ketenangan yang menyenangkan yang membuat saya dan yang lainnya terkesan pada mereka. Meskipun keduanya tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik, dan penerjemah wanita mereka berada di kompartemen yang berbeda, kami dapat berinteraksi dengan menyenangkan pada malam itu dan keesokan paginya dengan menggunakan isyarat dan Google Translate.

Foto bersama para peziarah di halaman depan Pagoda Chùa Dâu, yang aslinya bernama Kuil Pháp Vân, biara Buddha tertua di Vietnam. Patriark Zen pertama, Tăng Hội, tinggal dan mengajar meditasi di sana pada abad ketiga.

Chùa Dâu dan Guru Tăng Hội

Kemudian dalam perjalanan ziarah, kami berkendara sejauh tiga puluh mil dari Hà Nội untuk mengunjungi Chùa Dâu, Kuil Buddha pertama di Vietnam. Kuil ini dibangun antara tahun 187-226 Masehi di tempat yang saat itu bernama Luy Lâu, ibu kota Pemerintahan Jiaozhi. Karena perannya yang menonjol dalam perdagangan laut antara India dan Cina, Luy Lâu sering dikunjungi oleh para biksu dan pedagang India, dan daerah tersebut menjadi pusat regional untuk studi dan pengajaran agama Buddha Mahayana.

Bagi Thầy, Chùa Dâu sangat penting karena Guru Tăng Hội, yang meninggal pada tahun 280 Masehi, belajar dan mengajar di sana. Pada tahun 2007, setelah perjalanan pulang yang kedua kalinya setelah pengasingannya dari Vietnam, Thầy menjelaskan:

Meditasi yang saya bagikan di Barat berakar dari Vietnam pada abad ketiga. Kami memiliki seorang guru Zen yang sangat terkenal, Master Tăng Hội, yang ayahnya adalah seorang tentara dari India dan ibunya adalah seorang wanita muda Vietnam. Ketika orang tuanya meninggal dunia, Tăng Hội kecil pergi ke sebuah kuil di Vietnam utara untuk menjadi biarawan. Dia menerjemahkan komentar-komentar tentang sutra di kuil di Vietnam, kemudian pergi ke Tiongkok di mana dia menjadi guru Zen pertama yang mengajarkan meditasi di Tiongkok – tiga ratus tahun sebelum Bodhidharma. Saya menulis sebuah buku tentang Guru Zen Tăng Hội, dan saya mengatakan bahwa umat Buddha Vietnam harus mengagungkan guru Zen ini sebagai guru Zen pertama di Vietnam

Thích Nhất Hạnh, “Tiga Kekuatan Spiritual,” The Mindfulness Bell 46 (Oktober 2007)

Mengingat pentingnya Chùa Dâu bagi Thầy, kunjungan kami ke kuil tersebut berlangsung dengan cara yang mengejutkan. Kuil itu tampak jarang dikunjungi dan agak terabaikan. Meskipun terdapat patung Buddha dan Bodhisatwa, namun ada lebih banyak patung untuk memuja dewa-dewa lokal, tokoh Mandarin Tiongkok, dan roh-roh penjaga. Pemandu lokal kami dengan antusias menceritakan kisah-kisah fantastis, termasuk kisah tentang seorang wanita muda yang diubah menjadi pohon oleh seorang biksu yang tidak terhormat, kemudian berabad-abad kemudian dibebaskan oleh seorang penguasa lokal yang bijaksana yang membuat pohon yang tumbang itu dibuat menjadi patung berjubah kuning yang sekarang menjulang tinggi di atas Buddha di altar tengah. Sepanjang tur kami di kuil, para pemandu tidak pernah menyebut nama Master Tăng Hội.

Kemudian, terpisah dari para pemandu, Sister Định Nghiêm menjelaskan bahwa agama Buddha Vietnam terus hidup berdampingan dengan banyak kepercayaan dan praktik-praktik rakyat yang melibatkan dewa-dewi lokal, dewi-dewi dengan karakter ibu, dewa-dewi leluhur, dukun, dan perwujudan dari roh-roh hewan. Di beberapa kuil, seperti kuil ini, kepercayaan lain ini memiliki peran yang lebih menonjol.

Kunjungan kami ke Chùa Dâu membantu saya untuk menghargai hubungan spiritual Thầy dengan warisan Buddha Vietnam yang berusia dua ribu tahun. Karena kefasihannya berbahasa Vietnam dan Sino-Vietnam, jika ada sesuatu yang ditulis oleh seorang guru Buddhis Vietnam, ia dapat membacanya. Namun, Thầy bukan hanya seorang sejarawan dan penggemar agama Buddha Vietnam; dia juga seorang revolusioner spiritual. Sejak masa remajanya, Thầy memiliki keinginan yang dalam untuk memperbarui dan merevitalisasi agama Buddha di Vietnam. Dia ingin menjauhkan komunitas Buddhis dari takhayul dan kepercayaan rakyat yang ditentang di Chùa Dâu dan menawarkan praktik spiritual yang lebih bermanfaat, seperti yang telah disumbangkan oleh Tăng Hội kepada tradisi Buddhis.

Raja-raja yang Tercerahkan

Thầy memulai pelatihan biara di Từ Hiếu pada tahun 1942, di tengah-tengah Perang Dunia Kedua. Pendudukan Jepang dan penjajahan setelahnya menyebabkan banyak kesulitan bagi Từ Hiếu dan seluruh Vietnam, terutama Bencana Kelaparan Besar pada tahun 1945 ketika sekitar 600.000 hingga 2.000.000 orang Vietnam meninggal dunia. Catatan biografi Thầy:

Saat keluar dari kuil, [Thầy] melihat mayat-mayat bergelimpangan di jalanan dari mereka yang meninggal karena kelaparan dan menyaksikan truk-truk mengangkut puluhan mayat. Ketika Prancis kembali untuk merebut kembali Vietnam pada tahun 1945, kekerasan semakin meningkat. Meskipun banyak biksu muda yang tergoda oleh ajakan untuk mengangkat senjata dari pamflet-pamflet Marxis, Thầy yakin bahwa ajaran Buddha, jika diperbarui dan dikembalikan ke ajaran-ajaran dan praktik-praktik intinya, dapat benar-benar membantu meringankan penderitaan di masyarakat dan menawarkan jalan tanpa kekerasan menuju perdamaian, kemakmuran, dan kemandirian dari kekuatan penjajah, seperti yang pernah terjadi selama dinasti Lý dan Trần yang terkenal di Vietnam pada abad pertengahan

“Thich Nhat Hanh: Biografi Panjang,” Plum Village. Diakses pada 31 Agustus 2023.

Untuk mempelajari lebih lanjut tentang kaisar-kaisar abad pertengahan yang sangat menginspirasi Thầy, kelompok ziarah kami melakukan perjalanan ke Gunung Yên Tử, tujuh puluh mil di sebelah timur Hà Nội. Tiga kaisar pertama Dinasti Trần, yang memerintah dari tahun 1226 hingga 1314, sangat mengesankan saya karena mereka adalah pemimpin militer yang efektif, penguasa yang penuh kasih, mentor yang mendukung putra-putranya, dan praktisi Buddhis yang berkomitmen penuh. Setelah kekalahan telak tentara Mongol, Trần Nhân Tông, Kaisar ketiga dari Dinasti Trần, berfokus untuk membangun kembali negaranya dan mengurangi beban orang miskin. Saat berusia tiga puluh dua tahun, dia turun tahta demi putranya. Trần Nhân Tông telah bertahun-tahun ingin mengabdikan dirinya untuk mencapai pencerahan spiritual. Setelah secara resmi menjadi “Kaisar Purnatugas”, ia meninggalkan istana untuk mempraktikkan ajaran Buddha di Gunung Yên Tử, dan ditahbiskan sebagai biksu pada tahun 1295.

Pertapaan di Antara Awan

Dalam kata pengantar untuk novel sejarahnya, Hermitage Among the Clouds, Thầy menulis tentang Trần Nhân Tông:


[Dia] melepaskan tahtanya untuk menjadi seorang biksu dan tinggal di pertapaan kecil “Awan Tidur” di Gunung Yên Tử. Dia dikenal sebagai “Guru Mulia Hutan Bambu” dan merupakan pendiri “Sekolah Meditasi Zen Hutan Bambu”.
Sebelum menjadi biksu… ia memerintah sebagai raja di tanah Viet. Dia mengusir tentara Mongol yang menyerang pada akhir abad ke-13. Sejak ditahbiskan menjadi biksu, ia menjalani kehidupan pertapa dengan mengenakan kain kasar, tidur di bawah atap dedaunan, dan pergi ke mana pun tanpa alas kaki. Bahkan sebagai seorang biarawan, ia melanjutkan pekerjaannya untuk menegakkan keadilan dan moralitas dalam kebudayaan rakyatnya. Dia melakukan perjalanan ke negeri Cham dengan harapan dapat membangun fondasi persahabatan dan perdamaian yang langgeng di antara kedua negara.

Thích Nhất Hạnh, Hermitage Among the Clouds (Berkeley: Parallax Press, 2001), hal. vii.

Beberapa hari sebelum kematiannya, Trần Nhân Tông menuliskan sebuah puisi di dinding kuil:

Panjangnya hidup adalah satu tarikan napas,
Cahaya bulan di atas ombak lautan.
Mengapa mengkhawatirkan alam Mara?
Tanah Buddha saya adalah langit musim semi.

Thích Nhất Hạnh, Hermitage Among the Clouds (Berkeley: Parallax Press, 2001), hal. 126.

