Pesan Thich Nhat Hanh untuk Generasi Muda

Pesan Thich Nhat Hanh untuk Generasi Muda

Dikutip dari salah satu buku Thay “Nói với tuổi hai mươi” (diterbitkan pada tahun 1960-an), disusun dan diterjemahkan oleh Brother Phap The dan teman-teman.

Revolusi
Bukan hanya orang tua saja yang telah meninggalkan mimpi mereka. Banyak anak muda juga telah meninggalkan mimpi mereka. Mungkin mereka terlihat seperti “mayat hidup” bagimu, tetapi kamu perlu memberi ruang bagi mereka. Mereka membutuhkan cinta, sama halnya seperti kita semua. Kita ada di sini hari ini karena kita sadar akan situasi yang terjadi di masyarakat. Kita tidak ingin hidup di dalam ilusi ataupun mati di dalam ilusi. Kita harus memberontak melawan kekuatan yang mengarahkan hidup kita pada kehidupan yang tidak bermakna dan penuh ilusi. Kuncinya adalah mengetahui bagaimana caranya ‘memberontak’. Ada cara-cara memberontak yang hanya akan menciptakan lebih banyak keterikatan dan penderitaan. Namun, ada juga cara-cara pemberontakan yang dapat memberi kita kebebasan yang sesungguhnya. Ini adalah apa yang ingin saya sampaikan kepadamu hari ini.

Jangan mengharapkan perubahan untuk datang dari luar. Namun, jika di dalam dirimu, kamu masih diliputi oleh kesepian dan ketakutan, kamu juga tidak dapat melakukan apa-apa. Di masa lalu, banyak dari mereka yang memberontak, tetapi dengan penuh kekeliruan dan pemisahan. Oleh karena itu masyarakat menghukum, membenci, dan mengabaikan mereka. Sebagai gantinya, rasa kesepian dan kebencian makin bertumbuh di dalam diri mereka.

Rasa Kesepian
Kadang kita merasa sangat sendirian. Bahkan, di dalam keluarga kita sendiri pun kita juga merasa sendirian. Kita menarik diri, berharap dapat menemukan kedamaian, tetapi nyatanya tidak berhasil. Kemudian kita mencoba membuat diri kita tenggelam di tengah keramaian. Namun, ketika kelompok tersebut bubar, kita merasa kesepian, lebih dari yang kita rasakan sebelumnya. Kita tidak memiliki keberanian untuk menghadapi rasa kesepian kita. Kita terus saja berlari hari demi hari. Janganlah terus tenggelam dalam lautan kesepian yang kamu ciptakan. Belajarlah untuk menenangkan pikiranmu, sehingga badai di dalam dirimu dapat tenang, dan langit bisa cerah. Ingatkanlah dirimu bahwa kesulitan merupakan bagian dari hidup manusia pada umumnya, dengan demikian kamu akan mampu untuk mengatasi penderitaan dalam dirimu. Kamu tidak sendirian dan hidup sangatlah berharga untuk dijalani. Hidup itu indah. Langit biru di dalam matamu adalah keajaiban. Matamu juga merupakan keajaiban. Jagalah tubuh dan pikiranmu. Mereka merupakan manifestasi dari kehidupan, kebenaran dan anugerah.

Kebutuhan mendalam dan kebutuhan superfisial
Saya merasa prihatin melihat begitu banyak orang menyia-nyiakan hidup mereka. Mereka tidak tahu bagaimana hidup seutuhnya. Mereka tidak tahu bagaimana cara mendengarkan suara hati mereka. Mereka terus mengejar hal-hal yang tidak diperlukan, tanpa mencari tahu apa yang sebenarnya paling berharga dalam hidup ini.

Kita telah menciptakan begitu banyak kebutuhan artifisial bagi diri kita sendiri. Banyak dari kita merasa “perlu” minum alkohol, menggunakan narkoba. Kita menjadi kecanduan dan membiarkan hal-hal tersebut mengatur hidup kita. Realitanya adalah kita tidak pernah membutuhkan alkohol ataupun obat-obat terlarang. Hal-hal tersebut tidak membantu kita untuk bertumbuh dengan baik, sebaliknya, justru membuat diri kita hancur. Kebutuhan kita yang sejati selayaknya akan membuat diri kita menjadi lebih baik, serta membawa kedamaian, kegembiraan, dan kebebasan bagi diri kita.

Ada orang yang tidak bisa tinggal diam ketika mereka mendengar teman mereka mengalami kecelakaan. Entah hujan ataupun cerah, tidak peduli malam ataupun siang, mereka akan segera pergi untuk membantu tanpa ragu. Mereka melakukan hal ini karena kebutuhan: kebutuhan untuk mencintai. Kebutuhan mendalam ini menggerakkan seseorang untuk mengekspresikan dan mengembangkan sifat tertinggi mereka.

Keberhasilanmu bergantung pada kemampuan untuk memahami antara apa yang benar-benar kamu butuhkan dan apa yang tidak kamu butuhkan. Jika kamu meluangkan waktu untuk mendengar hatimu, kamu akan mampu mendengar kebutuhan paling dalam untuk bertumbuh, memahami, dan cinta, serta kamu akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkembang. Saya jamin: Saya tidak ingin membuat kamu menjadi seorang “Buddhis yang sempurna”, saya juga tidak meminta kamu untuk melepaskan kegembiraan masa muda yang kamu miliki. Sebaliknya, saya ingin melihat kamu bebas, bebas untuk tumbuh dan menyentuh kebahagiaan sejati. Saya ingin melihat kamu bebas, tapi, perlu kamu sadari bahwa kebebasan tanpa pemahaman dapat menjadi sumber penderitaan. Kamu bebas memilih apa yang akan kamu makan, tetapi, jika kamu tidak tahu makanan apa yang baik untuk tubuhmu, cepat atau lambat, kamu akan menderita karena akibatnya. Agar menjadi benar-benar bahagia, kebebasan harus berjalan beriringan dengan pemahaman.

Aspirasi
Mendengar apa yang diinginkan oleh hatimu sudah termasuk menyentuh kebahagiaan. Kamu tidak perlu “menciptakan” suatu mimpi atau aspirasi. Mimpimu sudah ada di dalam dirimu, sebagaimana tujuan sudah ada di jalur. Kamu hanya perlu menyesuaikan arahnya. Alihkan haluan hidupmu selagi masih ada waktu. Gunakan energi yang kamu miliki.

Terkadang kamu memiliki pandangan bahwa orang yang lebih tua pasti memiliki kekuatan yang lebih besar dari dirimu. Kamu mengkritik mereka karena mereka tidak menggunakannya dengan bijak dan gagal membantu masyarakat. Namun, jika kamu berada di posisi mereka, kamu akan sadar bahwa mereka juga memiliki kesulitan mereka sendiri. Jangan berharap terlalu banyak dari mereka, jangan berkecil hati, dan jangan putus asa. Dengan demikian kamu dapat menghemat banyak energi. Jangan berpikir bahwa hanya pemerintah revolusioner yang dapat memimpin revolusi. Karena mungkin kamu akan menunggu selamanya.

Sebaliknya, gunakan kecerdasan, bakat dan sumber daya yang kamu miliki. Lakukan apa yang dapat kamu lakukan sesuai kemampuanmu. Revolusi atau perubahan sesungguhnya dimulai dari bawah ke atas. Semua hal positif yang kamu tawarkan akan memberikan pengaruh yang lebih baik bagi masyarakat. Saya yakin kamu dapat membantu menciptakan dunia yang lebih baik, sebagaimana saya yakin bahwa potensi generasi muda tidak terbatas.

Edukasi
Mari kita berbicara tentang pendidikan. Mengapa kita belajar? Untuk lulus ujian? Untuk mendapat gelar? Untuk mencapai posisi tertentu di masyarakat? Apakah hal-hal tersebut hanyalah alasannya? Tidak. Alasan pertama dan terpenting untuk belajar adalah untuk mendapatkan kegembiraan dari belajar dan membuka wawasan baru.

Ada banyak hal yang bisa kita temukan, namun kita tidak boleh menutup mata terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitar kita. Dalam beberapa tahun terakhir, saya telah mengurangi studi saya tentang agama Buddha dan filsafat agama, agar saya memiliki lebih banyak waktu untuk belajar tentang cara membangun komunitas, pekerjaan sosial, dan pertanian. Dulu, saya tidak terlalu tertarik mempelajari hal-hal ini, tetapi sekarang saya senang meneliti hal-hal ini karena saya tahu betapa penting dan bermanfaat pengetahuan ini.

Namun, berhati-hatilah dengan pengetahuan intelektual semata, karena hal tersebut bisa menjadi sangat abstrak. Tetaplah melihat realitas, periksalah semua yang kamu pelajari, dan simpanlah hal-hal yang memang dilandasi pada pengalaman nyata dari kehidupan. Janganlah kamu berpikir bahwa kamu tidak akan bisa melampaui gurumu. Teruslah belajar. Jangan terjebak pada apa yang telah kamu pelajari, karena hal ini akan mencegah dirimu untuk mengenal dan merangkul gagasan serta wawasan baru.

Cinta
Cinta adalah kebutuhan dasar setiap orang. Hanya dengan cinta, dalam bentuk apapun, asalkan cinta itu sehat dan sejati maka dapat memecahkan dinding kesepian.

