Here is India, India is here

Here is India, India is here
Day of Mindfulness 7 April 2018
Day of Mindfulness 7 April 2018

Bersentuhan dengan latihan, membawaku kembali ke rumah sejatiku. Day of Mindfulness (DOM) merupakan latihan yang sangat saya tunggu-tunggu.

Seperti biasa, satu hari sebelum DOM diselenggarakan, saya  turut serta membantu di persiapan. Pada awalnya saya cuma berpikir bahwa “ah akhirnya saya bisa kembali berlatih”. Pada saat akhir, tiba-tiba Bhante turun dan membawa gitar. Saya langsung excited begitu mendengar bahwa besok kita akan mengawali DOM dengan Chanting Avalokitesvara. Saya pulang sebentar dan mengambil biola lalu kembali untuk berlatih.

Saat latihan dan chanting Avalokitesvara saya sempat bergetar haru. Sudah lama sekali kami tidak chanting bersama. Sejenak berpikir semoga teman-teman komunitas bisa berkumpul dan chanting bersama.

Pada hari Sabtu, saya harus mengantar ibu ke bandara terlebih dahulu. Sepanjang jalan, saya mengingat-ingat latihan yang sudah dilakukan semalam. Sesampainya di vihara, saya sempatkan diri saya untuk mengajar biola kepada 2 orang murid yang salah satunya juga merupakan peserta dan volunteer DOM.

Kami mulai kegiatan DOM tepat pukul 9 pagi. Ketika saya sudah maju ke depan, kami pemanasan dengan menyanyikan beberapa lagu-lagu latihan. Ada juga lagu yang kami belum latihan. Tapi ternyata kami dapat memainkannya dengan baik.

Sambil bermain, saya melihat teman-teman dari komunitas saya turut hadir. Awalnya teman-teman komunitas yang hadir hanya duduk di belakang, lalu bhante memanggil teman-teman agar dapat maju dan dapat melakukan chanting Avalokitesvara secara bersama-sama.

Chanting ini merupakan salah satu momen yang sangat saya senangi. Selain saya bisa merasakan getar nyanyian seluruh komunitas yang hadir. Saya merasa lebih tenang dan rileks. Sempat saya merasa sangat bersyukur masih memiliki kesehatan telinga sehingga bisa mendengar dengan baik. Beberapa peserta sempat terlihat merasakan haru yang sama rupanya. Bahagia? Tentunya sangat bahagia.

When you walk, you don’t talk
Saya ingin berbagi  sebuah cerita sangat menarik yang saya dengarkan saat bhante ceramah. Bhante bercerita ketika beliau sedang berlatih meditasi jalan bertiga di Plum Village. Sambil berjalan, bhante berbicara seru dengan 2 monastik llainnya. Tak lama, dari kejauhan Thich Nhat Hanh (Thay) melihat mereka. Seketika itu pun bhante dan 2 monastik lainnya terdiam. Saat berpapasan dengan Thay, Thay berkata “when you walk, you don’t talk”. Guru Thay kemudian berlalu begitu saja. Bhante merasa sangat tertampar dengan hal itu.

Saya sempat merasa sangat lucu pada awalnya. Namun kemudian berpikir. Kita terlalu sering mengerjakan banyak hal dalam satu momen. Sudahkah kita menyadari semua momen kekinian kita? Sudahkah kita berlatih hidup sadar hari ini? Apakah kita sedang sungguh-sungguh berlatih saat ini?

Terkadang saya pun merasa saya masih harus banyak berlatih. Dan dalam latihan, saya juga membutuhkan “lonceng kesadaran” dalam bentuk apa pun. Teguran Thay tadi juga sangat mengena di hati saya. Ketika saya naik motor jangan sambil mendengarkan lagu. Ketika saya makan jangan lah saya sambil berbicara. Nikmati satu momen kekinian pada satu waktu.

Here is India, India is here
DOM kali ini tidak ada diskusi kelompok seperti yang dilakukan pada DOM yang sudah-sudah. Kami justru mengganti diskusi bersama dengan nonton film berjudul “walk with me”. Ini adalah film dokumentasi tentang kegiatan-kegiatan keseharian yang dilakukan saat berlatih bersama. Setelah menonton, saya mendengarkan sharing Bhante pada saat tanya jawab sedang berlangsung.

Pada saat itu diceritakan bahwa Bhante merasa bosan berada di Perancis dan ingin kembali ke India. Lalu ketika ada kesempatan untuk bertemu dengan Guru Thay, Bhante meminta ijin untuk kembali ke India. Lucunya saat itu Guru Thay hanya terdiam. Beliau hanya menatap dengan tajam dan tidak berkata apa-apa. Sebentar kemudian Guru Thay beranjak untuk meninggalkan Bhante seorang diri. Dan ketika hendak membuka pintu untuk keluar, Guru Thay membalikkan badan dan berkata “Here is India, India is here”.

Ini adalah insight ke-2 yang saya dapatkan ketika mengikuti DOM di Ekayana. Sering kali ketika saya sedang berada di kantor atau sedang jenuh dengan semua pekerjaan yang menumpuk, saya merindukan rumah. Dan tidak lagi menyenangi hal-hal yang ada di lingkungan sekitar.

Kita menjadi lupa, bahwa kebahagiaan sesungguhnya berada di sini dan sekarang. Saya jadi terburu-buru karena ingin segera kembali ke rumah. Padahal belum tentu ketika kembali ke rumah, kita menjadi bahagia. Belum tentu ketika kita mendapatkan apa yang kita mau, kita akan menjadi bahagia.

Seketika di momen itu, saya memusatkan pikiran sejenak untuk membayangkan rumah yang saya cintai dan menyadari bahwa saya sedang bernapas sekarang dan saya sedang berada bersama komunitas untuk berlatih. Penderitaan saya perlahan memudar. Terkadang kita tidak perlu mengkotak-kotak-an pikiran agar kita bisa bahagia.

Semua itu adalah bentuk-bentuk persepsi yang sebenarnya hanya akan membuat kita makin menderita. Dengan melepaskan semua bentuk-bentuk persepsi dan membuka semua kotak-kotak yang ada di pikiran. Maka kita akan bahagia. Happiness is as simple as you breathe. Simple right?

