Bagaimana Melepaskan Kemarahan?
Subtitle bahasa Indonesia telah tersedia
Subtitle bahasa Indonesia telah tersedia
Retret Hidup Berkesadaran (RHB) adalah wadah atau tempat untuk berlatih menjadi hidup lebih dasar penuh dan dapat hidup dengan prinsip saat ini. RHB 8 kali ini diadakan di Pondok Sadhana Amitayus dengan 2 gelombang. Saya mengikuti 2 gelombang tersebut.
Saya merasakan perbedaan yang begitu drastis dari sebelum dan sesudah retret. Saya rajin untuk mengikuti Retret. Sebelum saya mengikuti retret, saya tidak dapat melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, mencuci piring dan lain sebagainya.
Di retret, kita tidak hanya dilatih untuk sadar penuh akan aktivitas yang kita lakukan, tetapi kita diajarkan untuk hidup mandiri. Jika seseorang mendengar bahwa retret dengan hidup bermeditasi setiap hari begitu membosankan dan sangat malas, maka ternyata itu salah. Retret memang melatih kita untuk bermeditasi, tetapi itu lebih ke rutinitas kita sehari-hari yang dilakukan secara sadar. Sadar saat makan dan minum, berjalan, duduk, berbaring dan sebagainya.
Relaksasi Total
Selama saya mengikuti retret, saya sering mendengar kesan orang yaitu relaksasi total atau meditasi berbaring. Dimana kita dilatih untuk tidur secara sadar dan kalau tertidur adalah suatu bonus. Tidur jenis ini biasanya tidak menghasilkan mimpi. Kita memberikan julukan meditabo (meditasi bobo).
Relaksasi total biasanya disertakan dengan panduan relaksasi total agar kita bisa mendapatkan arahan dan instruksi saat melakukannya. Saya beberapa kali memimpin untuk relaksasi total dan banyak orang yang langsung terlelap bahkan menghasilkan paduan suara yang sangat lucu alias ngorok.
Meditasi Jalan
Pada saat meditasi berjalan, kita dibawa untuk bermeditasi berjalan outdoor. Kita melihat pemandangan gunung yang indah dan sawah yang begitu besar. Melihat ke kiri dan ke kanan terdapat sawah, melihat ke depan terdapat gunung yang menjuntai. Sangat indah sekali.
Saat saya sedang enak untuk berjalan dan menikmati udara segar yang menyegarkan tubuh, mungkin karena saya kurang mindfulness saat berjalan, saya terjilapak (tergeletak) di antara rerumputan. Untung saja rerumputan jadi tidak terlalu sakit. Maka dari itu, saya sadar mengapa kita harus melakukan aktivitas secara mindfulness. Jika sedang bengong atau memikirkan sesuatu, pasti yang saya alami akan terjadi.
Berbagi Tugas
Hal yang paling berkesan juga ada ketika meditasi kerja. Pada saat itu saya adalah volunteer. Saya mendapatkan meditasi kerja di toilet. Aduhh, selama retret, toilet adalah spot meditasi kerja yang paling saya hindari. Saya paling malas untuk menyikat WC dan juga menyedot WC. Kali ini, saya harus meditasi kerja di toilet dan tetap harus menjalaninya. Tugas saya menyikat dan menyedot WC hingga bersih.
Di rumah saja saya tidak pernah menyikat WC dan kali itu adalah kali pertama melakukan hal itu. Membersihkan rambut-rambut yang membuat air menjadi mampet juga harus dibersihkan. Saya merasa jijik tetapi menjadi tantangan.
Membersihkan WC ternyata tidaklah mudah. Tetapi, dengan mendapatkan shift di toilet, saya menjadi belajar cara untuk menyikat WC yang benar dan teman-teman yang lain juga dapat menjadi lebih bertanggung jawab dengan shift yang mereka dapatkan.