Bagi sebagian besar dari kita, Ibu kita adalah orang pertama yang mengajarkan kita tentang cinta. Saat kita lahir, kita masih sangat kecil, sangat lemah, dan tidak mampu membela diri kita sendiri. Kapanpun kita membutuhkan ibu kita, kita hanya perlu menangis, dan Ibu kita akan langsung muncul bagaikan malaikat di samping kita. Hanya dengan seperti itulah kita bisa merasa lengkap dan bahagia. Cinta selalu menjadi jawaban atas suatu kebutuhan, kekurangan, dan penderitaan. Seiring dengan tumbuhnya kamu menjadi pribadi yang lebih mandiri, kamu makin lama makin tidak terlalu membutuhkan ibu dan ayah. Itulah mengapa rasa cinta yang kamu miliki untuk mereka mungkin dapat sedikit berkurang. Namun, aliran cinta antara dirimu dan orang tuamu masih tetap hidup, jauh di dalam dirimu. Kamu hanya perlu kembali kepadanya, membiarkan rasa cinta itu muncul kembali dan menyegarkan hubunganmu.

Sekarang saya ingin berbagi dengan Anda tentang cinta romantis. Kamu mungkin akan bertanya-tanya atas dasar apa seorang biksu dapat berbicara tentang cinta romantis. Namun, saya masih memiliki pandangan pribadi yang ingin saya bagikan denganmu. Pada usiamu sekarang ini, cinta romantis dapat menjadi sebuah panggilan kuat, yang dapat dengan mudah menutupi panggilan-panggilan lain di dalam hatimu. Menutupi, tapi tidak berarti membuatnya tidak bersuara.

Cinta memiliki kekuatan yang luar biasa. Cinta dapat membantu menyembuhkan luka yang dalam atau mewujudkan aspirasi yang besar, asalkan kamu tahu bagaimana menunggunya, mengenalinya, menyambutnya, melakukannya, melindunginya, merawatnya, serta mengarahkannya. Tentu saja, kamu akan menemukan berbagai kesulitan dan kesedihan. Tetapi jangan khawatir. Belajarlah dari pengalamanmu, sehingga kamu mampu mencintai dengan lebih baik dan lebih baik lagi.

Hubungan romantis yang pahit penuh dengan penderitaan dan bisa sangat merusak. Kamu tahu bahwa hubungan yang kamu jalani bersifat membangun ketika hubungan itu membantu dirimu untuk mencintai kehidupan, dan mengisi dirimu dengan antusiasme, keberanian, kekuatan, dan dedikasi. Tidaklah mudah untuk menemukan pasangan yang tepat. Jangan berpikir bahwa keindahan fisik, talenta, atau reputasi dapat menjadi tolak ukur untuk menjamin sebuah hubungan yang memuaskan. Cobalah untuk memahami orang lain – karakter, preferensi, aspirasi, dan tujuan hidup mereka. Kemudian tanyalah pada dirimu apakah mereka cocok untukmu. Cocok tidak berarti harus sama, tetapi lebih kepada tidak saling bertentangan, dan mampu melengkapi satu sama lain.

Pasangan yang cerdas tahu bagaimana cara menyelaraskan aspirasi mendalam mereka. Menemukan pasangan yang tepat dan mampu mencintai dengan cara yang tepat merupakan suatu kebahagiaan yang besar. Ingatkan dirimu sesering mungkin, dan biarkan orang lain mengetahui betapa beruntungnya kamu dapat bersama dengan pasanganmu. Kesadaran ini akan membantu dirimu untuk menghargai hubungan yang kamu miliki dan mencegah keretakan hubungan yang diakibatkan kecerobohan. Kamu tidak akan mampu untuk menghindari rasa frustasi dan cemburu. Tetaplah tenang, jangan melakukan sesuatu dengan gegabah dan jangan membesar-besarkan masalah.

Cinta romantis menjawab kebutuhan alami dari tubuh dan jiwa manusia. Sementara beberapa orang mungkin memandang cinta romantis tidak lebih dari sebuah kesepakatan yang nyaman di antara dua orang, cinta romantis juga dapat menjadi pintu menuju cinta yang lebih luas dan lebih besar.

Cinta seperti layaknya semua hal lainnya, lahir, bertahan selama beberapa waktu, dan kemudian akan berlalu. Seperti sebatang pohon yang indah di tamanmu, cinta membutuhkan perawatan dan perlindungan agar dapat tetap sehat untuk waktu yang lama.

Pada akhirnya, cinta bukan hanya sekadar kelembutan. Cinta juga mencakup kesabaran, keberanian, dan pengorbanan. Cinta adalah kebutuhan dasar manusia, itulah mengapa kamu tidak akan mampu untuk tidak mencintai.

Spiritualitas
Tujuan dari agama adalah untuk berhubungan. Agama yang sejati tidak pernah memisahkan.

Agama, bagi kebanyakan orang, tidak lebih dari seperangkat kebiasaan dan ritual yang diturunkan turun temurun dari keluarga dan masyarakat. Entah karena kemalasan atau kurangnya ketertarikan, banyak orang yang merasa puas dengan pemahaman yang dangkal tentang agama mereka. Mereka tidak memeriksa kebenaran dari ajaran-ajaran agama melalui pengalaman mereka sendiri, apalagi mempraktikkan ajaran tersebut untuk membuat mereka lebih baik dan memulihkan. Orang-orang seperti ini cenderung lebih menunjukkan dogmatisme dan sikap intoleransi.

Jika kamu menganut agama tertentu, janganlah menjadi seperti mereka. Pelajarilah agamamu dengan cerdas, dengan segala keindahan dan kedalamannya, sehingga agamamu dapat mengembangkan kehidupan spiritualmu. Agama yang sehat adalah agama yang hidup. Ia harus mampu berkembang dan belajar untuk menjawab kesulitan-kesulitan semasa hidup kita.

Bertemulah dengan teman-teman dari agama lain. Bukalah hatimu kepada satu sama lain dan belajar untuk bekerja bersama. Bekerjalah dengan niat murni untuk melayani orang, bukan untuk memperluas kekuasaan dan pengaruh dari kelompok sendiri.

Agama harus melayani kemanusiaan, bukan sebaliknya. Jangan biarkan siapa pun menderita atau kehilangan hidup mereka atas nama agama. Suasana ini seringkali masih kental dalam komunitas spiritual. Kita membutuhkan keterbukaan, kreativitas, dan keterampilan dari generasi muda.

Kesimpulan
Terima kasih telah mengikuti tulisanku sampai saat ini. Dalam berbicara denganmu, saya tidak membandingkan kewenangan atau figur tertentu. Saya ingin kita menggunakan kemampuan kita sendiri untuk melihat secara langsung ke dalam diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Saya telah berbagi denganmu pandangan pribadi saya tentang kebutuhan dasar manusia akan cinta dan pengertian.

Adalah cinta yang dapat membantu kamu mengatasi ketakutan dan isolasi. Adalah pengertian yang dapat membawamu ke jantung kemanusiaan, kehidupan, dan kosmos. Pengertian dan cinta akan membuka dirimu pada situasi nyata masyarakat dan planet ini, serta akan memandumu dalam pilihan yang kamu ambil.

Ranselmu sudah penuh. Sudah tiba waktunya untuk pergi.

Terjemahan bebas oleh: Cinthya Tania
Sumber: https://wkup.org/thich-nhat-hanh-message-youth/

Masa Depan Generasi Muda

Masa Depan Generasi Muda
Young monks and nuns from Plum Village @Borobudur May 2018

Terlepas dari apa pun pendapat seseorang tentang politik pengawasan senjata di Amerika Serikat (AS), gerakan pemuda March for Our Lives pada tanggal 24 Maret yang lalu memperlihatkan semangat besar, kemahiran dan ketelitian intelektual yang dimiliki oleh generasi muda, terutama ketika mereka memiliki semangat besar dalam menghadapi isu yang relevan terhadap kondisi dan masa depan mereka.

Generasi muda merupakan masa depan masyarakat; baik masa depan negara, komunitas religius, maupun keluarga. Untuk itu, generasi muda perlu diberikan pengarahan yang kuat, produktif, serta penuh empati.

Namun, pengarahan saja tidaklah cukup. Generasi muda perlu diberikan ruang untuk mengeksplorasi bakat, mengembangkan keahlian, serta mengekspresikan diri mereka dalam komunitas Buddhis. Dengan demikian, generasi muda bisa berperan serta, menerima peluang dan tanggung jawab kepemimpinan, terutama mampu mendalami dan menjadikan agama Buddha sebagai pola pikir yang relevan dengan generasi mereka.

Gerakan generasi muda dalam menentang kekerasan senjata di seluruh AS bertepatan dengan tren-tren menarik seputar agama Buddha Amerika. Walaupun agama Buddha hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah pemeluk agama di negara tersebut (contohnya, hanya terdapat 800.000 orang yang mengakui telah mempraktikkan agama Buddha di California), agama Buddha adalah satu-satunya agama yang mampu menarik pemeluk dari generasi muda – pada tahun 2007, 23% dari pemeluk agama Buddha berusia antara 18 sampai 29 tahun.

Sepuluh tahun kemudian, angka tersebut mencapai 34% (menurut Pew Research Center). Seorang akademisi di Universitas Berkeley, Layne R. Little, menyatakan bahwa agama Buddha mampu berkembang seperti ini berkat persepsi publik yang memandang Dharma sebagai ajaran pragmatis, berfokus pada pemahaman sifat sejati batin, kondisi manusia, serta cara mengurangi penderitaan.

Dengan keadaan dunia yang makin tidak stabil dan tidak menentu, makin banyak organisasi buddhis yang merasa bahwa pendekatan terhadap kepercayaan serta keimanan yang lebih humanis dan aktif, disertai dengan rasa kepedulian terhadap masyarakat, merupakan hal yang penting. Para pendukung ajaran Buddha humanis/aktif telah memimpin selama berpuluh-puluh tahun. Mereka berasal dari tradisi dan daerah yang berbeda-beda, dari Biksu Bodhi ke Thich Nhat Hanh ke Master Hsing Yun.