Gunung Yên Tử 

Perjalanan kelompok kami di Gunung Yên Tử dibagi menjadi dua suasana yang sangat berbeda. Kami menginap dan menyantap sebagian besar makanan di sebuah kompleks resort yang baru saja dibangun dan dibuat menyerupai biara atau kota di Vietnam pada abad ke-12. Kompleks ini terdiri dari sebuah hotel bintang lima untuk “bangsawan” serta kamar-kamar sederhana yang terdiri dari empat ranjang susun untuk “penduduk desa” (termasuk kelompok kami). Seluruh kota, dan terutama hotel bintang lima, dibuat dengan cermat dan mewah. Meskipun ada banyak pemandangan lanskap yang indah dan detail arsitektur yang indah, efek keseluruhannya bagi saya terasa tidak sesuai dengan kesederhanaan alami Gunung Yên Tử dan Sekolah Hutan Bambu yang didirikan oleh Trần Nhân Tông.

Suasana lain yang kami dapatkan adalah gunung Yên Tử: berbatu, liar, dan penuh dengan kuil-kuil Buddha dan Tao serta tempat-tempat suci. Kami mendaki Yên Tử di tengah angin yang menggigit dengan suhu sekitar sepuluh derajat Celsius. Beberapa biarawan dan umat awam mendaki selama tiga jam di tangga batu dan jalan setapak yang sangat sulit. Sisanya menerima bantuan gondola pada dua segmen. Meski begitu, perjalanan mendaki tetaplah sulit. Sepanjang perjalanan, kami melakukan sujud sembah dan meditasi berjalan di sebuah stupa dari abad ke-14 yang berisi relik-relik peninggalan Trần Nhân Tông. Pemandangan dari puncaknya adalah panorama spektakuler dari berbagai pegunungan yang tertutup awan. Kami tinggal selama satu jam, beristirahat, berbagi makanan ringan dan renungan, serta menyanyikan lagu-lagu Plum Village.

Sister Định Nghiêm di luar tembok Stupa Emas Huệ Quang di Kuil Hoa Yên di Gunung Yên Tử, yang berisi peninggalan raja Trần Nhân Tông yang menjadi biksu, tinggal di Gunung Yên Tử, dan mendirikan Sekolah Hutan Bambu Buddhisme Vietnam.
Sister Tuệ Nghiêm memimpin sebuah lagu di puncak Gunung Yên Tử.

Kemudian, ketika saya berbicara dengan teman-teman tentang kaisar-kaisar Trần awal, seseorang bertanya kepada saya bagaimana ajaran dan praktik mereka dapat diterapkan pada masa kini. Pembaruan atau strategi seperti apa yang mungkin dianjurkan oleh para penguasa yang tercerahkan tersebut? Menurut saya, ini bukan tentang pembaruan atau strategi tertentu, tetapi tentang para pemimpin yang menumbuhkan dalam diri mereka dan orang lain tentang aspirasi untuk menjadi penuh kasih, welas asih, dan sadar sepenuhnya. Jika perspektif tersebut ada pada banyak orang, perubahan positif akan terjadi. Thầy mengatakan hal yang sangat mirip dalam sebuah ceramah Dharma:

Dalam ajaran Buddha, kita berbicara tentang Tiga Permata: Buddha, Dharma, Sangha. Tetapi ketika kita melihat Sangha, Permata ketiga, kita melihat bahwa Sangha mengandung dua Permata lainnya. Sangha yang baik, komunitas yang baik, terdiri dari orang-orang yang mempraktikkan perhatian penuh, konsentrasi, dan pandangan terang. …

Jadi di dalam Sangha, di dalam tubuh Sangha, karena kita memiliki Sanghakaya (tubuh Sangha) yang baik, ada banyak sel. Masing-masing dari kita adalah sebuah sel dari Sangha. Dan setiap dari kita dapat membangkitkan energi perhatian penuh, konsentrasi, dan wawasan. Dan jika setiap dari kita berlatih dengan benar, maka energi kolektif yang dihasilkan oleh Sangha akan sangat kuat.

Saya pikir kita dapat menyelamatkan planet ini, mengurangi kekerasan, dan mengakhiri perang dengan energi semacam itu. Tidak peduli seberapa berbakatnya para pemimpin politik kita, jika mereka tidak memiliki energi seperti itu, mereka tidak dapat membantu …. Martin Luther King Jr. melihat hal itu dengan sangat baik. Ia mengabdikan diri untuk membangun Sangha. Ia berbicara tentang Sangha sebagai komunitas yang dicintai. Sayangnya ia dibunuh dan tidak dapat melanjutkan pekerjaan pembangunan Sangha. Kita harus melanjutkan pekerjaannya, karena pembangunan Sangha sangat penting. Dengan pekerjaan pembangunan Sangha kita dapat menciptakan kekuatan, jenis energi, yang membantu kita untuk menghadapi kesulitan-kesulitan besar yang sedang kita hadapi saat ini.

Thích Nhất Hạnh, 2011, “Komunitas Tercinta,” Thích Nhất Hạnh

Wihara Từ Hiếu

Thầy tinggal di wihara Từ Hiếu di Huế selama lima tahun sebagai calon dan samanera dan kembali ke sana selama empat tahun terakhir dalam hidupnya. Ziarah kami melakukan dua kunjungan beberapa hari ke Từ Hiếu untuk berpartisipasi dalam upacara memperingati ulang tahun pertama meninggalnya Thầy dan, kemudian, untuk merayakan Tết bersama komunitas biara. Saya telah berlatih di Từ Hiếu pada tahun-tahun sebelumnya dan memiliki perasaan hangat terhadapnya karena hubungannya dengan Thầy, karena kebaikan yang saya terima dari para monastik yang berlatih di sana, dan karena sejarahnya yang menarik.

Para sesepuh merayakan Tết di kuil keluarga Nguyễn di desa Thành Trung, dekat Huế, tempat ayah Thầy, Nguyễn Đình Phúc, lahir.

Kisah Từ Hiếu dimulai pada pertengahan abad kesembilan belas. Guru Nasional Master Thích Nhất Định adalah kepala biara yang terhormat di sebuah kuil di Huế dan juga seorang penasihat istana Dinasti Nguyễn. Ketika berusia lima puluh sembilan tahun, ia pensiun dan pindah ke sebuah gubuk jerami di hutan pinus di luar Huế. Beberapa waktu kemudian ibunya yang sudah lanjut usia, yang ia rawat di pertapaannya, jatuh sakit dan dokter menyarankan untuk makan sup ikan. Meskipun sebagai seorang biksu Buddha, beliau seorang vegetarian yang taat, Thích Nhất Định dengan patuh berjalan ke pasar setiap pagi untuk membeli ikan. Ketika orang-orang mulai menyebarkan rumor tentang pola makannya yang menyimpang, Nhất Định tidak menanggapinya.

Lama kelamaan, cerita ini sampai ke istana Kaisar Tự Đức, seorang pemimpin terpelajar dan baik hati yang merupakan pengikut kuat ajaran Konfusianisme. Dia menyelidiki dan menyadari bahwa tindakan Nhất Định didorong oleh rasa cintanya kepada ibunya. Pada tahun 1848, setahun setelah kematian Nhất Định, kaisar menghormati biksu yang setia itu dengan membangun sebuah kuil besar di lokasi gubuk jerami. Dia menamai kuil tersebut Từ Hiếu, “Kesalehan Berbakti yang Berbelas Kasih.”

Saya membayangkan biara ini sangat indah dan terawat dengan baik pada tahun-tahun awalnya, tetapi tampilan dan kondisi keuangannya mungkin jauh berkurang pada tahun 1942 ketika Thầy datang ke Từ Hiếu sebagai calon biksu. Meskipun kondisi fisiknya cukup berat, Thầy mengenang Từ Hiếu dengan penuh kasih dalam memoarnya, Jubah Guruku:

Tentu saja Anda tidak berlatih meditasi duduk sepanjang hari ketika Anda memasuki kuil. Selama berbulan-bulan dan terkadang bertahun-tahun Anda harus mengurus sapi, mengumpulkan ranting dan daun kering, membawa air, menumbuk padi, dan mengumpulkan kayu untuk api. Setiap kali ibu saya datang berkunjung dari desa kami yang jauh, ia akan menganggap hal-hal ini sebagai tantangan dari latihan tahap awal. Pada awalnya ibu saya mengkhawatirkan kesehatan saya, tetapi ketika saya semakin sehat, ia tidak lagi mengkhawatirkan saya. Bagi saya, saya tahu bahwa ini bukanlah tantangan – ini adalah latihan itu sendiri. Jika Anda memasuki kehidupan ini, Anda akan melihatnya sendiri. Jika tidak ada kegiatan mengurus sapi, tidak ada kegiatan mengumpulkan ranting dan daun, tidak ada kegiatan mengangkut air, tidak ada kegiatan menanam kentang, maka tidak akan ada sarana untuk latihan meditasi.

Thích Nhất Hạnh, My Master’s Robe (Berkeley: Parallax Press, 2005), hal. 22.
Potret di Aula Leluhur di Kuil Từ Hiếu dari guru Thầy, Kepala Biara keempat Thích Chân Thật (1884-1968), dan guru Thầy, Kepala Biara ketiga Thích Tuệ Minh (1861-1939).

Selama perayaan Tết, kelompok kami bertemu pada suatu pagi untuk bermeditasi di “Pondok Thầy,” tempat Thầy menjalani tahun-tahun terakhirnya. Kehadiran Thầy sangat terasa. Kemudian kami pergi ke Aula Buddha untuk memberikan penghormatan kepada Buddha dan silsilah Kuil Từ Hiếu. Saya ingat berdiri, terpesona, di depan dua potret yang dibingkai bersama di ruang leluhur. Satu potret adalah guru Thầy, Kepala Biara Thích Chân Thật (1884-1968), dan di sebelah kanan adalah guru dari guru Thầy, Kepala Biara Thích Tuệ Minh (1861-1939). Potret-potret tersebut membuat saya merenungkan transmisi ajaran perhatian penuh dari generasi ke generasi, dimulai dari Buddha dan berlanjut ke Thầy dan banyak kehidupan yang telah ia sentuh dan ubah.