Water Flowering
Retret kali ini terdapat sesi water flowering, dimana kita bisa memberikan kesan kepada teman teman melalui tulisan. Kita diminta untuk menempel kertas di punggung dan teman-teman kita akan menuliskan kesan positif kita. Sesi yang paling seru karena heboh. Tujuan sesi itu juga setelah saya mendapatkan kesan dari orang lain untuk kita, sekaligus saya juga dapat mengintropeksi diri saya sendiri.
Manfaat Retret
Dengan mengikuti retret, masing-masing individu akan mendapatkan kesan dan pengalaman yang berharga termasuk saya. Saya menjadi lebih mandiri dari sebelumnya dan mendapatkan nutrisi tubuh dan meninggalkan sejenak kerjaan yang menumpuk di real life activity. Banyak manfaat yang akan didapatkan saat mengikuti retret.
Lihat foto di Facebook: Kloter ke-1 dan Kloter ke-2
NUAN, Aktif di Komisi Remaja Wihara Ekayana Arama, volunteer retret hidup berkesadaran, mahasiswa Universitas Pelita Harapan, Jurusan Hukum.
Di halaman rumahku yang tidak begitu luas, aku menanam sebatang pohon lemon di dalam pot. Pohon lemon itu kupandangi dan kusayangi setiap hari, kadang ranting-rantingnya yang terlalu rimbun kugunting dengan penuh perhatian, karena dikhawatirkan itulah cikal bakal bunga buah nantinya.
Namun, suatu hari ini aku pulang ke rumah setelah seharian berada di wihara, aku mendapati pohon lemonku dalam keadaan yang sangat menyedihkan, satu cabangnya yang besar telah terpotong tak beraturan, hanya tersisa satu cabang lagi yang tidak begitu besar. Hati ini terasa sakit, seperti ada yang tersayat di tubuhku.
Menenangkan Diri
Aku berusaha meredam emosi, aku pergi ke wihara dan mencoba bernapas masuk dan bernapas keluar. Namun tidak mudah untuk berkonsentrasi. Pikiran aku kembali lagi dan kembali lagi tentang si pohon lemon. Seharusnya orang yang membabat pohon lemonku bisa bertanya terlebih dahulu atau membiarkan aku saja yang memangkasnya. Seharusnya begini begitu dan berbagai pikiran yang menyayangkan kenapa peristiwa itu harus terjadi sehingga aku merasa sangat sakit. Untuk memejamkan mata berkonsentrasi saja sulit sekali, apalagi berpikir jernih, karena aku dipenuhi oleh emosi.
Setelah 10 menit berlalu, aku menyudahi meditasiku. Karena sudah menjelang waktu makan malam, khawatir dicari, aku pun pulang dengan membawa rasa sakit yang baru berkurang sedikit. Pulang ke rumah saya masih berusaha menenangkan diri untuk tidak meluapkan emosi dari rasa sakit itu.
Kemudian terpikir olehku untuk memindahkan si pohon lemon ke tempat yang bisa kutitipkan untuk dirawat. Daripada ketika aku keluar masuk rumah dan melihat si pohon lemon yang sekarat itu, maka sama saja dengan saya kembali terpanah oleh rasa sakit untuk kesekian kalinya.
Menunjuk Rembulan
Satu hal yang membuat aku tersadarkan adalah saat membaca buku Jalur Tua Awan Putih buku kedua, tentang “jari telunjuk bukanlah sang rembulan“. Bagian itu menceritakan tentang kisah seorang bapak yang sangat menyayangi anaknya yang masih kecil. Ketika si bapak sedang pergi berniaga meninggalkan anaknya seorang diri di rumah, hari itu terjadi perampokan di desa tersebut dan anak kecil itu disandera oleh bajak laut.
Ketika si bapak pulang ke rumah mendapati ada jasad anak kecil di dekat rumahnya dan meyakini bahwa jasad itu adalah anaknya, lalu diambilnya dan dikremasikannya, kemudian abunya dibawanya ke manapun dia pergi.