DANIEL volunteer mindfulness dari Wihara Ekayana Arama.

Di Manakah Rumah Saya yang Sesungguhnya?

Di Manakah Rumah Saya yang Sesungguhnya?
Retret di Belanda. Bhadrawarman, dari kanan pertama.

Tahun lalu saya berkesempatan pergi ke Belanda bersama keluarga saya dan Brother Duc Pho, yang menjadi tubuh kedua (second body) saya. Di hari pertama saya menginjakkan kaki di Belanda, saya merasa seperti tiba di rumah. Saya pernah mengunjungi beberapa negara di Eropa lainnya, tetapi saya tidak merasakan perasaan yang sama seperti yang saya alami di Belanda. Di Perancis, saya belajar latihan agar tiba di rumah yang sesungguhnya, “I have arrived, I am home”.

Tanah air saya adalah Indonesia. Sering kali saya renungkan bahwa ketika saya masih berada di Indonesia, bahkan ketika saya berada di rumah, saya tidak benar-benar berada di rumah. Pikiran saya seringkali tidak berada di rumah, tidak bersama tubuh saya. Sekarang walaupun saya tidak berada di Indonesia, saya merasa lebih tiba di rumah. Saya belajar untuk bernapas masuk dan keluar ketika pikiran saya sedang meloncat-loncat. Saya belajar untuk berjalan dengan sedemikian rupa agar saya dapat kembali ke rumah yang sesungguhnya.

Saya merasa sangat bahagia dan rasanya sangat mudah untuk mempraktikkan “I have arrived, I am home” di Belanda. Teringat Sister Dieu Nghiem (Sister Jina) pernah menceritakan hal yang sama kepada saya. Ketika beliau datang ke Indonesia, beliau merasa seperti tiba di rumah. Beliau mempelajari bahwa banyak makanan di Belanda yang asalnya ternyata dari Indonesia. Saya baru saja tiba dari Belanda untuk mendukung retret yang diadakan di sana.

Retret di Belanda “Insight is the source of deep happiness”
Di awal retret, muncul perasaan sedikit tidak nyaman dan tidak disambut oleh peserta dan panitia retret. Peserta retret mengetahui dari informasi yang mereka dapatkan sebelum retret bahwa retret ini akan diadakan dalam bahasa Belanda. Di hari pertama saya memfasilitasi sesi berbagi Dharma di dalam sebuah kelompok yang kita sebut sebagai keluarga, mereka terkejut bahwa ada satu monastik yang tidak bisa berbahasa Belanda. Saya memfasilitasi sesi tersebut dalam bahasa Inggris. Awalnya semua orang berbicara dalam bahasa Inggris, karena sebenarnya mereka bisa berbahasa Inggris. Beberapa orang kemudian mengatakan bahwa mereka tidak merasa nyaman untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Kemudian kami memutuskan untuk membiarkan peserta retret di keluarga saya untuk berbicara dalam bahasa Belanda. Ada seseorang yang menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk saya.

Beberapa peserta retret di keluarga saya berbagi bahwa meskipun pada awalnya mereka merasa tidak nyaman karena masalah ini, akan tetapi mereka merasakan perasaan hangat di dalam keluarga. Tema retret ini adalah “Insight is the source of deep happiness”.

Saya berbagi kepada mereka bahwa pada awalnya saya tidak mengerti mengapa Thay memilih kata insight atau understanding sebagai terjemahan dari kata prajna dalam bahasa Sanskerta. Biasanya kata prajna diterjemahkan sebagai wisdom atau kebijaksanaan. Saya tidak mengerti mengapa Thay memilih kata yang maknanya terlihat lebih dangkal. Namun seiring berlalunya waktu, saya makin mengerti mengapa Thay memilih kata pengertian atau insight. Teringat pada retret sadar penuh yang pertama saya ikuti, saya ajukan pertanyaan “Bagaimana caranya berlatih agar mendapatkan kebijaksanaan?” di sesi Tanya Jawab. Jawabannya adalah berlatih sila, samadhi, prajna.

Pada saat itu saya tidak begitu mengerti jawabannya. Barangkali karena pada saat itu saya baru mengenal latihan dan belum menerima sila Buddhis. Di Plum Village tiga latihan yang menjadi inti latihan adalah smrti, samadhi, prajna. Smrti adalah sila dalam bahasa Sanskerta. Samadhi adalah konsentrasi. Ketika Thay mengajarkan bahwa latihan sadar penuh dan konsentrasi dapat membantu kita untuk mendapatkan insight atau pengertian saya baru dapat mulai memahaminya. Saya dapat memahami diri saya sendiri, memahami tubuh dan pikiran saya.

Dahulu saya tidak benar-benar memahami tubuh saya sendiri. Makan berlebihan dan pola hidup yang tidak sehat membuat tubuh saya sangat gemuk. Sekarang saya sudah menurunkan lebih dari 20 kg berat badan saya. Dengan tubuh yang makin ringan, pikiran pun menjadi lebih ringan. Saya dapat lebih memahami pikiran saya. Sekarang saya lebih memahami apa yang dimaksud dengan kebijaksanaan berdasarkan Thay. Menurut saya sekarang, kata pengertian atau insight bahkan bermakna lebih dalam, dan membantu saya dalam memahami kebijaksanaan yang sesungguhnya dalam ajaran Buddha.

Jalinan Jodoh

Di sesi berbagi Dharma saya pun berbagi dengan jujur perasaan apa yang saya rasakan di awal retret, bahwa saya merasa sedikit terluka karena perasaan “tidak diterima” oleh peserta retret. Namun perasaan bahagia dan syukur saya jauh melampaui luka yang ada di dalam diri saya, dan membantu saya dalam menyembuhkan luka tersebut. Kemudian saya berbagi bahwa di tahun pertama saya di Plum Village, saya berada di kamar bersama tiga brother dari Vietnam. Dua diantaranya tidak begitu fasih dalam berbahasa Inggris, sehingga kami tidak dapat berkomunikasi dengan lancar. Saya melihat bahwa barangkali ini salah satu hal yang membuat saya di awal sulit untuk benar-benar tiba di Plum Village.