Potret-potret tersebut juga mengingatkan saya bahwa esensi dari sebuah latihan spiritual ditularkan melalui hubungan yang dekat dan penuh kasih. Dalam Jubah Guruku, Thầy menulis tentang menemukan gurunya terjaga hingga larut malam untuk menjahit jubah coklat. Segera Thầy menyadari bahwa gurunya sedang memperbaiki jubah tersebut sehingga dia dapat memberikannya kepada Thầy di pagi hari, ketika dia akan menerima sila samanera dan tidak akan lagi mengenakan jubah abu-abu seorang siswa baru.

Akhirnya jubah itu selesai diperbaiki. Guru saya memberi isyarat agar saya mendekat. Ia meminta saya untuk mencobanya. Jubah itu sedikit terlalu besar untuk saya, tetapi itu tidak menghalangi saya untuk merasa sangat bahagia sampai saya meneteskan air mata. Saya telah menerima jenis cinta kasih yang paling suci – cinta kasih murni yang lembut dan besar, yang memupuk dan menyirami aspirasi saya selama latihan dan praktik saya selama bertahun-tahun.

Thích Nhất Hạnh, My Master’s Robe (Berkeley: Parallax Press, 2005), hal. 97.

Terakhir kali Thầy mengunjungi gurunya di Từ Hiếu pada bulan Mei 1966, tepat sebelum Thầy melakukan perjalanan ke Amerika Serikat untuk berbicara tentang penderitaan luar biasa yang disebabkan oleh perang dan menyerukan perdamaian. Thầy menerima transmisi pelita selama kunjungan tersebut, dan menjadi salah satu dari sekian banyak pewaris Dharma dari Guru Thích Chân Thật. Dua tahun kemudian, ketika kepala biara meninggal, ia meninggalkan instruksi agar Thầy ditunjuk sebagai kepala biara Từ Hiếu. Namun, Thầy, karena kampanye perdamaiannya di Amerika Serikat, tidak diizinkan untuk kembali ke Vietnam dan tidak dapat mengunjungi Từ Hiếu lagi sampai tahun 2005.

Penyembuhan dan Transformasi

Saya mengikuti ziarah ini dengan harapan dapat memperdalam pemahaman saya tentang Thầy dan ajarannya, dan ternyata benar. Saya tidak menyangka betapa banyak hal yang bisa saya pelajari tentang diri saya sendiri.

Seperti yang telah saya sebutkan, ziarah ini membuat saya lebih sadar akan betapa dalamnya pengalaman Thầy dan diperkaya oleh hubungannya dengan para leluhurnya. Begitu saya melihat hal itu, saya mulai memperhatikannya di sekeliling saya di Vietnam: dalam lingkup ruangan dan perawatan yang dicurahkan untuk altar keluarga dan cara berkunjung ke keluarga dan kuil-kuil yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Tahun Baru Vietnam.

Semakin saya melihat dengan jelas hubungan-hubungan dengan masyarakat Vietnam ini, semakin saya sadar akan kurangnya hubungan saya dengan darah, tanah, dan leluhur spiritual saya. Kakek dan nenek saya adalah orang Yahudi Eropa Timur, pemilik toko dan penjahit, yang datang ke Amerika Serikat saat masih remaja sekitar tahun 1900. Mereka meninggalkan komunitas tempat mereka dibesarkan, bahasa yang biasa mereka gunakan, orang tua dan keluarga besar, serta tradisi spiritual yang telah memelihara generasi sebelumnya. Tak lama setelah saya lahir, orang tua saya pindah dari Midwest ke California, memisahkan diri dari keluarga besar mereka. Saya tumbuh tanpa akar, tidak bahagia, dan tanpa rasa kepemilikan di lingkungan mana pun. Mencari sesuatu yang lebih baik, dan ingin menjauhkan diri dari tekanan keluarga, saya pindah dari California ke daerah Washington DC pada usia dua puluhan.

Saya bergumul dengan ketidakberdayaan saya selama dua dekade, dan kemudian saya bertemu dengan Thầy pada tahun 1990. Saya menyadari bahwa saya memiliki penyakit spiritual yang bahkan saya tidak tahu cara menceritakannya. Tetapi Thầy memahaminya, dan dia (dan Buddha) memiliki obatnya. Thầy menawarkan kepada saya sebuah visi tentang kehidupan yang seutuhnya dan otentik, praktik-praktik konkret untuk mengembangkan perhatian penuh dan welas asih, serta sebuah komunitas sahabat spiritual. Dengan kata lain, Buddha, Dharma, dan Sangha.

Sering kali selama ziarah, saya berpikir mengenai hampir empat puluh tahun di mana Thầy tidak dapat mengunjungi Vietnam. Ia sangat mencintai negara dan sejarahnya; ia sangat peduli pada banyak teman dan gurunya di Từ Hiếu di seluruh Vietnam yang telah mendukung dan menjaganya. Betapa menyakitkan baginya untuk berpisah dengan mereka. Dengan cara yang aneh, baik Thầy dan saya telah menjalani sebagian besar hidup kami di pengasingan. Pengasingannya bersifat geografis. Pengasingan saya adalah suatu bentuk keterasingan psikologis dan spiritual, suatu kemerosotan kemampuan saya untuk berhubungan baik dengan diri sendiri, orang-orang di sekitar saya, dan alam sekitar.

Untungnya, praktik-praktik yang membantu Thầy dalam pengasingannya, juga membantu saya dan jutaan orang lainnya. Dalam buku At Home in the World, Thầy menulis tentang dua tahun pertama pengasingannya:

Saya sering bermimpi berada di rumah di kuil asal saya di Vietnam bagian tengah. Saya mendaki bukit hijau yang dipenuhi pepohonan yang indah ketika, di tengah perjalanan, saya terbangun dan menyadari bahwa saya berada di pengasingan. Mimpi itu datang berulang kali kepada saya.

Thích Nhất Hạnh, At Home in the World (Berkeley: Parallax Press, 2016), hal. 13.

Seiring berjalannya waktu, ia belajar untuk menerima pengasingannya dan wawasan mendalam yang diberikan kepadanya:

Latihan saya adalah latihan perhatian penuh. Saya mencoba untuk hidup di sini dan saat ini dan menyentuh keajaiban hidup setiap hari. Berkat latihan inilah saya bisa bertahan. Pepohonan di Eropa sangat berbeda dengan pepohonan di Vietnam. Buah-buahan, bunga-bunga, orang-orang, semuanya benar-benar berbeda. Latihan ini membawa saya kembali ke rumah saya yang sebenarnya di sini dan saat ini. Akhirnya saya berhenti menderita, dan mimpi itu tidak kembali lagi. ….

Ungkapan, “Saya telah datang, saya telah pulang,” adalah perwujudan dari latihan saya. Ini adalah salah satu Segel Dharma utama Plum Village. Ungkapan ini mengekspresikan pemahaman saya tentang ajaran Buddha dan merupakan inti dari latihan saya. Sejak menemukan rumah sejati saya, saya tidak lagi menderita ….

Ketika kita sangat terhubung dengan kekinian, kita dapat menyentuh masa lalu dan masa depan; dan jika kita tahu bagaimana menghadapi kekinian dengan tepat, kita dapat menyembuhkan masa lalu. Justru karena saya tidak memiliki negara tempat asal saya, saya memiliki kesempatan untuk menemukan rumah saya yang sebenarnya.10

Thích Nhất Hạnh, At Home in the World (Berkeley: Parallax Press, 2016), hal. 13-14.

Saya sangat berterima kasih kepada Thầy yang telah menawarkan ajaran penyembuhannya kepada para praktisi Barat. Saya berterima kasih kepada Sister Định Nghiêm yang telah memvisualisasikan semua yang dapat ditunjukkan oleh ziarah Mengikuti Jejak Thầy kepada para praktisi non-Vietnam. Hal ini tentu saja menyentuh dan mentransformasi saya secara lebih mendalam dan dengan lebih banyak hal daripada yang saya perkirakan. Saya dipenuhi dengan rasa syukur kepada Sister Định Nghiêm dan Tuệ Nghiêm, yang bekerja tanpa kenal lelah sebelum dan selama ziarah, dan kepada para praktisi yang luar biasa di bus ziarah yang dengan mereka saya berbagi sukacita, tantangan, dan wawasan baru.

Pemandangan dari puncak Gunung Yên Tử, rumah bagi para biksu Buddha dan orang bijak Tao selama lebih dari seribu tahun.

Alih bahasa: Andi Setiawan
Sumber asli: Walking in Thầy’s Footsteps


Surat dari lubuk hati terdalam

Surat dari lubuk hati terdalam
Thầy dan Br. Pháp Hữu di India

Thầy terkasih,

Selagi kami duduk dalam pelukan lembut Sangha Plum Village sedunia, sembari menulis surat ini untuk Thầy, hati kami dipenuhi dengan rasa syukur dan hormat mendalam. Sudah dua tahun sejak kehadiran fisik Thầy kembali ke Ibunda Pertiwi, namun kehadiran dan semangat Thầy terus menerangi jalan bagi kami, para siswa dan yang lainnya.

Sebagai murid-muridmu, kami mendapat kehormatan dan keistimewaan untuk berjalan di sampingmu, menyerap kedalaman kebijaksanaanmu dan welas asih tanpa batas yang engkau pancarkan. Ajaran Thầy bukan hanya sekedar pelajaran, tetapi juga merupakan pengalaman hidup yang meresap ke dalam kehidupan dan interaksi kami sehari-hari. Kehadiran Thầy adalah tempat kedamaian, sebuah bukti dari kekuatan perhatian penuh dan cinta kasih.

Engkau mengajari kami, melalui teladanmu yang menerangi, bahwa meskipun dalam menghadapi kesulitan dan kesusahan, api aspirasi dapat menyala terang, tak pernah padam.

Hidup Thầy adalah pesan Thầy itu sendiri, merangkul lumpur dan teratai kehidupan, disatukan dari kain ketabahan dan komitmen yang tak tergoyahkan untuk perdamaian, di saat-saat tergelap, Thầy tetap menjadi mercusuar harapan, menunjukkan bahwa kedamaian batin adalah fondasi bagi perdamaian umat manusia.

