Bertemu Musim Semi

Bertemu Musim Semi

Bertemu Musim Semi (Vn. Đi gặp mùa xuân) adalah buku yang menceritakan secara rinci tentang kehidupan Master Zen Thích Nhất Hạnh yang akrab disapa Thầy dalam bahasa Vietnam, artinya guru. Melalui buku ini, kita dapat melihat bahwa sejak kecil sudah ada aspirasi sangat besar dalam dalam hati Thầy untuk untuk belajar, berlatih, dan mengabdi untuk masyarakat. Melalui banyak pasang surut politik Vietnam dan Dharma, aspirasi tersebut tetap teguh dan telah membantu banyak orang mentransformasi penderitaan mereka dan menemukan kebahagiaan di saat ini.

Buku “Bertemu Musim Semi” (Đi Gặp Mùa Xuân), sementara ini hanya tersedia dalam bahasa Vietnam

Buku ini merupakan materi yang sangat berharga, tidak hanya untuk penelitian tetapi juga untuk praktik. Kita dapat membaca dan mengikuti jejak Thầy, lebih menghargai tanah air kita dan membuka hati kita, pikiran kasih (bodhicitta) memiliki kesempatan untuk tumbuh setiap hari dari jejak langkah guru spiritual kita. Thầy juga telah menjalani kehidupan sebagaimana manusia biasa layaknya banyak orang.

“Sebagian besar dedikasinya untuk berbagi dengan orang lain menunjukkan bagaimana hidup dengan penuh kesadaran (mindfulness) dan kasih sayang tidak hanya berkontribusi terhadap kedamaian batin, tetapi juga mencerminkan bagaimana setiap orang dapat menggunakan kesadaran penuh untuk membangun perdamaian di dunia. Master Zen Thích Nhất Hạnh menjalani kehidupan yang komplet dan bermakna. (Yang Mulia Dalai Lama).

Melalui buku ini, kita yakin bahwa kita akan memiliki kemampuan untuk menjadi penerus yang indah dari para leluhur pendahulu, sama seperti Thầy merupakan kelanjutan yang indah dari banyak generasi leluhur sebelumnya. (Diterjemahkan oleh Br. Pháp Tử dari Sách “Đi gặp mùa xuân”)

Menyusuri Jejak Langkah Thầy

Menyusuri Jejak Langkah Thầy

Guru Dharma Mitchell Ratner merefleksikan perjalanan ziarahnya menelusuri kehidupan dan silsilah Thích Nhất Hạnh di Vietnam, yang memberinya pemahaman mendalam tentang Thầy dan dirinya sendiri.

Mitchell berada di gerbang masuk tiga pintu yang ikonik di Kuil Từ Hiếu, kuil asal Thích Nhất Hạnh; foto milik Evermind Media. Semua foto lainnya oleh Mitchell Ratner.

Pada tahun 2019, Suster Định Nghiêm bercerita kepada saya tentang sebuah ide yang terpikir di dalam hatinya. Dia merasa ada banyak biarawan dan umat awam pengikut Thầy yang tidak berasal dari Vietnam yang akan lebih memahami ajaran dan praktik jika mereka lebih mengenal sejarah Buddhis yang kaya di Vietnam serta peristiwa dan berbagai tempat yang telah menempa kehidupan Thầy. Sister Định Nghiêm dan saya kemudian memulai perencanaan awal untuk melakukan tur ziarah. Namun, karena pandemi COVID dan kesehatan Thầy yang menurun, ziarah Mengikuti Jejak Thầy yang pertama tertunda.

Setelah wafatnya Thầy pada tahun 2022 dan meredanya kekhawatiran akan COVID, Suster Định Nghiêm, bekerja sama dengan Suster Tuệ Nghiêm, merencanakan ziarah pada Januari 2023. Kelompok peziarah bertemu pada tanggal 6 Januari di rumah Hà Nội yang luas milik teman-teman Vietnam di Plum Village untuk memulai tur ziarah selama delapan belas hari; beberapa dari kami dapat berpartisipasi secara menyeluruh, dan yang lain hanya sebagian. Ada tiga puluh orang peserta – jumlah yang tepat untuk bisa nyaman berada di dalam bus wisata Vietnam. Pada pertemuan awal, ada delapan wihara di Plum Village (dari Vietnam, Perancis, Indonesia, Thailand, dan Malaysia), dua kepala biara Korea, dan sekitar dua puluh umat awam (dari Amerika Serikat, Spanyol, Perancis, Jerman, Korea, Thailand, Indonesia, Hong Kong, Malaysia, dan Singapura). Sister Định Nghiêm dan Tuệ Nghiêm, biksuni senior dari New Hamlet di Plum Village, Prancis, menjadi tuan rumah, pemandu, sejarawan kehidupan Thầy, penerjemah, dan pembimbing kami.

Selama ziarah, kami menghabiskan malam di Hà Nội, Thanh Hóa, Đà Lạt, Huế, dan Gunung Yên Tử, serta satu malam menginap di kereta malam. Sehari-hari kami sering bepergian dengan bus untuk mengunjungi tempat-tempat yang penting bagi kemajuan Thầy sebagai pribadi dan sebagai guru. Ziarah ini terkadang meliputi latihan retret dengan meditasi duduk dan berjalan; grup belajar dengan para sister pengorganisir dan pemandu lokal yang menyajikan presentasi tentang pentingnya tempat-tempat yang akan kami kunjungi; dan sebuah tempat untuk percakapan dari hati ke hati selama berhari-hari mengenai kehidupan kami dan praktik ajaran Buddha yang kami jalani. Singkatnya, sangat luar biasa!

Lima pertemuan yang sangat menyentuh hati saya dan membantu saya memahami Thầy dengan sudut pandang yang baru: Gunung Thanh Hóa dan Na, Chùa Dâu (biara Buddha pertama di Vietnam), raja-raja yang tercerahkan dari Dinasti Trần Nhân, Gunung Yên Tử, dan Kuil Từ Hiếu.

Gunung Thanh Hóa dan Gunung Na

Salah satu tujuan pertama kami adalah kota Thanh Hóa, tempat keluarga Thầy pindah saat dia berusia lima tahun. Kami tiba di pagi hari dan makan siang sederhana di sebuah restoran vegetarian kecil di bagian kuno dari kota ini, yang kebetulan memiliki sebuah kutipan dan foto Albert Einstein di sebelah meja kasir. Pada sore hari, kunjungan ke museum arkeologi membangkitkan minat saya terhadap sejarah Vietnam dan pengaruhnya terhadap kehidupan dan ajaran Thầy- sebuah cara pandang terhadap dunia yang terpengaruh oleh latihan dan profesi saya sebagai antropolog sosial. Sebelum melakukan ziarah, hampir semua yang saya ketahui tentang sejarah Vietnam berada pada abad ke-20.

Fokus utama museum arkeologi di Thanh Hóa adalah budaya Dong Son, yang muncul sekitar tiga ribu tahun yang lalu di Lembah dan Delta Sungai Merah, yang secara umum sama dengan Vietnam Utara saat ini. Suku Dong Son mahir dalam bercocok tanam padi dan terampil dalam membuat peralatan perunggu. Seiring berjalannya waktu, sebuah wilayah yang luas secara geografis, hierarkis, dan memiliki struktur seperti negara muncul, dipimpin oleh para penguasa turun-temurun yang menciptakan dan memelihara sistem hidrolis untuk budidaya pertanian dan perlindungan terhadap banjir, mengelola perdagangan, dan mencegah serangan dan invasi. Antara tahun 43 dan 299 Masehi, daerah Lembah Sungai Merah yang produktif dalam pertanian merupakan bagian dari distrik administratif yang disebut Pemerintahan Jiaozhi (Quận Giao Chỉ). Meskipun penduduknya sebagian besar berbahasa Vietnam, mereka diperintah oleh dinasti-dinasti Tiongkok.

Para anggota ziarah di taman budaya terbuka di Tràng An, bagian dari Situs Warisan Dunia Kawasan Budaya dan Alam UNESCO di Delta Sungai Merah Vietnam. Selain pemandangannya yang terkenal, situs ini memiliki bangunan bersejarah dan kuil dari Hoa Lư, ibu kota pertama Đại Việt (Việt Besar), yang didirikan pada tahun 986.

Hotel kami terletak di pusat modern Thanh Hóa setinggi sepuluh lantai dan sepi, dengan hanya sedikit tamu. Namun, kekosongan lobi sangat mendukung malam itu karena ruang makan yang terletak di sebelahnya menyediakan sinyal Wi-Fi terbaik di hotel itu. Pada pukul 21.00 waktu Vietnam, yang sama dengan pukul 09.00 di Amerika Serikat bagian Timur, saya berpartisipasi pada sebuah seremoni langsung dan online untuk mentransmisikan Latihan Lima Perhatian Penuh kepada para praktisi di wilayah Washington DC. Ketika mengakses internet di hotel dan mengingat kutipan Einstein saat makan siang, saya dikejutkan oleh betapa jauh perkembangan Thanh Hóa saat ini dibandingkan dengan kota provinsi yang Thầy kenal di tahun 1930-an.

Keesokan paginya, kami melakukan perjalanan dengan bus ke Gunung Na, salah satu dari tiga lokasi paling suci di Vietnam. Thầy mengunjungi gunung tersebut dalam sebuah perjalanan sekolah saat berusia sebelas tahun. Dia berharap dapat bertemu dengan seorang pertapa yang diceritakan oleh gurunya tinggal di gunung tersebut. Pergi sendiri, Thầy menemukan gubuk sederhana milik pertapa tersebut, tetapi tidak menemukan pertapa itu. Kemudian dia menemukan hal lain yang mengubah jalan hidupnya. Thầy menyebutnya sebagai pengalaman spiritual pertamanya. Dalam buku At Home in the World, ia menulis:

Ketika saya berjalan makin dalam ke hutan, saya mendengar suara air yang menetes. Itu adalah suara yang indah. Saya mulai mendaki ke arah suara itu, dan segera saya menemukan sebuah sumur alami, sebuah kolam kecil yang dikelilingi oleh batu-batu besar dengan berbagai warna. Airnya sangat jernih sehingga saya bisa melihat sampai ke dasar …. Airnya terasa sangat enak. Saya belum pernah merasakan sesuatu yang seenak air itu. Saya merasa sangat puas; saya tidak membutuhkan atau menginginkan apa pun – bahkan keinginan untuk bertemu dengan pertapa itu pun hilang. Saya merasa bahwa saya telah bertemu dengan pertapa itu.

Thích Nhất Hạnh, At Home in the World (Berkeley: Parallax Press, 2016), hal. 23-24.

Kelompok kami duduk bermeditasi di dekat sebuah kuil feng shui di puncak gunung. Gubuk pertapa itu sudah lama hilang. Namun, kami dapat berjalan menuruni gunung untuk berkumpul di sekitar sumur dan mencicipi airnya.

