Apakah Ada yang Salah Baju?

Saraswati: Dewi Kearifan dalam tradisi Hindu, Museum New Delhi

Melayari kehidupan seperti layaknya mengarungi samudra, kadang arus bergerak perlahan, tiada angin, kadang permukaan air tenang dengan angin sepoi-sepoi, kadang arus mengganas dengan badai yang terjadi akibat panas dan udara yang lembap dari permukaan laut naik ke atmosfer Bumi, melewati kehidupan berarti bertahan dari perubahan.

Freud menyebut naluri sebagai dorongan internal, ada dorongan untuk bertahan hidup atau melanjutkan keturunan. Kemudian Freud juga menyebutkan dorongan agresi atau kehendak merusak. Naluri atau dorongan ini berkaitan erat dengan insting.

Well-being
Berbicara religiositas maka otomatis mengarah pada psikologis positif (Well-being psychological), psikologis ini sebenarnya menjadi kekuatan untuk menghadapi agresi, karena semua makhluk ingin terus bertahan hidup dan mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kematian. Tak heran jika muncul istilah religius insting yaitu naluri untuk menyembah kekuatan eksternal.

Tak heran banyak pakar setuju bahwa kehidupan religius hendaknya menurunkan kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan, membawa ketenangan kalbu. Jika kehidupan religius tidak mampu mentransformasi kecemasan dan ketakutan yang berasal dari ketidakpastian hidup, maka sia-sia manusia menempuh kehidupan religius.

Penulisan Kitab Suci
Sistem penyebaran Agama Buddha pada zaman dahulu selalu melalui lisan, namun akhirnya muncullah dorongan untuk menuliskan semua ajaran itu. Mencermati alasan di balik penulisan Tipitaka, seorang cendekiawan menulis The Story of Buddhis in Ceylon menyebutkan beberapa hal yang menarik berikut ini:

Sri Lanka yang saat itu disebut sebagai Pulau Lanka sering menjadi sasaran empuk serangan dari kelompok non buddhis. Pada saat itu Mahavihara merupakan pusat penyebaran Agama Buddha, jika banyak terjadi pertempuran dan gejolak politik, tentu saja semua aktivitas di Mahavihara akan terganggu dan ditelantarkan. Guru dan murid mengalami kesulitan bahkan karena satu dan lain hal akan memisahkan mereka sehingga proses pewarisan akan putus.

Sistem pewarisan ajaran secara lisan akan menjadi kelemahan yang signifikan, apalagi berbagai bencana kelaparan mengakibatkan jumlah kematian akan meningkat. Para monastik menyadari sepenuhnya kondisi kelaparan membuat proses penyebaran Dharma menjadi macet, mereka sudah mengalaminya berkali-kali situasi seperti ini.

Kualitas manusia yang bergabung dalam sanggha monastik juga makin hari makin menurun. Mereka yang hanya menumpang hidup atau bahkan tidak bertanggung jawab, mereka tidak bisa menjadi pewaris Dharma. Kitab mahavamsa menyebutkan inilah salah satu alasan penting untuk menuliskan Tipitaka (Mahavamsa 33, 101).

Perpecahan dalam sebuah sekte menjadi sekte baru menjadi pemicu berbahaya juga. Sebut saja perpecahan dalam tubuh Mahavihara sehingga lahirlah Abhayagirivihara dan Raja yang berkuasa saat itu berpihak pada salah satunya, yang seharunsya membantu rekonsiliasi. Para monastik lainnya memilih untuk menulis Tipitaka di pinggiran propinsi, di tempat yang lebih sepi.

Beda Prinsip
Saya cukup lama malang melintang di dunia organisasi buddhis, saya juga sudah bertemu dengan beraneka sifat dari orang yang ikut aktif dalam organisasi demikian. Lumrah melihat semangat mereka naik dan turun, ketika melihat ke dalam diri sendiri, saya juga menyadari bahwa semangat latihan saya juga serupa, sering naik, turun atau malah nyaris hilang.

Perpecahan terjadi berawal dari prinsip yang berbeda. Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahkan ada sekte yang terus berpecah menjadi puluhan sekte baru, ada yang melepaskan diri karena idealisme personal. Pertanyaannya adalah apakah jika seseorang tidak berada di sebuah organisasi besar lagi, lalu dia dicap sebagai orang yang keliru?

Salah Baju
Ketika kita bersama-sama dalam sebuah organisasi, maka kita menyebutnya sebagai satu keluarga spiritual, dengan menggunakan “baju” yang sama. Ketika seseorang mengundurkan diri dari organisasi itu, kedua pihak dianggap sudah putus hubungan keluarga, lalu ketika masing-masing sudah berbeda baju, sehingga satu pihak merasa organisasinya lah yang paling benar, oleh karena itu patutkah pihak sana melontarkan kalimat “kamu salah baju”?.

Sungguh ironis menyebut bajunya sendiri yang paling benar, lalu baju orang lain salah. Ini yang disebut sebagai terjebak pada baju (bungkus) atau container, dan melupakan isi (content). Tampaknya ini kanker yang berpotensi menghadirkan perpecahan makin besar lagi.

Buddhadharma Universal
Saya tetap berpegang pada etika universal, kejernihan batin serta keyakinan saya atas Buddhadharma. Ada beberapa pertanda keyakinan saya tersebut misalnya, saya sangat tersentuh dengan hanya membaca tulisan dalam sebuah video klip singkat yang berjudul Buddha My Father, saat itu seluruh urat nadi saya bergetar dari kepala sampai ke ujung-ujung jari kaki dan tangan, air mata pun berlinang keluar.

Ada beberapa hal lain yang masih membuat saya setia pada Buddhadharma, sebut saja kisah suatu malam saya berpapasan dengan seorang Biksu tradisi Vajrayana, tampaknya beliau barusan selesai memberikan wejangan Dharma, sayang sekali saya tidak ikut program itu, lalu muncul perasaan sedih.

Malam itu ketika saya tidur, saya justru bermimpi mengikuti wejangan Dharma itu. Ada adegan saya berjalan dari kamar kecil kembali ke aula besar tapi saya malah tersesat dan tiba pada ruang sanggha yang mewah dan indah. Saya juga melihat labirin dengan penuh lukisan dan simbol-simbol buddhis berwarna merah muda.

Potongan mimpi selanjutnya terlihat saya sedang berupaya keluar dari labirin dan tiba di lapangan luas di Bodhgaya tempat Yang Mulia Dalai Lama sedang memberikan wejangan Dharma. Dari kejauhan tertampak bangunan khas Bhutan dan Nepal. Ternyata saya terlahir sebagai orang Bhutan pada zaman dahulu. Mimpi saya berakhir di sana.

Fungsi Baju
Saya merasa jejak yang ditinggalkan oleh ajaran Buddha memberi dampak besar, ada benih dalam diri saya yang tersentuh sehingga muncul visualisasi demikian dalam mimpi.

Terserah Anda berada di sekte yang mana, terserah Anda berada di organisasi yang mana, terserah baju apa pun yang Anda kenakan, kita perlu selalu ingat bahwa baju untuk melindungi diri dari panas, sengatan serangga, dan menutupi bagian-bagian tertentu.

Saya yakin, fungsi baju untuk melindungi manusia, sungguh tak bijak apabila hanya sekadar digunakan untuk memupuk sang “aku-organisasi” lalu menuding orang lain salah baju.

*CHÂN MINH TUYỀN (真明泉) anggota Ordo Interbeing Indonesia, volunteer retret mindfulness, wanita karir, sekaligus adalah apoteker yang juga meraih gelar master di bidang manajemen pendidikan