Petualangan Thầy bukan hanya milik Thầy sendiri. Itu juga menjadi petualangan kami. Melalui matamu, kami belajar untuk melihat dunia dengan penuh kasih dan pengertian. Engkau menunjukkan kepada kami keterkaitan antara semua kehidupan, mengingatkan kami bahwa kita tidak terpisahkan, tetapi sangat terhubung satu sama lain dan dengan Bumi. Ajaran Thầy tentang perhatian penuh, tentang menghargai setiap momen, tentang hidup dengan penuh semangat dan cinta, adalah anugerah yang tak terukur nilainya.

Sembari kami terus berjalan di jalan yang telah Thầy tunjukkan kepada kami, kami merasakan komitmen yang mendalam untuk menjadi penerus warisan Thầy. Bimbinganmu tetap hidup dalam diri kami masing-masing, murid-muridmu, saat kami berusaha untuk mewujudkan dalam pikiran, kata-kata, dan tindakan kami, pintu-pintu Dharma yang telah engkau sampaikan kepada kami. Kami bertekad untuk selalu waspada, menumbuhkan kedamaian dan pengertian di dalam hati kami, dan menyebarkan kedamaian tersebut ke seluruh dunia.

Ketidakhadiranmu sangat terasa, namun kami menemukan pelipur lara dengan mengetahui bahwa engkau masih bersama kami, dalam gemerisik dedaunan, dalam keheningan meditasi, dalam senyuman yang engkau tebar, dalam saat-saat hening untuk merenung, dan dalam komunitas yang hidup ini; karya agungmu. Engkau mengajarkan kepada kami bahwa hidup ini tidak kekal, tetapi cinta dan pengertian adalah warisan yang bertahan dari generasi ke generasi.

Terima kasih, Thầy, atas bimbinganmu yang tak tergoyahkan, kasih sayangmu yang tak ada habisnya, dan pelajaran tak ternilai yang terus membimbing kami. Kami berjanji untuk meneruskan obor ajaran Thầy, memastikan bahwa esensi dari Plum Village terus berkembang dan menyentuh hati banyak orang.

Dengan rasa terima kasih dan cinta yang terdalam,

Kami murid-muridmu

dari Br. Pháp Hữu

Alih bahasa oleh Andy Setiawan dari Instagram

Empat Segel Dharma Plum Village

Empat Segel Dharma Plum Village

Apa saja ciri khas dari latihan Plum Village yang autentik? Monastik senior dari Plum Village menjelaskan empat segel Dharma dari Plum Village, yang dapat membantu kita menemukan dan mempraktikkan metode ini agar kita terbebas dari ketakutan. 

Berikut ini adalah 5 video yang diekstrak dari wejangan Dharma retret bulan Juni 2022 dengan tema “Now we have a path, we have nothing to fear” (Sekarang kita sudah punya jalan, tidak perlu khawatir lagi). Wejangan ini menyentuh mendalam fondasi praktik Plum Village dan esensi membangun komunitas.

Empat Segel Dharma Plum Village

Sister Chân Đức memperkenalkan 4 Segel Dharma Plum Village, yaitu 

  1. Aku tiba, di rumah
  2. Mengalir seperti sungai
  3. Waktu* dan kebenaran** saling berkaitan
  4. Matang, momen demi momen.

*Waktu yang dimaksud adalah masa lalu, masa kini, dan masa depan

** Kebenaran yang dimaksud adalah Empat Kebenaran Mulia dan juga kebenaran konvensional dan kebenaran tertinggi. 

Empat Segel Dharma ini akan membantu kita berjalan dan hidup di jalan kebebasan, tanpa ketakutan. Kita dapat belajar untuk melihat jalan ini dengan jelas di setiap momen, dan mengembangkan kepercayaan diri yang tidak tergoyahkan. Setiap segel Dharma dijelaskan secara rinci di setiap video berikut. Guru kami, Thich Nhat Hanh, juga mengingatkan kita bahwa jika kita mempraktikkan segel Dharma pertama dan kedua dengan baik, maka kita akan menyadari esensi dari segel Dharma ketiga dan keempat juga. 

Bagaimana cara kita mengetahui apakah sebuah latihan atau ajaran adalah latihan dari Plum Village yang sejati?

Sister Chân Đức memperkenalkan 4 segel Dharma yang ada di dalam tradisi Plum Village 

Empat Segel Dharma Plum Village

Tiba, Di Rumah”

Brother Pháp Hữu berbicara bagaimana kita dapat tiba di tubuh dan pikiran kita agar kita dapat menyadari, merangkul, dan menerima apa yang sedang terjadi di dalam dan di sekitar kita. Ini adalah esensi dari ajaran Buddha. Ketika kita menjalankan latihan ini, kita mengembangkan kepercayaan diri akan kemampuan untuk tiba di saat ini dan menyentuh keajaiban dari kehidupan, dan juga kebebasan yang selalu ada di momen ini. 

Brother Pháp Hữu berbagi bagaimana “Saya tiba, di rumah” sebagai sebuah jalan untuk hidup secara mendalam di setiap momen dan mengetahui apa yang sedang benar-benar terjadi di dalam kita. Brother Pháp Hữu juga membagikan suatu kisah mengenai Thay yang bertanya tentang latihan pribadi Brother yaitu “Saya tiba, di rumah” dan bertanya, “Apakah kualitas dari latihan meminum teh saya hari ini?” kepada semua yang mendengarkan. 

Bagaimana kualitas minum teh Anda hari ini? Brother Pháp Hữu adalah kepala wihara Dharma Cloud Monastery (法雲寺), Upper Hamlet, dan menjadi asisten Thay bertahun-tahun. Dalam video ini, Pháp Hữu membagikan momen luar biasa bersama Thay untuk mencicipi kearifan dan kasih sayang Thay yang maha besar.

Mengalir Seperti Sungai”

Bagaimana kita bisa “mengalir seperti sungai” agar kita dapat berbahagia dan menyadari impian kita untuk melayani? Sister Định Nghiêm memberitahu kita bahwa setetes air mungkin akan menguap dan kehilangan arah, tetapi jika setetes air tersebut dapat menjadi bagian dari sungai, maka setetes air itu akan sampai ke laut”. Kita mungkin takut bahwa kita akan kehilangan individualitas dan keindahan kita bila kita menjadi satu dengan sungai. Akan tetapi, ketika kita melihat Sangha di sekitar, kita melihat bahwa dengan bersatu, kita menjadi lebih kuat, dan ada lebih banyak nutrisi yang menyembuhkan dan nutrisi suka cita, untuk meringankan penderitaan di sekitar kita dan menjadi pelayanan di dunia ini.  

Sister Định Nghiêm berbagi bagaimana guru kita memiliki aspirasi untuk memperbarui ajaran Buddha di saat perang dan kebahagiaan dari guru kita ketika Beliau menemukan Sutra dari Kesadaran Penuh akan Bernapas setelah 36 tahun menjadi seorang biksu. 

Diskoveri terbesar Thay

Agar kita bisa mengalir seperti sungai dengan baik, kita perlu sadar akan kemelekatan kita terhadap berbagai pandangan, menyandarkan diri kita ke wawasan (insight) kolektif, dan meletakkan kepentingan kolektif di atas kepentingan pribadi. Sekarang, karena kerja keras Thay dan murid-murid Beliau, kita dapat menikmati kondisi yang mendukung dan tersedia untuk berlatih dan mengikuti sungai Sangha yang besar. 

Pesta sudah siap untuk Anda, Kakak senior, Sister Định Nghiêm menemani sejak awal Thay stroke selama 6 tahun. Sekarang, dia telah kembali ke Plum Village. Sister Định Nghiêm menyampaikan pemahaman dan kehangatan mendalam Thay dan komunitas dalam wejangan Dharma ini.

Waktu dan Kebenaran Saling Berkaitan”

Brother senior, Pháp Ứng, memberikan ajaran menyentuh hati yang kaya akan puisi, musik, dan video untuk berbagi tentang segel Dharma yang ketiga, yaitu: “Waktu (masa lalu, masa kini, dan masa depan) dan kebenaran (kebenaran historis “saṁvṛti” dan kebenaran ultima “paramārtha”, dan empat kebenaran mulia) saling berkaitan”. Beliau berbagi bahwa kita dapat mengetahui kebenaran ini dengan melatih segel Dharma yang pertama dan kedua, yaitu “Saya tiba, di rumah” dan “Mengalir seperti sungai”. 

Di video ini, Brother Pháp Ứng mengajarkan “Dharma Zorro” dari Plum Village, yaitu membawa kedua kebenaran (kebenaran historis dan ultima) bersama. Beliau berbagi cara-cara untuk menyentuh kebenaran ultima dengan tiba di rumah di momen saat ini. Kita dapat melihat bahwa kita adalah kelanjutan dari leluhur dan keturunan kita tanpa awal dan akhir.   

Dharma Zorro- bertemu dengan kebenaran historis dan ultima

Dalam video pertama yang dberikan oleh Sister Chân Đức di awal retret, Sister menjelaskan bagaimana Empat Kebenaran Mulia saling berkaitan. Sister Senior kita juga berbagi bagaimana penderitaan dan pencerahan selalu ada pada saat yang sama. 

Empat Kebenaran Mulia saling berkaitan (inter-are)

Matang di Setiap Momen”

Sister Lăng Nghiêm mengundang kita untuk berlatih melihat dan menyadari bahwa momen masa kini adalah proses kematangan dari segala tindakan kita di masa lalu, termasuk pengalaman yang kita dapatkan dari leluhur kita”. 

Segel keempat dari Plum Village memiliki empat aspek: 

  1. Matang di waktu yang berbeda 
  2. Matang dengan kondisi yang berbeda
  3. Matang di wujud yang berbeda
  4. Matang di tempat yang berbeda 

Sebagai contoh dari Dharma yang matang beberapa tahun kemudian, Sister Lăng Nghiêm berbagi cerita tentang Thay yang menggambarkan dirinya sebagai “sebuah teko teh” dan bagaimana Thay mempersiapkan komunitas monastik dan para praktisi dari seluruh dunia untuk mengerti bahwa “awan tidak pernah mati” ketika Thay meninggal (berlanjut) di tahun 2022. 

