51 Bentukan Mental

51 Bentukan Mental

Tiếng Việt

Sanskerta

English

Indonesia

 

徧行五

5 tâm sở biến hành

sarvatraga

5 Universals

5 Universal

xúc sparśa contact kontak
作意 tác ý mānaskāra attention perhatian
thọ vedanā feeling perasaan
tưởng saṃjñā perception persepsi
cetanā volition kehendak

別境五

5 tâm sở biệt cảnh

viniyata

5 Particulars

5 Partikular

dục chanda intention niat
勝解 thắng giải adhimokṣa determination ketetapan hati
niệm smṛti mindfulness kesadaran penuh
định samādhi concentration konsentrasi
tuệ prajñā (mati) insight wawasan

善十一

11 tâm sở thiện

11 Kuśala

11 Wholesome

11 Hal Bajik

tín śraddhā faith keyakinan
tàm hrī inner shame malu tidak berbuat bajik
quý apatrāpya, apatrapā shame before others takut tidak berbuat bajik
無貪 vô tham alobha absence of craving tanpa keserakahan
無瞋 vô sân adveśa absence of hatred tanpa kebencian
無癡 vô si amoha absence of ignorance tanpa ketidaktahuan
精進 cần vīrya diligence, energy keuletan, semangat
輕安 khinh an praśrabdhi tranquility, ease ketenangan, ketenteraman
不放逸 bất phóng dật apramāda vigilance, energy kewaspadaan, semangat
行捨 hành xả upekṣā equanimity ekuanimitas, non diskriminasi
不害 bất hại ahiṃsā non harming tanpa kekerasan


禪師添

Thầy Nhất Hạnh
thêm

Wholesome M.F.
added by Thầy

Bentukan Mental Bajik yang ditambahkan oleh Thầy

無畏 vô úy abhaya non fear tanpa ketakutan
無憂 vô ưu asóka absence of anxiety tanpa kegelisahan
kiên sthira stability, solidity kekokohan, kestabilan
từ maitri loving kindness cinta kasih
bi karuna compassion welas asih
hỷ mudita joy sukacita
khiêm sagauravatā humility kerendahan hati
lạc sukha happiness kebahagiaan
清涼 thanh lương nirjvara feverlessness kesejukan batin
自在 tự tại vasika freedom/sovereignty kebebasan/kedaulatan

根本煩惱六

6 căn bản
phiền não

6 Kleśa

6 Primary
Unwholesome

6 Kekotoran Batin Utama

tham rāga craving, covetousness keserakahan, ketagihan
sân pratigha hatred kebencian
si mudhi ignorance, confusion ketidaktahuan, kebingungan
mạn māna arrogance kesombongan
nghi vicikitsā doubt, suspicion keraguan, kecurigaan
惡見 kiến dṛṣṭi wrong view pandangan keliru

隨煩惱二十

20 tùy phiền não

được chia làm 3 phần

20 Upakleśa

20 Secondary
Unwholesome

20 Kotoran Batin Sekunder

小隨煩惱十

tiểu tùy: 10

10 Minor Secondary
Unwholesome

10 Kotoran Batin Sekunder Kecil

忿 phẫn krodha anger kemarahan
hận upanāha resentment, enmity kebencian, permusuhan
phú mrakṣa concealment menyembunyikan/merahasiakan sesuatu
não pradāśa maliciousness kedengkian
tật īrṣyā jealousy kecemburuan
xan mātsarya selfishness, parsimony keegoisan, kekikiran
cuống māyā deceitfulness, fraud kecurangan, kebohongan
siễm śāṭhya guile tipu muslihat
hại vihiṃsā desire to harm keinginan untuk menyakiti
kiêu mada pride keangkuhan

中隨煩惱二

trung tùy: 2

2 Middle Secondary
Unwholesome

2 Kotoran Batin Menengah

無慚 vô tàm āhrīkya lack of inner shame tanpa rasa malu berbuat jahat
無愧 vô quý anapatrāpya, anapatrapā lack of shame before others tanpa rasa takut berbuat jahat