Kendati demikian gerakan agama Buddha maupun gerakan lainnya membutuhkan semangat, kreativitas, dan kecerdasan generasi muda untuk menyokongnya, terutama ketika dunia menyambut permasalahan-permasalahan baru. Ketika generasi muda diizinkan untuk mengembangkan potensi Bodhisatwa dengan sepenuhnya, maka masyarakat luas bisa merasakan berpuluh kali lipat manfaatnya.

Generasi muda dan institusi harus bekerja sama untuk saling memahami dan terbuka terhadap satu sama lainnya. Hubungan yang menguntungkan kedua belah pihak ini bisa jadi merupakan kunci untuk menyembuhkan penderitaan dan kegelisahan yang dirasakan pemuda masa kini, serta mungkin memperkenalkan kehidupan dan perspektif baru ke dalam struktur konvensional kita.

Generasi muda masa kini tenggelam dalam pertukaran pengetahuan yang terglobalisasi melalui internet dan media sosial. Karena informasi tentang agama bagi mereka tidak hanya berasal dari orangtua, guru, ataupun komunitas lokal, dan mereka akan terkepung oleh opini-opini yang saling bertentangan (tidak semua opini akan memihak pada agama), generasi muda tidak akan secara otomatis menghubungkan antara kepercayaan beragama dengan institusi yang menyatakan otoritas spiritual.

Walaupun kita mendukung generasi muda untuk mengeksplorasi tradisi Buddhis, kita percaya bahwa eksplorasi itu tidak perlu (atau tidak harus) memiliki penekanan doktrin yang sama dari generasi-generasi lalu. Hal ini dikarenakan walaupun inti Dharma tidak pernah berubah, agama Buddha terus-menerus merespon perkembangan kebutuhan sesuai dengan masyarakat yang berbeda-beda di seluruh dunia.

Pada tahun 1960, Master Zen Thich Nhat Hanh menulis surat detail kepada seorang pemuda mengenai bentuk latihan religius yang tidak akan bermanfaat baginya, dan yang menurut Thich Nhat Hanh harus ia hindari: “Bagi kebanyakan orang, agama hanyalah sekumpulan aturan dan ritual yang diwariskan oleh keluarga dan masyarakat. Akibat kemalasan atau kurangnya ketertarikan, banyak orang berpuas diri dengan pemahaman dangkal mengenai agama yang mereka peluk. Mereka tidak mempertimbangkan kebenaran ajaran agama tersebut berdasarkan pengalaman mereka sendiri, apalagi mempraktikkan ajaran-ajaran tersebut untuk mengembangkan dan menyembuhkan diri mereka. Orang-orang seperti ini lebih berpeluang untuk mengekspresikan kedogmatisan dan inteloransi.” (Plum Village)

Sebaliknya, Thich Nhat Hanh menyarankan generasi muda bahwa walaupun agama adalah sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri, agama juga merupakan cerminan perjalanan yang sangat personal, yang harus terus-menerus menjadi percakapan internal. “Jika kamu mengikuti suatu agama, jangan menjadi seperti mereka. Pelajari agamamu dengan kemampuan intelektualmu, sampai ke kedalaman dan keindahan ajaran-ajarannya, sehingga agamamu bisa menutrisi kehidupan spiritual.

Agama yang sehat adalah agama yang hidup. Agama harus bisa berkembang dan belajar merespon kesulitan-kesulitan masa kini… Agama harus melayani kemanusiaan, bukan sebaliknya. Jangan biarkan siapapun menderita atau kehilangan nyawa atas nama agama.” (Plum Village)

Dengan pertimbangan-pertimbangan ini, apa yang bisa diharapkan oleh generasi muda buddhis? Mereka seharusnya bisa mengharapkan agama Buddha yang menyadari dirinya sendiri, agama Buddha yang tidak memandang remeh pemuda, agama Buddha yang bersedia mengeksplorasi secara terbuka mengenai bagaimana memahami konsep-konsep tradisional.

Sebagai contoh, apakah makna sadar penuh (mindfulness) di era media sosial dan reaksi serta penilaian seketika? Bagaimanakah seseorang menerima pengalaman-pengalaman emosional yang dialami di masa remaja (juga dalam kehidupan) sambil melatih ketidakmelekatan dengan tulus? Kita tidak mampu memberikan jawabannya di sini. Namun, adalah sekolah-sekolah dan para guru yang melibatkan generasi muda dan bersedia mengeksplorasi isu-isu masa kini yang akan mengekspresikan agama Buddha yang tidak lekang oleh waktu.

Dunia makin tidak terduga. Perubahan iklim mengancam masa depan umat manusia. Ini adalah era dominasi teknologi data dan perusahaan-perusahaan raksasa. Tantangan-tantangan yang dihadapi para pendidik, pemimpin dan penyembuh masa depan akan makin penting. Namun jika pemimpin dan institusi spiritual mendukung generasi muda dan sebaliknya, maka tidak ada yang tidak bisa dicapai bersama-sama.

Sumber: Buddhistdoor View: Our Young Future
Terjemahan Bebas oleh: Aya Muhartono

Jari Telunjuk Bukanlah Sang Rembulan

Jari Telunjuk Bukanlah Sang Rembulan


Di halaman rumahku yang tidak begitu luas, aku menanam sebatang pohon lemon di dalam pot. Pohon lemon itu kupandangi dan kusayangi setiap hari, kadang ranting-rantingnya yang terlalu rimbun kugunting dengan penuh perhatian, karena dikhawatirkan itulah cikal bakal bunga buah nantinya.

Namun, suatu hari ini aku pulang ke rumah setelah seharian berada di wihara, aku mendapati pohon lemonku dalam keadaan yang sangat menyedihkan, satu cabangnya yang besar telah terpotong tak beraturan, hanya tersisa satu cabang lagi yang tidak begitu besar. Hati ini terasa sakit, seperti ada yang tersayat di tubuhku.

Menenangkan Diri
Aku berusaha meredam emosi, aku pergi ke wihara dan mencoba bernapas masuk dan bernapas keluar. Namun tidak mudah untuk berkonsentrasi. Pikiran aku kembali lagi dan kembali lagi tentang si pohon lemon. Seharusnya orang yang membabat pohon lemonku bisa bertanya terlebih dahulu atau membiarkan aku saja yang memangkasnya. Seharusnya begini begitu dan berbagai pikiran yang menyayangkan kenapa peristiwa itu harus terjadi sehingga aku merasa sangat sakit. Untuk memejamkan mata berkonsentrasi saja sulit sekali, apalagi berpikir jernih, karena aku dipenuhi oleh emosi.

Setelah 10 menit berlalu, aku menyudahi meditasiku. Karena sudah menjelang waktu makan malam, khawatir dicari, aku pun pulang dengan membawa rasa sakit yang baru berkurang sedikit. Pulang ke rumah saya masih berusaha menenangkan diri untuk tidak meluapkan emosi dari rasa sakit itu.

Kemudian terpikir olehku untuk memindahkan si pohon lemon ke tempat yang bisa kutitipkan untuk dirawat. Daripada ketika aku keluar masuk rumah dan melihat si pohon lemon yang sekarat itu, maka sama saja dengan saya kembali terpanah oleh rasa sakit untuk kesekian kalinya.

Menunjuk Rembulan
Satu hal yang membuat aku tersadarkan adalah saat membaca buku Jalur Tua Awan Putih buku kedua, tentang “jari telunjuk bukanlah sang rembulan“. Bagian itu menceritakan tentang kisah seorang bapak yang sangat menyayangi anaknya yang masih kecil. Ketika si bapak sedang pergi berniaga meninggalkan anaknya seorang diri di rumah, hari itu terjadi perampokan di desa tersebut dan anak kecil itu disandera oleh bajak laut.

Ketika si bapak pulang ke rumah mendapati ada jasad anak kecil di dekat rumahnya dan meyakini bahwa jasad itu adalah anaknya, lalu diambilnya dan dikremasikannya, kemudian abunya dibawanya ke manapun dia pergi.

Suatu hari sang anak berhasil melarikan diri dari kawanan bajak laut dan kembali ke rumahnya memanggil-manggil bapaknya utk membukakannya pintu, namun si bapak meyakini bahwa anaknya sudah mati dan abu yang dipegangnya adalah abu anaknya, dia mengabaikan panggilan anaknya sehingga akhirnya mereka pun berpisah selamanya.

Waktu Terbaik
Saya mengibaratkan diri saya sebagai sang bapak dan abu anak kecil tersebut adalah pohon lemonku, ketika pohon lemon yang telah terbabat habis, lalu terus kuingat-ingat akan terus menyakiti hatiku.

Sementara keluargaku yang telah membabat pohon tersebut tanpa seizinku jika aku marah kepadanya terus menerus, bukankah aku akan seperti si bapak yang menyia-nyiakan anak kesayangannya yang telah kembali? Yang artinya mengabaikannya, marah dengannya, dan mengabaikan keberadaan keluargaku hanya demi pohon lemon yang tak mungkin bisa disambung kembali.

Dari sinilah kesadaran itu muncul, bahwa waktu bersama orang-orang terdekat sering kita sia-siakan dengan bertengkar dengannya, marah dan bahkan tidak bicara hanya karena urusan kecil yang sudah berlalu. Terlalu melekat dan meyakini apa yang kita pikir benar sebagai sebuah kebenaran hakiki.

Baiklah, saya akan mentransformasi rasa sakit itu menjadi sebuah pengertian bahwa kebersamaan dengan keluarga kita adalah waktu terbaik yang tidak perlu disia-siakan karena kemarahan atau sakit hati.