Thay adalah Poci teh

Bagaimana tindakan kita dapat matang? Bisakah kita melihat wujud-wujud kematangan yang berbeda sebagai hasil dari tindakan itu? Apakah hubungan dari tindakan dengan kulkas yang penuh dengan “daging” palsu? Sister Lăng Nghiêm menjelaskan di klip terakhir kita. 

Bagaimana aksi kita menjadi matang?

Diterjemahkan oleh Sumiko dari https://plumvillage.org/articles/the-four-dharma-seals-of-plum-village

Menggapai Ketenangan Pikiran

Menggapai Ketenangan Pikiran
Day of Mindfulness, Sekolah Dharma Loka Pekanbaru (26 Agustus 2023, Furaya Hotel)

Di tengah kehidupan yang semakin rumit dan banyak tuntutan, penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan pikiran dan perasaan. Salah satu cara untuk menciptakan waktu bagi diri sendiri dan merasa lebih tenang adalah melalui praktik kesadaran. Pada tanggal 26 Agustus 2023, Hotel Furaya di Pekanbaru akan menjadi tempat istimewa. Kami berkesempatan mengikuti acara mindfulness (kesadaran penuh), banyak dari mereka berasal dari berbagai latar belakang, terutama guru dan karyawan dari Sekolah Dharma Loka yang dijalankan oleh Yayasan Pendidikan Panca Dharma, dapat bergabung. Dalam upaya untuk tumbuh dan menjadi lebih baik, kami belajar tentang menjalankan aktifitas hidup dengan lebih penuh perhatian.

Kegiatan dimulai pada pukul 08.00 hingga 17.00, dipandu oleh sembilan fasilitator berpengalaman yang datang dari Jakarta sebagai perwakilan dari Zen Plum Village. Para fasilitator ini tidak hanya membawa pengetahuan tentang mindfulness, tetapi juga pengalaman dalam membimbing peserta menuju pemahaman yang lebih dalam tentang hidup dengan penuh kesadaran.

Salah satu poin penting dari acara ini adalah melatih diri beraktifitas dengan penuh kesadaran. Peserta diajarkan untuk mempraktikkan setiap tindakan sehari-hari dengan fokus penuh, mulai dari makan hingga berbicara. Melalui meditasi duduk dipandu, peserta diajak untuk merelakskan pikiran dengan memusatkan perhatian pada napas masuk dan keluar. Ini membantu mereka mengembangkan keterampilan mengendalikan pikiran dan emosi, yang pada gilirannya meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Sesi meditasi tidak hanya dilakukan di ruang yang tenang, tetapi juga melibatkan meditasi jalan setelah makan siang. Konsep ini bertujuan untuk membantu proses pencernaan dan metabolisme tubuh, sambil tetap menghubungkan pikiran dengan tubuh dalam kesadaran penuh. Makan siang sendiri menjadi momen penting untuk berlatih kesadaran, setiap suapan diambil dengan perhatian dan rasa syukur atas makanan yang diberikan.

Berikunya ada sesi relaksasi total, kami dipandu untuk belajar bagaimana beristirahat dengan nyaman, menghilangkan semua ketegangan yang ada dalam otot-otot tubuh kami. Dimulai dari otot-otot wajah dan mata, kemudian merambat melalui otot-otot pundak, lengan, hingga mencapai kaki. Tujuannya adalah agar kami bisa merasakan istirahat yang berkualitas dan membuat tubuh kami terasa segar saat kami bangun.

Sesi puncak dari kegiatan ini adalah “sharing berkesadaran.” Dalam sesi ini, peserta diajarkan untuk mendengarkan dengan penuh perhatian ketika seseorang berbicara, menciptakan ruang yang aman untuk berbagi pikiran dan perasaan. Momen ini juga mengajarkan pentingnya berbicara dengan penuh kesadaran dan cinta kasih, menghindari kata-kata yang bisa menyakiti orang lain. Ini adalah pengalaman berharga yang membawa dampak positif dalam hubungan antar peserta.

Salah satu peserta kegiatan, yang juga seorang guru di Sekolah Dharma Loka, berbagi pengalaman pribadinya. Ia merasa bahwa setelah mengikuti kegiatan ini, pikirannya menjadi lebih tenang dan ia dapat menjalani rutinitas sebagai seorang guru dengan lebih nyaman. Tuntutan pekerjaan yang sebelumnya terasa memberatkan kini dapat dihadapi dengan lebih baik berkat pemahaman tentang hidup dengan penuh kesadaran.

Harapannya, kegiatan ini bukanlah akhir dari perjalanan ke arah kesadaran diri, melainkan awal dari komitmen untuk terus mempraktikkan mindfulness dalam kehidupan sehari-hari. Dari mengawali pagi dengan meditasi singkat untuk memulai hari dengan pikiran yang jernih, hingga mencari momen untuk berhenti sejenak sebelum memulai aktivitas baru, setiap langkah kecil ini dapat membawa perubahan yang positif dalam hidup.

Pengalaman yang diperoleh dari kegiatan mindfulness di Hotel Furaya Pekanbaru pada tanggal 26 Agustus 2023 membuktikan betapa pentingnya memahami arti hidup dengan penuh kesadaran. Dalam dunia yang semakin sibuk, memberikan waktu bagi diri sendiri untuk merenung dan memahami setiap momen adalah investasi berharga bagi kesejahteraan (well-being) pribadi dan hubungan antarmanusia. (Bambang, guru sekolah Dharmaloka Pekanbaru)

Foto dari Pak S. Lio Floren Tio

Pusat Mindfulness Thich Nhat Hanh untuk Kesehatan Masyarakat

Pusat Mindfulness Thich Nhat Hanh untuk Kesehatan Masyarakat
Thich Nhat Hanh Center for Mindfulness in Public Health (sumber foto: Lionsroar)

Pusat Mindfulness ini bertujuan untuk mengembangkan alat-alat asesmen ilmiah untuk mengevaluasi pengaruh intervensi mindfulness pada kesehatan.

Universitas Harvard mengumumkan dibukanya Thich Nhat Hanh Center for Mindfulness (Pusat Mindfulness Thich Nhat Hanh), tambahan baru bagi Sekolah Kesehatan Masyarakat Chan T.H. Harvard. Menurut siaran pers, misi dari pusat ini adalah untuk “memperkaya masyarakat di dunia agar dapat hidup dengan tujuan, ketenangan, dan sukacita melalui latihan mindfulness; mengejar pendekatan berdasarkan-bukti untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan melalui mindfulness; dan mendidik serta melatih umat awam tentang mindfulness.”

Pusat ini didirikan sebagai penghormatan bagi guru Buddhis Vietnam dan pendiri dari gerakan ajaran Buddha yang Terlibat, Thich Nhat Hanh, bagi dedikasinya terhadap kedamaian dan aktivisme sepanjang hidupnya dan pengaruhnya pada ajaran mindfulness. Pusat ini didirikan dengan hadiah 25-juta dollar dari donor anonim, mewakili salah satu donasi tunggal terbesar dalam sejarah sekolah tersebut.

Walter Willet, direktur dari pusat mindfulness dan guru besar epidemiologi dan nutrisi melaporkan bahwa pusat mindfulness ini akan membawa mindfulness ke dalam konteks penelitian kesehatan masyarakat. “Kami berharap Pusat ini dapat menjadi  pusat penyelidikan yang teliti dan berkolaborasi dengan rekan-rekan dari seluruh dunia untuk memajukan sains tentang mindfulness,” Willett menyatakan dalam siaran pers Senin.

Penelitian dari Pusat mindfulness ini akan berfokus pada pengembangan alat-alat asesmen ilmiah untuk mengevaluasi dampak intervensi mindfulness terhadap kesehatan. Pusat berencana untuk memfokuskan upaya penelitiannya pada mindfulness dan hidup terkait lingkungan dan nutrisi.

Lilian Cheung, direktur penelitian dan latihan mindfulness di Departemen Nutrisi Harvard, dan salah satu penulis buku Savor: Mindful Eating, Mindful Life dengan Thich Nhat Hanh, berkata bahwa dia berharap Pusat Mindfulness Thich Nhat Hanh di Harvard akan mendorong orang-orang untuk memulai latihan mindfulness dalam kehidupan sehari-hari mereka.

“Selama bertahun-tahun, saya menjadi sangat tertarik untuk mempelajari bagaimana latihan mindfulness dapat diterapkan dalam mata kuliah kesehatan masyarakat, yang mencari cara untuk mencegah penyakit dan mengembangkan kesejahteraan pada skala populasi. Inilah yang tepatnya akan dilakukan Pusat ini,” kata Cheung. (Translator: Octavia)

Sumber: Harvard University launches Thich Nhat Hanh Center for Mindfulness in Public Health

Plum Village Thailand: Dalam Arus Latihan Spiritual

Plum Village Thailand: Dalam Arus Latihan Spiritual

“Melihat ke bawah setelah api padam,
pohon dan rumput lebih hijau dan harum.”


Sahabat terkasih,
Sekali lagi musim menghampiri dataran tinggi Khao Yai. Musim semi di sini diiringi hujan, kering, dan dingin; pohon mulai bertunas, inilah saatnya bagi Anda untuk mengunjungi Plum Village untuk mengikuti acara spesial seperti Tahun Baru Imlek (Tết) tradisional Vietnam, retret, atau Seremoni Penahbisan Penuh.


Kita tahu, tidak ada musim semi yang persis serupa dengan yang saat ini. Jika Anda telah bersama lahan tanah ini sejak awal, Anda akan melihat pepohonan tumbuh lebih hijau dan wajah baru saudara-saudari monastik menjadi lebih dewasa seiring dengan berbagai proyek pembangunan di Plum Village Thailand (PVT).