Kunjungan Thầy ke Gunung Na berkontribusi pada cita-citanya untuk menjadi seorang biksu. Ketika ia berusia enam belas tahun, ia melakukan perjalanan dengan kereta malam dari Thanh Hóa ke Huế untuk menjadi samanera di Kuil Từ Hiếu, ditemani oleh kakak laki-lakinya yang sudah menjadi biksu di sana. Kelompok ziarah kami meniru perjalanan Thầy dengan menaiki kereta malam ke Huế. Saya berbagi bilik tidur dengan para kepala biara Korea, keduanya memancarkan ketenangan yang menyenangkan yang membuat saya dan yang lainnya terkesan pada mereka. Meskipun keduanya tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik, dan penerjemah wanita mereka berada di kompartemen yang berbeda, kami dapat berinteraksi dengan menyenangkan pada malam itu dan keesokan paginya dengan menggunakan isyarat dan Google Translate.

Foto bersama para peziarah di halaman depan Pagoda Chùa Dâu, yang aslinya bernama Kuil Pháp Vân, biara Buddha tertua di Vietnam. Patriark Zen pertama, Tăng Hội, tinggal dan mengajar meditasi di sana pada abad ketiga.

Chùa Dâu dan Guru Tăng Hội

Kemudian dalam perjalanan ziarah, kami berkendara sejauh tiga puluh mil dari Hà Nội untuk mengunjungi Chùa Dâu, Kuil Buddha pertama di Vietnam. Kuil ini dibangun antara tahun 187-226 Masehi di tempat yang saat itu bernama Luy Lâu, ibu kota Pemerintahan Jiaozhi. Karena perannya yang menonjol dalam perdagangan laut antara India dan Cina, Luy Lâu sering dikunjungi oleh para biksu dan pedagang India, dan daerah tersebut menjadi pusat regional untuk studi dan pengajaran agama Buddha Mahayana.

Bagi Thầy, Chùa Dâu sangat penting karena Guru Tăng Hội, yang meninggal pada tahun 280 Masehi, belajar dan mengajar di sana. Pada tahun 2007, setelah perjalanan pulang yang kedua kalinya setelah pengasingannya dari Vietnam, Thầy menjelaskan:

Meditasi yang saya bagikan di Barat berakar dari Vietnam pada abad ketiga. Kami memiliki seorang guru Zen yang sangat terkenal, Master Tăng Hội, yang ayahnya adalah seorang tentara dari India dan ibunya adalah seorang wanita muda Vietnam. Ketika orang tuanya meninggal dunia, Tăng Hội kecil pergi ke sebuah kuil di Vietnam utara untuk menjadi biarawan. Dia menerjemahkan komentar-komentar tentang sutra di kuil di Vietnam, kemudian pergi ke Tiongkok di mana dia menjadi guru Zen pertama yang mengajarkan meditasi di Tiongkok – tiga ratus tahun sebelum Bodhidharma. Saya menulis sebuah buku tentang Guru Zen Tăng Hội, dan saya mengatakan bahwa umat Buddha Vietnam harus mengagungkan guru Zen ini sebagai guru Zen pertama di Vietnam

Thích Nhất Hạnh, “Tiga Kekuatan Spiritual,” The Mindfulness Bell 46 (Oktober 2007)

Mengingat pentingnya Chùa Dâu bagi Thầy, kunjungan kami ke kuil tersebut berlangsung dengan cara yang mengejutkan. Kuil itu tampak jarang dikunjungi dan agak terabaikan. Meskipun terdapat patung Buddha dan Bodhisatwa, namun ada lebih banyak patung untuk memuja dewa-dewa lokal, tokoh Mandarin Tiongkok, dan roh-roh penjaga. Pemandu lokal kami dengan antusias menceritakan kisah-kisah fantastis, termasuk kisah tentang seorang wanita muda yang diubah menjadi pohon oleh seorang biksu yang tidak terhormat, kemudian berabad-abad kemudian dibebaskan oleh seorang penguasa lokal yang bijaksana yang membuat pohon yang tumbang itu dibuat menjadi patung berjubah kuning yang sekarang menjulang tinggi di atas Buddha di altar tengah. Sepanjang tur kami di kuil, para pemandu tidak pernah menyebut nama Master Tăng Hội.

Kemudian, terpisah dari para pemandu, Sister Định Nghiêm menjelaskan bahwa agama Buddha Vietnam terus hidup berdampingan dengan banyak kepercayaan dan praktik-praktik rakyat yang melibatkan dewa-dewi lokal, dewi-dewi dengan karakter ibu, dewa-dewi leluhur, dukun, dan perwujudan dari roh-roh hewan. Di beberapa kuil, seperti kuil ini, kepercayaan lain ini memiliki peran yang lebih menonjol.

Kunjungan kami ke Chùa Dâu membantu saya untuk menghargai hubungan spiritual Thầy dengan warisan Buddha Vietnam yang berusia dua ribu tahun. Karena kefasihannya berbahasa Vietnam dan Sino-Vietnam, jika ada sesuatu yang ditulis oleh seorang guru Buddhis Vietnam, ia dapat membacanya. Namun, Thầy bukan hanya seorang sejarawan dan penggemar agama Buddha Vietnam; dia juga seorang revolusioner spiritual. Sejak masa remajanya, Thầy memiliki keinginan yang dalam untuk memperbarui dan merevitalisasi agama Buddha di Vietnam. Dia ingin menjauhkan komunitas Buddhis dari takhayul dan kepercayaan rakyat yang ditentang di Chùa Dâu dan menawarkan praktik spiritual yang lebih bermanfaat, seperti yang telah disumbangkan oleh Tăng Hội kepada tradisi Buddhis.

Raja-raja yang Tercerahkan

Thầy memulai pelatihan biara di Từ Hiếu pada tahun 1942, di tengah-tengah Perang Dunia Kedua. Pendudukan Jepang dan penjajahan setelahnya menyebabkan banyak kesulitan bagi Từ Hiếu dan seluruh Vietnam, terutama Bencana Kelaparan Besar pada tahun 1945 ketika sekitar 600.000 hingga 2.000.000 orang Vietnam meninggal dunia. Catatan biografi Thầy:

Saat keluar dari kuil, [Thầy] melihat mayat-mayat bergelimpangan di jalanan dari mereka yang meninggal karena kelaparan dan menyaksikan truk-truk mengangkut puluhan mayat. Ketika Prancis kembali untuk merebut kembali Vietnam pada tahun 1945, kekerasan semakin meningkat. Meskipun banyak biksu muda yang tergoda oleh ajakan untuk mengangkat senjata dari pamflet-pamflet Marxis, Thầy yakin bahwa ajaran Buddha, jika diperbarui dan dikembalikan ke ajaran-ajaran dan praktik-praktik intinya, dapat benar-benar membantu meringankan penderitaan di masyarakat dan menawarkan jalan tanpa kekerasan menuju perdamaian, kemakmuran, dan kemandirian dari kekuatan penjajah, seperti yang pernah terjadi selama dinasti Lý dan Trần yang terkenal di Vietnam pada abad pertengahan

“Thich Nhat Hanh: Biografi Panjang,” Plum Village. Diakses pada 31 Agustus 2023.

Untuk mempelajari lebih lanjut tentang kaisar-kaisar abad pertengahan yang sangat menginspirasi Thầy, kelompok ziarah kami melakukan perjalanan ke Gunung Yên Tử, tujuh puluh mil di sebelah timur Hà Nội. Tiga kaisar pertama Dinasti Trần, yang memerintah dari tahun 1226 hingga 1314, sangat mengesankan saya karena mereka adalah pemimpin militer yang efektif, penguasa yang penuh kasih, mentor yang mendukung putra-putranya, dan praktisi Buddhis yang berkomitmen penuh. Setelah kekalahan telak tentara Mongol, Trần Nhân Tông, Kaisar ketiga dari Dinasti Trần, berfokus untuk membangun kembali negaranya dan mengurangi beban orang miskin. Saat berusia tiga puluh dua tahun, dia turun tahta demi putranya. Trần Nhân Tông telah bertahun-tahun ingin mengabdikan dirinya untuk mencapai pencerahan spiritual. Setelah secara resmi menjadi “Kaisar Purnatugas”, ia meninggalkan istana untuk mempraktikkan ajaran Buddha di Gunung Yên Tử, dan ditahbiskan sebagai biksu pada tahun 1295.

Pertapaan di Antara Awan

Dalam kata pengantar untuk novel sejarahnya, Hermitage Among the Clouds, Thầy menulis tentang Trần Nhân Tông:


[Dia] melepaskan tahtanya untuk menjadi seorang biksu dan tinggal di pertapaan kecil “Awan Tidur” di Gunung Yên Tử. Dia dikenal sebagai “Guru Mulia Hutan Bambu” dan merupakan pendiri “Sekolah Meditasi Zen Hutan Bambu”.
Sebelum menjadi biksu… ia memerintah sebagai raja di tanah Viet. Dia mengusir tentara Mongol yang menyerang pada akhir abad ke-13. Sejak ditahbiskan menjadi biksu, ia menjalani kehidupan pertapa dengan mengenakan kain kasar, tidur di bawah atap dedaunan, dan pergi ke mana pun tanpa alas kaki. Bahkan sebagai seorang biarawan, ia melanjutkan pekerjaannya untuk menegakkan keadilan dan moralitas dalam kebudayaan rakyatnya. Dia melakukan perjalanan ke negeri Cham dengan harapan dapat membangun fondasi persahabatan dan perdamaian yang langgeng di antara kedua negara.

Thích Nhất Hạnh, Hermitage Among the Clouds (Berkeley: Parallax Press, 2001), hal. vii.

Beberapa hari sebelum kematiannya, Trần Nhân Tông menuliskan sebuah puisi di dinding kuil:

Panjangnya hidup adalah satu tarikan napas,
Cahaya bulan di atas ombak lautan.
Mengapa mengkhawatirkan alam Mara?
Tanah Buddha saya adalah langit musim semi.

Thích Nhất Hạnh, Hermitage Among the Clouds (Berkeley: Parallax Press, 2001), hal. 126.

Gunung Yên Tử 

Perjalanan kelompok kami di Gunung Yên Tử dibagi menjadi dua suasana yang sangat berbeda. Kami menginap dan menyantap sebagian besar makanan di sebuah kompleks resort yang baru saja dibangun dan dibuat menyerupai biara atau kota di Vietnam pada abad ke-12. Kompleks ini terdiri dari sebuah hotel bintang lima untuk “bangsawan” serta kamar-kamar sederhana yang terdiri dari empat ranjang susun untuk “penduduk desa” (termasuk kelompok kami). Seluruh kota, dan terutama hotel bintang lima, dibuat dengan cermat dan mewah. Meskipun ada banyak pemandangan lanskap yang indah dan detail arsitektur yang indah, efek keseluruhannya bagi saya terasa tidak sesuai dengan kesederhanaan alami Gunung Yên Tử dan Sekolah Hutan Bambu yang didirikan oleh Trần Nhân Tông.