Di tahun kedua saya berada di kamar bersama dua brother dari Belanda, dan satu brother dari Vietnam. Semuanya fasih dalam berbahasa Inggris, sehingga membuat saya merasa nyaman ketika berada di kamar. Kedua brother tersebut juga merupakan sahabat spiritual (kalyanamitra) saya. Sebelum sekamar dengan mereka, saya sudah bersahabat dengan cukup erat dengan mereka. Sekamar dengan mereka membuat persahabatan kami kian erat. Kami semua adalah penggemar minum teh. Biasanya kami minum teh bersama kala fajar menyingsing sebelum meditasi duduk. Kadang kami minum teh bersama di siang, sore, atau malam hari.

Saya merasa mempunyai jalinan jodoh yang sangat erat dengan monastik dari Belanda. Teringat seorang monastik dari Indonesia pernah mengatakan bahwa tidaklah aneh bahwa monastik dari Indonesia dapat bersahabat erat dengan monastik dari Belanda. Barangkali karena jalinan jodoh yang kami miliki di masa lalu. Teringat pula Sister Chan Duc berbagi ketika beliau tiba di India pada pertama kali, beliau merasa sangat nyaman seakan tiba di rumah. Kemudian Thay berkata pada beliau bahwa barangkali beliau pernah terlahir sebagai orang India di kehidupan masa lalunya. Ketika saya mendengar hal ini, saya berpikir bahwa mungkin saya pernah terlahir sebagai orang Belanda di kehidupan masa lalu saya.

Memulai Lembaran Baru

Seiring dengan eratnya hubungan saya dengan mereka, kesalahpahaman dan miskomunikasi kerap kali muncul. Pertama kali saya merasa terluka karena salah satu brother dari Belanda yang salah paham terhadap saya. Cara dia mengungkapkan perasaannya sangatlah langsung, yang ternyata merupakan salah satu budaya orang Belanda. Jika pada waktu itu saya tidak mengungkapkan keinginan untuk berlatih memulai lembaran baru, barangkali persahabatan saya dengannya sudah berakhir. Hal ini terjadi karena saya menganggap bahwa saya tidak salah, dan dia memiliki persepsi keliru terhadap saya.

Jika saya dikuasai oleh keangkuhan diri saya, saya tidak akan mau untuk berlatih memulai lembaran baru dengan dirinya. Namun ternyata setelah berlatih latihan ini, kami melihat bahwa akar permasalahan ini sangatlah kecil, hanyalah kesalahpahaman belaka. Persahabatan kami pun kian erat karena kami makin memahami satu sama lain. Saya mulai memahami budaya orang Belanda, dan dia mulai memahami budaya orang Indonesia. Ketika pengertian muncul di dalam sebuah hubungan, persahabatan (atau biasa disebut sebagai brotherhood & sisterhood di Plum Village) pun makin erat!

Saya melihat bahwa pengertian (mutual understanding) merupakan salah satu aspek penting dalam suatu hubungan. Dahulu karena saya tidak mengetahui latihan sadar penuh, saya memiliki kesulitan untuk mengerti keluarga saya, maka dari itu sulit bagi saya untuk merasa “tiba di rumah” di rumah keluarga saya. Baru setelah mengetahui latihan, saya belajar untuk mengerti dan mengasihi orangtua saya. Dahulu saya belajar ilmu komunikasi di perguruan tinggi, namun saya tidak mempelajari bagaimana cara berkomunikasi dan berhubungan dengan keluarga saya.

Hubungan saya dengan orangtua dan adik saya dahulu sangatlah buruk. Baru setelah mempelajari seni mendengar secara mendalam dan berbicara dengan cinta kasih, hubungan saya dengan keluarga saya menjadi makin membaik. Saya belajar untuk mendengar ketika papa saya marah. Dahulu saya tidak mengerti mengapa papa saya mudah sekali marah.

Sekarang saya mengerti bahwa itulah cara papa saya mengekspresikan kasihnya dan berupaya untuk berkomunikasi dengan orang lain. Karena papa saya tidak mengetahui latihan untuk mendengarkan kemarahan di dalam dirinya, ucapan yang dilontarkan oleh papa saya menjadi dipenuhi dengan kepahitan. Alhasil hubungan kami bukan makin baik namun menjadi makin buruk. Baru setelah saya belajar untuk mendengar, saya memutuskan untuk berlatih mendengar ketika papa saya marah. Mama saya kemudian tertarik untuk mempelajari latihan, sehingga membantu mengubah keadaan di keluarga saya. Setelah itu saya baru merasa “tiba di rumah” di rumah keluarga saya. Sekarang saya berkesempatan untuk memperdalam ketibaan saya di Plum Village.

Teringat Thay mengajarkan bahwa tiba di rumah “I have arrived, I am home” adalah suatu latihan. Seiring dengan makin dalam latihan kita, makin dalam pula ketibaan kita. Di salah satu buku Thay mengajarkan bahwa latihan “I have arrived, I am home” adalah latihan paling mudah atau sederhana yang beliau telah ajarkan. Alangkah terkejutnya ketika saya membaca buku Thay yang lain, Thay mengatakan bahwa latihan “I have arrived, I am home” adalah latihan terdalam yang beliau telah ajarkan. Jadi di manakah rumah saya yang sesungguhnya? Saya menuju dalam perjalanan pulang ke rumah saya! (Bhadrawarman)

BHADRAWARMAN ditahbiskan sebagai samanera di Wihara Ekayana Arama, sekarang sedang berlatih di Upper Hamlet, Plum Village Perancis

Mindfulness Class: Meditasi Kerikil

Mindfulness Class: Meditasi Kerikil
Mindfulness Class: Meditasi Kerikil
Mindfulness Class: Meditasi Kerikil

Batu kerikil (pebble) adalah bagian dari alam dan sangat mudah ditemukan dimana-mana. Supaya lebih menarik lagi, saya mengecat beberapa batu contoh agar anak-anak lebih fokus. Dua minggu ini pun diisi dengan memperkenalkan meditasi kerikil untuk semua kelas.

Sebelum berpraktik meditasi, saya mejelaskan terlebih dahulu tentang empat hal yang diwakili oleh setiap kerikil.