Tahun ini, Anda bisa ikut merayakan ulang tahun ke-10. Melihat perjalanan sepuluh tahun terakhir, kita akan mulai memahami bagaimana PVT telah dan akan terus melanjutkan Thầy melalui praktik individu dan kolektif.


Setiap kaki pohon, setiap kerikil yang ditemukan di jalur meditasi jalan, setiap saudara atau saudari monastik yang pernah atau yang masih ada untuk kita di negeri ini, dan setiap materi atau individu mana pun selalu ada kisahnya masing-masing.


Masa lampau yang lebih dari sepuluh tahun masih terwujud sepenuhnya di masa kini. Seperti yang diajarkan Thầy, kembali ke saat ini memungkinkan kita untuk bersentuhan dengan dengan masa lampau.


Munculnya Desa Baru
Sepuluh tahun lalu, Thầy dengan penuh kasih telah memberikan wujud baru kepada PVT. Namun, kisah lahan ini telah dimulai bertahun-tahun sebelum tonggak sejarah tahun 2013. Berkat uluran tangan para Bodhisattwa yang tak terhitung jumlahnya, PVT telah dipersiapkan dengan baik dalam aspek semangat, material, dan sumber daya manusia.


Demi membesarkan anak kecil yang baru lahir ini, Thầy rela berkunjung ke Kerajaan Thailand berkali-kali untuk mengatur masa depan biara ini. Ribuan praktisi menyaksikan Thầy melakukan upacara penyucian, menanam pohon bodhi di lahan baru, yang kemudian menjadi Biara Pembibitan Plum Village Thailand (Tu viện Vườn Ươm Thái Lan).

Thay di Plum Village Thailand


Lahan baru ini hanya ada kebun mangga, beberapa barisan pohon asam, dan semak belukar; lokasi konstruksi hanyalah terdiri dari potongan-potongan beton yang dipasang di tanah. Anehnya, sekarang setiap ruangan, setiap sudut, sudah dipenuhi dengan energi manusia yang hangat dan menyenangkan.


Barisan bambu kami, kebun mahoni, flamboyan, dan bunga persik, masih muda, telah menjalar dengan sehat, menawarkan keteduhan dan menggantikan pohon akasia dan semak belukar tadi. Pohon-pohon yang ditanam menawarkan kehijauan di tengah-tengah hunian tempat tinggal. Jalan setapak dengan permukaaan yang baik di sekitar bukit sekarang menggantikan jalan yang sebelumnya berlumpur sehabis hujan lebat.


Rumah tamu yang baru dibangun, sekarang menggantikan tenda sementara. Melewati dapur yang baru, ruang penyajian makanan, ruang makan, sampai ke ruang kelas, taman bermain, dll., Anda akan dengan mudah melihat seorang monastik berjubah coklat dengan senyum segar. Di aula meditasi, Bukit Anapana (Đồi An Ban), Pondok Menatap Jauh (Cốc Nhìn Xa), atau Taman Buddha, Anda akan selalu dapat menemukan area damai yang dekat denga alam.


Seketika Anda tiba di PVT, Anda akan menjadi warga desa kami selama tujuh hari, dua minggu, tiga bulan, atau lebih. Sebagai warga desa, Anda akan menghadiri sesi bekerja kelompok; setiap kelompok mengerjakan suatu pekerjaan tertentu, bekerja bersama secara rajin seperti sekelompok lebah, menyapu lantai, menanam sayuran, menyirami pohon, atau mengelompokkan sampah, dll.


Vitalitas desa terlihat jelas dalam aktivitas komunal itu. Thầy adalah seorang aktivis budaya, yang harapannya diteruskan oleh desa yang terletak di tengah dataran tinggi Khao Yai, melestarikan keindahan budaya Vietnam dan berintegrasi dengan budaya Kerajaan Thailand serta keragaman budaya masyarakat kontemporer.

Namun, PVT bukanlah museum budaya. Sebaliknya, ia merupakan entitas hidup dalam hal kuliner, kostum, nyanyian upacara, bahasa, dll. Jika Anda mengunjungi Plum Village pada waktu yang tepat, Anda akan merasakan pengalaman seperti memasang ‘Nêu‘ (bambu tinggi yang mewakili harapan untuk tahun baru) dan membungkus ‘bánh chưng‘ (kue ketan tradisional yang berbentuk persegi).

Memasang ‘Nêu


Menyambut Malam Tahun Baru, membaca ‘Kiều‘ (puisi yang digunakan sebagai instruksi untuk latihan praktik seseorang), festival Songkran, barongsai, parade lampion di festival pertengahan musim gugur (Mid Autumn Lantern Festival), menjepitkan bunga mawar di saku Anda selama bulan Juli (berdasarkan kalender lunar), serta merayakan Natal, dll.


Dibandingkan dengan kegiatan sederhana di hari-hari awal, acara kami sudah menjadi rutinitas yang nyaman, dan ketika sudah dekat waktunya, semua orang akan bersemangat untuk mempersiapkan dan menantikan kegiatan-kegiatan itu.


Wihara Disiplin
Thầy bukan saja memberikan wujud fisik kepada PVT, tapi juga memberikan arahan jelas bagi hati dari lahan ini agar menjadi rumah bersama bagi komunitas yang berkesadaran penuh (mindfulness community). Komunitas praktik ini tidak sama dan bukan hanya sekadar desa atau perkumpulan saja.


Dimanapun kita hadir, brothers dan sisters monastik segera menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan agar jadwal kegiatan berjalan lancar. Berawal dari kegiatan yang sederhana pada awalnya, PVT kini memiliki lonceng sangat besar yang diundang setiap pagi dan malam hari; lonceng kegiatan, suara harmonis dari lonceng dan drum ikan kayu (fish drum / mu yu), mengiringi pendarasan, yang semuanya mewujudkan biara ini bernuansa disiplin.


Sesampainya di sini, Anda akan melihat semua orang berhenti, tersenyum, dan menikmati bernapas saat jam dinding berdentang; Anda juga akan menghadiri jamuan makan dalam keheningan, Hari Berkesadaran Penuh (Day of Mindfulness) empat lapisan komunitas (fourfold sangha) berlatih meditasi jalan bersama, menghadiri ceramah Dharma dan berbagi latihan mereka dalam sesi Berbagi Dharma.


Sejak pagi, ketika Anda pergi ke aula meditasi, Anda akan melihat praktisi yang telah datang lebih awal dan duduk berlatih meditasi. Bahkan selama waktu hening bening (noble silence), Anda masih akan melihat novis (samanera-samaneri) berlatih Menyentuh Bumi, dll.


Dengan berada dalam kondisi ini, tidak peduli apa pun tujuan Anda datang ke biara; Anda akan melihat diri Anda dikelilingi oleh komunitas yang berlatih. Dalam bentuk praktik ‘komunitas’, setiap kegiatan yang tertera dalam jadwal merupakan kesempatan bagi kita untuk kembali ke hati, berlindung di pulau di dalam diri kita.


Institut Agama Buddha Terapan
Sepuluh tahun terakhir, Sanggha (komunitas berlatih) PVT berkembang terus setiap harinya. Di masa awal kami di lahan baru ini, Sanggha monastik hanya dapat mengelola kehidupan komunitas monastik sendiri, dan kadang-kadang menerima beberapa tamu. Kemudian, biara sudah bisa lebih terbuka untuk menawarkan retret lebih sering, kapasitas kami telah tumbuh lebih baik untuk mengurus acara yang lebih signifikan dengan jumlah peserta yang lebih banyak.


Acara seperti retret untuk penutur bahasa Vietnam, Wake-up, Tahun Baru Thailand, Remaja, Libur Akhir Tahun, Ordo Interbeing, monastik, program pentahbisan monastik jangka pendek, program penahbisan Buddha Kecil (Baby Buddha Ordination Program), dll., telah menjadi kegiatan rutin tahunan.

Meditasi duduk di luar


Retret pendek yang diadakan setiap minggu diatur dengan baik, dan para peserta menerima bimbingan yang cermat untuk latihan dan menghadiri kegiatan yang bermanfaat. Dilakukan secara bersamaan dalam tiga bahasa: Vietnam, Inggris, dan Thai, kegiatan di biara telah ditingkatkan untuk menawarkan tempat latihan bagi para praktisi dari seluruh dunia.


Ada begitu banyak penderitaan telah ditransformasikan dan banyak senyuman telah mekar di negeri ini. Ribuan praktisi telah mendapatkan manfaat dari lahan ini dan oleh sebab itu juga memberikan kontribusi yang sangat besar bagi masyarakat sekitar.


Di dalam biara, mayoritas adalah saudara dan saudari monastik muda. Di tahun-tahun pertama, kami mendengarkan rekaman ceramah Dharma oleh Thầy dan memiliki waktu belajar sendiri. Secara bertahap, kelas Dharma, kelas keterampilan, dan bahasa diatur dengan lebih sistematis. Setelah itu, Program Pendidikan Tujuh Tahun dibentuk dan diurus oleh tim bidang pendidikan, untuk menyediakan kurikulum yang lebih terperinci.


Biara telah berfungsi sebagai mana pusat pelatihan dan pendidikan yang menawarkan latihan hidup berkesadaran penuh kepada praktisi monastik dan kalangan umum. Bentuk kelas, deskripsi kelas, isi, metodologi, cara penilaian, dan sertifikasi tidaklah sama dengan sekolah pada umumnya. Kita dilatih dengan apa yang kita jalani dan hidup dengan tujuan kita berlatih.


Kita tahu bahwa tidak semua dari kita nyaman dengan kelas, memasak, atau mahir dalam menanam bunga atau bersosialisasi. Tidak banyak monastik muda yang suka menyepi di sudut sana layaknya orang berusia lanjut; itulah sebabnya model pendidikan di PVT bertujuan untuk merangkul karakteristik yang berbeda agar semua orang dapat menyesuaikan diri, daripada hanya memberikan cetakan serupa.