Suasana lain yang kami dapatkan adalah gunung Yên Tử: berbatu, liar, dan penuh dengan kuil-kuil Buddha dan Tao serta tempat-tempat suci. Kami mendaki Yên Tử di tengah angin yang menggigit dengan suhu sekitar sepuluh derajat Celsius. Beberapa biarawan dan umat awam mendaki selama tiga jam di tangga batu dan jalan setapak yang sangat sulit. Sisanya menerima bantuan gondola pada dua segmen. Meski begitu, perjalanan mendaki tetaplah sulit. Sepanjang perjalanan, kami melakukan sujud sembah dan meditasi berjalan di sebuah stupa dari abad ke-14 yang berisi relik-relik peninggalan Trần Nhân Tông. Pemandangan dari puncaknya adalah panorama spektakuler dari berbagai pegunungan yang tertutup awan. Kami tinggal selama satu jam, beristirahat, berbagi makanan ringan dan renungan, serta menyanyikan lagu-lagu Plum Village.

Sister Định Nghiêm di luar tembok Stupa Emas Huệ Quang di Kuil Hoa Yên di Gunung Yên Tử, yang berisi peninggalan raja Trần Nhân Tông yang menjadi biksu, tinggal di Gunung Yên Tử, dan mendirikan Sekolah Hutan Bambu Buddhisme Vietnam.
Sister Tuệ Nghiêm memimpin sebuah lagu di puncak Gunung Yên Tử.

Kemudian, ketika saya berbicara dengan teman-teman tentang kaisar-kaisar Trần awal, seseorang bertanya kepada saya bagaimana ajaran dan praktik mereka dapat diterapkan pada masa kini. Pembaruan atau strategi seperti apa yang mungkin dianjurkan oleh para penguasa yang tercerahkan tersebut? Menurut saya, ini bukan tentang pembaruan atau strategi tertentu, tetapi tentang para pemimpin yang menumbuhkan dalam diri mereka dan orang lain tentang aspirasi untuk menjadi penuh kasih, welas asih, dan sadar sepenuhnya. Jika perspektif tersebut ada pada banyak orang, perubahan positif akan terjadi. Thầy mengatakan hal yang sangat mirip dalam sebuah ceramah Dharma:

Dalam ajaran Buddha, kita berbicara tentang Tiga Permata: Buddha, Dharma, Sangha. Tetapi ketika kita melihat Sangha, Permata ketiga, kita melihat bahwa Sangha mengandung dua Permata lainnya. Sangha yang baik, komunitas yang baik, terdiri dari orang-orang yang mempraktikkan perhatian penuh, konsentrasi, dan pandangan terang. …

Jadi di dalam Sangha, di dalam tubuh Sangha, karena kita memiliki Sanghakaya (tubuh Sangha) yang baik, ada banyak sel. Masing-masing dari kita adalah sebuah sel dari Sangha. Dan setiap dari kita dapat membangkitkan energi perhatian penuh, konsentrasi, dan wawasan. Dan jika setiap dari kita berlatih dengan benar, maka energi kolektif yang dihasilkan oleh Sangha akan sangat kuat.

Saya pikir kita dapat menyelamatkan planet ini, mengurangi kekerasan, dan mengakhiri perang dengan energi semacam itu. Tidak peduli seberapa berbakatnya para pemimpin politik kita, jika mereka tidak memiliki energi seperti itu, mereka tidak dapat membantu …. Martin Luther King Jr. melihat hal itu dengan sangat baik. Ia mengabdikan diri untuk membangun Sangha. Ia berbicara tentang Sangha sebagai komunitas yang dicintai. Sayangnya ia dibunuh dan tidak dapat melanjutkan pekerjaan pembangunan Sangha. Kita harus melanjutkan pekerjaannya, karena pembangunan Sangha sangat penting. Dengan pekerjaan pembangunan Sangha kita dapat menciptakan kekuatan, jenis energi, yang membantu kita untuk menghadapi kesulitan-kesulitan besar yang sedang kita hadapi saat ini.

Thích Nhất Hạnh, 2011, “Komunitas Tercinta,” Thích Nhất Hạnh

Wihara Từ Hiếu

Thầy tinggal di wihara Từ Hiếu di Huế selama lima tahun sebagai calon dan samanera dan kembali ke sana selama empat tahun terakhir dalam hidupnya. Ziarah kami melakukan dua kunjungan beberapa hari ke Từ Hiếu untuk berpartisipasi dalam upacara memperingati ulang tahun pertama meninggalnya Thầy dan, kemudian, untuk merayakan Tết bersama komunitas biara. Saya telah berlatih di Từ Hiếu pada tahun-tahun sebelumnya dan memiliki perasaan hangat terhadapnya karena hubungannya dengan Thầy, karena kebaikan yang saya terima dari para monastik yang berlatih di sana, dan karena sejarahnya yang menarik.

Para sesepuh merayakan Tết di kuil keluarga Nguyễn di desa Thành Trung, dekat Huế, tempat ayah Thầy, Nguyễn Đình Phúc, lahir.

Kisah Từ Hiếu dimulai pada pertengahan abad kesembilan belas. Guru Nasional Master Thích Nhất Định adalah kepala biara yang terhormat di sebuah kuil di Huế dan juga seorang penasihat istana Dinasti Nguyễn. Ketika berusia lima puluh sembilan tahun, ia pensiun dan pindah ke sebuah gubuk jerami di hutan pinus di luar Huế. Beberapa waktu kemudian ibunya yang sudah lanjut usia, yang ia rawat di pertapaannya, jatuh sakit dan dokter menyarankan untuk makan sup ikan. Meskipun sebagai seorang biksu Buddha, beliau seorang vegetarian yang taat, Thích Nhất Định dengan patuh berjalan ke pasar setiap pagi untuk membeli ikan. Ketika orang-orang mulai menyebarkan rumor tentang pola makannya yang menyimpang, Nhất Định tidak menanggapinya.

Lama kelamaan, cerita ini sampai ke istana Kaisar Tự Đức, seorang pemimpin terpelajar dan baik hati yang merupakan pengikut kuat ajaran Konfusianisme. Dia menyelidiki dan menyadari bahwa tindakan Nhất Định didorong oleh rasa cintanya kepada ibunya. Pada tahun 1848, setahun setelah kematian Nhất Định, kaisar menghormati biksu yang setia itu dengan membangun sebuah kuil besar di lokasi gubuk jerami. Dia menamai kuil tersebut Từ Hiếu, “Kesalehan Berbakti yang Berbelas Kasih.”

Saya membayangkan biara ini sangat indah dan terawat dengan baik pada tahun-tahun awalnya, tetapi tampilan dan kondisi keuangannya mungkin jauh berkurang pada tahun 1942 ketika Thầy datang ke Từ Hiếu sebagai calon biksu. Meskipun kondisi fisiknya cukup berat, Thầy mengenang Từ Hiếu dengan penuh kasih dalam memoarnya, Jubah Guruku:

Tentu saja Anda tidak berlatih meditasi duduk sepanjang hari ketika Anda memasuki kuil. Selama berbulan-bulan dan terkadang bertahun-tahun Anda harus mengurus sapi, mengumpulkan ranting dan daun kering, membawa air, menumbuk padi, dan mengumpulkan kayu untuk api. Setiap kali ibu saya datang berkunjung dari desa kami yang jauh, ia akan menganggap hal-hal ini sebagai tantangan dari latihan tahap awal. Pada awalnya ibu saya mengkhawatirkan kesehatan saya, tetapi ketika saya semakin sehat, ia tidak lagi mengkhawatirkan saya. Bagi saya, saya tahu bahwa ini bukanlah tantangan – ini adalah latihan itu sendiri. Jika Anda memasuki kehidupan ini, Anda akan melihatnya sendiri. Jika tidak ada kegiatan mengurus sapi, tidak ada kegiatan mengumpulkan ranting dan daun, tidak ada kegiatan mengangkut air, tidak ada kegiatan menanam kentang, maka tidak akan ada sarana untuk latihan meditasi.

Thích Nhất Hạnh, My Master’s Robe (Berkeley: Parallax Press, 2005), hal. 22.
Potret di Aula Leluhur di Kuil Từ Hiếu dari guru Thầy, Kepala Biara keempat Thích Chân Thật (1884-1968), dan guru Thầy, Kepala Biara ketiga Thích Tuệ Minh (1861-1939).

Selama perayaan Tết, kelompok kami bertemu pada suatu pagi untuk bermeditasi di “Pondok Thầy,” tempat Thầy menjalani tahun-tahun terakhirnya. Kehadiran Thầy sangat terasa. Kemudian kami pergi ke Aula Buddha untuk memberikan penghormatan kepada Buddha dan silsilah Kuil Từ Hiếu. Saya ingat berdiri, terpesona, di depan dua potret yang dibingkai bersama di ruang leluhur. Satu potret adalah guru Thầy, Kepala Biara Thích Chân Thật (1884-1968), dan di sebelah kanan adalah guru dari guru Thầy, Kepala Biara Thích Tuệ Minh (1861-1939). Potret-potret tersebut membuat saya merenungkan transmisi ajaran perhatian penuh dari generasi ke generasi, dimulai dari Buddha dan berlanjut ke Thầy dan banyak kehidupan yang telah ia sentuh dan ubah.

Potret-potret tersebut juga mengingatkan saya bahwa esensi dari sebuah latihan spiritual ditularkan melalui hubungan yang dekat dan penuh kasih. Dalam Jubah Guruku, Thầy menulis tentang menemukan gurunya terjaga hingga larut malam untuk menjahit jubah coklat. Segera Thầy menyadari bahwa gurunya sedang memperbaiki jubah tersebut sehingga dia dapat memberikannya kepada Thầy di pagi hari, ketika dia akan menerima sila samanera dan tidak akan lagi mengenakan jubah abu-abu seorang siswa baru.

Akhirnya jubah itu selesai diperbaiki. Guru saya memberi isyarat agar saya mendekat. Ia meminta saya untuk mencobanya. Jubah itu sedikit terlalu besar untuk saya, tetapi itu tidak menghalangi saya untuk merasa sangat bahagia sampai saya meneteskan air mata. Saya telah menerima jenis cinta kasih yang paling suci – cinta kasih murni yang lembut dan besar, yang memupuk dan menyirami aspirasi saya selama latihan dan praktik saya selama bertahun-tahun.

Thích Nhất Hạnh, My Master’s Robe (Berkeley: Parallax Press, 2005), hal. 97.

Terakhir kali Thầy mengunjungi gurunya di Từ Hiếu pada bulan Mei 1966, tepat sebelum Thầy melakukan perjalanan ke Amerika Serikat untuk berbicara tentang penderitaan luar biasa yang disebabkan oleh perang dan menyerukan perdamaian. Thầy menerima transmisi pelita selama kunjungan tersebut, dan menjadi salah satu dari sekian banyak pewaris Dharma dari Guru Thích Chân Thật. Dua tahun kemudian, ketika kepala biara meninggal, ia meninggalkan instruksi agar Thầy ditunjuk sebagai kepala biara Từ Hiếu. Namun, Thầy, karena kampanye perdamaiannya di Amerika Serikat, tidak diizinkan untuk kembali ke Vietnam dan tidak dapat mengunjungi Từ Hiếu lagi sampai tahun 2005.