大隨煩惱八

đại tùy: 8

8 Greater Secondary
Unwholesome

8 Kotoran Batin Sekunder Besar

掉擧 trạo cử auddhatya restlessness kegelisahan
惛沉 hôn trầm styāna drowsiness ketidur-tiduran
不信 bất tín āśraddhyā lack of faith, unbelief kurang keyakinan
懈怠 giải đãi pramāda laziness kemalasan
放逸 phóng dật kausīdya negligence kelalaian
失念 thất niệm muṣitasmṛtitā forgetfulness kealpaan, tanpa kesadaran penuh
散亂 tán loạn vikṣepa distraction distraksi
不正知 bất chánh tri asaṃprajanya lack of discernment tanpa pikiran tepat

一行禪師添加

Thầy Nhất Hạnh
thêm

Unwholesome M.F.
added by Thầy

Kotoran Batin yang ditambahkan oleh Thầy

恐懼 sợ hãi bhaya fear ketakutan
lo lắng (hồi hộp) soka anxiety kegelisahan
絕望 tuyệt vọng visada despair keputusasaan

不定四

4 tâm sở bất định

aniyata

4 Indeterminate

4 Hal yang Tidak Pasti

hối kaukṛtya regret, repentance penyesalan, pertobatan
miên middha sleepiness rasa kantuk
tầm vitarka initial thought pikiran awal
từ vicāra sustained thought pikiran lanjutan

 

Informasi Workshop Inner Child

Informasi Workshop Inner Child

The cry we hear from deep in our  hearts,  comes from the wounded child within.  Healing this inner  child’s pain is the key healing to transforming anger,  sadness, and fear. “

Thich Nhat Hanh


Workshop Inner Child adalah workshop untuk melatih pendalaman mindfulness terhadap batin (berdasarkan sutra Satipatana, Majjhima Nikāya 10).

Workshop ini bukanlah bertujuan sebagai sesi psikoterapi, pengobatan trauma ataupun penyembuhan gangguan kejiwaan lainnya. Peserta perlu memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki kestabilan mental dan batin. Peserta yang sedang menghadapi masalah berat di saat ini tidak disarankan untuk berpartisipasi.

Workshop ini terdiri dari 4 sesi :

Persyaratan untuk mengikuti workshop ini:

  1. Sudah pernah mengikuti retreat/DOM/NOM dalam tradisi Plumvillage
  2. Benar-benar membuka diri untuk berlatih berdasarkan tradisi Plumvillage
  3. Menginvestasikan waktu untuk melakukan PR yg akan diberikan di kelas ini: Total Relaxation, Sitting Meditation, Eating Meditation.
  4. Komitmen mengikuti 4 sesi kelas.
  5. Usia min. 18 tahun
  6. Dana kontribusi Rp 50.000,- sebagai tanda komitmen untuk mengikuti workshop ini, yang akan didanakan kepada monastik yang membimbing.
  7. Wajib memiliki dan membaca buku “Reconciliation” ditulis oleh Thich Nhat Hanh sebelum mengikuti sesi pertama:

INFORMASI PENDAFTARAN


FORM PENDAFTARAN

Pendaftaran saat ini ditutup. Terima kasih telah berupaya untuk mendaftar. Silakan mengikuti sesi Inner Child berikutnya di kemudian hari.


Mengenali Perasaan dan Emosi

Mengenali Perasaan dan Emosi

Begawan Buddha, berkat latihan kesadaran sepenuhnya dalam bernapas dan berjalan, aku sadar dengan apa yang sedang terjadi di sekelilingku. Aku dapat mengenali berbagai formasi mental pada saat formasi itu muncul. Aku tahu bahwa, luka yang ada dalam leluhur dan orang tuaku, juga merupakan luka aku sejak kecil hingga saat ini, masih berada di dalam kesadaranku. Kadangkala rasa sakit bercampur dengan kesedihan muncul dalam hatiku, dan jika aku tidak tahu bagaimana mengenali, merangkul dan membantunya menjadi tenang, aku bisa saja mengatakan dan melakukan sesuatu yang menyebabkan perpecahan dalam keluarga atau komunitasku. Ketika aku menyebabkan perpecahan di sekitar, aku juga merasa terpisah dari yang lain. Begawan Buddha, aku tekun mengingat ajaranmu, untuk berlatih kesadaran sepenuhnya dalam bernapas dan berjalan, dan menghasilkan lebih banyak energi positif dalam kehidupan sehari-hari. Aku dapat menggunakan energi ini untuk mengenali rasa sakit dalam diriku dan membantunya menjadi tenang. Aku mengetahui bahwa membekap berbagai perasaan dan emosi ketika mereka muncul hanya akan membuat situasi menjadi makin sulit.

