Satu Kesatuan Yang Saling Terhubungkan

Retret Nyepi Maret 2024, di Pondok Sadhana Suddhi Bhavana, Cimahi

Saya awalnya ragu untuk ikut retreat Nyepi Maret 2024. Alasannya karena mengingat Desember tahun lalu, lama perjalanan Jakarta – Bandung 5 jam, kemudian Bandung ke Jakarta sekitar 4 jam. Tapi mulai berpikir cari pembelaan, sepertinya akan lancar long weekend ini karena biasanya saat mulai atau selama bulan puasa, jalanan Jakarta – Bandung – Jakarta lebih sepi #harapan.

Setelah pulang retreat Desember, kebetulan ada kumpul keluarga lalu ditanya, kegiatannya apa saja dan apa yg didapat selama retreat. Dan tentu saja semua pengalaman dan pelajaran yang baik ataupun kurang baik (menurut pendapatku) aku ceritain, dan ternyata berhasil sepupuku Indira mau ikut retreat. Jadi lebih yakin mau ke Bandung karena ada navigator yg bisa diajak ngobrol, curhat, nyanyi bareng sepanjang perjalanan walau kena macet.

Saya telat sampai di Pondok Sadhana Suddhi Bhavana (PSSB), ikut briefing sebentar langsung meditasi jalan di hutan. Selama meditasi jalan, yang menjadi perhatian saya bukan menyadari napas atau menyadari langkah kaki, tapi sandal yang menginjak tanah, kaki yang kena tanah, celana yang kena cipratan tanah. Sepanjang meditasi jalan saya sibuk dengan mengangkat-angkat celana supaya tidak kotor, pikiran sibuk ke belakang – harusnya tadi di jalan lebih cepat jadi tidak terlambat dan bisa ganti celana duluan, lalu sibuk ke depan – habis ini cuci kaki, bersihkan sandal, ganti celana, bersihkan celana, ke Gedung Serba Guna (GSG) menaruh tas, pilih tempat tidur, pindahkan mobil dst.

Meditasi jalan walaupun hujan
Meditasi jalan menikmati pemandangan

Selama sibuk sendiri dengan langkah dan pikiran, lalu saya melihat Bhante dan teman-teman melangkahkan kaki dan jalan dengan tenang, menikmati udara sekitar. Melihat itu semua seperti reminder bagi saya untuk kembali ke momen ini, coba menyadari napas masuk keluar, menyadari langkah kaki kanan kiri, mengabaikan tanah yang menempel di sandal, kaki, celana, merasakan cuaca saat itu, dan dari sini baru menyadari peranan dan pentingnya komunitas dalam berlatih.

Di malam hari saat pembabaran Sutra Lima Cara Memadamkan Api Kemarahan, saya terkesan dengan cara keempat. Selama ini kalau saya dihadapkan dengan orang yang perbuatan, ucapan, niatnya buruk, maka saya anggap orang itu sebagai orang yang jahat, kejam, tidak berperikemanusiaan dsb. Jika kemarahan saya sudah muncul, dan pada akhirnya saya berpikir, biarkan saja dia buruk seperti itu toh nanti dia sendiri yang akan terima akibatnya (sekarang saya pikir ini lebih seperti menyumpahi).

Lalu di cara keempat dalam Sutra tersebut disebutkan bahwa sesungguhnya dia adalah orang yang benar benar menderita, jika kita bisa membuka pintu hati dengan cinta dan belas kasih, maka kita bisa memadamkan bara api kemarahan dan menolong orang tersebut untuk bertransformasi dan merealisasikan kebahagiaan. Selama ini saya berpikir bahwa orang tersebut yang membuat orang lain menderita, tapi setelah mendengar cara keempat ini, saya akan coba belajar untuk mempraktikkan dengan berpikir sebaliknya bahwa sebenarnya orang tersebutlah yang paling menderita.

Saya pernah lihat judul buku “No Mud, No Lotus” oleh Thich Nhat Hanh. Saya belum baca buku itu, hanya sinopsisnya dan sejauh yang saya mengerti adalah tanpa penderitaan (ibarat : lumpur), kamu tidak bisa menemukan kebahagiaan (ibarat : bunga teratai). Penderitaan dan kebahagiaan seperti satu kesatuan yang saling terhubungkan. Di sinopsis buku itu ditulis cara mendapatkan kebahagiaan adalah dengan mengakui atau merangkul (bukan lari menghindar) penderitaan dan mengubahnya. Ceramah dari Bhante mengenai transformasi ini juga yang menjadi salah satu pelajaran dan PR buat saya praktikkan. Sekarang saya berpikir “No Mud, No Lotus” apakah pengertiannya sama dengan proverb yang lebih sering didengar “No Pain, No Gain” ?

No Mud No Lotus, Thich Nhat Hanh @ParallaxPress

Terima kasih kepada Bhante Nyanayasha atas pembacaan Sutra, sharing dan ceramah Dharma yang diberikan. Semoga apa yang saya dapatkan dari retreat ini, dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Terima kasih kepada pengurus PSSB, para volunteer, panitia, peserta retreat, yang sudah merencanakan, melaksanakan, mendukung, berbagi pelajaran dan pengalaman selama retreat. Datang ke retreat ini rasanya seperti datang ke konser musik; selain bisa melupakan stress dan merasakan ambience yg nyata, batin juga mendapatkan nutrisi.

Terima kasih kepada tim security, tim dapur, dan khususnya Pak Asep yang sudah membantu mengatasi kesalahan saya.

Saya minta maaf juga karena kekepoan saya kemarin jadinya salah satu fasilitas di PSSB rusak.

Semoga bisa bertemu lagi di kesempatan lainnya. (Clarissa)