Penyembuhan dan Transformasi

Saya mengikuti ziarah ini dengan harapan dapat memperdalam pemahaman saya tentang Thầy dan ajarannya, dan ternyata benar. Saya tidak menyangka betapa banyak hal yang bisa saya pelajari tentang diri saya sendiri.

Seperti yang telah saya sebutkan, ziarah ini membuat saya lebih sadar akan betapa dalamnya pengalaman Thầy dan diperkaya oleh hubungannya dengan para leluhurnya. Begitu saya melihat hal itu, saya mulai memperhatikannya di sekeliling saya di Vietnam: dalam lingkup ruangan dan perawatan yang dicurahkan untuk altar keluarga dan cara berkunjung ke keluarga dan kuil-kuil yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Tahun Baru Vietnam.

Semakin saya melihat dengan jelas hubungan-hubungan dengan masyarakat Vietnam ini, semakin saya sadar akan kurangnya hubungan saya dengan darah, tanah, dan leluhur spiritual saya. Kakek dan nenek saya adalah orang Yahudi Eropa Timur, pemilik toko dan penjahit, yang datang ke Amerika Serikat saat masih remaja sekitar tahun 1900. Mereka meninggalkan komunitas tempat mereka dibesarkan, bahasa yang biasa mereka gunakan, orang tua dan keluarga besar, serta tradisi spiritual yang telah memelihara generasi sebelumnya. Tak lama setelah saya lahir, orang tua saya pindah dari Midwest ke California, memisahkan diri dari keluarga besar mereka. Saya tumbuh tanpa akar, tidak bahagia, dan tanpa rasa kepemilikan di lingkungan mana pun. Mencari sesuatu yang lebih baik, dan ingin menjauhkan diri dari tekanan keluarga, saya pindah dari California ke daerah Washington DC pada usia dua puluhan.

Saya bergumul dengan ketidakberdayaan saya selama dua dekade, dan kemudian saya bertemu dengan Thầy pada tahun 1990. Saya menyadari bahwa saya memiliki penyakit spiritual yang bahkan saya tidak tahu cara menceritakannya. Tetapi Thầy memahaminya, dan dia (dan Buddha) memiliki obatnya. Thầy menawarkan kepada saya sebuah visi tentang kehidupan yang seutuhnya dan otentik, praktik-praktik konkret untuk mengembangkan perhatian penuh dan welas asih, serta sebuah komunitas sahabat spiritual. Dengan kata lain, Buddha, Dharma, dan Sangha.

Sering kali selama ziarah, saya berpikir mengenai hampir empat puluh tahun di mana Thầy tidak dapat mengunjungi Vietnam. Ia sangat mencintai negara dan sejarahnya; ia sangat peduli pada banyak teman dan gurunya di Từ Hiếu di seluruh Vietnam yang telah mendukung dan menjaganya. Betapa menyakitkan baginya untuk berpisah dengan mereka. Dengan cara yang aneh, baik Thầy dan saya telah menjalani sebagian besar hidup kami di pengasingan. Pengasingannya bersifat geografis. Pengasingan saya adalah suatu bentuk keterasingan psikologis dan spiritual, suatu kemerosotan kemampuan saya untuk berhubungan baik dengan diri sendiri, orang-orang di sekitar saya, dan alam sekitar.

Untungnya, praktik-praktik yang membantu Thầy dalam pengasingannya, juga membantu saya dan jutaan orang lainnya. Dalam buku At Home in the World, Thầy menulis tentang dua tahun pertama pengasingannya:

Saya sering bermimpi berada di rumah di kuil asal saya di Vietnam bagian tengah. Saya mendaki bukit hijau yang dipenuhi pepohonan yang indah ketika, di tengah perjalanan, saya terbangun dan menyadari bahwa saya berada di pengasingan. Mimpi itu datang berulang kali kepada saya.

Thích Nhất Hạnh, At Home in the World (Berkeley: Parallax Press, 2016), hal. 13.

Seiring berjalannya waktu, ia belajar untuk menerima pengasingannya dan wawasan mendalam yang diberikan kepadanya:

Latihan saya adalah latihan perhatian penuh. Saya mencoba untuk hidup di sini dan saat ini dan menyentuh keajaiban hidup setiap hari. Berkat latihan inilah saya bisa bertahan. Pepohonan di Eropa sangat berbeda dengan pepohonan di Vietnam. Buah-buahan, bunga-bunga, orang-orang, semuanya benar-benar berbeda. Latihan ini membawa saya kembali ke rumah saya yang sebenarnya di sini dan saat ini. Akhirnya saya berhenti menderita, dan mimpi itu tidak kembali lagi. ….

Ungkapan, “Saya telah datang, saya telah pulang,” adalah perwujudan dari latihan saya. Ini adalah salah satu Segel Dharma utama Plum Village. Ungkapan ini mengekspresikan pemahaman saya tentang ajaran Buddha dan merupakan inti dari latihan saya. Sejak menemukan rumah sejati saya, saya tidak lagi menderita ….

Ketika kita sangat terhubung dengan kekinian, kita dapat menyentuh masa lalu dan masa depan; dan jika kita tahu bagaimana menghadapi kekinian dengan tepat, kita dapat menyembuhkan masa lalu. Justru karena saya tidak memiliki negara tempat asal saya, saya memiliki kesempatan untuk menemukan rumah saya yang sebenarnya.10

Thích Nhất Hạnh, At Home in the World (Berkeley: Parallax Press, 2016), hal. 13-14.

Saya sangat berterima kasih kepada Thầy yang telah menawarkan ajaran penyembuhannya kepada para praktisi Barat. Saya berterima kasih kepada Sister Định Nghiêm yang telah memvisualisasikan semua yang dapat ditunjukkan oleh ziarah Mengikuti Jejak Thầy kepada para praktisi non-Vietnam. Hal ini tentu saja menyentuh dan mentransformasi saya secara lebih mendalam dan dengan lebih banyak hal daripada yang saya perkirakan. Saya dipenuhi dengan rasa syukur kepada Sister Định Nghiêm dan Tuệ Nghiêm, yang bekerja tanpa kenal lelah sebelum dan selama ziarah, dan kepada para praktisi yang luar biasa di bus ziarah yang dengan mereka saya berbagi sukacita, tantangan, dan wawasan baru.

Pemandangan dari puncak Gunung Yên Tử, rumah bagi para biksu Buddha dan orang bijak Tao selama lebih dari seribu tahun.

Alih bahasa: Andi Setiawan
Sumber asli: Walking in Thầy’s Footsteps


Surat dari lubuk hati terdalam

Surat dari lubuk hati terdalam
Thầy dan Br. Pháp Hữu di India

Thầy terkasih,

Selagi kami duduk dalam pelukan lembut Sangha Plum Village sedunia, sembari menulis surat ini untuk Thầy, hati kami dipenuhi dengan rasa syukur dan hormat mendalam. Sudah dua tahun sejak kehadiran fisik Thầy kembali ke Ibunda Pertiwi, namun kehadiran dan semangat Thầy terus menerangi jalan bagi kami, para siswa dan yang lainnya.

Sebagai murid-muridmu, kami mendapat kehormatan dan keistimewaan untuk berjalan di sampingmu, menyerap kedalaman kebijaksanaanmu dan welas asih tanpa batas yang engkau pancarkan. Ajaran Thầy bukan hanya sekedar pelajaran, tetapi juga merupakan pengalaman hidup yang meresap ke dalam kehidupan dan interaksi kami sehari-hari. Kehadiran Thầy adalah tempat kedamaian, sebuah bukti dari kekuatan perhatian penuh dan cinta kasih.

Engkau mengajari kami, melalui teladanmu yang menerangi, bahwa meskipun dalam menghadapi kesulitan dan kesusahan, api aspirasi dapat menyala terang, tak pernah padam.

Hidup Thầy adalah pesan Thầy itu sendiri, merangkul lumpur dan teratai kehidupan, disatukan dari kain ketabahan dan komitmen yang tak tergoyahkan untuk perdamaian, di saat-saat tergelap, Thầy tetap menjadi mercusuar harapan, menunjukkan bahwa kedamaian batin adalah fondasi bagi perdamaian umat manusia.

Petualangan Thầy bukan hanya milik Thầy sendiri. Itu juga menjadi petualangan kami. Melalui matamu, kami belajar untuk melihat dunia dengan penuh kasih dan pengertian. Engkau menunjukkan kepada kami keterkaitan antara semua kehidupan, mengingatkan kami bahwa kita tidak terpisahkan, tetapi sangat terhubung satu sama lain dan dengan Bumi. Ajaran Thầy tentang perhatian penuh, tentang menghargai setiap momen, tentang hidup dengan penuh semangat dan cinta, adalah anugerah yang tak terukur nilainya.

Sembari kami terus berjalan di jalan yang telah Thầy tunjukkan kepada kami, kami merasakan komitmen yang mendalam untuk menjadi penerus warisan Thầy. Bimbinganmu tetap hidup dalam diri kami masing-masing, murid-muridmu, saat kami berusaha untuk mewujudkan dalam pikiran, kata-kata, dan tindakan kami, pintu-pintu Dharma yang telah engkau sampaikan kepada kami. Kami bertekad untuk selalu waspada, menumbuhkan kedamaian dan pengertian di dalam hati kami, dan menyebarkan kedamaian tersebut ke seluruh dunia.

Ketidakhadiranmu sangat terasa, namun kami menemukan pelipur lara dengan mengetahui bahwa engkau masih bersama kami, dalam gemerisik dedaunan, dalam keheningan meditasi, dalam senyuman yang engkau tebar, dalam saat-saat hening untuk merenung, dan dalam komunitas yang hidup ini; karya agungmu. Engkau mengajarkan kepada kami bahwa hidup ini tidak kekal, tetapi cinta dan pengertian adalah warisan yang bertahan dari generasi ke generasi.

Terima kasih, Thầy, atas bimbinganmu yang tak tergoyahkan, kasih sayangmu yang tak ada habisnya, dan pelajaran tak ternilai yang terus membimbing kami. Kami berjanji untuk meneruskan obor ajaran Thầy, memastikan bahwa esensi dari Plum Village terus berkembang dan menyentuh hati banyak orang.

Dengan rasa terima kasih dan cinta yang terdalam,

Kami murid-muridmu

dari Br. Pháp Hữu

Alih bahasa oleh Andy Setiawan dari Instagram

Seremoni Mengenang Satu Tahun Kepergian Master Zen Thich Nhat Hanh

Seremoni Mengenang Satu Tahun Kepergian Master Zen Thich Nhat Hanh
Seremoni peringatan mendiang Master Zen Thich Nhat Hanh

Hujan rintik-rintik menguyur kota Huế ketika kami dalam perjalanan menuju wihara Diệu Trạm. Wihara Diệu Trạm merupakan wihara para Bhiksuni dengan jumlah residen 80 biarawati yang bersebelahan dengan wihara Từ Hiếu, wihara para Bhiksu dengan jumlah residen 20 biarawan. Wihara Từ Hiếu merupakan tempat Master Zen Thich Nhat Hanh ditahbiskan, oleh karena itu kadang wihara ini disebut sebagai Wihara Akar dari tradisi Zen Plum Village.

