Ide ideal dalam bayangan saya dalam mengikuti retret adalah berhasil memperhatikan napas baik frekuensi, panjang napas dan lamanya perhatian penuh, singkatnya kualitas memperhatikan napasnya meningkat, syukur-syukur tercerahkan seperti Sidharta Gautama.
Saat meditasi dibimbing hari kedua, tiba-tiba saya menyadari pikiran saya penuh dengan segala jenis nama buah-buahan dan sayur-sayuran. Napas masuk, saya tahu saya sedang bernapas masuk, kemudian muncul brokoli, mau dimasak kapan dan hari apa. Teng…… suara genta, oow….. 2 menit hilang karena brokoli.
Syair kedua dibacakan, alih-alih memperhatikan napas dan kata kunci, muncul silih berganti buah naga, papaya, nanas dan lain-lain. Meditasi berakhir antara memperhatikan napas dan upaya membuang pikiran yang penuh dengan segala urusan bahan baku.
Saya mengikuti retret sekaligus berperan sebagai penanggung jawab harian bagian konsumsi bersama beberapa teman yang lain. Karena ini retret panjang maka persediaan bahan mentah pun menggunung memenuhi lemari pendingin dan dapur, entah karena merasa bertanggung jawab terhadap kesejahteraan perut semua peserta, kesegararan bahan baku atau mix match bahan untuk mendapatkan keragaman menu.
Dari sini saya menyadari, ketenangan yang digambarkan orang lain untuk menilai pribadi saya masih ditahap permukaan, saya masih tidak bisa tenang dan damai memikirkan urusan konsumsi yang terlihat jelas mempengaruhi meditasi formal saya.
Metode latihan yang ditawarkan Plum Village adalah Engaged Buddhism, membawa Dharma dalam hidup keseharian, secara mandiri berlatih untuk berhenti berpikir, bergerak ataupun berbicara dan menggunakan terutama bunyi genta untuk kembali ke napas, makin menyadari tubuh, pikiran ataupun emosi, maka kita akan makin melambat secara alami.
Kalau dalam bahasa slank, INI GUA BANGET sampai di hari terakhir saya tiba-tiba menyadari bahwa energi kebiasaan saya dan peserta lain sangat kuat sehingga kami lebih sering tidak berhenti dalam menghabiskan waktu, kami masih dipaksa untuk berhenti pada saat genta atau jam dinding berbunyi.
Pikiran itu seperti monyet lincah yang meloncat dari satu pohon ke pohon lain, konon itu yang dikatakan para bijaksana, dalam retret ini saya merealisasikan kebenarannya dengan sangat jelas bahwa saya tidak menyadari bahwa otak saya riuh rendah dengan beragam pemikiran dan segala jenis pembicaraan sendiri dan saya tidak menyadari dan mengira semuanya baik-baik saja. Otak saya itu persis seperti kata Thay, radio 24 jam nonstop, alamak!
Pada satu kali Dharma sharing, kami diminta untuk menggambarkan cuaca hati pada hari itu dan menceritakan kepada keluarga diskusi setelahnya, beberapa orang menggambarkan keluarga selain dirinya sendiri, compare to them I felt how selfish I am. Perasaan itu muncul begitu saja, walaupun permintaan fasilitator adalah menggambarkan cuaca hati sendiri, saya tidak salah menggambar diri sendiri namun kenapa ada yang bisa mengikutsertakan orang lain?
Dalam observasi saya sejauh ini, ini merupakan refleksi dari latihan bodhisatwa, saya bisa benar dan bisa salah, namun latihan ini membuka pintu hati dan pikiran saya, latihan ini tidak bisa dilakukan instan-dadakan, karakter dan terutama kemampuan untuk berhenti adalah hasil dari latihan berkelanjutan.
Tubuh, pikiran dan emosi adalah kesatuan. Emosi akan merefleksikan bentuknya dalam gesture tubuh, semuanya bisa dibentuk dengan pikiran yang stabil terlatih, so far that are what I get from those retreats, thanks for train me. (Kshantica)