Kerikil pertama mewakili unsur bunga

Setiap manusia adalah seperti setangkai bunga di semesta. Seperti halnya bunga, manusia juga dapat layu dan tidak segar karena banyaknya masalah dan tekanan yang dihadapi. Oleh karena itu kita perlu menata dan mengembalikan kesegaran kita.

“Bunga berarti kesegaran kita. Kita semua memiliki kemampuan untuk menjadi segar, kekuatan untuk menjadi segar. Jika kita kehilangan kesegaran, maka kita bisa berpraktik menarik dan mengembuskan napas, sambil menata kembali kesegaran kita. Kamu juga sekuntum bunga, dan kamu memiliki kesegaranmu. Kita akan menjadi indah kembali, setiap kali kita menata kembali kesegaran kita.
Menarik napas, saya melihat diriku sebagai bunga.

Mengembuskan napas, saya merasa segar.

Bunga, segar.”

Kerikil kedua mewakili gunung yang kokoh

Terkadang muncul rasa gelisah, rapuh, tidak percaya diri dan putus asa dalam diri kita. Sehingga dibutuhkan kekokohan dan kestabilan dalam batin kita agar tidak goyah.

“Gunung mewakili kekokohan dan kestabilan. Ada pegunungan di dalam batinmu, karena ketika kamu berpraktik meditasi duduk dan meditasi jalan, kamu sedang menumbuhkan kemampuanmu untuk kokoh dan stabil. Kekokohan dan kestabilan sangatlah penting bagi kebahagiaan kita. Kita tahu bahwa kita memiliki kemampuan untuk stabil, kemampuan untuk kokoh. Jika kita tahu cara berpraktik berjalan sadar penuh, atau duduk sadar penuh, maka kita menumbuhkan kekokohan kita, kestabilan kita. Itulah gunung di dalam batin kita.
Menarik napas, saya melihat diriku sebagai gunung.

Mengembuskan napas, saya merasa kokoh.

Gunung, kokoh.”

Kerikil ketiga mewakili air yang tenang

Ketika permukaan air tenang, ia akan memantulkan apapun yang ada ada di atasnya dengan sempurna. Ketika kita hening, kita akan melihat segala hal sebagaimana adanya. Sebaliknya, jika kita tidak tenang, kita akan menjadi korban persepsi keliru.

“Air yang tenang memantulkan langit, awan, dan pegunungan. Air yang tenang sangatlah indah. Saat airnya tenang, maka ia akan memantulkan apapun seperti apa adanya, tanpa menambah atau menguranginya. Ketika kita belajar cara untuk menarik dan mengembuskan napas dengan sadar penuh, kita bisa menenangkan diri kita. Kita menjadi tenang dan damai, tidak lagi menjadi korban pandangan keliru. Kita memiliki kemampuan untuk menjadi luar biasa jernih, dan itulah air yang tenang di dalam batin kita.
Menarik napas, saya melihat diriku sebagai air yang tenang.

Mengembuskan napas, saya memantulkan apapun sebagaimana adanya.

Air yang tenang, memantulkan.”

Kerikil keempat mewakili ruang yang bebas

Ruang adalah kebebasan dan kebebasan adalah fondasi dari kebahagiaan sejati. Ketika diminta untuk memilih, pasti kita akan memilih berada di ruang yang luas dan bebas, alih-alih terhimpit dan sesak. Tetapi pada kenyataannya, kita sering berada dalam kondisi yang sesak akibat masalah dan tugas-tugas keseharian kita. Untuk itu, kita perlu menumbuhkan ruang dalam diri dan juga memberi ruang pada orang di sekitar kita, agar kita dapat merasa bahagia.

“Kita perlu memiliki ruang di dalam batin kita, agar kita bisa mengalami kebebasan dan sukacita. Tanpa ruang, kita tidak bisa berbahagia atau penuh kedamaian. Menarik dan mengembuskan napas, kita menyadari bahwa ada banyak sekali ruang di dalam batin kita. Ketika kita berpraktik, dalam cara yang bisa menumbuhkan ruang di dalam batin kita, maka kita menjadi bebas dan berbahagia.
Menarik napas, saya melihat diriku sebagai ruang.

Mengembuskan napas, saya merasa bebas.

Ruang, bebas.”

Setelah mendapat penjelasan, anak-anak lalu mengambil sikap duduk bermeditasi sambil memegang kerikil yang telah dibagikan. Usai bermeditasi, saya membagi lembaran kertas praktik untuk mereka gambar. Menggambar bunga, gunung, air yang tenang serta ruang yang bebas, sesuai imajinasi mereka.

Sebelum kelas berakhir, saya meminta mereka untuk menjawab pertanyaan di balik lembaran gambar mereka. Pertanyaan berupa kapan mereka merasa segar, semangat, penuh semangat dan ceria; kapan mereka merasa kokoh, kuat, dan penuh percaya diri; kapan mereka merasa tenang, hening, sunyi dan fokus; dan kapan mereka merasa bebas, ringan, dan relaks. Dari jawaban-jawaban yang terkumpul saya dapat merasakan kepolosan cara berpikir anak-anak. Sederhana dan tidak rumit.

This slideshow requires JavaScript.

Ada yang menarik setelah selesai sesi meditasi kerikil ini. Sekelompok anak-anak bersemangat mendatangi saya sambil menyodorkan batu yang telah mereka cari sendiri untuk saya beri warna. Hahaha.. Semoga praktik yang telah diberikan dapat mereka pahami dan praktikkan di rumah, serta bermanfaat bagi perkembangan spiritual mereka. (Rumini Lim)*

“Through mindful breathing and visualization, the qualities of freshness, solidity, clarity, and freedom are cultivated using the images of a flower, a mountain, still water, and a spacious blue sky. The pebbles help us make what can be abstract concepts into something more concrete.”

This slideshow requires JavaScript.

RUMINI LIM guru sekolah Ananda di Bagan Batu dan mengajar mindfulness class

Keindahan dari Sesuatu yang Sederhana

Keindahan dari Sesuatu yang Sederhana
Meditasi Minum Teh
Meditasi Minum Teh

Pada Sabtu, 24 Maret 2018 ini, kami akan berlatih meditasi mindfulness di kota kabupaten Muara Bungo. Keistimewaan dari latihan mindfulness kali ini adalah tambahan latihan meditasi menggunakan lilin yang mensimulasikan pelita dalam diri masing-masing.