Ketika kami tiba di wihara Diệu Trạm, beberapa biarawati menyambut dan mengantarkan kami menuju kamar. Walaupun udara dingin dan lembab sangat terasa di malam itu, hati saya merasa sangat bahagia. Ada kurang lebih 150 siswa monastik dari pusat latihan Plum Village dari berbagai negara yang datang ke wihara akar untuk berpartisipasi dalam rangkaian acara peringatan satu tahun wafatnya Maha Guru Zen, Thích Nhất Hạnh. Thầy yang artinya Guru merupakan sapaan Beliau, telah menahbiskan 1.214 siswa monastik dan puluhan ribu murid awam.

Rangkaian acara peringatan satu tahun wafatnya Thầy diawali dengan dua hari retret monastik yaitu pada tanggal 3 s.d. 4 Januari 2023. Ini merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi monastik karena para senior bhiksu dan bhiksuni dari tradisi Plum Village berbagi Dharma kepada generasi monastik yang lebih muda. Retret monastik ini juga menjadi ajang reuni, berkumpul dengan kakak dan adik seperguruan yang telah lama tidak bertemu.

Energi kebahagiaan dan keceriaan terpancar di segala sudut kedua wihara meskipun banyak persiapan yang harus dilakukan dalam menyambut total sekitar 250 monastik. Ada begitu banyak pekerjaan yang harus dibereskan, seperti memotong sayur, memasak, mempersiapkan aula meditasi, sistem audio dan terjemahan, mempersiapkan kamera dan siaran langsung, dan lain lain. Seluruh monastik dan awam yang hadir bersama-sama bersumbangsih dalam meditasi kerja.

Bunga seruni atau kadang disebut bunga krisan.
Bunga Seruni (sumber: wikipedia id)

Pada tanggal 5 s.d. 6 Januari, wihara Từ Hiếu yang merupakan tempat pelaksanaan seremoni peringatan wafatnya Thầy dibersihkan secara menyeluruh dan tenda-tenda dipasang. Bunga dan buah dipersembahkan ke altar Buddha dan Bodhisattwa, altar leluhur dan Thầy. Di altar Thầy selalu dihiasi bunga Seruni yang berwarna coklat kekuningan, ini adalah bunga kesukaan Thầy.

Di Plum Village Perancis, bunga Seruni mekar di bulan Oktober. Di Phương Khê, tempat tinggal Thầy di Prancis selalu dihiasi dengan bunga ini. Hingga saat ini, Phương Khê selalu dibersihkan secara berkala oleh siswa monastik, bunga-bunga dan tanaman yang ada tetap dirawat. Bahkan di Phương Khê telah dibangun aula meditasi yang baru.

Aula meditasi yang baru ini merupakan amanat dari Thầy ketika Beliau sedang sakit. Dengan menggunakan kursi roda, pendamping Thầy akan membawa Beliau ke salah satu gedung tua di Phương Khê dan Beliau memberikan petunjuk bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk pemugaran gedung tersebut. Hal ini dilakukan karena jumlah siswa monastik yang terus bertambah sehingga aula lama yang digunakan sudah tidak muat lagi. Thầy adalah arsitek dari aula meditasi yang baru itu.

Seremoni peringatan hari wafatnya salah satu leluhur Guru, Thầy Huệ Minh berdekatan dengan seremoni guru kita maka seremoni untuk Beliau juga menjadi bagian dari rangkaian acara dan diadakan pada tanggal 7 Januari. Ada banyak monastik yang merupakan siswa atau cucu siswa Beliau berdatangan ke wihara Từ Hiếu untuk mengikuti seremoni peringatan itu. Begitu pula praktisi awam hadir dari berbagai kota di Vietnam maupun dari luar negeri. Pendarasan doa-doa dilakukan secara tradisional dan menggunakan bahasa sino Vietnam yang mirip dengan bahasa Mandarin.

Day of Mindfulness (DOM) yang menjadi ikon dari Plum Village diadakan di hari Minggu, 8 Januari, begitu banyaknya siswa monastik dan praktisi awam yang berdatangan, aula meditasi wihara Diệu Trạm menjadi tidak muat tetapi tim soundsystem sudah mempersiapkan tempat di luar aula meditasi sehingga semua yang hadir dapat mengikuti DOM. Thầy Pháp Ấn membabarkan Dharma dilanjutkan dengan makan siang bersama dan sorenya ada sesi tanya jawab.

Di dalam tradisi Vietnam, tahun pertama meninggalnya seorang Guru disebut tahun Tiểu Tường, yang mana upacara peringatan ini hanya dihadiri oleh keluarga monastik dan siswa-siswa Beliau. Tahun kedua disebut tahun Đại Tường, di tahun kedua ini akan diadakan seremoni dalam skala besar, Para Maha Guru dari berbagai wihara di Vietnam akan diundang untuk menghadiri Đại Tường, ini juga seremoni memindahkan altar Thầy ke altar utama leluhur.

Meditasi kerja pun dilanjutkan di hari senin, 9 Januari di pagi dan siang hari. Lalu di malam hari di aula meditasi Bulan Purnama, wihara Từ Hiếu diadakan acara mengenang Thầy, ada begitu banyak kenangan indah yang dibagikan, transformasi dan penyembuhan, kebahagiaan dan kegembiraan serta nyanyian-nyanyian, dan semua ini dipersembahkan kepada Thầy.

Kota Huế diguyur hujan sejak saya tiba tanggal 2 Januari, jikalaupun hujan berhenti paling lama 30 menit atau satu jam saja lalu hujan akan turun lagi. Tetapi di hari seremoni peringatan wafatnya Thầy di tanggal 10 Januari, sejak pagi hujan tidak turun setetes pun sampai kami selesai makan siang.

Lebih dari 2.500 orang memadati wihara Từ Hiếu, siswa monastik, anggota ordo Interbeing, praktisi awam, anak remaja dan anak-anak. Seremoni dimulai pukul 09:00 di aula Buddha, wihara Từ Hiếu dengan mendaraskan sutra dan mantra secara tradisional dalam bahasa Sino Vietnam. Guru-guru besar memimpin pendarasan dan siswa monastik Thầy berlutut di hadapan altar Buddha serta melakukan namaskara berulang kali kepada Buddha dan Bodhisattwa.

Meditasi makan bersama

Satu jam kemudian, para monastik melakukan prosesi dari aula Buddha ke aula meditasi Bulan Purnama untuk melanjutkan pendarasan sutra dengan menggunakan Bahasa Vietnam. Bukan hanya siswa-siswa monastik Thầy yang bernamaskara pada saat pendarasan, guru-guru besar yang memimpin seremoni ini pun ikut bernamaskara di depan altar Thầy. Pendarasan sutra-sutra dilakukan dengan melodi khas dari kota Huế, sangat indah, unik dan penuh dengan kekuatan.

Di sore harinya, kami mengunjungi taman kenangan tempat Thầy dikremasikan yang berjarak 45 Km dari wihara. Saat itu hujan rintik-rintik, kami melakukan penghormatan kepada Thầy dengan mempersembahkan dupa, bunga dan buah lalu kami mendaraskan Namo Avalokitesvaraya dilanjutkan dengan meditasi jalan di sekitar taman. Setelah selesai, Thầy Pháp Ấn mengatakan bahwa Thầy sangat suka melakukan meditasi jalan ketika hujan rintik-rintik. Kami semua sangat merasakan kehadiran Thầy.

Kota Huế merupakan kota tua dan umat Buddha di sini masih sangat tradisional, monastik yang telah meninggal dikuburkan dan didirikan stupa di atasnya. Ada begitu banyak stupa dan pemakaman umum di kota ini. Ketika pemerintah kota Huế mendapat info bahwa Thầy menginginkan upacara yang sederhana dan dikremasikan, mereka membangun krematorium dari batu bata dan proses kremasi menggunakan kayu.

Stupa piramida kecil di taman kenangan

Setelah krematorium ini selesai dibangun, seorang Maha Guru yang juga sangat dihormati di kota Huế, menginginkan upacara yang sederhana dan dikremasikan, Beliau adalah yang pertama menggunakan krematorium ini. Lalu satu tahun kemudian, Thầy menggunakan krematorium tersebut. Setelah itu, krematorium ini ditutup. Di taman ini didirikan dua monumen untuk mengenang dua Guru besar dan batu bata yang digunakan disusun menjadi bentuk piramida, menjadi saksi telah dikremasikannya dua Guru besar di taman tersebut.

Saya merasa sangat terharu dapat mengikuti rangkaian acara peringatan satu tahun wafatnya Thầy, keberadaan saya di Vietnam membuat saya merasa sangat terhubungkan dengan lebih mendalam kepada wihara akar, para leluhur, Thầy dan kebudayaan serta kehidupan orang Vietnam. (Sr. Trăng Mới Lên; monastik yang berasal dari Indonesia, saat ini tinggal di Lower Hamlet, Plum Village Prancis)

Senyuman dari Plum Village

Senyuman dari Plum Village

Plum Village bukan merupakan sebuah wihara Vietnam yang terletak di tanah Eropa. Di Plum Village, kita bisa melihat budaya India, budaya Tiongkok, budaya Vietnam, dan budaya Barat. Jika kita perhatikan dengan saksama, kita melihat bahwa unsur non-Plum Village ada di Plum Village. Oleh sebab itu, Plum Village juga merupakan objek meditasi. Makin dalam kita mengamati, makin jelas kita melihatnya…. Jika kita melihat lebih mendalam, kita melihat bahwa Plum Village juga tidak lahir dan tidak mati. – Thich Nhat Hanh

 

Anh Thieu datang dari Vietnam dengan kapal bersama istri dan dua anaknya. Mereka adalah orang pertama yang membantu kami membangun Plum Village. Dari musim dingin tahun 1982 hingga musim panas tahun 1983, kami terus bekerja keras. Pada awal tahun 1983, kami mulai menanam beberapa pohon di Upper Hamlet. Pohon-pohon pertama yang ditanam adalah enam pohon pinus payung. – Thich Nhat Hanh

 

Jika Anda mengunjungi Plum Village, Anda harus membawa pulang Plum Village secara keseluruhan bersama Anda, tanpa kurang sedikit pun. Membawa pulang Plum Village, membuat Anda akan bisa bertahan lebih lama. Ajaran dan praktik mengenai “Aku telah tiba, aku di rumah” (I have arrived, I am home) selalu melengkapi ajaran tentang “mengalir seperti sebuah sungai dan bukan setetes air” (going as a river and not as a drop of water). Jika Anda adalah setetes air, maka Anda akan menguap di tengah jalan; tetapi jika Anda mengalir seperti sungai, Anda pasti akan mencapai samudera.– Thich Nhat Hanh

 

Foto-foto ini adalah milik Plum Village, Eileen Kiera, dan Lyn Fine. Sedangkan kutipan-kutipan dicetak ulang dari buku I Have Arrived, I Am Home (2003) oleh Thich Nhat Hanh dengan izin dari Parallax Press, Berkeley, California, www.parallax.org.