Suatu hari sang anak berhasil melarikan diri dari kawanan bajak laut dan kembali ke rumahnya memanggil-manggil bapaknya utk membukakannya pintu, namun si bapak meyakini bahwa anaknya sudah mati dan abu yang dipegangnya adalah abu anaknya, dia mengabaikan panggilan anaknya sehingga akhirnya mereka pun berpisah selamanya.
Waktu Terbaik
Saya mengibaratkan diri saya sebagai sang bapak dan abu anak kecil tersebut adalah pohon lemonku, ketika pohon lemon yang telah terbabat habis, lalu terus kuingat-ingat akan terus menyakiti hatiku.
Sementara keluargaku yang telah membabat pohon tersebut tanpa seizinku jika aku marah kepadanya terus menerus, bukankah aku akan seperti si bapak yang menyia-nyiakan anak kesayangannya yang telah kembali? Yang artinya mengabaikannya, marah dengannya, dan mengabaikan keberadaan keluargaku hanya demi pohon lemon yang tak mungkin bisa disambung kembali.
Dari sinilah kesadaran itu muncul, bahwa waktu bersama orang-orang terdekat sering kita sia-siakan dengan bertengkar dengannya, marah dan bahkan tidak bicara hanya karena urusan kecil yang sudah berlalu. Terlalu melekat dan meyakini apa yang kita pikir benar sebagai sebuah kebenaran hakiki.
Baiklah, saya akan mentransformasi rasa sakit itu menjadi sebuah pengertian bahwa kebersamaan dengan keluarga kita adalah waktu terbaik yang tidak perlu disia-siakan karena kemarahan atau sakit hati.
Ujian Selesai
Toh, pohon lemon pasti akan tumbuh lagi dengan baik, karena dia masih punya satu cabang yang masih hidup, dan kelak aku masih bisa menyapanya di tempat baru yang sedang aku titipkan di sana. Ok… ujian saya selesai.
Hal yang kualami ini bisa menjadi hal besar jika aku tidak berhasil mengendalikan emosi seketika, yang mungkin akibatnya akan merusak keharmonisan dalam keluarga bahkan bisa mengakibatkan keributan.
Aku sadar bahwa yang harus aku lihat adalah rembulan, bukan jari yang menunjuk ke rembulan.
Bersyukur dan berterimakasih mengenal mindfulness. “Aku perlu bersiap sedia sebelum badai tiba”
Widyamaitri praktisi mindfulness, volunteer retreat dan Day of Mindfulness, juga anggota Ordo Interbeing
Pada saat saya diminta untuk membantu DOM (Day of Mindfulness) di Wihara Ekayana Serpong pada tanggal 3 Maret 2018. Terus terang saya ada sedikit ragu. Tapi akhirnya saya ikut terjun sebagai voulenter program anak. Sempat stress sedikit karena saya harus sendiri menghadapi anak-anak. Walaupun saya pengajar di sekolah minggu tapi di DOM ini saya tidak pernah sendiri.
Selama 2 hari otak saya terus mutar berpikir, apa yang harus saya lakukan. Saya baca buku Planting Seed dan membongkar perlengkapan saya yang berkaitan dengan kerajinan tangan, lalu saya mempersiapkan semua hal yang bisa membantu saya dalam kegiatan nanti, ada buku, gunting, kain flanel, jarum jahit serta benang.
Ada Yang Berbeda
Pada hari H, ada sesuatu yang saya takut, saya takut anak-anak bertanya kok yang ikut program anak sedikit? ”
Bisa bosan nih…..”
Anak lain bertanya, “Apakah kita akan ada mengumpulkan daun dan batu?”
Saya jawab, “Untuk kali ini kita hanya di kelas“.
Lalu dia bilang “Jiaaa bosan dong……“.
Lalu ada 1 anak lagi bertanya, “Apakah kita akan minum soya dan biskuit?”