Perjalanan dan Persiapan

Kami berkumpul di wihara pada pukul 6 pagi dan berangkat bersama-sama melalui jalan darat tepat pada pukul 06.30 pagi. Sepanjang kiri dan kanan jalan antara Jambi hingga Muara Bungo di Sumatera ini banyak terlihat pepohonan sawit dan karet yang mungkin bagi sebagian orang kurang menarik. Kendati demikian kami bahagia dapat menikmati perjalanan dengan bersenda gurau.

Sesuai dengan perkiraan, waktu tempuh ke lokasi memakan waktu 6 jam. Tepat pukul 12.30 siang. Perjalanan panjang yang berkelok-kelok tentunya membuat rasa lapar lebih terasa. Untungnya tuan rumah langsung menyambut dengan sajian makan siang yang sangat nikmat.

Jumlah peserta meditasi mindfulness kali ini berjumlah 32 orang. Latihan mindfulness dimulai pukul 14.00, dengan susunan jadwal relaksasi total, meditasi duduk, meditasi minum teh dan sharing pengalaman dan cerita. Persiapan segala kebutuhan latihan dan pembagian tugas dilakukan mulai pukul 13.30. Tugas-tugas tersebut mencakup menyiapkan teh dan makanan kecil, dokumentasi dan lain-lain.

Kami harus bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar dapat selesai latihan sesuai jadwal, sebab wihara akan dipakai untuk kebaktian puja Mahayana (liam keng). Hari ini memang bertepatan dengan hari uposatha tanggal 8 penanggalan lunar.

Relaksasi total

Kegiatan ini dilakukan selama 45 menit diiringi dengan renungan dan backsound yang mengantarkan relaksasi sangat berkualitas. Sahabat dari Bungo membawakan relaksasi ini dengan sangat apik walau pun baru perdana.

Relaksasi Total
Relaksasi Total

Meditasi Duduk

Usai relaksasi total, saya pun membacakan tuntunan meditasi duduk dari buku retret “Go as a River”. Meditasi ini kami lakukan selama 15 menit, mulai dari pukul 15.00 hingga pukul 15.15. Kemudian para peserta dipersilakan break selama 15 menit yang bisa dimanfaatkan untuk ke kamar kecil atau sekadar mengambil minum. Para volunteer pun menyiapkan teh dan makanan kecil.

Meditasi Duduk
Meditasi Duduk

Meditasi Minum Teh

Mengingat jumlah peserta yang cukup banyak dan kami harus bisa selesai tepat waktu, maka para volunteer membantu menuang teh yang akan dibagikan. Meditasi minum teh ini dimulai tepat pukul 15.30 dan saya menjelaskan cara melakukan pembagian gelas teh dan makanan kecil.

Saya mengangkat nampan dengan cangkir-cangkir berisi teh dan mengarahkan ke sahabat di sisi kanan saya. Sahabat tersebut akan beranjali dan mengambil satu cangkir teh dengan penuh perhatian dan meletakkannya di lantai. Kemudian kembali beranjali lagi ke saya dan menyambut nampan dari saya. Saya pun beranjali kepadanya sebelum dia mengarahkan nampan tersebut ke sahabat di sisi kanannya. Begitulah seterusnya nampan teh tersebut berpindah dari satu sahabat ke sahabat yang lainnya.

Ternyata cangkir teh di satu nampan tersebut tak cukup untuk seluruh peserta yang telah duduk melingkar dalam sebuah lingkaran besar. Seorang volunteer pun membawa satu nampan yang sudah disediakan di depan saya untuk menyambung nampan yang sudah kosong.

Cara yang sama pun dilakukan ketika mengedarkan makanan kecil. Makanan kecil kali ini terdiri dari chaipao mini (bakpao berisi chai = sayur-sayuran) dan brownies yang telah dipotong kecil-kecil. Masing-masing makanan dialasi dengan daun pisang yang digunting berbentuk bundar menyerupai piring kertas kecil.

Ketika lonceng dibunyikan, para peserta mengikuti instruksi untuk mengangkat cangkir teh masing-masing. Mereka pun mendengarkan syair minum teh yang saya bacakan.

 Secangkir teh di dalam kedua tanganku

Aku membangkitkan kesadaran sepenuhnya

Badan jasmani dan pikiran hadir sepenuhnya di sini dan saat ini.

Meditasi minum teh secara hening ini dilakukan selama 15 menit, yang diakhiri dengan mendengarkan bunyi lonceng.

Meditasi Minum Teh dan Sharing
Meditasi Minum Teh dan Sharing

Sharing 

Pada acara sharing, seorang sahabat bertanya mengenai posisi relaksasi total. Apakah harus tidur telentang lurus? Apakah tidak boleh miring ke kiri atau kanan?

Sahabat yang lain pun menjawab bahwa inti relaksasi total adalah mendapatkan posisi seluruh tubuh yang benar-benar relaks. Jika pertama-tama terasa kurang nyaman atau tidak relaks, maka dapat dicoba merelakskan seluruh tubuhnya. Lama-lama pun akan terbiasa.

Relaksasi total merupakan sesi yang sangat disukai, rata-rata peserta merasa sangat nyaman dan relaks setelah relaksasi total.

Ada juga pernyataan menggelitik dari salah seorang peserta yang baru pertama kali mengikuti latihan. “Mau minum teh saja kok repot, dari haus, sampai tidak terasa haus lagi.” Melihat mendalam atas kerepotan itu, ternyata bisa ditemukan pelatihan kesabaran. Jika fokus pada kesabaran maka benih kesabaran tersirami. Jika fokus pada kerepotan maka benih kerepotan yang tersirami.

Tepat pukul 16.30 acara sharing pun ditutup dengan membacakan sutra pelimpahan jasa. Hal ini dilakukan untuk mendedikasikan seluruh jasa kebajikan yang telah kami lakukan bersama-sama selama 2½ jam kepada para leluhur dan semua makhluk.