Ujian Selesai
Toh, pohon lemon pasti akan tumbuh lagi dengan baik, karena dia masih punya satu cabang yang masih hidup, dan kelak aku masih bisa menyapanya di tempat baru yang sedang aku titipkan di sana. Ok… ujian saya selesai.

Hal yang kualami ini bisa menjadi hal besar jika aku tidak berhasil mengendalikan emosi seketika, yang mungkin akibatnya akan merusak keharmonisan dalam keluarga bahkan bisa mengakibatkan keributan.

Aku sadar bahwa yang harus aku lihat adalah rembulan, bukan jari yang menunjuk ke rembulan.

Bersyukur dan berterimakasih mengenal mindfulness. “Aku perlu bersiap sedia sebelum badai tiba”

Widyamaitri praktisi mindfulness, volunteer retreat dan Day of Mindfulness, juga anggota Ordo Interbeing

Melakukan Kebaikan Tak Berharap Kembali

Melakukan Kebaikan Tak Berharap Kembali


Saya seorang umat Buddha. Saya vakum selama 15 tahun, tidak pernah ke wihara apalagi membaca buku-buku Buddhis. Suatu kondisi akhirnya membuat saya masuk ke dalam organisasi yang ada di wihara, di sana saya melewati hari-hari dengan belajar dan berlatih untuk mengikis keakuan dan berusaha mengembangkan Bodhicitta yang ada di dalam diri saya.

Keinginan untuk tahu lebih banyak dan lebih banyak, membuat saya terus mencari, dari wihara yang satu ke wihara yang lain, dari guru yang satu ke guru yang lain.

Sampai suatu hari, saya bertemu dengan seorang sahabat lama, saya bertanya, “Ke mana saya harus mencari seorang guru yang dapat memberikan kemajuan spritual?” Dia pun menjawab, “Saat Murid Siap, Guru akan Datang“.

Saat itu saya hanya diam dalam keheningan. Saya mulai mempersiapkan diri dengan banyak membaca dan banyak berbuat kebaikan, rajin kebaktian dan mendengar sharing Dharma dengan harapan saya bisa lebih cepat bertemu dengan guru.

Sampai pada suatu hari, saya merasa sangat kesal dan tidak dihargai, seseorang tidak mengangkat telepon dari saya dengan berbagai alasan (terlihat dari cctv memang sengaja tidak angkat).

Muncul di pikiran kebaikan-kebaikan yang pernah saya berikan. Semua perasaan muncul ke permukaan, kecewa karena tidak dihargai. Jantung berdebar kencang, badan bergetar karena rasa marah yang makin kuat.

Dalam kondisi tidak nyaman, saya berusaha untuk berdamai dengan diri sendiri. Saya duduk diam dan memperhatikan napas masuk dan napas keluar, mulai melihat, mengamati kondisi perasaan yang muncul dan tenggelam, beberapa saat kemudian, napas dan detak jantung saya kembali normal, seiring dengan itu, kesadaran kembali.

Hal yang pertama muncul dalam pikiran adalah kebaikan dan bantuan yang pernah saya lakukan, masih ada keakuan di sana, karena masih mengharapkan balasan kebaikan dan perhatian dari mereka. Kesadaran kedua muncul, bahwa selama ini, dia tidak meminta bantuan saya, saya sendiri (kepo) niat ingin mengembangkan boddhicitta dengan membantu orang lain, malah menimbulkan kemelekatan.

Akhirnya saya melepaskan kemelekatan tentang kebaikan yang pernah saya lakukan dan harapan untuk diperlakukan baik oleh dia, saat itulah saya melihat GURU.

Guru ada di mana-mana, Guru ada di sekitar saya, kadang karena kesombongan dan merasa paling benar, akhirnya kita tidak bertemu dengan guru yang ada di sekitar kita.

Setelah melewati kondisi tidak nyaman, saya melihat hal terjadi itu bukanlah sebagai masalah, tapi sebagai Guru yang membuka pikiran, dan saat melakukan kebaikan jangan pernah berharap balasan.

Apa yang dilakukan saat ini, jangan berharap esok akan mendapatkan kebaikan dan apa yang telah terjadi jangan menyesali masa lalu. Apa yang kita lakukan saat ini, ya.. cukup sampai saat ini saja, jangan dibawa ke masa lalu dan jangan dibawa ke masa depan, LEPASKANLAH!.

SAKYA VIMALA DEVI volunteer dari komunitas mindfulness Jambi

Coming Home – Bert Evens Ft. Mari Joël

Coming Home – Bert Evens Ft. Mari Joël

Coming Home

Lirik dan irama oleh: Bert Evens (Joyful Music of the Heart)

Unduh MP3 klik sini

See my eyes, please be welcome
see my heart, please be my guest
see my hands, I fold them towards you
a lotus to be

See my eyes, please be welcome
see my heart, please be my guest
see my hands, I fold them towards you
a lotus to be

Ref:
Following the rising and falling
of the great breathing deep inside of us

So that together we can come home
in the heartbeat of our embrace

Bertemu Kembali Dengan Diri Sendiri

Bertemu Kembali Dengan Diri Sendiri
Foto bersama setelah olah raga stik bambu.
Christy (barisan pertama nomor 3 dari kiri)

Retret adalah kondisi terbaik untuk latihan dan sebagai pengingat bahwa kita masih mempunyai teman terbaik yang sangat tidak bisa dipisahkan dari kita. Namun teman terbaik itu sering kita lupakan, yaitu “NAPAS”. Dengan merangkul dan bersahabat dengan “NAPAS” saya merasa menemukan kembali diri saya yang mungkin telah hilang karena arus cepatnya ibukota.

Kekuatan Semesta
Hampir 2 tahun saya mulai bertarung dengan ibukota ini. Hampir 2 tahun itu juga saya terakhir mengikuti retret atau sejenisnya. Selama ini saya merasa sangat hampa, saya menjalankan kehidupan saya seperti terombang-ambing dan hanya mengikuti arus dan kadang saya tidak bisa bertahan dengan kondisi tersebut.

Beberapa kali saya sempat putus asa atas tekanan ibukota dan saya pernah sampai ke tingkat depresi awal, pernah rasanya tidak ingin bangun lagi ketika pagi tiba. Kadang kehadiran teman–teman saya membuat saya bisa beranjak dari keterpurukan itu. tapi hanya berlangsung sementara, ketika mereka berada di sekitar saya.

Saya merasa ada sesuatu yang saya lupakan. Tapi di sisi lain, saya yakin itu adalah kekuatan semesta terus menempa diri saya untuk menjadi lebih tangguh dan sampai akhirnya saya dapat kesempatan untuk mengikuti Retret Hidup Berkesadaran lagi. Saya memang menyukai hal–hal seperti retret, karena saya bisa merasakan energi positif dan kenyamanan di sana.

Menyepi
Bertepatan di Hari Raya Nyepi (Day of Silence), MBI Provinsi Banten mengadakan Retret Hidup Berkesadaran di Pondok Sadhana Amitayus. Beruntungnya, saya mendapatkan info tersebut pada waktu yang tepat, akhirnya saya langsung mengajukan diri untuk ikut tanpa berpikir panjang.

Pada saat memasuki kawasan Amitayus saya merasa tenang, damai dan bahagia seolah beban pikiran saya tertinggal entah di mana. Ini adalah kali kedua saya berkunjung ke tempat ini. Acara dimulai malam hari seperti biasa acara pertama adalah orientasi, kami dijelaskan tentang konsep dasar latihan hidup berkesadaran, yaitu Napas dan Genta.

Kegiatan malam itu ditutup dengan Menyentuh Bumi. Latihan Menyentuh Bumi ini merupakan cara untuk melatih kerendah hatian dan mengingatkan bahwa kita tidak sendiri di semesta ini. Nah, ketika latihan menyentuh bumi ini saya merasa ternyata selama ini saya itu tidak sendirian, saya merupakan bagian dari alam semesta ini dan saya merupakan bagian dari harapan-harapan orang tua saya. Setelah Latihan ini, saya menjadi memiliki motivasi untuk tetap bahagia.

Mendengar Satu Per Satu
Pada pagi hari, kita melakukan meditasi duduk dan mendengarkan sutra “Lima cara memadamkan api kemarahan” Ini bagian favorit saya, Retret sebelumnya saya belum pernah mendengar sutra ini.

Ketika mendengar satu per satu kalimat yang ada di sutra ini, Saya merasa malu, ternyata sangat simple untuk memadamkan api kemarahan tersebut, kita hanya butuh mengubah sudut pandang kita akan kebaikan orang tersebut, walaupun kadang ketika marah kita bakal lupa, tapi itu adalah awal dari latihan mengendalikan amarah.

Sesi mendengarkan wejangan dharma oleh Bhante Nyanabhadra, Bhante mengatakan bahwa kita perlu meluangkan waktu untuk mengecas batin kita dengan mengikuti retret atau DOM (Day of Mindfulness) atau sejenisnya.

Hal yang selalu ditekankan dalam Retret, yaitu Napas dan Genta. Ketika mendengar bunyi genta atau bunyi jam dinding kita berhenti dan kembali menyadari napas. Ini yang terlupakan oleh saya selama kehidupan sehari–hari saya.

Berhentilah
Selama ini, pikiran saya terus merasa tertekan dan berusaha berpikir mencari solusi dari proses yang saya alami (mungkin ini yang disebut gejolak batin). Ternyata solusinya adalah “BERHENTI” dan kembali menyadari napas itu membuat saya jauh lebih relaks dan bisa berpikir lebih jernih.

Ketika melepaskan keruwetan pikiran kita untuk sementara dan merelakskan tubuh kita, itu jauh lebih membahagiakan dan kita lebih bisa berpikir dengan jernih dan bisa melihat dari sudut pandang yang lebih baik akan segala sesuatu yang terjadi.