Saling Mencari

Saling Mencari

Telah lama aku mencari-Mu, wahai Begawan,
sejak aku masih belia,
aku telah mendengar seruan Begawan
ketika aku baru saja mulai bernapas.


Aku pergi berkelana
menempuh jalan berisiko
menghadapi begitu banyak bahaya,
menanggung keputusasaan, ketakutan, harapan, dan kenangan.

Sejak lama aku mencari Begawan,
menempuh perjalanan ke wilayah paling jauh,
sangat luas dan liar, mengarungi samudra luas,
melintasi puncak-puncak tertinggi, tersesat di antara awan-awan.
Aku telah terbaring mati, benar-benar sendirian,
di ujung tanduk pasir gurun purba.
Aku menyimpan di dalam hatiku begitu banyak air mata batu.
Aku bahkan pernah bermimpi meneguk setetes embun,
tertampak galaksi nan jauh yang berkilau dengan cahaya gemerlap.

Aku telah meninggalkan jejak kaki di pegunungan surgawi
dan berteriak dari Neraka Avici, kelelahan, gila karena putus asa
karena aku sangat lapar dan kedinginan,
karena aku mendambakan,
karena aku ingin mencari tahu,
siapakah orang yang bermartabat sempurna.

Aku tahu ada keyakinan misterius
dalam rangkulan hatiku,
keyakinan mendalam juga jernih
Di situlah tempat begawan bersemayam.
walaupun aku tidak pernah tahu di mana Begawan berada,
sejak lama aku berfirasat
bahwa Begawan dan aku sesungguhnya satu kesatuan,
lalu jarak di antara kita hanyalah sekilas pemikiran,
tidak lebih jauh daripada jaraknya detakan jantung.

Kemarin sore aku berjalan sendirian,
melihat dedaunan musim gugur berserakan di jalur tua itu,
dan bulan yang cerah, menggantung di atas gerbang,

tiba-tiba tampak seperti bayangan seorang kawan lama.
Bintang bersinar terang melaporkan kehadiranmu,
bahwa Begawan telah hadir di sini.

Semalaman turun hujan nektar,
secepat itu merembes melalui jendela,
di angkasa tertampak hujan badai menggelegar,
Bumi dan langit seolah-olah sedang marah.
Namun, akhirnya hujan di hatiku telah berhenti
awan mendung juga telah berpencar.
Aku menatap melalui jendela,
Bulan sabit telah bersinar kembali,
Bumi dan langit juga sudah tenang kembali.
Melihat pantulan diriku dalam rembulan
Aku melihat diriku sendiri,
terlihatlah Begawan. 

Begawan sedang tersenyum.
Betapa indahnya!
Rembulan kebebasan telah kembali kepadaku,
apa pun dalam benakku hilang seketika.
Sejak momen itu,
dan di setiap momen berikutnya,
aku melihat tiada yang lenyap.
Tiada yang perlu dipulihkan.
bunga mana,
batu seperti apa,
menatapku langsung mengenaliku.
Ke mana pun aku memandang,
aku melihatmu tersenyum oh Begawan
senyuman tanpa-kelahiran dan tanpa-kematian.
Senyuman yang aku terima saat memandang cermin bulan.

Aku melihatmu duduk di sana,
solid bagaikan Gunung Meru,
damai bagaikan napas,
Begawan duduk di situ,
tak pernah absen sama sekali.
Duduk sebagaimana bumi ini
tiada bara api dan badai
Begawan duduk di situ
bebas dan hening sepenuhnya.

Akhirnya,
aku menemukanmu, oh Begawan,
dan aku menemukan diriku.
Air mata berlinang tak tertahankan
Di sana aku duduk.
di bawah langit biru tua,
pegunungan yang tertutup salju terlukis di cakrawala,
dan matahari merah yang bersinar memancarkan kemilau.

Wahai Begawan,
engkau adalah cinta pertamaku.
engkau adalah cinta suci,
Dan aku tidak akan pernah membutuhkan
cinta yang disebut “terakhir”.
Engkau bagaikan sungai spiritual
telah melewati banyak kehidupan
ratusan ribu kelahiran kembali
namun selalu tertampak baru.

Telah lama aku mencarimu, oh Begawan,
sejak aku masih belia
Aku telah mendengar seruan Begawan
ketika aku baru saja mulai bernapas
Begawan adalah kedamaian
Begawan adalah soliditas
Begawan adalah kebebasan
Dialah Tathāgata Buddha 

Aku bertekad memperkuat
sumber kebebasan
sumber soliditas
dipersembahkan kepada semua makhluk
kini dan esok hari.

Walking in Freedom

Walking in Freedom

Pagi ini kami mengadakan latihan jalan berkesadaran bersama. Kali ini kami mencari tempat baru di luar sekolah, agar ada suasana baru. Dengan keterbatasan tempat yang ada di kota ini, kami mendapatkan dua tempat, kebun di sebelah sekolah sebagai tempat berlatih mindful walking dan kebun ubi dengan hamparan ladang kelapa sawit yang luas sebagai latar belakang untuk tempat meditasi berdiri. Ini cukup menyegarkan karena dapat melihat dan merasakan suasana alam kembali di tengah rutinitas kami sebagai guru.

Berikut beberapa sharing berupa puisi, cerita dan insight dari guru-guru berdasarkan pengalaman mereka dalam berlatih mindful walking pada pagi ini atau selama ini.

Masih Adakah Alasan Bagi Kita Untuk Tidak Bersyukur?

Berjalan, tak hanya sekadar menapakkan kaki di Bumi.

Berjalan adalah sebuah keajaiban yang selayaknya harus disyukuri sepanjang napas masih bersarang di raga.

Sadari betapa luar biasa bahagianya seorang ibu yang melihat bayinya mulai bisa berjalan melangkahkan kakinya untuk pertama kalinya.

Bayangkan dan sadari betapa seorang astronot atau angkasawan yang pasti sangat merindukan menginjakkan kakinya di Bumi, saat ia telah berada begitu lama di angkasa luar.

Atau…

Bayangkan betapa rindunya seorang kapten kapal atau awak kapal yang bekerja di laut lepas atau seorang nelayan yang berbulan-bulan berada di tengah laut, dan tak dapat menginjak bumi.

Jadi, adakah alasan lagi bagi kita untuk tidak bersyukur atas masih dapat dengan bebas menapakkan kaki di Bumi dan melangkahkannya? (VJM)

Sepatu Bagus Tidak Akan Berguna Apabila Kita tidak Dapat Berjalan

Aku pernah menonton sebuah film tentang kehidupan seorang perempuan dan ada suatu kutipan di dalamnya yang berbunyi seperti ini, “Sepatu yang bagus akan membawamu ke tempat yang bagus”, dan aku setuju dengannya waktu itu, sebelum aku mengenal tentang meditasi berjalan. Mengapa? Karena kita biasanya memakai sepatu bagus untuk pergi ke tempat yang bagus. Semua orang melakukan itu. Kita akan bahagia memakai sepatu yang bagus karena kita tahu kita akan pergi ke suatu tempat dengannya. Dan tentu, kita merasa bahagia karena itu.

Tetapi ketika aku belajar meditasi berjalan, pikiranku langsung berubah. Meditasi berjalan mengajarkan aku bahwa ke mana pun kita pergi, kuncinya bukan pada sepatu yang dikenakan, tetapi pada kaki yang merupakan bagian dari tubuh kita. Sepatu yang bagus tidak akan ada gunanya apabila kita tidak dapat berjalan. Disadari atau tidak, tubuh kita adalah keajaiban Tuhan, sangat indah. Kita memiliki perasaan karena kita dapat merasakan semua hal. Perasaan yang kita rasakan ketika memakai sepatu bagus yang akan membawa kita ke tempat yang bagus tidaklah sebanding dengan perasaan yang muncul ketika kita hanya memakai sepasang sandal biasa dan berjalan dengan penuh kesadaran. Aku menyadari insight ini, and it’s amazing.

Meditasi jalan telah mengajarkan aku untuk membuka mata, hati dan pikiranku bahwa aku memiliki tubuh yang menakjubkan yang harus kurawat. Aku memiliki kaki yang dapat membawaku ke mana saja yang aku inginkan. Aku memiliki mata yang dapat melihat pemandangan indah. Ini bukan lagi tentang sepasang sepatu bagus yang membuatku bahagia, tetapi kebahagiaan walau hanya memakai sandal, berjalan dengan perlahan dan penuh kesadaran, yang tidak dapat digantikan oleh apa pun.

Aku merasakan hal ini ketika retret di Pllum Village Thailand 2019. Aku melihat ratusan orang dengan wajah bahagia berlatih bersama meditasi berjalan pada pagi hari dengan pemandangan yang indah dan udara yang segar. Ya, aku dapat merasakan apa yang membuat mereka bahagia. Berjalan menyadari kaki melangkah, memperhatikan langkah kita perlahan menyentuh Bumi, dan menyadari kita dapat berjalan adalah kebahagiaan sesungguhnya. Aku yakin mereka juga merasakan hal yang sama waktu itu. Meditasi berjalan membawa kita pada perasaan lebih mendalam, lebih menghargai dan tentu saja, lebih bersyukur. (BAS)

Memandang Dari Sudut Pandang Yang Berbeda

Ketika kita berada di suatu tempat dalam suatu perjalanan, entah perjalanan sungguhan ataupun perjalanan hidup, ada banyak peristiwa yang terjadi di dalamnya, termasuk suka duka yang kita lewati juga merupakan pembelajaran bagi kita sendiri. Saat kita berdiri sendiri, menyadari napas masuk napas keluar… saya sadar saya hidup…. meyakini bahwa kita masih hidup adalah salah satu momen wujud rasa syukur kepada Allah SWT.

Ada beberapa hal yang menjadi pengingat ‘momen saat ini’ tadi pagi. Ketika melihat hamparan warna hijau, yang terbayang adalah wujud kebesaran Allah SWT. Menyadari saat kita melihat, kita masih memiliki mata yang lengkap dan sempurna, saat kita mendengar dengan telinga, bernapas dengan hidung dan paru-paru yang sehat, berdiri dengan kaki yang tegak, semua kesehatan yang ada pada kita saat ini adalah berkah pemberian Allah SWT.

Melihat sebatang pohon kering, juga menjadikan pemikiran saya lebih mendalam. Terbersit beberapa pertanyaan, “Mengapa pohon itu begitu? Mungkin banyak faktor yang mempengaruhinya, entah tanahnya yang tidak subur lagi, entah mungkin memang saatnya ia menggugurkan daunnya atau mungkin memang ia sudah saatnya kering dan mati”.