Cerita Si Buta dan Lentera

Pada rangkaian latihan ini sebenarnya ada satu sesi yang seharusnya dilakukan beruntun. Tetapi sesi tersebut cocoknya dilakukan pada malam hari, sehingga kami pun melakukan kegiatan sesi tersebut di malam harinya.

Sesi ini terinspirasi dari suatu artikel mengenai seorang buta yang membawa lentera di malam hari yang suasananya gelap. Si buta pun ditanya oleh orang yang berpapasan dengannya, “Mengapa engkau  membawa lentera? Apakah engkau menyalakan lentera untuk orang lain?”.

“Saya menyalakan lentera untuk diri saya sendiri,” jawab si buta.

Orang yang berpapasan pun kembali bertanya pada si buta,” Bukankah engkau buta dan tak bisa membedakan terang atau gelap?”

Si buta pun menjawab, “Tadi saya berjalan tanpa lentera dan beberapa kali saya tertabrak oleh orang lain yang berjalan berlawanan arah dengan saya. Saya pun menyalakan lentera agar orang lain dapat melihat jalan dan juga saya.”

Bila kita mampu menyalakan lentera atau pelita kita masing-masing maka kita akan bisa memperlihatkan terang kepada orang lain. Saat orang lain tergugah oleh terangnya lentera kita maka orang tersebut pun akan menyalakan lenteranya sendiri.

Lantas bagaimana cara melakukannya ?

Meditasi dengan Lilin

Caranya sederhana dan mudah, dan semoga simulasi ini dapat memberi inspirasi lebih kepada sahabat-sahabat terkasih.

Meditasi dengan Lilin
Meditasi dengan Lilin

Pertama-tama kami mempersiapkan backsound instrument lagu ‘lilin-lilin kecil’ dari Chrisye dan lilin-lilin untuk dibagikan. Setiap lilin diselipkan kertas agar lelehannya tak menetes di tangan. Masing-masing sahabat mendapatkan satu lilin.

Satu orang sahabat bertugas menyalakan lilin pertama dari lilin di altar baktisala. Setelah lilin menyala, sahabat tersebut duduk sambil memperhatikan nyala lilin ditangannya bernapas masuk dan keluar dengan damai. Sahabat di sisi kanannya pun menyalakan lilin dengan mengarahkan lilin yang dipegangnya ke lilin sahabat yang sudah menyala. Demikian seterusnya hingga lilin yang dipegang seluruh sahabat menyala.

Lilin-lilin tersebut menggambarkan diri kita. Jika kita mampu menyalakan pelita kita untuk menerangi kegelapan, maka kita akan menginspirasi orang lain untuk menyalakan pelita-pelita mereka. Setelah semua lilin menyala, kami pun berfoto. Hasil foto tersebut memperlihatkan keindahan dari suatu hal yang sangat sederhana.

Demikian juga dengan kita, bila pelita-pelita setiap orang menyala dengan benar maka dunia ini akan menjadi begitu indah.

Sebuah pelita bisa menyalakan banyak pelita

Bhante Nyanabhadra juga terus mendukung kami untuk dapat membentuk komunitas mindfulness agar kami bisa terus berlatih secara berkala. Kami pun dapat menyalakan pelita kami dan kelak dapat menginspirasi orang lain untuk menyalakan pelita mereka masing-masing.

Terima kasih kepada sahabat di Bungo yang telah berlatih bersama-sama kami. Semoga makin banyak pelita yang menyala dengan benar sehingga tidak membakar namun hanya menjadi penerang kegelapan.

ELYSANTY Volunteer Day of Mindfulness dan Retret Hidup Berkesadaran dari Jambi

Teruslah Berlatih Teruslah Berbuat Kebaikan

Teruslah Berlatih Teruslah Berbuat Kebaikan

Wihara Ekayana Serpong (WES) kembali mengadakan kegiatan DOM (Day of Mindfulness), pada tanggal 3 Mar 2018, kegiatan yang bertujuan agar para pesertanya dapat berlatih sadar penuh sepanjang sesi latihan. DOM kali ini, dibimbing oleh Sister Rising Moon.

DOM kali ini punya kesan tersendiri bagi saya, karena saya berhasil, membawa serta kedua orang tua saya untuk ikut berlatih. Dan ini juga kali pertama saya mengikuti DOM di WES.

Sepanjang latihan awal, ketika meditasi duduk, orientasi dan ceramah, jujur hati saya tak begitu tenang, karena saya juga mengamati kedua orang tua saya. Membantu mengingatkan mereka ketika bel untuk menarik napas. Membantu membukakan halaman agar mendukung mereka untuk berlatih.

Jam istirahat pun tiba, orang tua saya bercerita. Mama kakinya cepat pegal. Papa juga agak terkantuk karena bangun terlalu pagi. Saya bersyukur, saya yang masih “lebih muda” sudah mulai mengenal praktik latihan ini. Dan saya sadar, tanpa adanya mereka, tak akan ada tubuh ini, dan tidak mungkin saya bisa berlatih. Sudah tugas saya untuk mengenalkan mereka latihan ini. Semoga dukungan komunitas dapat membantu mereka dalam latihan.

No Mud, No Lotus
itulah tema DOM kemarin, yang bisa di artikan, tak ada kebahagiaan (Lotus = Teratai) tanpa penderitaan (Mud = lumpur).

Seperti yang di ceritakan sister, kadang kita tidak menghargai gigi kita, kita tidak bersyukur ketika gigi kita baik dan tidak sakit. Harusnya kita bahagia. Tapi begitu kita sakit gigi, baru kita menyadari sebenarnya ketika gigi kita sehat, itulah kebahagiaan.

Begitu juga dalam hidup saya ini. Saya sadar betul, hal yang menarik saya kembali untuk latihan, salah satunya karena mengalami penderitaan kehidupan.

Saya letih akan kebahagiaan semu. Makan, bermain, karaoke, jalan–jalan, nonton bioskop, semua itu memang asyik. Tapi tidak juga memberikan jawaban atas permasalahan kehidupan saya. Setelah melakukan itu semua, saya tetap harus menghadapi permasalahan hidup ini. Bagi saya, hal itu hanyalah pengalih perhatian, maka dari itu, saya menganggap hal semacam itu hanyalah kebahagiaan yang palsu.