Keteguhan
Pada sore hari adalah sesi sharing dharma dan kebetulan kelompok saya ditemani oleh Bhante Bhadrakiriya, saya menyampaikan keberuntungan saya bisa mengikuti retret ini, karena rata–rata diikuti oleh orang yang lebih dewasa dari saya, dan saya bisa belajar banyak dari pengalaman yang mereka ceritakan pada sesi ini.

Hal yang saya dapatkan, Di dunia ini bukan hanya saya yang memiliki masalah yang berat, semua orang mengalami hal yang serupa, dan malah masalah mereka jauh lebih berat daripada masalah saya. Tapi mereka memiliki cara yang sangat menginspirasi dalam menghadapinya. “Ketika kita punya pedoman dan keyakinan yang teguh, tidak ada yang bisa menggoyahkan kita sekalipun mendapat masalah sebesar apa pun.” Ini adalah hasil dari sharing kami.

Keheningan
Pada malam hari dilanjutkan dengan sesi Bhante Nyanabhadra. Beliau menceritakan sedikit tentang Shantideva ketika membabarkan Bodhicaryavatara, lalu mengingatkan untuk perbanyak diam (hening), atau berpikir berkali–kali sebelum berbicara. Karena kata–kata yang telah diucapkan tidak dapat ditarik kembali jika kita salah berbicara.

Keesokan harinya, sesi tanya jawab yang didampingi Bhante Nyanagupta. Pada sesi ini Bhante menjelaskan mengenai pertanyaan–pertanyaan dan kesulitan–kesulitan kita selama retret.

Anumodana kepada Bhante Nyanagupta, Bhante Nyanabhadra, dan Bhante Bhadrakiriya atas waktu dan bimbingannya selama Retret Hidup Berkesadaran ini.

CHRISTY berasal dari Padang, aktivis Pemuda Buddhayana (SEKBER PMVBI) yang berkecimpung dalam dunia teknik sipil

Jalan Penuh Rasa

Jalan Penuh Rasa
Foto dari headspace

Jalan raya bagi saya ibarat “medan perang”. Energi latihan saya benar–benar diuji di jalan raya. Berbagai hal menarik dapat saya temukan di jalan raya. Tentunya, saya pun bisa berlatih ketika berada di jalan raya. Di sini saya mau sharing tipe-tipe manusia dan pengalaman latihan saya di jalan raya.

Si Kepo
Sering kita jumpai tiba–tiba jalanan luar biasa muacet. Dan tak lain tak bukan, biasanya telah terjadi kecelakaan. Yang tabrakan 1 motor dan 1 mobil. Yang ikut berhenti 1 kampung, kalaupun tak berhenti, mereka mendadak melambat, berjalan sambil kepala celingukan. Pernah yang paling extreme, kecelakaan di jalur kiri, yang jalur kanan ikutan nyebrang cuma memenuhi ke-Kepo-an mereka. Kesal? Awalnya saya pasti kesal, dalam hati saya bergumam. “Bantuin kaga, Cuma lihatin sambil foto/video doang, ini mah kalau di belakang ada orang sekarat sampai meninggal, karma buruknya berlapis–lapis ini”

Tapi perlahan saya menyadari, nature dari pikiran memang mudah untuk tertarik ke hal negative, karena masih diliputi kebodohan. Dan sebagai bentuk latihan, biasa saya memberi klakson pendek agar pengendara di depan lebih sadar dalam berkendara. Jika ingin membantu, saya menepi. Jika tidak, atau sudah ada yang membantu, saya akan segera tancap gas meneruskan tujuan saya.

Si Cepat
Yang ini selalu yang terdepan. Berhentinya aja di depan lampu merah, pokoknya kalau ada garis, harus di depan! Kalau di depan garis ada motor lain, dia lebih depan lagi. Dan pas jalur seberang kosong, ngeeeng tancap gas bro!

Jujur, awal remaja saya, diawali karakter begini, karena saya dulu sering last minute kalau berangkat. Dan ada pengalaman menarik setelah mulai sering berlatih hidup sadar. Suatu ketika saya berhenti di depan lampu merah. Sebaris dengan ‘si cepat warrior’ lainnya. Tiba–tiba di belakang ada yang klakson, mereka tancap gas, saya pun ikut. Dari arah seberang, kendaraan masih melaju dan membunyikan klakson.

Di sana saya tersadarkan kalau lampu saya masih merah, dan menyadari inilah kebodohan. Dengan berhenti di depan lampu merah, saya tidak akan tahu, kapan lampu berubah hijau, saya hanya mengikuti orang lain yang belum tentu benar. Sejak saat itu, saya berlatih untuk berhenti di belakang lampu merah dan berangkat lebih awal saya tidak berubah jadi ‘si cepat’.

Si Buta Arah
Sejak kecil saya diajarkan mana kiri, mana kanan. Tapi kebodohan dan ego terkadang membuat saya lupa semuanya. Jalan yang tadinya 1 arah, tiba–tiba menjadi 2 arah. Dan yang paling edan, sudah lawan arah, lebih galak daripada yang berjalan di arah yang benar lagi.

Again, saya juga pernah menjadi pengendara buta arah. Tapi bersyukur, sejak latihan hidup sadar. Saya mulai menganalisa. Kenapa sih saya jadi buta arah? Ooh, karena bangunnya telat jadi buru–buru. Kalau sudah buru–buru, semua cara dilakukan. Maka dari itu, saya menambah latihan saya, yaitu berangkat lebih awal agar tidak lawan arah lagi.

Selain karena buru–buru, masih ada sebab lain yaitu tumor ganas bernama malas. Saya malas putar lebih jauh, dan ingin shortcut. Dan tentunya bila terus melakukan hal ini, akan menambah kebodohan batin saya. Kenapa disebut bodoh? Sudah tahu ini salah, tapi terus dilakukan. Bahkan kadang “membenarkan” diri dengan alasan seperti: “Kan jalannya lagi sepi”. “Tanggung cuman sedikit”. Tapi sejak berlatih mindfulness, rambu–rambu mulai muncul di tempat biasanya akan lawan arah. “Eh lurus bro, kalau belok kanan, nanti situ lawan arah.” Dengan adanya kesadaran, perlahan saya mulai mengendarai di arah yang benar.

Si Pemberi Jalan
Nah, ini salah 1 tipe pengendara yang baik di jalan, dulu sering sekali saya diberi jalan. Ada rasa senang ketika didahulukan. Sering kali, keadaan jalan macet, karena tidak ada yang mau mengalah. saya mulai belajar memberi jalan terutama kepada orang yang mau menyeberang.

Jika ada yang memberi saya jalan, tak lupa saya lambaikan tangan sebagai tanda terima kasih. Baru tadi pagi, saya teringat memberi jalan seekor kucing, iya, terkadang banyak kucing mati tertabrak, karena mereka panik melihat cara mengendarai kita yang sangat cepat. Mereka jadi ragu menyeberang. Maju mundur maju mundur cantiiik!!

Tapi ternyata, kalau kita melambat, mereka mengerti kok untuk menyeberang. Walaupun ada yang tak tau diri juga sih, sudah diberi jalan, eh dia santai–santai nyeberangnya hahaha.

Singkatnya, berlatih hidup sadar, bisa dijalankan di mana saja. Salah satunya di jalan raya. Contoh: Sadar ketika membunyikan klakson.

Klakson harusnya menjadi “bel kesadaran” untuk pengendara lain agar lebih hati-hati. Tapi sering kita bunyikan hanya untuk melampiaskan emosi dan ketidaksabaran kita. Yang pada akhirnya menambah penderitaan kita.

So, itulah tipe–tipe makhluk yang saya temukan di “medan perang” dan bagimana cara saya berlatih.

Semoga bermanfaat & teruslah untuk berlatih

Be Mindful and Be Happy, always!

EDWIN HALIM musisi juga pakar di bidang teknologi informasi

Apakah Ada yang Salah Baju?

Apakah Ada yang Salah Baju?
Saraswati: Dewi Kearifan dalam tradisi Hindu, Museum New Delhi

Melayari kehidupan seperti layaknya mengarungi samudra, kadang arus bergerak perlahan, tiada angin, kadang permukaan air tenang dengan angin sepoi-sepoi, kadang arus mengganas dengan badai yang terjadi akibat panas dan udara yang lembap dari permukaan laut naik ke atmosfer Bumi, melewati kehidupan berarti bertahan dari perubahan.

Freud menyebut naluri sebagai dorongan internal, ada dorongan untuk bertahan hidup atau melanjutkan keturunan. Kemudian Freud juga menyebutkan dorongan agresi atau kehendak merusak. Naluri atau dorongan ini berkaitan erat dengan insting.

Well-being
Berbicara religiositas maka otomatis mengarah pada psikologis positif (Well-being psychological), psikologis ini sebenarnya menjadi kekuatan untuk menghadapi agresi, karena semua makhluk ingin terus bertahan hidup dan mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kematian. Tak heran jika muncul istilah religius insting yaitu naluri untuk menyembah kekuatan eksternal.

Tak heran banyak pakar setuju bahwa kehidupan religius hendaknya menurunkan kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan, membawa ketenangan kalbu. Jika kehidupan religius tidak mampu mentransformasi kecemasan dan ketakutan yang berasal dari ketidakpastian hidup, maka sia-sia manusia menempuh kehidupan religius.