Begawan Buddha, berkat ajaranMu, aku tahu perasaan dan emosi ini sebagian besar berasal dari pandangan sempit dan pengertian tidak utuh. Aku mempunyai gagasan keliru mengenai diriku dan orang lain. Aku mempunyai gagasan tentang kebahagiaan dan penderitaan yang tidak dapat aku lepaskan. Aku telah membuat diriku menderita karena gagasan-gagasan tersebut. Sebagai contoh, aku mempunyai gagasan bahwa kebahagiaan dan penderitaan berasal dari luar diriku dan bukan karena pikiranku sendiri. Caraku melihat, mendengar, mengerti dan menilai telah membuatku menderita dan membuat orang yang aku cintai menderita juga. Aku tahu bahwa dengan melepaskan gagasan ini, aku akan lebih bahagia dan lebih damai dalam tubuh dan batin. Dengan melepaskan gagasan sempit dan persepsi keliru, perasaan menderita dan emosiku tidak mempunyai landasan lagi untuk muncul.

Begawan Buddha, aku tahu bahwa aku masih mempunyai banyak persepsi keliru yang mencegahku melihat segala sesuatu apa adanya. Aku berjanji mulai momen ini aku akan berlatih menatap secara mendalam bahwa kebanyakan penderitaanku muncul dari persepsi dan gagasanku. Aku mestinya tidak menyalahkan orang lain ketika aku menderita, tetapi mesti kembali kepada diriku dan mengenali akar dari penderitaan yang sesungguhnya adalah persepsiku yang keliru dan kekuranganku dalam pengertian yang mendalam. Aku mesti berlatih menatap secara mendalam, melepaskan persepsi keliru, dan membantu orang lain melepaskan persepsi kelirunya sehingga mereka juga dapat mengatasi penderitaan.

Menyentuh bumi

Bersujud kepada Bodhisattwa Pengertian Agung, Manjushri (Genta).
Bersujud kepada sesepuh Pengertian Agung, Shariputra (Genta).
Bersujud kepada sesepuh yang mencatat semua ajaran, Ananda (Genta)

Jarak Pandang Pengadilan Pikiran

Jarak Pandang Pengadilan Pikiran
Panorama Farm @PakChong Thailand

Beberapa minggu yang lalu adalah hari-hari menjelang tahun baru Imlek atau dikenal juga sebagai hari raya awal musim semi, saya yang terlahir sebagai etnis Tionghoa dan dibesarkan dalam tradisi Tionghoa, tentu saja menyambutnya dengan suka-cita.

Salah satu tradisi yang masih dipegang teguh adalah membersihkan seluruh rumah, termasuk menggosok kaca jendela agar mengkilat, membersihkan daun pintu, mencuci tirai, dan mengecat dinding rumah.

Selain kesibukan tradisi tersebut, rasanya awal musim semi memang selayaknya disambut gembira oleh seluruh manusia yang terlahir di negara empat musim.

Artinya, musim dingin yang menggigit dan menyusahkan bahkan untuk berjalan saja harus seperti penguin atau tangan/kaki patah akibat jatuh tergelincir telah berlalu digantikan dengan musim semi yang ceria.

Renovasi Rumah

Pada tahun ini, selain membersihkan rumah keluarga kami juga berencana merevonasi bagian rumah yang sudah melapuk. Di tengah pekerjaan renovasi, karena satu dan lain hal tukang bangunan absen seminggu. Akibatnya jadwal selesai pun mulur dan seluruh rumah berantakan, kotor, berdebu lebih lama dari perkiraan, padahal hari raya sudah sangat dekat.