Saya jawab, “Soya ada, tapi biskuit tidak ada“.
Lalu saya bilang, “Ada sesuatu yang berbeda loh“. Mereka menjadi penasaran dan bertanya, “Apa itu?”
Saya bilang “Nah, itu kita liat saja nanti“.
Di otak saya berpikir, mau saya kasih apa ini anak-anak, programnya 1 hari looo? Akhirnya saya yakinkan diri gunakan saja semua yg ada di tas saya. Akhirnya kami pun melakukan orientasi mengenal bel dan napas. Kami menggambar semua anggota keluarga kami lalu bergiliran menceritakan tentang keluarga masing-masing.
Mereka cukup senang karena bisa saling kenal lebih baik lagi. Sekarang tibalah waktunya untuk mendengarkan ceramah. Saya lapor ke volunteer apakah anak-anak ikut ceramah? Dan ternyata tidak, karena sister tidak mempersiapkan ceramah untuk anak-anak. Saya langsung bingung, apa lagi yang harus saya lakukan? Saya buka buku dan menemukan meditasi kartu!
Siapa Diriku
Saya minta mereka mengambarkan “siapa diriku“, saya membimbing mereka dan menjelaskan bagaimana cara mengerjakannya. Mereka mengerti akhirnya, lalu mereka menggambar “siapa diriku“. Setelah selesai menggambar, kami berjalan keluar luar kelas menuju ke tempat yang ada Jendela besar. Di sana kami duduk hening dan bergilir membacakan apa yang telah mereka gambar dan tulis.
Ada yang menulis napas masuk saya ada gunung, napas keluar saya kuat. Pohon napas keluar kokoh. Laut, saya tenang. Bidak catur saya akan memimpin pasukan untuk menang, ada juga yang bilang napas masuk saya adalah laut dan saya tenang dan masih banyak lagi.
Ada 1 anak paling kecil dia bilang dengan bahagianya napas masuk saya adalah kerbau, napas keluar saya bahagia. Saya terkejut dan sedikit takut apakah anak-anak lain akan tertawa dan ternyata mereka tidak ada yang tertawa dan mereka tetap menyimak dan mengikuti dengan ketenangan sampai kami masuk kelas lagi.
Karena masih ada waktu sampai makan siang saya penasaran kenapa ini anak bisa menggambarkan dirinya sebagai seekor kerbau? Karena hampir semua orang tidak mau menggambarkan dirinya sebagai binatang, lalu saya membahas kenapa mereka menggambarkan dirinya seperti itu.
Kebahagiaan Polos
Semua anak-anak bercerita, bahwa mereka senang melihat pohon ada yang bilang karena dia hobi bermain catur, ada juga yang melihat keindahan alam. Lalu si kecil menjawab kalau dia pernah naik kerbau dan pada saat itu dia begitu bahagianya. Dia menceritakan dengan bahagia dan anak-anak yang lebih dewasa juga tersenyum dan ikut bergembira dengan si kecil tidak ada yang menertawakan si kecil.
Pada saat itu saya merasakan apa yang dimaksud dengan tidak menghakimi, jangan memikirkan sesuatu hal yang negatif. Saya tersadarkan, jadilah anak-anak yang polos dengan tidak memikirkan terlalu jauh, maka saya akan merasakan kebahagiaan di sekitar dan kebahagiaan yang polos, serta kebahagiaan yang murni.
Akhirnya kami bergembira semua dengan keluhan, tangisan, tertawa anak serta kebahagiaan anak-anak karena mereka mendapatkan sesuatu sampai selesai program anak di DOM. (Nirata)*
Pagi itu saya lagi berias seperti biasa mau ke kantor, tiba-tiba hp saya berdering. Krrring-krrring, waktu saya lihat teryata dari adik laki-laki saya.