Banyak hal yang bisa menyebabkan itu semua terjadi, menyadari bahwa ia adalah salah satu bukti siklus hidup di bumi ini. Bukti bahwa ia pernah hidup, pernah berada di sekitar kita, di dekat kita, bersama kita dan bahwa kita semua adalah bukti ketidakabadian dalam hidup ini. Semua itu menjadikan diri saya belajar. Belajar bersyukur, belajar untuk menerima dan melepaskan. Ikhlas, merupakan satu kata yang tepat walau tidak mudah untuk dilakukan.(ES)

Banyak Rasa Syukur Ketika Kita Menyadari Saat Ini

Masih banyak cerita lain dari guru-guru. Semua cerita bermuara pada rasa syukur atas saat ini. Ada di antara mereka yang sedang memiliki masalah, tetapi ketika berjalan menyadari setiap langkah dan menyadari momen saat ini, dapat menyegarkan dan menenangkan mereka.

“Ketika aku bernapas masuk, aku berkata pada diriku sendiri, ‘Ini adalah menakjubkan bahwa aku masih dapat berjalan seperti ini.’ Dengan kesadaran itu, aku dapat menikmati setiap langkahku. Aku berkata, ‘Aku hidup!’

Mindfulness mengingatkan aku untuk memberi perhatian dan menikmati bahwa tubuhku masih hidup dan cukup kuat bagiku untuk berjalan.”

(Latihan Jalan Berkesadaran ini sekaligus kami persembahkan sebagai hadiah kepada Thay Thich Nhat Hanh yang genap berusia 94 tahun pada tanggal 11 Oktober 2020. Happy Continuation Day, Thay!)

Rumini, Guru Sekolah Ananda, Bagan Batu

Berita Musim Gugur Mengenai Thầy di Huế

Berita Musim Gugur Mengenai Thầy di Huế
Thich Nhat Hanh di Vietnam, sumber: https://www.voatiengviet.com/

Berita terbaru, Selasa, 6 Oktober

Dengan bahagia kami mengonfirmasikan bahwa kesehatan Thầy masih stabil, terima kasih kepada tim medis dan monastik yang merawat dan mengasihi Thầy. Tidak ada alasan untuk khawatir. Para murid senior Thầy yang datang dari pusat-pusat latihan internasional untuk menjenguk Thầy telah tiba dengan selamat di Vietnam dan sekarang sedang dalam karantina, dan akan segera menjenguk Thầy.

Kami tahu bahwa energi kedamaian, sadar-penuh, belas kasih, dan transformasi adalah dukungan yang dapat kita berikan kepada Guru kita. Untuk merayakan ulang tahun Thầy pada tanggal 11 Oktober, kami mengundang Anda untuk berbagi kisah pemulihan dan transformasi pribadi Anda di sini. Kami menganjurkan Anda untuk mempraktikkan ajaran-ajaran Thầy, dan mengambil momen ini untuk menemukan keberanian dan belas kasih untuk merekonsiliasikan diri Anda dengan seseorang yang memiliki kesulitan dengan Anda. Ini adalah hadiah terbaik yang dapat kita berikan kepada Guru kita.

18 September 2020

Komunitas terkasih,

Beberapa minggu lagi, tanggal 11 Oktober, Thầy akan berusia 94 tahun. Kami bersyukur dan bahagia karena Thầy dengan penuh welas asih masih bersama kita sejak beliau mengalami strok yang cukup berat enam tahun lalu, tetap mempersembahkan kehadiran, stabilitas dan menyertai kami yang meneruskan jejak langkah beliau, bersama-sama melanjutkan, membina dan menumbuhkan komunitas internasional Plum Village dan juga melanjutkan ajaran serta warisannya.

Sejak bulan Oktober 2018, Thầy tinggal di Wihara Từ Hiếu di Huế, Wihara di mana Thầy memulai menjalani kehidupan kebiksuannya hampir 80 tahun yang lalu. Thầy sering mengelilingi halaman wihara, berpartisipasi dalam berbagai kegiatan bersama komunitas monastik untuk berlatih meditasi jalan, puja bakti/upacara dan festival, serta berinteraksi dengan murid-muridnya dan simpatisan yang hadir dari seluruh dunia untuk silaturahmi dan menghaturkan rasa hormat kepada Thầy. Sejak pandemi virus corona merebak, wihara telah ditutup, dan berbagai tindakan pencegahan telah diberlakukan untuk menjaga kesehatan Thầy.

Kesehatan Thầy masih belum stabil, kadang menurun, kadang membaik. meskipun semangat Thầy masih cerah dan kuat, dalam sebulan terakhir ini, kondisi kesehatan Thầy makin lemah dan Thầy kehilangan nafsu makan.

Sebagai murid Thầy, kami bertanggung jawab memastikan bahwa Thầy mendapatkan apa yang dibutuhkan untuk mendukung kesehatan jasmani dan rohaninya serta memastikan semua perlengkapan untuk penanganan kesehatannya sesuai dengan situasi kondisi COVID-19. Saat ini ada ketentuan karantina, sebelum seseorang memasuki negara Vietnam, dan juga ketentuan karantina saat memasuki wilayah Huế. Karena banyak murid senior Thầy yang telah melayani dan mengajar di berbagai negara selama dua tahun terakhir ini, harapan kami agar mereka yang dekat dengan Thầy dapat hadir bersama untuk merayakan ulang tahun Thầy pada tanggal 11 Oktober mendatang. Kami merasa bersyukur bahwa mereka telah diberikan izin masuk ke negara Vietnam di masa pandemi ini.

Kami tahu, bahwa apa yang sangat membahagiakan dan menjaga semangat Thầy adalah mendengar bahwa muridnya, baik umat awam dan monastik di berbagai belahan dunia terus mengaplikasikan dan mempraktikkan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari dan juga di masyarakat. Untuk merayakan “hari keberlanjutan” Thầy pada tanggal 11 Oktober, kami mengundang ribuan murid Thầy untuk berlatih meditasi jalan, memaafkan serta mengasihi mereka yang sedang mengalami kesulitan. Ini adalah cara yang indah untuk melanjutkan Thầy di dunia dan memelihara semangatnya selama beliau masih ada bersama kita. Semoga energi dari Bodhisattwa Awalokiteswara terus bersama Guru kita, komunitas dan semua yang sedang menghadapi masa sulit saat ini.

Kami tahu bahwa tahun 2020 adalah tahun yang sulit. Banyak dari kita yang kehilangan orang yang kita kasihi, menghadapi ketidakpastian, ketakutan dan diskriminasi. Kita semua harus melepaskan semua rencana kita dan meninjau kembali apa yang penting bagi kesejahteraan dan kebahagiaan kita. Kita tahu kita tidak boleh menyia-nyiakan apa pun juga. Kita merasa beruntung bahwa kita masih hidup, memiliki orang yang kita cintai, dan memiliki jalan spiritual sebagai tempat untuk berlindung.

Di sini, di Plum Village, Prancis, kami harus membatalkan berbagai agenda retret dimana biasanya para peserta dapat hadir tatap muka dan sebagai penggantinya kami mengadakan retret secara online. Kami berterima kasih kepada ribuan orang yang telah mengikuti retret online. Minggu ini, kami memulai retret tahunan kita, Retret Musim Hujan (Masa Varsha) selama 90 hari dengan tema non-diskriminasi. Terima kasih atas kemurahan hati para donatur dan pendukung, sehingga dapat melanjutkan kehidupan spiritual kami untuk memperdalam studi dan pelatihan. Sebagai komunitas, kami bertekad untuk berlatih dengan sepenuh hati selama tiga bulan ini dan akan menyiarkan secara langsung (live streaming). Ceramah Dharma dapat diakses setiap hari Minggu, dan kami juga akan mengunggah ceramah Dharma pada hari Kamis. Kami akan terus mencari berbagai cara untuk dapat tetap terhubung secara virtual dengan komunitas global dan ketika kondisi mendukung, dengan senang hati kami menanti dan menyambut kedatangan Anda kembali di pusat latihan kami.

Dengan kasih dan penuh rasa syukur,

Para Biksu dan Biksuni Plum Village

Thay Pulang ke Vietnam Setelah Periksa Kesehatan di Thailand

Thay Pulang ke Vietnam Setelah Periksa Kesehatan di Thailand

Wahai Komunitas Terkasih,

Sangha sangat berbahagia untuk mengumumkan bahwa pada 4 Januari 2020, Thay kembali ke Vietnam dan pulang ke vihara Từ Hiếu Root di Từ Hiếu Root setelah menghabiskan lima minggu di Thailand untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Kondisi Thay baik, selera makannya telah pulih, dan masih memiliki semangat yang kuat.

Selama berada di Plum Village Thailang, dekat Taman Nasional Khao Yai, Thay menikmati atmosfer yang damai dari pusat latihan dan mampu menghadiri upacara ordinasi dari empat belas biksu dan biksuni muda di komunitasnya. Thay sedang menantikan untuk melihat renovasi kuil yang baru yang telah selesai di vihara Từ Hiếu, dan kembali ke tanah air beliau saat perayaan tahun baru Lunar akhir bulan ini.

Semoga sangha merasakan Tahun Baru yang damai dan harmonis,

Para biksu dan biksuni Plum Village

Melanjutkan Jalur Transformasi Thay

Melanjutkan Jalur Transformasi Thay
Sesi Be-In @PlumVillageThailand, 12 Oktober 2019

Selamat Hari Ulang Tahun, demikianlah ucapan pada umumnya. Di Plum Village, kami mengucaptkan Selamat Hari Berkelanjutan (Happy Continuation Day). Segala sesuatu muncul karena ada kondisinya, dan kelahiran Anda bukanlah yang pertama kali, namun itu adalah kelanjutan dari kelahiran sebelumnya.

Hari Berkelanjutan juga memiliki makna kelanjutan dari guru spiritual. Para murid merupakan kelanjutan dari guru spiritualnya, ada murid monastik dan awam, melanjutkan jalur transformasi Buddha, para bodhisatwa mahasatwa, guru spiritual dan guru kami terkasih, Thay.

Hari Berkelanjutan Thay jatuh pada tanggal 11 Oktober 2019, Plum Village Thailand memberikan kesempatan kepada banyak orang untuk hadir ikut berlatih meditasi dan bersama-sama merayakannya dengan penuh khidmat. Acara perayaannya pada tanggal 12 Oktober 2019, hadir sekitar 220 orang dari berbagai negara, terutama dari Vietnam dan Thailand lebih banyak.

Ada acara Be-In (duduk melingkar untuk berbagi, mempersembahkan lagu, membacakan puisi dan sebagainya). Ada beberapa monastik senior berbagi memori indah bersama Thay.

Hari itu juga ada pemutaran film singkat tentang kehidupan Thay, kemudian Talk Show dalam bentuk bincang-bincang ringan tentang Thay dari sudut pandang monastik.

Bagian publikasi juga mengumumkan majalah Plum Village Thailand yang juga sekaligus merayakan 10 tahun berdirinya Plum Village Thailand.