Karena cemas dan gregetan, dalam hati saya membatin, ini si Bapak lama banget kerjanya, masa mengecat dua teralis jendela saja setengah hari tidak selesai-selesai. Saat si Tukang istirahat makan siang, saya ambil kuas dan cat besi, mulai mengecat.

Polesan pertama…. Ugh emulsi catnya memisah, cat dan teralis tidak mau saling menempel. Cat menetes semena-mena ke lantai, menambah kekotoran. Tidak kehilangan akal, saya berhenti mengecat dan mengalasi seluruh lantai dengan koran bekas, kemudian mulai mengecat lagi.

Masalah baru timbul, posisi teralis yang menghadap ke halaman membuat mata menentang cahaya, silau sekali, sukar sekali melihat mana yang belum terkena cat dan mana yang sudah. Makin dicat, makin belepotan, benar-benar tidak beres.

Dengan berteriak saya bertanya, “ini harus dicat dua kalikah?” Si Tukang menjawab, “benar”. Ok, berarti cat pertama belepotan tidak apa, nanti diperhalus dicat kedua. Seluruh teralis jendela akhirnya selesai dan hasilnya bisa ditebak tidak rapi sama sekali. Cat kedua akhirnya diteruskan oleh Tukang yang sudah selesai makan siang.

Jarak Pandang

Kemudian saya beralih membersihkan lantai dan dinding yang terkena percikan cat dan semen. Pada jarak pandang mata dengan objek sekitar 45-50 cm, terlihat jelas hampir seluruh lantai dan dinding dikotori percikan cat dan sisa-sisa semen, ada yang sebesar kancing baju ada pula yang setitik jarum, semua tidak luput dari pandangan saya.

Nih, Tukang jorok sekali kerjanya, kenapa tidak hati-hati saat bekerja, omel saya dalam hati. Keringat yang menetes di dahi dan punggung tak saya hiraukan, sampai berjam-jam kemudian saya menyerah karena pinggang mulai berontak.

Pandangan mata akhirnya lepas dari obyek lantai dan dinding, menjauh, melebar dan makin lebar……tiba-tiba semua terlihat bersih. Haiiiiii…… ke mana hilangnya si titik cat, ke mana hilangnya tetesan semen? Indahnya rumah saya, tidak ada tanda goresan kuas di teralis, tiada debu di sela-sela lantai, tiada percikan cat sedikit pun. Ajaib sekali rasanya tiba-tiba semua telah bersih. Apa benar sudah bersih? penasaran saya memperpendek jarak pandang, dan segala kotoran muncul kembali, mengganggu kembali.

Pengadilan Pikiran

Label “bersih” dan “kotor” sedetik demi sedetik berubah-ubah sedemikian cepat. Saya terhenti mengosok lantai dan merenung, kotor dan bersih adalah persepsi yang dibentuk oleh pengadilan (judgement) pikiran dan pengetahuan bawah sadar bahwa bersih adalah seharusnya begini-begini dan begini dan jika tidak memenuhi kriteria tersebut artinya kotor.

Persepsi makin parah ditambah dengan tudingan bahwa si Tukang bekerja serampangan. Kenyataannya benda-benda itu masih seperti itu adanya. Entah kita labeli dengan istilah bersih atau kotor, benda itu tetap ada di situ, sesuai karakternya.

Bagaimana dengan perasaan hati? Berkaca dari pengalaman bersih dan kotor di atas, jika perasaan hati dibiarkan larut dan intens hanya merasakan sisi kotor saja, maka kita pun akan terus menerus memperkuat kebiasaan untuk menilai segala sesuatu dari sisi buram, sisi kotor… kotor…kotor…kotor. Padahal ada sisi lain, bersih, yang cukup sering kita abaikan.

Alangkah melelahkannya hidup jika berfokus pada sisi buram terus-menerus, lepaskan pandangan dan kita akan melihat matahari masih ada di luar memberikan cahaya dan kehangatan kepada kita, keluarlah dan sentuhlah dunia dengan jiwa lapang, maka hidup pun berseri.