Halooo dia berkata “Maafkan saya ya mungkin waktu hidup saya sekarang ini sudah tinggal sedikit lagi.” Jantung saya mulai berdegup kencang. Saya bertanya, “Kamu kenapa?” Saya mulai membatin kacau, karena saya tahu dia lagi kerja urus renovasi rumah tante saya, lalu saya berpikiran apakah dia jatuh dari atas rumahnya?
Ternyata saya keliru, dia bilang “Saya sakit”, ini sudah tidak sanggup hidup lagi. Saya bertanya lagi “Kamu kenapa?” Ternyata dia demam panas tinggi dan tidak mau dibawa ke rumah sakit.
Pukul 10 pagi, saat itu juga saya segera meluncur ke rumah orang tua saya untuk melihat keadaannya dan apa yang sebenarnya terjadi. Sesampai di sana, saya melihat dia mengoceh terus dan ngomonganya ngelantur berkata dia sudah mau mati. Dia merasa sudah tidak sanggup menahan rasa sakit atau rasa panas di tubuhnya.
Waktu itu saya hanya duduk dan berpikir apa yang perlu saya lakukan ya? Ok,saya coba! Saya masuk ke kamar dan meminta dia meletakkan jari manisnya di bawah hidung. Saya bilang, “Tarik napas masuk, hembuskan napas keluar.” Saya minta dia ulangi beberapa kali. Lalu saya bertanya apa yang dia rasakan, dia bilang, “Dada saya sesak”.
Saya kembali meminta dia untuk bernapas lagi seperti tadi, napas masuk, napas keluar. Beberapa saat kemudian ruangan kamar pun menjadi hening.
Saya pun berlalu keluar kamar dan duduk di ruang tamu sambil menunggu. Tak terasa 15 menit berlalu, adik saya keluar dari kamarnya menuju toilet. Setelah dari toilet dia berjalan menuju kembali ke kamar untuk istrahat.
Saya melihat dia di kamar sudah tidak berselimut lagi dan sudah Relaks “Breathe you are alive!” Keadaannya sudah lebih baik, saya pun memutuskan untuk lanjut pergi ke kantor. Saya bersyukur dapat mengenal mindfulness ini beberapa bulan sebelum kejadian ini. (Sri)*
*Wanita karir, bersuami satu dan dua orang anak.
Tahun 2015 sebuah organisasi buddhis yag bernama SIDDHI (Sarjana dan Profesional Buddhis Indonesia) mengadakan acara yang bernama SMS (Siddhi Mindfulness Sharing), Waktu itu saya bersama dengan suami saya memutuskan untuk mengikuti acara tersebut.
Tema kali ini membahas sebuah Buku yang berjudul “The Art of Power” bersama Pak Adi Putra dari Jakarta, yang kebetulan teman seperguruan waktu di jakarta.
Jujur acara ini adalah acara yang pertama kali saya ikuti di komunitas ini, acaranya dimulai dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore, saya tidak punya gambaran sama sekali acaranya seperti apa sebelumnya. Suasana di sana sungguh menarik, penuh dekorasi yang indah dan sejuk.
Nah waktu itu ada 2 orang biksu yang ikut hadir di acara tersebut. Acaranya dimulai dengan duduk hening. Saya hanya duduk dan melihat ke kanan dan ke kiri, saya berkata dalam hati ini duduknya mau seperti apa ya? Saya tidak tau kalau itu duduk meditasi. Saya juga belum pernah tau apa itu meditasi, lalu terdengar suara pemukulan Gong, Gong nya Besar sekali. Suasana pun langsung hening selama 15 menit. Setelah itu dilanjutkan dengan mendengarkan sharing mengenai buku” the art of power” yang disampaikan oleh Pak Adi Putra
Makan Siang Prasmanan
Pukul 12 siang tiba, ini adalah waktu yang paling saya tunggu-tunggu yaitu makan siang. Hati ini senang sekali. Nah waktu makan tiba kita semua mulai antri untuk ambil makanan kan, wahhh sayurnya enak sekali, o iya kita makan vegetarian ya, kata salah satu panitia. oh ok, no problem buat saya, tapi masalah buat suami saya, karena dia tidak suka makan sayur (senyum kecut).