Selama sepuluh tahun belakangan ini, telah banyak generasi brothers dan sisters monastik yang baru ditahbiskan, telah memberikan sumbangsih sumber daya manusia untuk pusat latihan dalam tradisi Plum Village di negara lain.


PVT adalah rumah tempat berlindung bagi begitu banyak Sanggha di Vietnam, Thailand, dan negara lain di Asia-Pasifik; sekarang telah banyak Sanggha bermunculan, dengan demikian memungkinkan semakin banyak praktisi untuk menerima Lima Latihan Hidup Sadar Penuh dan Empat belas Latihan Hidup Sadar Penuh.


Keluarga Besar Empat Sanggha
Kita sering menggunakan istilah ‘keluarga spiritual’. Di biara, mudah bagi kita untuk merasakan suasana kekeluargaan. Cara kita menyapa satu sama lainnya, mengambil keputusan bersama, bekerja sama, menyambut brothers dan sisters yang baru ditahbiskan, merawat orang sakit, dll., semuanya telah membantu mewujudkan gagasan “menerima dan mencintai satu sama lainnya seperti saudara dan saudari kandung” yang biasanya diingatkan Thầy kepada kita.

Keluarga spiritual


Keluarga spiritual kita tidak memiliki keterikatan duniawi seperti yang ada di luar sana. Hubungan antara anggota keluarga adalah cita-cita kami sekaligus sila bagi kami. Oleh karena itu, melalui cara hidup keluarga spiritual demikian memberikan kesempatan kepada kami untuk berbuat lebih baik daripada keluarga kandung.


Tidak hanya terbatas pada anggota monastik, tetapi juga keluarga besar juga mencakup anggota seperti orangtua kandung dari monastik, sukarelawan, anggota Ordo Interbeing Thailand, serta sanggha di tiga wilayah Vietnam.


Orang-orang yang telah mengkontribusikan semangat hidup ke dalam lahan suci ini bukan hanya para monastik, tetapi termasuk semua yang telah bergabung dalam praktik latihan bersama. Kami hadir untuk memberikan manfaat dan berkontribusi atas hal tersebut. Anggota keluarga besar saling merawat satu sama lainnya melalui latihan dan cinta kasih dalam sepanjang perjalanan ini.


Anda mungkin bertanya kunci utama apa yang menarik semua orang berkumpul untuk berbagi ruang dan kesadaran kolektif. Sebagai seorang praktisi awam, Anda mungkin ingin mengunjungi Plum Village untuk mendapatkan tempat yang damai dan sejuk, kehidupan yang lambat dan sederhana, yang terdiri dari cinta kasih sesama, kesadaran untuk melindungi lingkungan hidup, dan lingkungan yang berbudaya untuk masa depan anak-anak Anda.


Sebagai siswa monastik, guru, pebisnis, profesional dalam bidang kesehatan, atau intelek dari Timur atau Barat, berasal dari buddhis maupun nonbuddhis, Anda mungkin ingin mengunjungi Plum Village selama seminggu atau retret besar untuk belajar secara langsung bagaimana menerapkan praktik sadar penuh ke dalam kehidupan keluarga, kantor, serta komunitas Anda.


Biara tidak memberikan sertifikat untuk kelas, layaknya pusat pelatihan lainnya. Namun, berkat apa yang dialami para peserta, setiap orang merasa telah menerima banyak ajaran yang bernutrisi. Beberapa brothers dan sisters tertentu juga telah merasakan keindahan latihan melalui cara hidup demikian, dan oleh karena itu beraspirasi untuk tinggal lebih lama sehingga mereka mempelajari metode ini secara lebih mendalam, memiliki lebih banyak ruang dan waktu yang didedikasikan untuk latihan duduk dan berjalan, dll.


Praktik pribadi didukung secara luar biasa oleh energi kolektif biara yang solid, berkat peraturan dan aktivitas yang disusun secara ilmiah, serta kesempatan untuk membantu kehidupan sekitar dengan memanfaatkan langkah-langkah yang praktis dan efektif.


Praktik Pribadi
Mari kita bertanya tentang makna istilah “warga” dalam warga Plum Village, pertanyaan ini untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang terus meningkat untuk berlatih. Bukankah biara hanya mengikuti susunan pengaturan retret dan acara saja?

Meditasi makan formal


Seperti yang terjadi di lahan ini, dengan melakukan aktivitas sehari-hari dan memupuk hubungan yang sehat dengan saudara dan saudari, kita dapat melihat diri kita lebih baik, memunculkan kebahagiaan, dan mentransformasi lumpur dari dalam, berarti ini adalah kontribusi, dedikasi, dan jawaban yang tepat.


Ketika Anda merasakan manfaatnya, secara alami, Anda akan bertekad untuk melanjutkan latihan agar setiap orang juga dapat memperoleh manfaat dari kebaikan tersebut. Berdasarkan hal-hal dasar ini, memilih untuk menawarkan atau tidak, pelayanan atau bukan, semua ini bukanlah menjadi masalah lagi.


Tanpa landasan seperti itu, banyak masalah bisa muncul, yang membuat kita menyadari bahwa apa yang perlu dilakukan untuk hari esok bukanlah sesuatu yang tidak perlu dan di luar jangkauan. Tidak ada yang berbeda dari apa yang sering diingatkan Thầy kepada kita.


Itulah karya dan arahan luar biasa yang diciptakan, dialami, dan ditransmisikan secara mendalam oleh Thầy. Namun, kita belum sepenuhnya mengapresiasi karya Thầy sebaik mungkin. Di sana-sini, masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki agar kita dapat lebih baik merawat lebih banyak saudara dan saudari monastik serta meningkatkan kualitas pendidikan.


Mari ajukan pertanyaan menarik: “Apakah kebahagiaan yang kita hasilkan setiap hari cukup untuk ‘menutupi pengeluaran Anda’?” Suatu kali, seorang saudara muda bercerita bahwa dengan kondisi sanggha yang tidak sempurna, apakah kondisi materi cukup untuk latihan atau tidak, apakah kebahagiaannya mencuupi atau tidak, maka jawaban selalu IYA, dapat memenuhi semua pengeluaran sehari-hari.


Apakah Biara Plum Village akan memiliki masa depan yang mapan atau tidak, secara signifikan bergantung pada warga yang berdiam di lahan ini. Apakah kita telah berhasil memanfaatkan kondisi yang ditransmisikan oleh Thầy untuk praktik transformasi dari hati? Berkat praktik kolektif, setiap anggota mengkontribusikan satu bagian, sehingga kita memiliki lebih banyak kebebasan dan kapasitas untuk memanjukan kehidupan.


Pekerjaan Kolektif
Apa yang telah kita pelajari dari dunia beberapa tahun terakhir telah menunjukkan kepada kita dengan jelas bahwa umat manusia memiliki masa depan yang sama di Bumi ini. Apakah Biara Plum Village Thailand akan memiliki masa depan yang indah tergantung pada apakah masalah yang lebih signifikan seperti krisis iklim dan perang akan diakhiri atau epidemi terkendali.


Berikutnya adalah urusan internal dalam pandangan seluruh komunitas maupun individu, seperti apakah pusat praktik lain dalam tradisi Plum Village stabil dan sehat, ikatan persaudaraan diperkuat demi komunitas praktik yang harmonis, apakah kemarahan atau pikiran negatif lainnya berhasil ditransformasi. Kesepian atau kompeks inferior (rasa rendah diri) telah direnungkan secara mendalam.


Hati Damai, Dunia Damai; itulah petuah dari Thầy untuk kita sebarkan. Kelihatannya kita mengambil langkah kecil yang lambat di tengah dunia yang penuh kekacauan, tetapi sesungguhnya kita telah memulainya dari bagian akar. Itulah transformasi dari kesadaran gudang terdalam manusia.


Menyelamatkan jiwa yang tenggelam dalam penderitaan, menurut agama Buddha, adalah membawa kedamaian ke seluruh alam semesta. Kesempatan dan metodologi cara sudah ada di tangan kita sehingga kita dapat membantu diri sendiri dan menjalani kehidupan yang bermanfaat. Begitulah Biara Plum Village diberi kesempatan untuk membantu Anda dan berkontribusi bagi kehidupan.


Melihat ke dalam unsur-unsur yang membentuk biara, kita dapat mengusulkan rencana yang lebih baik dalam aspek praktik, pelatihan, hubungan persaudaraan, dan melayani kehidupan terkait dengan kesadaran individu dan orang-orang di sekitar.

Pelimpahan jasa


Bersama-sama, kita berdiri di atas taman yang diwariskan oleh nenek moyang kita, penuh dengan bunga dan pohon yang luar biasa indah; kita belajar bagaimana memanfaatkan taman dan membawa kebaikan kepada lebih banyak orang. Apa harapanmu? Apakah Anda telah melupakan pernah menjadi warga biara? Apa keinginan terdalam bagi desa ini?


Bagaimana biara dapat berkontribusi untuk mewujudkan impian Anda, bahkan jika itu adalah impian besar seperti mencapai jalan praktik spiritual atau harapan sederhana contohnya menjalani kehidupan yang sehat?


PVT adalah perwujudan dari kesadaran kolektif yang dibangun dari mimpi-mimpi individu. Oleh karena itu, tugas seperti itu akan dimulai dari masing-masing individu, dengan stupa praktik yang kita bangun untuk dipersembahkan kepada Thầy terkasih.


Thầy mengajarkan bahwa masa depan sudah ada di saat ini. Biara Plum Village Thailand bukan lagi hanya halusinasi dalam angan-angan, tetapi sudah menjadi kenyataan yang terwujud dengan jelas, dan kita semua bisa merasakannya secara mendalam.