KSHANTICA anggota Ordo Interbeing Indonesia, volunteer retret mindfulness, dan aktif di MBI DKI Jakarta

Apakah Ada yang Salah Baju?

Apakah Ada yang Salah Baju?

Saraswati: Dewi Kearifan dalam tradisi Hindu, Museum New Delhi

Melayari kehidupan seperti layaknya mengarungi samudra, kadang arus bergerak perlahan, tiada angin, kadang permukaan air tenang dengan angin sepoi-sepoi, kadang arus mengganas dengan badai yang terjadi akibat panas dan udara yang lembap dari permukaan laut naik ke atmosfer Bumi, melewati kehidupan berarti bertahan dari perubahan.

Freud menyebut naluri sebagai dorongan internal, ada dorongan untuk bertahan hidup atau melanjutkan keturunan. Kemudian Freud juga menyebutkan dorongan agresi atau kehendak merusak. Naluri atau dorongan ini berkaitan erat dengan insting.

Well-being
Berbicara religiositas maka otomatis mengarah pada psikologis positif (Well-being psychological), psikologis ini sebenarnya menjadi kekuatan untuk menghadapi agresi, karena semua makhluk ingin terus bertahan hidup dan mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kematian. Tak heran jika muncul istilah religius insting yaitu naluri untuk menyembah kekuatan eksternal.

Tak heran banyak pakar setuju bahwa kehidupan religius hendaknya menurunkan kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan, membawa ketenangan kalbu. Jika kehidupan religius tidak mampu mentransformasi kecemasan dan ketakutan yang berasal dari ketidakpastian hidup, maka sia-sia manusia menempuh kehidupan religius.

Penulisan Kitab Suci
Sistem penyebaran Agama Buddha pada zaman dahulu selalu melalui lisan, namun akhirnya muncullah dorongan untuk menuliskan semua ajaran itu. Mencermati alasan di balik penulisan Tipitaka, seorang cendekiawan menulis The Story of Buddhis in Ceylon menyebutkan beberapa hal yang menarik berikut ini:

Sri Lanka yang saat itu disebut sebagai Pulau Lanka sering menjadi sasaran empuk serangan dari kelompok non buddhis. Pada saat itu Mahavihara merupakan pusat penyebaran Agama Buddha, jika banyak terjadi pertempuran dan gejolak politik, tentu saja semua aktivitas di Mahavihara akan terganggu dan ditelantarkan. Guru dan murid mengalami kesulitan bahkan karena satu dan lain hal akan memisahkan mereka sehingga proses pewarisan akan putus.

Sistem pewarisan ajaran secara lisan akan menjadi kelemahan yang signifikan, apalagi berbagai bencana kelaparan mengakibatkan jumlah kematian akan meningkat. Para monastik menyadari sepenuhnya kondisi kelaparan membuat proses penyebaran Dharma menjadi macet, mereka sudah mengalaminya berkali-kali situasi seperti ini.

Kualitas manusia yang bergabung dalam sanggha monastik juga makin hari makin menurun. Mereka yang hanya menumpang hidup atau bahkan tidak bertanggung jawab, mereka tidak bisa menjadi pewaris Dharma. Kitab mahavamsa menyebutkan inilah salah satu alasan penting untuk menuliskan Tipitaka (Mahavamsa 33, 101).

Perpecahan dalam sebuah sekte menjadi sekte baru menjadi pemicu berbahaya juga. Sebut saja perpecahan dalam tubuh Mahavihara sehingga lahirlah Abhayagirivihara dan Raja yang berkuasa saat itu berpihak pada salah satunya, yang seharunsya membantu rekonsiliasi. Para monastik lainnya memilih untuk menulis Tipitaka di pinggiran propinsi, di tempat yang lebih sepi.

Beda Prinsip
Saya cukup lama malang melintang di dunia organisasi buddhis, saya juga sudah bertemu dengan beraneka sifat dari orang yang ikut aktif dalam organisasi demikian. Lumrah melihat semangat mereka naik dan turun, ketika melihat ke dalam diri sendiri, saya juga menyadari bahwa semangat latihan saya juga serupa, sering naik, turun atau malah nyaris hilang.