Setelah selesai antri ambil makanan kita kembali duduk untuk makan bersama. Ini lebih seru lagi, panitia menjelaskan bagaimana cara makan di sesi makan bersama ini, teman-teman dalam sesi makan bersama ini, kita makan dengan hening ya selama 20 menit, dan kunyah sebanyak 32 kali, jadi tidak usah terburu-buru.
Dimulai dengan bunyi gong dan perenungan sebelum makan, waktu itu Saya tersenyum kecil sambil berpikir kunyah 32 kali. Saya masih belum mengerti apa ini. Saya tidak memperhatikan maksud dari semuanya ini. saya makan saja seperti biasa sambil melihat ke kiri dan ke kanan, serta sesekali senyum-senyum… melihat sekitar karena merasa aneh, dan lucu aja.
Napas Masuk, Napas Keluar
Kali ini adalah sesi penjelasan dari seorang Biksu (Brother), Sebelum mulai dengan apa yang mau dijelaskan brother bertanya, siapa saja yang baru ikut acara ini dan ternyata ada sekitar 50% dari para peserta yang baru pertama kali ikut acara ini.
Kemudian brother bertanya apa itu Mindfulness? ya kalau artinya sih Berkesadaran. Brother melanjutkan dengan bertanya lagi, kalau gitu yang dimaksud dengan berkesadaran itu apa? ya Sadar…???!!!! (jawab peserta)
Yang dimaksud dengan SADAR apa sih? Brother bertanya lagi. Suasana menjadi hening. Brother Menjelaskan cara atau proses kerja berkesadaran itu seperti apa
TUBUH:
PERASAAN:
Mulailah dengan Bernapas Masuk, dan Bernapas Keluar, melalui TUBUH dan PERASAAN. (Sri)*
*Wanita karir, bersuami satu dan dua orang anak.
Rumah identik dengan suasana damai yang menyejukan hati. Rumah adalah tempat yang paling nyaman juga untuk melepas kepenatan dan kelelahan yang mendera kehidupan. Di era digital yang serba terkoneksi dengan hiper dan cepat luar biasa, tak jarang membuat kita menjadi lebih cepat. Ibarat kualitas baterai pada gawai di masa kini yang lebih cepat habis karena penggunaan data yang berat dan terus menerus, kondisi “low battery” juga mudah sekali dialami oleh manusia di kehidupan masa kini. Dan rumah adalah semacam “power outlet” untuk kita dapat melepas lelah dan mengisi ulang energi kita.
Namun sayangnya bagi sebagian besar masyarakat, terutama di perkotaan metropolitan seperti Jakarta dapat pulang ke rumah setiap saat terutama pada saat kita sibuk, stress, kehabisan energi tidaklah semudah itu. Padahal hampir seluruh masyarakat membutuhkan sebuah solusi yang instan juga untuk dapat mengikuti tuntutan kehidupan yang ekspres dan instan juga. Akhirnya yang sering kali terjadi untuk mendapat kedamaian yang instan adalah dengan menenggelamkan diri ke media sosial, alkohol, makan berlebihan, rokok, kehidupan dunia gemerlap bahkan obat-obatan terlarang. Walaupun kedamaian tersebut bisa didapatkan pada saat tersebut, namun kualitasnya kurang baik dan tak jarang memberikan efek samping yang negatif terdahadap kesehatan mental, jasmani, sosial bahkan finansial.
Padahal sebetulnya terdapat sebuah solusi yang sangat mudah dan aman serta cukup instan efeknya bilamana dipraktikkan secara rutin dan konsisten. Solusi ini tidak menimbukan efek samping ketergantungan yang negatif. Bahkan sebaliknya pada saat kita mengalami “ketergantungan” pada solusi ini lebih banyak efek positif yang bisa didapatkan. Dan kabar baiknya, solusi ini tersedia untuk setiap manusia baik mereka yang memiliki gaya hidup modern, tradisional bahkan purba sekalipun. Solusi ini mampu membawa kita kembali pulang ke rumah kita yang sejati, kapan saja dan di mana saja.