Penulisan Kitab Suci
Sistem penyebaran Agama Buddha pada zaman dahulu selalu melalui lisan, namun akhirnya muncullah dorongan untuk menuliskan semua ajaran itu. Mencermati alasan di balik penulisan Tipitaka, seorang cendekiawan menulis The Story of Buddhis in Ceylon menyebutkan beberapa hal yang menarik berikut ini:

Sri Lanka yang saat itu disebut sebagai Pulau Lanka sering menjadi sasaran empuk serangan dari kelompok non buddhis. Pada saat itu Mahavihara merupakan pusat penyebaran Agama Buddha, jika banyak terjadi pertempuran dan gejolak politik, tentu saja semua aktivitas di Mahavihara akan terganggu dan ditelantarkan. Guru dan murid mengalami kesulitan bahkan karena satu dan lain hal akan memisahkan mereka sehingga proses pewarisan akan putus.

Sistem pewarisan ajaran secara lisan akan menjadi kelemahan yang signifikan, apalagi berbagai bencana kelaparan mengakibatkan jumlah kematian akan meningkat. Para monastik menyadari sepenuhnya kondisi kelaparan membuat proses penyebaran Dharma menjadi macet, mereka sudah mengalaminya berkali-kali situasi seperti ini.

Kualitas manusia yang bergabung dalam sanggha monastik juga makin hari makin menurun. Mereka yang hanya menumpang hidup atau bahkan tidak bertanggung jawab, mereka tidak bisa menjadi pewaris Dharma. Kitab mahavamsa menyebutkan inilah salah satu alasan penting untuk menuliskan Tipitaka (Mahavamsa 33, 101).

Perpecahan dalam sebuah sekte menjadi sekte baru menjadi pemicu berbahaya juga. Sebut saja perpecahan dalam tubuh Mahavihara sehingga lahirlah Abhayagirivihara dan Raja yang berkuasa saat itu berpihak pada salah satunya, yang seharunsya membantu rekonsiliasi. Para monastik lainnya memilih untuk menulis Tipitaka di pinggiran propinsi, di tempat yang lebih sepi.

Beda Prinsip
Saya cukup lama malang melintang di dunia organisasi buddhis, saya juga sudah bertemu dengan beraneka sifat dari orang yang ikut aktif dalam organisasi demikian. Lumrah melihat semangat mereka naik dan turun, ketika melihat ke dalam diri sendiri, saya juga menyadari bahwa semangat latihan saya juga serupa, sering naik, turun atau malah nyaris hilang.

Perpecahan terjadi berawal dari prinsip yang berbeda. Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahkan ada sekte yang terus berpecah menjadi puluhan sekte baru, ada yang melepaskan diri karena idealisme personal. Pertanyaannya adalah apakah jika seseorang tidak berada di sebuah organisasi besar lagi, lalu dia dicap sebagai orang yang keliru?

Salah Baju
Ketika kita bersama-sama dalam sebuah organisasi, maka kita menyebutnya sebagai satu keluarga spiritual, dengan menggunakan “baju” yang sama. Ketika seseorang mengundurkan diri dari organisasi itu, kedua pihak dianggap sudah putus hubungan keluarga, lalu ketika masing-masing sudah berbeda baju, sehingga satu pihak merasa organisasinya lah yang paling benar, oleh karena itu patutkah pihak sana melontarkan kalimat “kamu salah baju”?.

Sungguh ironis menyebut bajunya sendiri yang paling benar, lalu baju orang lain salah. Ini yang disebut sebagai terjebak pada baju (bungkus) atau container, dan melupakan isi (content). Tampaknya ini kanker yang berpotensi menghadirkan perpecahan makin besar lagi.

Buddhadharma Universal
Saya tetap berpegang pada etika universal, kejernihan batin serta keyakinan saya atas Buddhadharma. Ada beberapa pertanda keyakinan saya tersebut misalnya, saya sangat tersentuh dengan hanya membaca tulisan dalam sebuah video klip singkat yang berjudul Buddha My Father, saat itu seluruh urat nadi saya bergetar dari kepala sampai ke ujung-ujung jari kaki dan tangan, air mata pun berlinang keluar.

Ada beberapa hal lain yang masih membuat saya setia pada Buddhadharma, sebut saja kisah suatu malam saya berpapasan dengan seorang Biksu tradisi Vajrayana, tampaknya beliau barusan selesai memberikan wejangan Dharma, sayang sekali saya tidak ikut program itu, lalu muncul perasaan sedih.

Malam itu ketika saya tidur, saya justru bermimpi mengikuti wejangan Dharma itu. Ada adegan saya berjalan dari kamar kecil kembali ke aula besar tapi saya malah tersesat dan tiba pada ruang sanggha yang mewah dan indah. Saya juga melihat labirin dengan penuh lukisan dan simbol-simbol buddhis berwarna merah muda.

Potongan mimpi selanjutnya terlihat saya sedang berupaya keluar dari labirin dan tiba di lapangan luas di Bodhgaya tempat Yang Mulia Dalai Lama sedang memberikan wejangan Dharma. Dari kejauhan tertampak bangunan khas Bhutan dan Nepal. Ternyata saya terlahir sebagai orang Bhutan pada zaman dahulu. Mimpi saya berakhir di sana.

Fungsi Baju
Saya merasa jejak yang ditinggalkan oleh ajaran Buddha memberi dampak besar, ada benih dalam diri saya yang tersentuh sehingga muncul visualisasi demikian dalam mimpi.

Terserah Anda berada di sekte yang mana, terserah Anda berada di organisasi yang mana, terserah baju apa pun yang Anda kenakan, kita perlu selalu ingat bahwa baju untuk melindungi diri dari panas, sengatan serangga, dan menutupi bagian-bagian tertentu.

Saya yakin, fungsi baju untuk melindungi manusia, sungguh tak bijak apabila hanya sekadar digunakan untuk memupuk sang “aku-organisasi” lalu menuding orang lain salah baju.

*CHÂN MINH TUYỀN (真明泉) anggota Ordo Interbeing Indonesia, volunteer retret mindfulness, wanita karir, sekaligus adalah apoteker yang juga meraih gelar master di bidang manajemen pendidikan

Teruslah Berlatih Teruslah Berbuat Kebaikan

Teruslah Berlatih Teruslah Berbuat Kebaikan

Wihara Ekayana Serpong (WES) kembali mengadakan kegiatan DOM (Day of Mindfulness), pada tanggal 3 Mar 2018, kegiatan yang bertujuan agar para pesertanya dapat berlatih sadar penuh sepanjang sesi latihan. DOM kali ini, dibimbing oleh Sister Rising Moon.

DOM kali ini punya kesan tersendiri bagi saya, karena saya berhasil, membawa serta kedua orang tua saya untuk ikut berlatih. Dan ini juga kali pertama saya mengikuti DOM di WES.

Sepanjang latihan awal, ketika meditasi duduk, orientasi dan ceramah, jujur hati saya tak begitu tenang, karena saya juga mengamati kedua orang tua saya. Membantu mengingatkan mereka ketika bel untuk menarik napas. Membantu membukakan halaman agar mendukung mereka untuk berlatih.

Jam istirahat pun tiba, orang tua saya bercerita. Mama kakinya cepat pegal. Papa juga agak terkantuk karena bangun terlalu pagi. Saya bersyukur, saya yang masih “lebih muda” sudah mulai mengenal praktik latihan ini. Dan saya sadar, tanpa adanya mereka, tak akan ada tubuh ini, dan tidak mungkin saya bisa berlatih. Sudah tugas saya untuk mengenalkan mereka latihan ini. Semoga dukungan komunitas dapat membantu mereka dalam latihan.

No Mud, No Lotus
itulah tema DOM kemarin, yang bisa di artikan, tak ada kebahagiaan (Lotus = Teratai) tanpa penderitaan (Mud = lumpur).

Seperti yang di ceritakan sister, kadang kita tidak menghargai gigi kita, kita tidak bersyukur ketika gigi kita baik dan tidak sakit. Harusnya kita bahagia. Tapi begitu kita sakit gigi, baru kita menyadari sebenarnya ketika gigi kita sehat, itulah kebahagiaan.

Begitu juga dalam hidup saya ini. Saya sadar betul, hal yang menarik saya kembali untuk latihan, salah satunya karena mengalami penderitaan kehidupan.

Saya letih akan kebahagiaan semu. Makan, bermain, karaoke, jalan–jalan, nonton bioskop, semua itu memang asyik. Tapi tidak juga memberikan jawaban atas permasalahan kehidupan saya. Setelah melakukan itu semua, saya tetap harus menghadapi permasalahan hidup ini. Bagi saya, hal itu hanyalah pengalih perhatian, maka dari itu, saya menganggap hal semacam itu hanyalah kebahagiaan yang palsu.

Pikiran saya dulu
Melihat keadaan kedua orang tua saya, saya menyadari, pentingnya berlatih selagi muda. Kadang pun masih bisa ada rasa menyesal yang timbul, kenapa tidak dari kecil saya berlatih. Tapi kembali, penyesalan tak ada gunanya.
Saya mencoba menelusuri dan mengingat, pola pikir saya ketika kecil. Aaah, saat itu memang hidup saya masih “baik-baik” saja. Tak ada masalah, tak ada yang perlu dipusingkan.

Ternyata oh ternyata. Terima kasih masalah, you save my life!

Apa lagi ya yang jadi alasan ketika muda saya tak berlatih?

Oo.. dulu saya merasa, meditasi itu menjenuhkan. Duduk diam. Ngapain coba? Tapi saya sekarang sadar, dulu pengertian saya kurang tepat. Meditasi ternyata tidak harus duduk, tapi bisa hanya dengan cukup sadar dan menyadari napas.

Apalagi ya pikiran yang membuat saya tak berlatih dulu?