Perpecahan terjadi berawal dari prinsip yang berbeda. Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahkan ada sekte yang terus berpecah menjadi puluhan sekte baru, ada yang melepaskan diri karena idealisme personal. Pertanyaannya adalah apakah jika seseorang tidak berada di sebuah organisasi besar lagi, lalu dia dicap sebagai orang yang keliru?

Salah Baju
Ketika kita bersama-sama dalam sebuah organisasi, maka kita menyebutnya sebagai satu keluarga spiritual, dengan menggunakan “baju” yang sama. Ketika seseorang mengundurkan diri dari organisasi itu, kedua pihak dianggap sudah putus hubungan keluarga, lalu ketika masing-masing sudah berbeda baju, sehingga satu pihak merasa organisasinya lah yang paling benar, oleh karena itu patutkah pihak sana melontarkan kalimat “kamu salah baju”?.

Sungguh ironis menyebut bajunya sendiri yang paling benar, lalu baju orang lain salah. Ini yang disebut sebagai terjebak pada baju (bungkus) atau container, dan melupakan isi (content). Tampaknya ini kanker yang berpotensi menghadirkan perpecahan makin besar lagi.

Buddhadharma Universal
Saya tetap berpegang pada etika universal, kejernihan batin serta keyakinan saya atas Buddhadharma. Ada beberapa pertanda keyakinan saya tersebut misalnya, saya sangat tersentuh dengan hanya membaca tulisan dalam sebuah video klip singkat yang berjudul Buddha My Father, saat itu seluruh urat nadi saya bergetar dari kepala sampai ke ujung-ujung jari kaki dan tangan, air mata pun berlinang keluar.

Ada beberapa hal lain yang masih membuat saya setia pada Buddhadharma, sebut saja kisah suatu malam saya berpapasan dengan seorang Biksu tradisi Vajrayana, tampaknya beliau barusan selesai memberikan wejangan Dharma, sayang sekali saya tidak ikut program itu, lalu muncul perasaan sedih.

Malam itu ketika saya tidur, saya justru bermimpi mengikuti wejangan Dharma itu. Ada adegan saya berjalan dari kamar kecil kembali ke aula besar tapi saya malah tersesat dan tiba pada ruang sanggha yang mewah dan indah. Saya juga melihat labirin dengan penuh lukisan dan simbol-simbol buddhis berwarna merah muda.

Potongan mimpi selanjutnya terlihat saya sedang berupaya keluar dari labirin dan tiba di lapangan luas di Bodhgaya tempat Yang Mulia Dalai Lama sedang memberikan wejangan Dharma. Dari kejauhan tertampak bangunan khas Bhutan dan Nepal. Ternyata saya terlahir sebagai orang Bhutan pada zaman dahulu. Mimpi saya berakhir di sana.

Fungsi Baju
Saya merasa jejak yang ditinggalkan oleh ajaran Buddha memberi dampak besar, ada benih dalam diri saya yang tersentuh sehingga muncul visualisasi demikian dalam mimpi.

Terserah Anda berada di sekte yang mana, terserah Anda berada di organisasi yang mana, terserah baju apa pun yang Anda kenakan, kita perlu selalu ingat bahwa baju untuk melindungi diri dari panas, sengatan serangga, dan menutupi bagian-bagian tertentu.

Saya yakin, fungsi baju untuk melindungi manusia, sungguh tak bijak apabila hanya sekadar digunakan untuk memupuk sang “aku-organisasi” lalu menuding orang lain salah baju.

*CHÂN MINH TUYỀN (真明泉) anggota Ordo Interbeing Indonesia, volunteer retret mindfulness, wanita karir, sekaligus adalah apoteker yang juga meraih gelar master di bidang manajemen pendidikan

Sutra Lima Cara Memadamkan Api Kemarahan

Sutra Lima Cara Memadamkan Api Kemarahan

Suatu ketika aku mendengar kata-kata ini dari Buddha ketika Beliau sedang menetap di Wihara Anathapindika, di Hutan Jeta daerah Shrawasti.