Solusi tersebut adalah gaya hidup dengan penuh kesadaran dengan menunggangi napas sebagai kendaraan untuk dapat membawa kita pulang ke rumah kita yang sejati kapan saja dan di mana saja dengan ekspres dan instan.
Di hari Sabtu, 04 November 2017 yang lalu bertempat di Wihara Ekayana Serpong terdapat puluhan orang berkumpul bersama untuk melatih diri mempraktikkan indahnya seni hidup dengan penuh kesadaran melalui napas masuk dan napas keluar sebagai kendaraan ekspres untuk membawa mereka pulang ke rumah sejati. Bersama-sama mereka duduk dalam keheningan menikmati setiap hembusan napas, bernyanyi dengan penuh kesadaran, menikmati berkah alam semesta melalui makanan dan minuman hingga saling berbagi cerita pengalaman dalam praktik dengan penuh kasih.
Dan di saat bersama-sama mereka menikmati setiap hembusan napas masuk dan napas keluar, sontak seketika mereka semua tiba ke rumah sejati. Bersama-sama mudik ke kampung halaman yang penuh cinta kasih dan kedamaian. Mendapatkan kembali energi untuk recharge diri setelah sekian lama tenggelam dalam kesibukan sehari-hari.
Di penghujung kegiatan, mereka semua pun berdoa agar latihan bersama yang telah dilakukan seharian penuh, dapat memberikan manfaat yang lebih luas lagi pada kehidupan yang kita semua jalani bersama. Tak lupa mereka berjanji bertemu berlatih bersama kembali setelah satu purnama untuk dapat kembali bersama mudik ke kampung halaman sejati. (Astrid Maharani)
Jadwal DoM (Day of Mindfulness)
08.00 – 08.30 Persiapan
08.30 – 09.00 Registrasi dan Song of Mindfulness
09.00 – 09.45 Kebaktian Bahasa Indonesia dan Meditasi duduk dipandu
09.45 – 10.00 Meditasi Gerak & Toilet Break
10.00 – 12.00 Menonton Video Ceramah Thay
12.00 – 13.00 Meditasi Makan
13.00 – 13.45 Relaksasi Total
13:45 – 14:00 Istirahat
14.00 – 15.45 Meditasi Teh dan Sharing
15.45 – 16.00 Pelimpahan Jasa dan Penutup
Unduh MP3 klik sini
Breathing in, breathing out (2x);
I am blooming as a flower;
I am fresh as the dew.
I am solid as a mountain,
I am firm as the earth;
I am free.
Breathing in, breathing out (2x);
I am water, reflecting
what is real, what is true,
and I feel there is space deep inside of me;
I am free, I am free, I am free.