Mmm… Oo, karena rasa “malas”. Nanti ajalah, mau happy–happy duluan. Namanya juga bocah, masih pengen main game, masih ingin haha hihi. Jalan–jalan. Nonton. Dan ternyata satu kata “nanti” itu lamaaaaa sekali. Bertahun–tahun lamanya.

Yap, no mud no lotus, penderitaan yang membawa saya ke jalan ini. Dengan merasakan penderitaan, saya berusaha mencari sebabnya, dan mulai mengubah bentuk mental. Dengan mendengar ceramah dan berlatih hidup sadar, perlahan saya mengerti dan hidup terasa lebih berarti.

Kematian tak dapat diprediksi
Berpikir tentang kematian, menjadi sebuah cambuk dalam diri saya untuk terus berbuat baik. Saya sadar, cepat lambat, kematian adalah pasti. Saya tidak tahu, siapa yang berangkat lebih duluan. Mungkin saya, atau keluarga. Tapi dengan menyadari ini, saya tetap berusaha mawas diri dan melakukan kebaikan.

Waktu berjalan cepat, terutama bila tidak kita sadari. Dengan menyadari hidup, setiap tarikan napas itu berarti. Setiap tindakan kita, yang mungkin kecil, pasti ada membawa perubahan. Baik atau buruk, tergantung yang kita lakukan.

Kematian bukanlah hal yang kita takutkan. Tapi penting sekali untuk mengetahui, amat sulit terlahir menjadi manusia. Bayangkan seekor penyu yang muncul 100 tahun sekali untuk menarik napas di tengah samudra, dan ketika muncul ke permukaan, ada gelang berbentuk lingkaran yang ukurannya pas dengan leher penyu tersebut. Ketika penyu itu muncul dan masuk ke dalam gelang, kelahiran sebagai manusia terjadi.

Tidak ada salahnya mengejar kebahagiaan materi dan duniawi, tapi seimbangkan dengan berlatih. Bayangkan ada seorang kaya, dengan kekayaan 5 miliar. Tapi sudah meninggal, Anda diminta bertukar tempat dengannya, Anda dapat 5 miliar tapi langsung mati, apakah Anda mau ?

Dengan mengetahui sulitnya menjadi manusia, kiranya kita bisa lebih menghargai setiap detik dalam hidup ini. Karena waktu yang telah pergi tak akan pernah kembali. Jadikanlah hidupmu, selalu berarti..

Teruslah berlatih, teruslah berbuat kebaikan.

Be mindful and be happy! (Edwin Halim)*

 

*Musisi dan sekaligus pakar IT

Bangga Menyatakan bahwa Komunitasku adalah Keluargaku

Bangga Menyatakan bahwa Komunitasku adalah Keluargaku
Foto bersama retret pembina GABI Wihara Buddhayana Surabaya

Perjalanan hari ini ternyata cukup panjang. Saya baru pulang dari Palu dan secepatnya ke wihara Buddhayana di Putat Gede, Surabaya. Di sana saya sudah ditunggu. Saya merasa beruntung karena tidak perlu berangkat sendiri.

Ingin hati kami segera berangkat, namun badan saya protes. Kecapekan membuat saya muntah. Jadi saya isi dulu perut saya, baru secepatnya tancap gas menuju Villa Dharma di Prigen, Pasuruan. Perjalanan lancar. Kami berangkat sebagai grup terakhir untuk mengikuti retret hidup berkesadaran bagi pembina GABI (Gelanggang Anak Buddhis Indonesia).

Kami tiba sudah cukup larut malam. Briefing sebentar mendengarkan pembagian kamar dan dijelaskan bahwa praktik pertama yang kami lakukan adalah noble silent. Setelah semuanya beres, kami juga sudah siap menuju dunia mimpi.

Makan Pagi Berkesan
Pagi hari, kami mulai dengan meditasi duduk sekitar 30 menit, kemudian dilanjutkan dengan meditasi jalan pelan mengelilingi area villa serta menikmati udara segar pagi dan pemandangan indah.

Kegiatan selanjutnya adalah sarapan, kami mengantri menggambil makan, setelah semuanya duduk, kami mendengarkan lonceng dan doa renungan singkat. Kami punya waktu makan dengan pelan dan hening selama 15 menit.

Makan pagi itu sangat berkesan bagi saya, udara pagi yang sejuk membuat hati menjadi lebih tenang. Sesekali saya mendengar ada kicauan burung merdu tak lupa sesekali juga mendengarkan suara bising dari kendaraan. Kala itu, saya menikmati dan merasakan suasana makan pagi yang sangat khidmat.

Kami diberikan waktu untuk istirahat dan bersih diri sebelum acara selanjutnya dimulai. Kegiatan menyanyi beberapa lagu mindfulness, mendengar sharing dari bhante dan gerak berkesadaran.

Membuka Mata
Workshop pagi itu sangat sederhana, kami diajak untuk jujur kepada diri sendiri dan menyadari sifat-sifat yang sudah ada dalam diri. Sungguh luar biasa, bahkan di luar dugaan. Workshop ini membuka mata saya lebih lebar tentang diri sendiri dan komunitas saya.

Semenjak SMA saya tidak memiliki hubungan akrab dengan kedua orangtua. Saya ternyata adalah anak pembangkang, itu bahkan makanan setiap hari. Saya sedang merefleksikan ulang, apa yang saya rasakan pada saat workshop itu.

Sesi workshop ini juga mengingatkan saya berbagai memori keluarga. Saya tiba-tiba merasa bersyukur dan sangat beruntung memiliki komunitas Pembina GABI. Spiritual saya berkembang secara signifikan, pola pikir saya juga sudah banyak berubah, bahkan perilaku dan cara pandang juga makin mengarah ke dunia yang lebih positif.

Pembelajaran Buddhis ternyata memberi efek positif yang baru saya rasakan, seperti menghargai, menghormati, dan mengasihi kedua orangtua. Saya mengalami pertumbuhan yang baik dalam komunitas ini.

Kami Berbeda
Benar, kami berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Kami juga memiliki karakter berbeda, permasalahan yang dihadapi juga sangat bervariasi. Satu hal yang membuat saya bersyukur adalah kami berkumpul layaknya sebuah keluarga besar. Saya bangga menyatakan bahwa komunitasku adalah keluarga.

Sesi retret juga diisi dengan minum teh di teras, kami menikmati teh dengan hening serta meditasi sejenak. Menyadari hembusan angin sejuk, mendengar gemericik air, nyanyian burung saling bersahutan, gesekan dedaunan, dan suara serangga. Kami seperti bersatu dengan alam.

Sekeliling Vila Dharma dihuni oleh penduduk, dan lokasinya cukup tinggi. Sehingga kami bisa mendengar banyak suara sekitar. Pada meditasi sore itu kami juga menyadari adanya suara adzan bersahut-sahutan di puncak perbukitan. Ini sungguh pengalaman meditasi di ruang terbuka yang pertama kali.

Kami semua memejamkan mata untuk bersatu dengan alam. Pada awal meditasi, saya merasa rileks. Suara kendaraan yang melintas membuat kesadaran saya terhadap alam mulai sirna. Saat sharing, ternyata teman-teman lain juga mengalami hal serupa ketika meditasi outdoor.

Memulai Lembaran Baru
Malam hari, kami mendapat kesempatan untuk mengikuti Beginning Anew. Judulnya saja sudah bikin penasaran dan jelas saja itu keren! Diawali dengan cerita tentang betapa pentingnya cinta kasih dalam mengomunikasikan dan menjalin suatu hubungan. Konteks hubungan tentu saja tidak terbatas pada suami istri saja, tapi juga termasuk keluarga kandung, komunitas, persahabatan, maupun relasi sosial.

Bhante memberikan tips mudah dalam praktik ini, dengan 3 langkah yang wajib diikuti. Langkah pertama adalah “flower watering”, kita memberikan apresiasi, menyampaikan terima kasih kepada orang yang kita ajak komunikasi. Kedua, “I regret” yaitu menyadari dan segera meminta maaf terhadap kekeliruan yang telah diperbuat. Ketiga “I hurt” yaitu menyampaikan bahwa diri kita juga terluka atau jujur atas perasaan sakit yang kita alami.

Sesi malam itu diakhiri dengan menyentuh bumi atau bersujud. Kami bersujud di depan altar Buddha sambil mendengarkan perenungan. Menyadari keberadaan bumi, menyadari keterkaitan manusia dengan bumi yang menjadi tempat yang kita tinggali ini.

Memanfaatkan Momen
Keesokan harinya kami mendapat presentasi “Everyday Mindfulness and Technology”. Topik ini memaparkan tentang bagaimana menyadari momen kekinian dalam kehidupan sehari-hari. Secara nalar, tampaknya sulit sekali karena saya belum terbiasa. Namun sesungguhnya dari bangun tidur hingga malam, sungguh banyak momen yang bisa dimanfaatkan untuk berlatih mengembangkan kekuatan kesadaran, berlatih come back to here and now.

Bangun pagi, boleh saja dimulai dengan bernapas kesadaran dan senyum, ini bisa menjadi momentum membangun komitmen. Bertekad untuk menatap semua makhluk dengan mata karuna, dan bertekad senyum kepada semua orang yang saya temui.

Gosok gigi yang telah menjadi rutinitas setiap hari juga bisa menjadi sebuah latihan. Sadari setiap gerakan menggosok. Saya sudah mencoba menerapkan meditasi gosok gigi, ternyata memberikan pengalaman yang sangat berbeda. Entah saya baru sadar atau kemarin sikat giginya ngawur. Saya merasakan sensasi segar yang lebih segar daripada hari-hari sebelumnya.