Suatu hari Bhante Shariputra berkata kepada para biksu, “Sahabatku, hari ini saya ingin menyampaikan kepada Anda semua tentang lima cara memadamkan api kemarahan. Mohon dengarkan dan praktikkanlah dengan sepenuh hati.”

Para biksu menjawab iya dan mendengarkan dengan sepenuh hati.

Bhante Shariputra lalu berkata, “Apakah lima cara memadamkan api kemarahan itu?”

“Cara pertama. Sahabatku yang bijaksana, jika ada seseorang yang tindakannya tak baik namun ucapannya baik, jika kamu marah kepadanya, maka kamu akan tahu bagaimana cara memeditasikannya agar dapat mengakhiri kemarahanmu”

“Sahabatku, seandainya ada seorang biksu yang mempraktikkan pertapaan yang hanya memakai jubah sederhana yang ditambal sulam. Suatu hari ia bepergian keluar dan melihat ada sebuah wadah penuh sampah berisi tinja, urin, lendir, dan banyak kotoran lain, dan dia melihat di situ ada sehelai kain yang masih utuh. Dengan menggunakan tangan kirinya, dia mengambil sehelai kain itu, dan kemudian dengan menggunakan tangan kanan ia memegang dan merentangkannya. Ia mengamati bahwa potongan kain itu tidak robek dan tidak ternoda oleh tinja, urin, lendir, atau kotoran-kotoran lainnya. Jadi, ia melipat dan menyimpannya untuk dibawa pulang, dicuci, dan menjahitnya menjadi bagian dari jubah luarnya. Sahabat-sahabatku, jika kita bisa bersikap bijaksana, ketika seseorang yang tindakannya tak baik tetapi ucapannya baik, kita seharusnya tidak menaruh perhatian pada tindakannya tetapi hanya memperhatikan ucapannya. Hal ini akan membantu memadamkan api kemarahan.

“Sahabatku yang bijaksana, inilah cara kedua. Jika kamu terpancing marah oleh seseorang yang ucapannya tak baik tetapi tindakannya baik, maka kamu akan mengetahui bagaimana memeditasikannya agar dapat mengakhiri kemarahanmu.

“Sahabatku, andaikan saja tidak jauh dari desa ini ada sebuah danau yang dalam dan permukaannya tertutup alga dan rumput. Ada seseorang yang kehausan, menderita kepanasan, datang mendekati danau tersebut. Dia menanggalkan pakaiannya, melompat ke dalam danau itu dan menggunakan tangannya untuk menyingkirkan alga dan rumput, menikmati mandi sembari meminum air segar. Demikian juga, sahabatku, sama halnya dengan seseorang yang ucapannya tak baik tetapi tindakannya baik. Jangan menaruh perhatian pada ucapannya. Tetapi menaruh perhatian pada tindakannya yang baik akan bisa memadamkan api kemarahanmu. Orang bijak seharusnya mempraktikkan cara ini.

“Ini adalah cara ketiga, sahabatku yang bijaksana. Jika ada seseorang yang tindakan dan ucapannya tidak baik tetapi dia masih memiliki sedikit kebaikan di hatinya seandainya kamu marah kepadanya, maka kamu akan tahu bagaimana memeditasikannya untuk mengakhiri kemarahanmu.

“Sahabatku, seandainya ada seseorang tiba di persimpangan jalan. Dia lemah, kehausan, miskin, kepanasan, tertekan, dan dipenuhi dengan penderitaan. Ketika dia tiba di persimpangan, dia melihat jejak kaki seekor banteng dengan sedikit genangan air hujan di dalamnya. Dia berpikir, “Ada secuil air di dalam jejak kaki banteng. Jika aku menggunakan tanganku atau daun untuk menciduk air itu, aku bisa saja dengan tidak sengaja mengaduk air tersebut, maka air itu akan keruh dan tidak dapat diminum lagi. Oleh sebab itu, aku harus berlutut dan merebahkan tangan di atas tanah, menyentuhkan bibir ke air itu dan langsung meminumnya. Seketika itu dia melakukannya. Sahabatku, ketika kamu melihat seseorang yang tindakan dan ucapannya tidak baik, tetapi masih ada sedikit kebaikan hati, jangan menaruh perhatian pada tindakan dan ucapannya, tetapi perhatikanlah kebaikan yang sedikit itu sehingga kamu bisa memadamkan api kemarahanmu. Orang bijak seharusnya mempraktikkan cara ini.