Pikiran saya dulu
Melihat keadaan kedua orang tua saya, saya menyadari, pentingnya berlatih selagi muda. Kadang pun masih bisa ada rasa menyesal yang timbul, kenapa tidak dari kecil saya berlatih. Tapi kembali, penyesalan tak ada gunanya.
Saya mencoba menelusuri dan mengingat, pola pikir saya ketika kecil. Aaah, saat itu memang hidup saya masih “baik-baik” saja. Tak ada masalah, tak ada yang perlu dipusingkan.

Ternyata oh ternyata. Terima kasih masalah, you save my life!

Apa lagi ya yang jadi alasan ketika muda saya tak berlatih?

Oo.. dulu saya merasa, meditasi itu menjenuhkan. Duduk diam. Ngapain coba? Tapi saya sekarang sadar, dulu pengertian saya kurang tepat. Meditasi ternyata tidak harus duduk, tapi bisa hanya dengan cukup sadar dan menyadari napas.

Apalagi ya pikiran yang membuat saya tak berlatih dulu?

Mmm… Oo, karena rasa “malas”. Nanti ajalah, mau happy–happy duluan. Namanya juga bocah, masih pengen main game, masih ingin haha hihi. Jalan–jalan. Nonton. Dan ternyata satu kata “nanti” itu lamaaaaa sekali. Bertahun–tahun lamanya.

Yap, no mud no lotus, penderitaan yang membawa saya ke jalan ini. Dengan merasakan penderitaan, saya berusaha mencari sebabnya, dan mulai mengubah bentuk mental. Dengan mendengar ceramah dan berlatih hidup sadar, perlahan saya mengerti dan hidup terasa lebih berarti.

Kematian tak dapat diprediksi
Berpikir tentang kematian, menjadi sebuah cambuk dalam diri saya untuk terus berbuat baik. Saya sadar, cepat lambat, kematian adalah pasti. Saya tidak tahu, siapa yang berangkat lebih duluan. Mungkin saya, atau keluarga. Tapi dengan menyadari ini, saya tetap berusaha mawas diri dan melakukan kebaikan.

Waktu berjalan cepat, terutama bila tidak kita sadari. Dengan menyadari hidup, setiap tarikan napas itu berarti. Setiap tindakan kita, yang mungkin kecil, pasti ada membawa perubahan. Baik atau buruk, tergantung yang kita lakukan.

Kematian bukanlah hal yang kita takutkan. Tapi penting sekali untuk mengetahui, amat sulit terlahir menjadi manusia. Bayangkan seekor penyu yang muncul 100 tahun sekali untuk menarik napas di tengah samudra, dan ketika muncul ke permukaan, ada gelang berbentuk lingkaran yang ukurannya pas dengan leher penyu tersebut. Ketika penyu itu muncul dan masuk ke dalam gelang, kelahiran sebagai manusia terjadi.

Tidak ada salahnya mengejar kebahagiaan materi dan duniawi, tapi seimbangkan dengan berlatih. Bayangkan ada seorang kaya, dengan kekayaan 5 miliar. Tapi sudah meninggal, Anda diminta bertukar tempat dengannya, Anda dapat 5 miliar tapi langsung mati, apakah Anda mau ?

Dengan mengetahui sulitnya menjadi manusia, kiranya kita bisa lebih menghargai setiap detik dalam hidup ini. Karena waktu yang telah pergi tak akan pernah kembali. Jadikanlah hidupmu, selalu berarti..

Teruslah berlatih, teruslah berbuat kebaikan.

Be mindful and be happy! (Edwin Halim)*

 

*Musisi dan sekaligus pakar IT

Tidak Perlu Jauh-jauh Ke Luar Negeri

Tidak Perlu Jauh-jauh Ke Luar Negeri
DOM di Wihara Buddhasena Bogor

Pertama kali mengenal Retret dan Hari Hidup Berkesadaran ialah sejak tahun 2010 ketika Master Zen Thich Nhat Hanh datang ke Indonesia. Karena retret tersebut telah menyentuh hati saya yang terdalam, sejak saat itu saya aktif mengikuti kegiatan Retret dan Hari Hidup Berkesadaran. Setiap ada kegiatan seperti ini, saya biasanya selalu bersemangat dan usahakan untuk datang.

Hari Hidup Berkesadaran, atau dalam bahasa Inggrisnya ialah Day of Mindfulness (DOM) biasanya mempunyai jadwal yang selalu sama: Registrasi, Orientasi, Meditasi Duduk, Meditasi Jalan, Dharma Talk, Meditasi Makan, Relaksasi Total, Sharing, Foto-foto, selesai.

DOM Special
Nah, ternyata DOM yang diadakan di Wihara Buddhasena Bogor tanggal 27 Januari 2018 kemarin mempunyai jadwal yang berbeda dari biasanya: Registrasi, Orientasi, Meditasi Duduk, Chanting Namo Avalokiteshvara, Gerak Badan Berkesadaran, Dharma Talk, Meditasi Makan, Qi Gong, Relaksasi Total, NoBar film Walk With Me, Foto-foto, selesai.

Day of Mindfulness kemarin itu sungguh sangat spesial karena adanya Chanting Namo Avalokiteshvara, Qi Gong, dan NoBar film Walk With Me. Bagi saya yang paling berkesan ialah NoBar film Walk With Me nya. Tidak hanya itu, peserta DOM kemarin ada yang berasal dari Columbia dan Myanmar juga. Saya pun kebetulan ditunjuk menjadi volunteer translator untuk mereka.

Film Walk With Me merupakan film dokumenter yang menceritakan mengenai kehidupan para monastik di Plum Village: Upacara penahbisan monastik, cukur rambut, kegiatan sehari-hari di Plum Village, retret yang diadakan di Plum Village, chanting Namo Avalokiteshvara, Meditasi Jalan dan Duduk di jalanan umum, dan lain sebagainya.

Batal Menonton
Sejak film Walk With Me tayang di bioskop di Eropa, saya pun berpikir kapan film itu bisa tayang di Indonesia. Saya sangat ingin menonton film tersebut. Ketika saya di Eropa bulan September – Oktober 2017 kemarin, saya rencananya ingin menonton film Walk With Me di Amsterdam tanggal 1 Oktober 2017. Awalnya saya bersemangat sekali untuk nonton film Walk With Me di Amsterdam, namun karena sudah lelah jalan-jalan dan orangtua juga kurang minat nonton, jadi akhirnya batal.