Perayaan ditutup dengan sesi tanya jawab dari Sister Đoan Nghiêm tentang dasar-dasar praktik kewawasan yang diajarkan oleh Thay, kemudian bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Malam hari ada sesi meditasi duduk dan pelepasan lentera doa untuk kesehatan Thay juga perdamaian dunia.

Thich Nhat Hanh Pulang ke Rumah

Thich Nhat Hanh Pulang ke Rumah

Jumat, 2 November 2018

Pusat Latihan Internasional Plum Village
Le Pey, Thénac 24240, Perancis

Para biksu dan biskuni dari Pusat Latihan Internasional Plum Village dari Engaged Buddhism menemani guru terkasih, Master Zen, pemimpin siritual global, aktivis perdamaian dan penyair, Thich Nhat Hanh, saat ia kembali lagi ke tanah kelahirannya. Sejak merayakan hari kelanjutannya yang ke-92 bulan lalu, beliau telah mengungkapkan keinginannya untuk kembali ke wihara akar, Wihara Tu Hieu di Hue, Vietnam untuk menetap di sana hingga akhir hayatnya. Thich Nhat Hanh telah mengubah tantangan fisik sangat berat yang muncul sejak stroke yang dideritanya sekitar 4 tahun lalu menjadi pelajaran luar biasa. Walaupun menghadapi kesulitan ini, beliau justru memberikan pelajaran yang luar biasa melalui tetap hidup dalam setiap momen dengan penuh kedamaian dan ketenangan, kehadiran sepenuhnya dan kehidupan bermakna.

Wihara Tu Hieu merupakan tempat Thich Nhat Hanh pertama kali di ditahbiskan pada tahun 1942, waktu itu beliau berusia 16 tahun. Setelah menghabiskan hampir 60 tahun mengajar di luar negeri, kepulangan terakhir Thich Nhat Hanh ke tanah kelahirannya merupakan sumber kedamaian dan kebahagiaan bagi murid-muridnya di Wihara Tu Hieu beserta silsilahnya.

Sungguh penting bagi semua pengikut internasional dari Thich Nhat Hanh untuk tetap menjalin koneksi dengan akar spiritual di Vietnam. Thich Nhat Hanh, yang telah melahirkan istilah Engaged Buddhism (Agama Buddha terjun aktif) dan mendedikasikan dirinya untuk memperbarui Agama Buddha sehingga bisa membantu individu juga masyarakat agar bisa menghadapi tantangan masa kini, selalu melihat akar pengajarannya tentang kehidupan spiritual yang terjun aktif dari patriak buddhis Vietnam yaitu Dinasti Ly dan Tran.

Walaupun sejak stroke Thich Nhat Hanh sudah tidak bisa berkomunikasi secara lisan lagi, namun ia tetap memancarkan kekuatan kewaspadaan dan kehadirannya. Setelah memanggil semua murid seniornya pada pertemuan tanggal 24 Oktober 2018 di Plum Village Thailand, tempat ia berdiam sejak Desember 2016, Thich Nhat Hanh mengomunikasikan keinginannya untuk kembali ke Vietnam melalui bahasa tubuh, menganggukkan dan menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan.

Persiapan kepulangannya ke Vietnam telah dipersiapkan dan Beliau mendarat di Bandara Da Nang, Vietnam pada tanggal 26 Oktober. Kedatangannya disambut secara meriah oleh para biksu sesepuh, beserta biksu, biksuni, dan praktisi awam.

Setelah beristirahat di penginapan dekat pantai selama dua hari, Thich Nhat Hanh tiba di Wihara Tu Hieu pada sore hari tanggal 28 Oktober 2018, dimana ia disambut dengan prosesi formal tradisional yang diiringi genta dan tambur. Ketika beliau memasuki kompleks wihara, ia menyempatkan diri untuk menyentuh gerbang kuno dingin yang terbuat dari bebatuan: lambang kedatangan dan kepulangan. Semua orang yang hadir di sana dalam suasana hening ketika ia mengontemplasikan danau bulan sabit, tempat ia menggoreskan banyak kenangan pada masa monastik muda, dan kemudian berlanjut ke Aula Buddha (Buddhasala) untuk memberi hormat dan mempersembahkan dupa kepada altar leluhur.

Sejak ketibaannya, kesehatan Thich Nhat Hanh masih rentan namun stabil. Ia telah bergabung dalam meditasi jalan bersama komunitasnya pada waktu subuh, mengunjungi setiap sudut wihara yang merupakan rumahnya dan tempat ia tumbuh saat memulai perjalanan spiritualnya. Sore hari pada tanggal 26 Oktober 2018 di Da Nang, sebagai kepala wihara dan kepala silsilah Tu Hieu, Thich Nhat Hanh mengarahkan muridnya untuk mempersipkan draf surat undangan kepada semua biksu dan biksuni dari silsilah Tu Hieu (murid dan keturunan dari Master Zen Thanh Quy, guru dari Thich Nhat Hanh), untuk menghadiri pertemuan keluarga dan merayakan kepulangannya di Wihara Tu Hieu tanggal 3 November 2018. Seperti yang dikatakan Thich Nhat Hanh ketika beliau pertama kali pulang ke Vietnam tahun 2015, setelah empat dekade dalam pengasingan, “Tiada agama, tiada doktrin yang lebih tinggi daripada persaudaraan kakak dan adik”.

Bahkan pada momen saat ini, Thich Nhat Hanh masih semangat dan enerjik dalam menggunakan setiap napas dan aksinya untuk membangun serta memperkuat “beloved community of compassion” (komunitas welas asih yang terkasih), dan untuk mengembangkan penyembuhan, rekonsiliasi dan transformasi dalam komunitasnya, masyarakat dan di dunia ini.

Thich Nhat Hanh Pulang ke Vietnam pada November 2018

Sr Chan Đức’s Mewakili Thay di Union Medal Award Ceremony

Sr Chan Đức’s Mewakili Thay di Union Medal Award Ceremony

Sr. Chân Đức mewakili Thay di Seremoni Union Medal Award @NewYork

*Pidato pada tanggal 6 September 2017

 

Ibu Ketua, fakultas, para mahasiswa, dan sahabat sekalian, saya merasa ini sebuah kehormatan dapat mewakili Plum Village dan Thay, guru kami. Thay mengalami stroke pada tahun 2014, sehingga beliau tidak bisa hadir di sini bersama-sama kita. Namun Thay hadir bersama kita di sini secara semangat. Saya bisa merasakan kehadiran beliau berjalan di koridor gedung ini. Pada tahun 2001, Thay berkesempatan menginap di sini selama beberapa hari sesudah peristiwa 11 September (9/11). Beliau menyampaikan nasihat kepada masyarakat negeri ini bagaimana cara baik merespon kejadian yang menyayat hati itu di Gereja Riverside.

Jika Thay dapat berbicara pada hari ini, beliau pasti akan memberikan pesan yang sama persis seperti yang telah beliau sampaikan, ketika kita berada dalam ancaman begitu banyak kesulitan, tentang Korea Utara dan juga respon terhadap Korea Utara, bagaimana kita dapat mempraktikkan mendengar secara mendalam terutama terhadap diri sendiri, mendengar penderitaan kita sendiri, mengerti luka kita, mengerti luka mendalam kita. Kemudian, bagaimana kita dapat mendengarkan penderitaan dan luka dari mereka yang ada di sekitar kita. Bagaimana kita dapat mendengarkan penderitaan dan luka dari orang-orang yang memposisikan dirinya sebagai musuh. Melalui mendengar secara mendalam dan mampu mengekspresikan dan mendengar diri kita sendiri, kita dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang terbentang dari homo sapiens dan bumi kita pada saat itu. Daripada menghancurkan homo sapiens, kita dapat mengubah homo sapiens menjadi homo conscious, makhluk yang paham bagaimana untuk hidup secara bermakna dalam kehidupan sehari-hari, hidup dengan belas kasih, dengan cinta kasih, dengan gembira, kebahagiaan mendalam, dan cinta mendalam.

Medali ini akan dikirimkan ke Thailand, tempat Thay sedang menjalani masa pemulihannya. Atau mungkin ke Vietnam, saat ini (cat: 22 Okt) Thay sedang mengunjungi Wihara akar Plum Village, Tu Hieu, disitulah Thay pertama kali ditahbiskan menjadi samanera. Saat itu, keinginan mendalam beliau adalah memperbarui Agama Buddha, sehingga Agama Buddha bisa menjadi sebuah jalan yang terbuka untuk kita agar bisa menghadapi penderitaan masa kini. Ketika Thay tinggal di New York, beliau mampu menyembuhkan banyak luka yang beliau alami di masa perang Vietnam. Saat itu, beliau kembali kepada dirinya sendiri, dan mempraktikkan meditasi jalan, napas berkesadaran, agar bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Penyembuhan itu terjadi, seperti yang beliau katakan dalam jurnalnya di tahun 1962, ketika beliau membaca catatan harian menjelang akhir dari Dietrich Bonhoeffer, yang juga pemilik seminari ini. Pengorbanan, pengertian, dan kasih dari Dietrich Bonhoeffer sangat diapresiasi oleh Thay, dan membantu Thay menyadari betapa ketulusan dan keberanian dibutuhkan untuk memperbarui Agama Buddha.

Thay selalu berpikir bahwa beliau akan dapat mengajar di Vietnam, memperbarui Agama Buddha di Vietnam. Namun, sebab dan kondisi membawanya ke Amerika Serikat, yang berarti bahwa selama lebih dari empat puluh tahun (beliau dalam pengasingan selama empat puluh tahun), sejak beliau datang pada tahun 1962 sampai hari ini, Thay telah mempersembahkan sebuah Agama Buddha baru bagi dunia Barat. Sejak itu, kita dengan penuh keberanian dapat terus maju dan dapat terus maju di jalan ini yang membantu kita bertransformasi dari homo sapiens menjadi homo conscious. Jenis makhluk yang tidak hanya peduli dengan spesies manusia akan tetapi mampu menjaga seluruh makhluk, khususnya bumi tercinta yang kita pijak ini, sekeliling kita, dan atmosfer yang berada di atas kita.

Kami sangat bersyukur dapat hadir di sini hari ini, bersama-sama dengan Anda semua, dapat menerima medali yang luar biasa ini. Kami akan membawanya untuk Thay. Thay akan selalu di sini bersama dengan Anda di dalam hati Anda semua. Kapanpun Anda mempraktikkan jalan penuh kedamaian di sepanjang koridor ini, Anda semua berada dalam sentuhan Thay.

Sebagai ungkapan terima kasih kepada fakultas dan seluruh mahasiswa di institut ini, kami ingin mempersembahkan sebuah kado kecil. Ini adalah kaligrafi karya Thay. Kami berharap kado ini bisa sedikit memperkuat Socially Engaged Buddhism yang dipopulerkan oleh Thich Nhat Hanh untuk Agama Buddha yang lebih aktif terjun ke dalam masyarakat. Ketika program itu telah mendapatkan kondisi yang sesuai, maka kado itu bisa ditempatkan di ruang itu. (Ang)

Sumber: https://plumvillage.org/news/2017-union-medal/