“Ini adalah cara keempat, Sahabatku yang bijaksana. Jika ada seseorang yang tindakan dan ucapannya tidak baik, juga di dalam hatinya tidak ada kebaikan walaupun hanya sedikit, kamu marah kepadanya, apabila kamu cukup bijaksana, maka kamu akan tahu bagaimana memeditasikannya untuk memadamkan api kemarahanmu.

“Sahabatku, andaikan ada seseorang jatuh sakit dalam perjalanan. Dia sendirian, kelelahan, dan tidak ada desa di sekitarnya. Dia akan putus asa, mengetahui dia akan segera mati sebelum dapat menuntaskan perjalanannya. Jika saat itu, ada seseorang datang dari jauh dan melihat keadaan laki-laki tersebut, dia segera memapahnya dan membimbingnya menuju desa terdekat, di mana dia dapat merawat, mengobati, dan memastikan bahwa dia mendapatkan segala hal yang dibutuhkan, dari pakaian, obat-obatan, dan makanan. Berkat belas kasih dan welas asih, hidup laki-laki tersebut terselamatkan. Jadi Sahabatku, ketika engkau melihat seseorang yang ucapan dan tindakannya tidak baik, dan di dalam hatinya tidak ada kebaikan walaupun hanya sedikit, munculkan pikiran: ‘Seseorang yang ucapan dan tindakannya tidak baik dan di dalam hatinya tidak ada kebaikan walaupun hanya sedikit, sesungguhnya dia adalah orang yang benar-benar menderita. Kecuali ia bertemu sahabat spiritual yang baik, jika tidak, maka tak ada kesempatan baginya untuk bertransformasi dan merealisasikan kebahagiaan.’ Membangkitkan pola pikiran demikian, engkau akan mampu membuka pintu hatimu dengan cinta dan belas kasih terhadap orang tersebut. Engkau akan mampu memadamkan api kemarahanmu dan menolongnya. Orang bijak seharusnya mempraktikkan cara ini.

“Sahabatku yang bijaksana, inilah cara kelima. Jika ada seseorang yang tindakan, ucapan, dan pikirannya baik, lalu kamu marah kepadanya, maka kamu akan tahu bagaimana cara memeditasikannya untuk memadamkan api kemarahanmu.

“Sahabatku, seandainya tidak jauh dari desa ada sebuah danau yang sangat indah. Air di danau tersebut sangat jernih dan manis, dasar danau itu datar, pinggiran danau banyak tumbuh rumput hijau, dan di sekeliling pohon-pohon segar dan indah menaunginya. Seseorang yang kehausan, menderita karena kepanasan, yang tubuhnya penuh dengan peluh, datang ke danau tersebut, menanggalkan pakaiannya lalu melompat ke air, dan ia merasakan kenyamanan dan menikmati minum dan mandi di air jernih. Panas, haus, dan derita tiba-tiba lenyap. Sama halnya, sahabatku, ketika engkau melihat seseorang yang tindakan, ucapan, dan pikirannya baik, berikan perhatianmu terhadap semua kebaikan tubuh, ucapan, dan pikiran, dan jangan biarkan kemarahan dan keirihatian menyelimutimu. Jika engkau tidak tahu bagaimana hidup bahagia dengan seseorang yang segar seperti yang dijelaskan di atas, engkau tidak patut disebut orang bijaksana.

“Sahabatku terkasih, saya telah menyampaikan tentang lima cara memadamkan api kemarahan.”
Ketika para biksu selesai mendengar nasihat Bhante Shariputra, mereka berbahagia, menerimanya, dan mempraktikkannya.

Madhyama Agama 25
Sesuai dengan Aghata Winaya Sutta
[Ceramah Tentang Air Sebagai Contoh], Anguttara Nikaya 5.162