吸進來,呼出去;吸進來,呼出去;
好似盛開一朵蓮花,
我清涼如一滴露,
一如高山屹立不移,
像大地一般穩厚。
我自在。
吸進來,呼出去;吸進來,呼出去;
我是淨水反照著,
甚麼是真,甚麼是實,
在我覺得心裡深處,
空間滿溢在其中。
我自在,我放下,我自在。
Unduh MP3 klik sini
Breathe and you know that you are alive
Breathe and you know that all is helping you
Breathe and you know that you are the world
Breathe and you know that the flower is breathing you
Breathe for yourself, breathe for the world
Breathe in compassion and breathe out the joy
Breathe and be one with the air that you breathe
Breathe and be one with the river that flows
Breathe and be one with the earth that you tread
Breathe and be one with the fire that glows
Breathe and you break the thought of birth and death
Breathe and you see impermanence is life
Breathe for your joy to be steady and calm
Breathe for your sorrow to flow away
Breathe to renew every cell in your blood
Breathe to renew the depths of consciousness
Breathe and you dwell in the here and now
Breathe and all you touch is new and real
Unduh MP3 klik sini
Napas masuk, napas keluar
Aku mekar bagai bunga
Aku segar bagai embun
Aku solid bagai gunung
Aku kokoh bagai bumi
Aku bebas
Napas masuk, napas keluar
Napas masuk, napas keluar
Aku air memantulkan
Yang nyata dan benar
Aku rasa ada ruang
di dalam diriku
Bebaslah, bebaslah, bebaslah
Breathing in, breathing out
Breathing in, breathing out
I am blooming as a flower
I am fresh as the dew
I am solid as a mountain
I am firm as the earth
I am free
Breathing in, breathing out
Breathing in, breathing out
I am water reflecting
what is real what is true
and I feel there is space
deep inside of me
I am free, I am free, I am free
Apabila pernapasan kita stabil maka napas bisa menjadi tempat kita berlindung. Bagaimana pun suasana di dalam—pikiran-pikiran, emosi-emosi dan persepsi-persepsi kita—pernapasan kita selalu bersama kita seperti seorang teman setia. Kapan pun kita merasa terhanyut, atau tenggelam ke dalam rencana, atau pikiran acak tersebar berantakan dalam kekhawatiran dan gelisah, kita dengan lembut menarik kembali perhatian kepada pernapasan untuk menenangkan dan melabuhkan pikiran kita.
Kita merasakan aliran udara yang masuk dan keluar melalui hidung. Kita merasa betapa ringan dan alami, napas demikian memberi ketenang dan kedamaian. Kapan pun, saat kita mengetik, kita bisa kembali kepada sumber kehidupan yang damai ini.
Barangkali Anda ingin mengucapkan dalam hati:
“Napas masuk saya tahu ini napas masuk
Napas keluar saya tahu ini napas keluar.”
Kita tidak perlu mengontrol pernapasan kita. Rasakan pernapasan sebagaimana adanya. Bisa jadi panjang atau pendek, dalam atau dangkal. Dengan bernapas lewat cara demikian maka akan menjadi lebih perlahan dan mendalam secara alami.
Pernapasan yang sadar adalah kunci untuk menyatukan tubuh dan pikiran serta membawa energi sadar penuh ke dalam setiap saat dari kehidupan kita.
Pada saat retret Anda akan mendengar suara genta, maka latihan kita adalah berhenti diam, berhenti berbicara, dan berhenti bergerak untuk kembali mempraktikkan napas kesadaran. Namun tidak hanya suara genta saja, bisa saja bunyi telepon atau jam dinding. Ini adalah genta-genta kesadaran kita.
Bilamana kita mendengar bunyi genta kita merelakskan tubuh kita dan menjadi sadar akan pernapasan. Kita lakukan itu dengan kegembiraan yang alami, dan tanpa keseriusan atau sikap yang kaku. Bilamana kita mendengar salah satu dari bunyi genta kewaspadaan ini, kita hentikan semua percakapan dan apa pun yang sedang kita lakukan serta membawa kesadaran kita pada pernapasan. Bunyi genta telah memanggil kita:
Dengar, dengar,
Suara menakjubkan ini membawaku kembali
ke rumah sejatiku.
Dengan berhenti sejenak untuk bernapas dan mengembalikan ketenangan dan kedamaian, kita menjadi bebas, pekerjaan kita menjadi lebih menyenangkan dan teman di depan kita menjadi lebih nyata. Di rumah, kita dapat menggunakan bunyi telepon, lonceng gereja setempat, tangisan seorang bayi, atau bahkan suara sirine pemadam kebakaran dan ambulan sebagai genta-genta kewaspadaan. Hanya dengan tiga pernapasan yang sadar kita dapat melepaskan ketegangan-ketegangan di dalam tubuh dan pikiran, kita kembali pada keadaan yang sejuk dan jernih.