Praktik memang perlu realistis. Ambillah dari hal-hal yang sederhana seperti makan dengan hening dan sadar selama 5 menit, atau kita berusaha makan dengan menerapkan teknik kesadaran sampai ada orang ajak bicara, maka kita baru membalas pembicaraan. Intinya sadari setiap momen apa adanya. Teknik ini bisa diterapkan dalam aksi berjalan, menyantap makanan, meneguk minuman, bahkan duduk di mobil menunggu macet atau lampu merah.

Bersama Komunitas
Saya berkomitmen, ketika nanti ada retreat bersama komunitas ini lagi maka saya akan siap. Ini merupakan short escape, refreshing yang bermanfaat bagi saya bersama komunitas ini. Saya ingin menyampaikan terima kasih yang sangat besar atas waktu dan kesediaan Bhante Nyanabhadra dalam membimbing kami selama retreat, Ce Ida yang sudah sangat rempong mengurus kami yang banyak urusan duniawinya, dan teman-teman komunitas yang sudah bertahan dan berjuang bersama.

Saya juga meminta maaf, jika ada kesalahan, tingkah laku saya yang terlalu sanguin yang mungkin dapat membuat kalian terganggu, juga ketidak disiplinan saya dalam berkomitmen dalam komunitas ini. Thank you (Victor).

*Pembina GABI juga Ayah dari satu orang anak dan suami dari satu orang istri

Napas Masuk Saya adalah Kerbau

Napas Masuk Saya adalah Kerbau
Program Anak DOM @Wihara Ekayana Serpong

Pada saat saya diminta untuk membantu DOM (Day of Mindfulness) di Wihara Ekayana Serpong pada tanggal 3 Maret 2018. Terus terang saya ada sedikit ragu. Tapi akhirnya saya ikut terjun sebagai voulenter program anak. Sempat stress sedikit karena saya harus sendiri menghadapi anak-anak. Walaupun saya pengajar di sekolah minggu tapi di DOM ini saya tidak pernah sendiri.

Selama 2 hari otak saya terus mutar berpikir, apa yang harus saya lakukan. Saya baca buku Planting Seed dan membongkar perlengkapan saya yang berkaitan dengan kerajinan tangan, lalu saya mempersiapkan semua hal yang bisa membantu saya dalam kegiatan nanti, ada buku, gunting, kain flanel, jarum jahit serta benang.

Ada Yang Berbeda
Pada hari H, ada sesuatu yang saya takut, saya takut anak-anak bertanya kok yang ikut program anak sedikit? ”

Bisa bosan nih…..

Anak lain bertanya, “Apakah kita akan ada mengumpulkan daun dan batu?
Saya jawab, “Untuk kali ini kita hanya di kelas“.

Lalu dia bilang “Jiaaa bosan dong……“.

Lalu ada 1 anak lagi bertanya, “Apakah kita akan minum soya dan biskuit?
Saya jawab, “Soya ada, tapi biskuit tidak ada“.

Lalu saya bilang, “Ada sesuatu yang berbeda loh“. Mereka menjadi penasaran dan bertanya, “Apa itu?
Saya bilang “Nah, itu kita liat saja nanti“.

Di otak saya berpikir, mau saya kasih apa ini anak-anak, programnya 1 hari looo? Akhirnya saya yakinkan diri gunakan saja semua yg ada di tas saya. Akhirnya kami pun melakukan orientasi mengenal bel dan napas. Kami menggambar semua anggota keluarga kami lalu bergiliran menceritakan tentang keluarga masing-masing.

Mereka cukup senang karena bisa saling kenal lebih baik lagi. Sekarang tibalah waktunya untuk mendengarkan ceramah. Saya lapor ke volunteer apakah anak-anak ikut ceramah? Dan ternyata tidak, karena sister tidak mempersiapkan ceramah untuk anak-anak. Saya langsung bingung, apa lagi yang harus saya lakukan? Saya buka buku dan menemukan meditasi kartu!

Siapa Diriku
Saya minta mereka mengambarkan “siapa diriku“, saya membimbing mereka dan menjelaskan bagaimana cara mengerjakannya. Mereka mengerti akhirnya, lalu mereka menggambar “siapa diriku“. Setelah selesai menggambar, kami berjalan keluar luar kelas menuju ke tempat yang ada Jendela besar. Di sana kami duduk hening dan bergilir membacakan apa yang telah mereka gambar dan tulis.

Ada yang menulis napas masuk saya ada gunung, napas keluar saya kuat. Pohon napas keluar kokoh. Laut, saya tenang. Bidak catur saya akan memimpin pasukan untuk menang, ada juga yang bilang napas masuk saya adalah laut dan saya tenang dan masih banyak lagi.

Ada 1 anak paling kecil dia bilang dengan bahagianya napas masuk saya adalah kerbau, napas keluar saya bahagia. Saya terkejut dan sedikit takut apakah anak-anak lain akan tertawa dan ternyata mereka tidak ada yang tertawa dan mereka tetap menyimak dan mengikuti dengan ketenangan sampai kami masuk kelas lagi.

Karena masih ada waktu sampai makan siang saya penasaran kenapa ini anak bisa menggambarkan dirinya sebagai seekor kerbau? Karena hampir semua orang tidak mau menggambarkan dirinya sebagai binatang, lalu saya membahas kenapa mereka menggambarkan dirinya seperti itu.

Kebahagiaan Polos
Semua anak-anak bercerita, bahwa mereka senang melihat pohon ada yang bilang karena dia hobi bermain catur, ada juga yang melihat keindahan alam. Lalu si kecil menjawab kalau dia pernah naik kerbau dan pada saat itu dia begitu bahagianya. Dia menceritakan dengan bahagia dan anak-anak yang lebih dewasa juga tersenyum dan ikut bergembira dengan si kecil tidak ada yang menertawakan si kecil.

Pada saat itu saya merasakan apa yang dimaksud dengan tidak menghakimi, jangan memikirkan sesuatu hal yang negatif. Saya tersadarkan, jadilah anak-anak yang polos dengan tidak memikirkan terlalu jauh, maka saya akan merasakan kebahagiaan di sekitar dan kebahagiaan yang polos, serta kebahagiaan yang murni.

Akhirnya kami bergembira semua dengan keluhan, tangisan, tertawa anak serta kebahagiaan anak-anak karena mereka mendapatkan sesuatu sampai selesai program anak di DOM. (Nirata)*

*Volunteer mindfulness, aspiran Ordo Interbeing, guru sekolah minggu, dan praktisi Zen.

Menjadi Pelita Penerang Kegelapan

Menjadi Pelita Penerang Kegelapan


Saya sudah menjadi aktivis di wihara cukup lama. Saya sering melihat bahwa di setiap kepanitiaan sebuah acara sering ada air mata bercucuran, atau berbagai jenis gesekan-gesekan yang membuat banyak orang tidak nyaman atau kecewa.

Saya juga sudah beberapa kali ikut membantu dalam kegiatan Retret Hidup Berkesadaran. Saya tidak tahu apa bedanya secara persis, tapi kami menyebutnya volunteer (sukarelawan). Retret Hidup Berkesadaran ini menggunakan pintu Dharma dari tradisi Zen Plum Village.

Volunteer membantu mempersiapkan berbagai kebutuhan dalam retret. Wihara juga punya kegiatan namun mereka sering menyebutnya panitia. Dalam kegiatan retret, saya merasakan semua tugas dan pekerjaan menjadi damai dan mudah karena antara satu volunteer dengan yang lainnya bisa bekerja dengan lebih sadar sehingga lebih harmonis.

Ini merupakan kepanitiaan yang saya sukai, karena selain kita bisa memberikan pelayanan kepada peserta, kita juga bisa sekaligus berlatih, dan tidak pakai marah-marahan atau bahkan berurai air mata (antar sesama volunteer) hanya karena ada pekerjaan yang tidak sesuai harapan. Kadang juga ada beberapa orang yang bahkan tidak saling mendukung justru seringnya mencari kesalahan pihak lain.

Di sini terlihat bahwa jika kita sadari, ketika badan lelah dan pikiran capek, maka akibatnya emosi pun cepat memuncak. Terkadang hanya karena masalah sepele kita bisa mengeluarkan kata-kata yang menyakiti orang lain. Sebetulnya orang yang melontarkan kata-kata pahit juga sedang lelah fisik dan capek pikiran.

Dalam keadaan ini apakah hanya kita yang kelelahan? Apakah hanya kita yang pantas untuk membuang sampah emosi kita ke orang lain?

Dalam sebuah kegiatan panitia atau volunteer, mereka telah bekerja dengan sedemikian rupa, dan banyak yang telah mereka korbankan, mereka meninggalkan pekerjaan rumah dan keluarganya serta waktu santainya. Banyak hal lainnya yang telah dikorbankan. Bukan hanya kita, sehingga jika kita bisa melihat dengan jernih bahwa dalam sebuah kegiatan alangkah indahnya jika kita bisa bekerja sama dengan penuh sukacita dan damai harmonis.

Ya itu baru saya temukan dalam kepanitiaan Retret Hidup Berkesadaran.

Saya berharap jika bagian dari komunitas mindfulness yang telah sama-sama berlatih, kelak bila mereka membantu di kepanitiaan lainnya seperti kegiataan wihara, seharusnya bisa menciptakan kepanitiaan yang damai dan harmonis juga.

Begitu juga bila bagian dari komunitas juga merupakan pengurus di organisasi wihara, hendaknya juga dapat menjadi pengurus yang selalu rukun, harmonis, bahagia dan mampu menyalakan pelita kedamaian untuk yang lainnya. Mari kita menjadi pelita yang bisa menerangi kegelapan serta mampu menyalakan banyak pelita lainnya. (Ely)*

*Volunteer Day of Mindfulness dan Retret Hidup Berkesadaran dari Jambi