Cara mengilustrasiikan Plum Village Thailand yang disajikan di sini tidak bermaksud untuk membuat kita terbuai dengan bahasa indah sekaligus dangkal. Sesungguhnya, ilustrasi ini memungkinkan kita untuk memberikan perhatian yang benar, bersama-sama memilih sikap yang tegar untuk melangkah ke masa depan

Bersama dengan Sanggha Plum Village Thailand,
Thích Chân Pháp Anh

Seremoni Mengenang Satu Tahun Kepergian Master Zen Thich Nhat Hanh

Seremoni Mengenang Satu Tahun Kepergian Master Zen Thich Nhat Hanh
Seremoni peringatan mendiang Master Zen Thich Nhat Hanh

Hujan rintik-rintik menguyur kota Huế ketika kami dalam perjalanan menuju wihara Diệu Trạm. Wihara Diệu Trạm merupakan wihara para Bhiksuni dengan jumlah residen 80 biarawati yang bersebelahan dengan wihara Từ Hiếu, wihara para Bhiksu dengan jumlah residen 20 biarawan. Wihara Từ Hiếu merupakan tempat Master Zen Thich Nhat Hanh ditahbiskan, oleh karena itu kadang wihara ini disebut sebagai Wihara Akar dari tradisi Zen Plum Village.

Ketika kami tiba di wihara Diệu Trạm, beberapa biarawati menyambut dan mengantarkan kami menuju kamar. Walaupun udara dingin dan lembab sangat terasa di malam itu, hati saya merasa sangat bahagia. Ada kurang lebih 150 siswa monastik dari pusat latihan Plum Village dari berbagai negara yang datang ke wihara akar untuk berpartisipasi dalam rangkaian acara peringatan satu tahun wafatnya Maha Guru Zen, Thích Nhất Hạnh. Thầy yang artinya Guru merupakan sapaan Beliau, telah menahbiskan 1.214 siswa monastik dan puluhan ribu murid awam.

Rangkaian acara peringatan satu tahun wafatnya Thầy diawali dengan dua hari retret monastik yaitu pada tanggal 3 s.d. 4 Januari 2023. Ini merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi monastik karena para senior bhiksu dan bhiksuni dari tradisi Plum Village berbagi Dharma kepada generasi monastik yang lebih muda. Retret monastik ini juga menjadi ajang reuni, berkumpul dengan kakak dan adik seperguruan yang telah lama tidak bertemu.

Energi kebahagiaan dan keceriaan terpancar di segala sudut kedua wihara meskipun banyak persiapan yang harus dilakukan dalam menyambut total sekitar 250 monastik. Ada begitu banyak pekerjaan yang harus dibereskan, seperti memotong sayur, memasak, mempersiapkan aula meditasi, sistem audio dan terjemahan, mempersiapkan kamera dan siaran langsung, dan lain lain. Seluruh monastik dan awam yang hadir bersama-sama bersumbangsih dalam meditasi kerja.

Bunga seruni atau kadang disebut bunga krisan.
Bunga Seruni (sumber: wikipedia id)

Pada tanggal 5 s.d. 6 Januari, wihara Từ Hiếu yang merupakan tempat pelaksanaan seremoni peringatan wafatnya Thầy dibersihkan secara menyeluruh dan tenda-tenda dipasang. Bunga dan buah dipersembahkan ke altar Buddha dan Bodhisattwa, altar leluhur dan Thầy. Di altar Thầy selalu dihiasi bunga Seruni yang berwarna coklat kekuningan, ini adalah bunga kesukaan Thầy.

Di Plum Village Perancis, bunga Seruni mekar di bulan Oktober. Di Phương Khê, tempat tinggal Thầy di Prancis selalu dihiasi dengan bunga ini. Hingga saat ini, Phương Khê selalu dibersihkan secara berkala oleh siswa monastik, bunga-bunga dan tanaman yang ada tetap dirawat. Bahkan di Phương Khê telah dibangun aula meditasi yang baru.

Aula meditasi yang baru ini merupakan amanat dari Thầy ketika Beliau sedang sakit. Dengan menggunakan kursi roda, pendamping Thầy akan membawa Beliau ke salah satu gedung tua di Phương Khê dan Beliau memberikan petunjuk bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk pemugaran gedung tersebut. Hal ini dilakukan karena jumlah siswa monastik yang terus bertambah sehingga aula lama yang digunakan sudah tidak muat lagi. Thầy adalah arsitek dari aula meditasi yang baru itu.

Seremoni peringatan hari wafatnya salah satu leluhur Guru, Thầy Huệ Minh berdekatan dengan seremoni guru kita maka seremoni untuk Beliau juga menjadi bagian dari rangkaian acara dan diadakan pada tanggal 7 Januari. Ada banyak monastik yang merupakan siswa atau cucu siswa Beliau berdatangan ke wihara Từ Hiếu untuk mengikuti seremoni peringatan itu. Begitu pula praktisi awam hadir dari berbagai kota di Vietnam maupun dari luar negeri. Pendarasan doa-doa dilakukan secara tradisional dan menggunakan bahasa sino Vietnam yang mirip dengan bahasa Mandarin.

Day of Mindfulness (DOM) yang menjadi ikon dari Plum Village diadakan di hari Minggu, 8 Januari, begitu banyaknya siswa monastik dan praktisi awam yang berdatangan, aula meditasi wihara Diệu Trạm menjadi tidak muat tetapi tim soundsystem sudah mempersiapkan tempat di luar aula meditasi sehingga semua yang hadir dapat mengikuti DOM. Thầy Pháp Ấn membabarkan Dharma dilanjutkan dengan makan siang bersama dan sorenya ada sesi tanya jawab.

Di dalam tradisi Vietnam, tahun pertama meninggalnya seorang Guru disebut tahun Tiểu Tường, yang mana upacara peringatan ini hanya dihadiri oleh keluarga monastik dan siswa-siswa Beliau. Tahun kedua disebut tahun Đại Tường, di tahun kedua ini akan diadakan seremoni dalam skala besar, Para Maha Guru dari berbagai wihara di Vietnam akan diundang untuk menghadiri Đại Tường, ini juga seremoni memindahkan altar Thầy ke altar utama leluhur.

Meditasi kerja pun dilanjutkan di hari senin, 9 Januari di pagi dan siang hari. Lalu di malam hari di aula meditasi Bulan Purnama, wihara Từ Hiếu diadakan acara mengenang Thầy, ada begitu banyak kenangan indah yang dibagikan, transformasi dan penyembuhan, kebahagiaan dan kegembiraan serta nyanyian-nyanyian, dan semua ini dipersembahkan kepada Thầy.

Kota Huế diguyur hujan sejak saya tiba tanggal 2 Januari, jikalaupun hujan berhenti paling lama 30 menit atau satu jam saja lalu hujan akan turun lagi. Tetapi di hari seremoni peringatan wafatnya Thầy di tanggal 10 Januari, sejak pagi hujan tidak turun setetes pun sampai kami selesai makan siang.

Lebih dari 2.500 orang memadati wihara Từ Hiếu, siswa monastik, anggota ordo Interbeing, praktisi awam, anak remaja dan anak-anak. Seremoni dimulai pukul 09:00 di aula Buddha, wihara Từ Hiếu dengan mendaraskan sutra dan mantra secara tradisional dalam bahasa Sino Vietnam. Guru-guru besar memimpin pendarasan dan siswa monastik Thầy berlutut di hadapan altar Buddha serta melakukan namaskara berulang kali kepada Buddha dan Bodhisattwa.

Meditasi makan bersama

Satu jam kemudian, para monastik melakukan prosesi dari aula Buddha ke aula meditasi Bulan Purnama untuk melanjutkan pendarasan sutra dengan menggunakan Bahasa Vietnam. Bukan hanya siswa-siswa monastik Thầy yang bernamaskara pada saat pendarasan, guru-guru besar yang memimpin seremoni ini pun ikut bernamaskara di depan altar Thầy. Pendarasan sutra-sutra dilakukan dengan melodi khas dari kota Huế, sangat indah, unik dan penuh dengan kekuatan.

Di sore harinya, kami mengunjungi taman kenangan tempat Thầy dikremasikan yang berjarak 45 Km dari wihara. Saat itu hujan rintik-rintik, kami melakukan penghormatan kepada Thầy dengan mempersembahkan dupa, bunga dan buah lalu kami mendaraskan Namo Avalokitesvaraya dilanjutkan dengan meditasi jalan di sekitar taman. Setelah selesai, Thầy Pháp Ấn mengatakan bahwa Thầy sangat suka melakukan meditasi jalan ketika hujan rintik-rintik. Kami semua sangat merasakan kehadiran Thầy.

Kota Huế merupakan kota tua dan umat Buddha di sini masih sangat tradisional, monastik yang telah meninggal dikuburkan dan didirikan stupa di atasnya. Ada begitu banyak stupa dan pemakaman umum di kota ini. Ketika pemerintah kota Huế mendapat info bahwa Thầy menginginkan upacara yang sederhana dan dikremasikan, mereka membangun krematorium dari batu bata dan proses kremasi menggunakan kayu.

Stupa piramida kecil di taman kenangan

Setelah krematorium ini selesai dibangun, seorang Maha Guru yang juga sangat dihormati di kota Huế, menginginkan upacara yang sederhana dan dikremasikan, Beliau adalah yang pertama menggunakan krematorium ini. Lalu satu tahun kemudian, Thầy menggunakan krematorium tersebut. Setelah itu, krematorium ini ditutup. Di taman ini didirikan dua monumen untuk mengenang dua Guru besar dan batu bata yang digunakan disusun menjadi bentuk piramida, menjadi saksi telah dikremasikannya dua Guru besar di taman tersebut.

Saya merasa sangat terharu dapat mengikuti rangkaian acara peringatan satu tahun wafatnya Thầy, keberadaan saya di Vietnam membuat saya merasa sangat terhubungkan dengan lebih mendalam kepada wihara akar, para leluhur, Thầy dan kebudayaan serta kehidupan orang Vietnam. (Sr. Trăng Mới Lên; monastik yang berasal dari Indonesia, saat ini tinggal di Lower Hamlet, Plum Village Prancis)