Tidak patah semangat, saat saya ke Thailand bulan Desember 2017 kemarin, saya mencari informasi mengenai penayangan film Walk With Me di Bangkok. Namun saya tidak berhasil mendapatkan informasi penayangan nya. Eh kemarin ini akhirnya film Walk With Me ditayangkan juga di Indonesia! Suatu keberuntungan saya akhirnya bisa menonton film Walk With Me ini di Bogor, kota kelahiran saya sendiri. Tidak perlu jauh-jauh lagi untuk menonton film tersebut.

Menonton Film Walk With Me

Suasana Damai
Tujuan utama saya ke Eropa kemarin ialah untuk mengunjungi Samanera Bhadrawarman (sepupu saya yang sudah menjadi Samanera dan sedang berlatih di Plum Village Perancis). Saya tinggal di Plum Village Perancis selama 5 hari. Lalu 5 hari nya lagi dipakai untuk jalan-jalan. Selama di Plum Village, saya merasakan betapa damai nya tinggal disana. Saya juga berkesempatan untuk mengikuti Day of Mindfulness di sana.

Tinggal selama 5 hari di Plum Village meninggalkan jejak yang cukup mendalam bagi saya. Oleh karena itu, ketika saya menonton film Walk With Me ini yang mayoritas di-shoot di Plum Village Perancis, saya bisa mengenang kembali bagaimana suasana damai di Plum Village, bagaimana suasana kehidupan para monastik di Plum Village.

Bertemu Zen Master
Karena film itu juga, saya bisa mengenang kembali bagaimana perasaan saya ketika pertama kali ikut Retret Hidup Berkesadaran yang dibimbing langsung oleh Master Zen Thich Nhat Hanh pada tahun 2010 lalu. Bagian yang paling menyentuh dari film Walk With Me ialah saat chanting Namo Avalokiteshvara. Di film itu diperlihatkan seorang wanita yang menangis tersedu-sedu saat mendengar chanting tersebut.

Saya pun langsung merasa wanita itu seperti diri saya sendiri saat pertama kali mendengar chanting Namo Avalokiteshvara di Retret Hidup Berkesadaran tahun 2010 lalu. Saat itu saya juga menangis tersedu-sedu saat mendengar chanting tersebut. Sungguh sebuah chanting yang sangat indah yang menyentuh hati terdalam!

Berkelanjutan
Karena saya ditunjuk menjadi volunteer translator, saya jadi berkesempatan untuk memperkenalkan Plum Village kepada orang Columbia dan Myanmar. Karena yang Columbia sudah 2 tahun di Indonesia, jadi bisa berbicara bahasa Indonesia walaupun masih belum terlalu lancar. Kalau yang Myanmar, karena baru 5 bulan di Indonesia, jadi hanya bisa mengerti beberapa kata dalam bahasa Indonesia. Saya pun kebanyakan menjadi translator untuk kedua orang Myanmar ini.

Sebenarnya lebih tepatnya sih menjadi teman yang menjelaskan kepada mereka, bukan hanya sebatas translate apa yang sedang dijelaskan oleh Bhante Nyanabhadra dan Sister Rising Moon. Saya jelaskan juga kepada mereka bagaimana pentingnya ikut retret atau DOM secara berkelanjutan.

Jeane Rooseline (Baris pertama, nomor dua dari kiri)

Bersama Komunitas
Retret atau DOM harus dilakukan secara berkala, agar kita ingat akan latihan Mindfulness. Tanggapan mereka pun baik. Mereka bilang mau ikut acara seperti ini lagi. Saya pun sebagai yang menjelaskan kepada mereka menjadi turut senang. Sungguh suatu hal yang baik jika kita bisa latihan Mindfulness secara berkala bersama dengan komunitas. (Jeane Rooseline)*

*Volunteer dan anggota dari Wake Up Bogor

Bersyukur Mengenal Praktik Hidup Sadar

Bersyukur Mengenal Praktik Hidup Sadar

Pagi itu saya lagi berias seperti biasa mau ke kantor, tiba-tiba hp saya berdering. Krrring-krrring, waktu saya lihat teryata dari adik laki-laki saya.

Halooo dia berkata “Maafkan saya ya mungkin waktu hidup saya sekarang ini sudah tinggal sedikit lagi.” Jantung saya mulai berdegup kencang. Saya bertanya, “Kamu kenapa?” Saya mulai membatin kacau, karena saya tahu dia lagi kerja urus renovasi rumah tante saya, lalu saya berpikiran apakah dia jatuh dari atas rumahnya?

Ternyata saya keliru, dia bilang “Saya sakit”, ini sudah tidak sanggup hidup lagi. Saya bertanya lagi “Kamu kenapa?” Ternyata dia demam panas tinggi dan tidak mau dibawa ke rumah sakit.

Pukul 10 pagi, saat itu juga saya segera meluncur ke rumah orang tua saya untuk melihat keadaannya dan apa yang sebenarnya terjadi. Sesampai di sana, saya melihat dia mengoceh terus dan ngomonganya ngelantur berkata dia sudah mau mati. Dia merasa sudah tidak sanggup menahan rasa sakit atau rasa panas di tubuhnya.

Waktu itu saya hanya duduk dan berpikir apa yang perlu saya lakukan ya? Ok,saya coba! Saya masuk ke kamar dan meminta dia meletakkan jari manisnya di bawah hidung. Saya bilang, “Tarik napas masuk, hembuskan napas keluar.” Saya minta dia ulangi beberapa kali. Lalu saya bertanya apa yang dia rasakan, dia bilang, “Dada saya sesak”.

Saya kembali meminta dia untuk bernapas lagi seperti tadi, napas masuk, napas keluar. Beberapa saat kemudian ruangan kamar pun menjadi hening.

Saya pun berlalu keluar kamar dan duduk di ruang tamu sambil menunggu. Tak terasa 15 menit berlalu, adik saya keluar dari kamarnya menuju toilet. Setelah dari toilet dia berjalan menuju kembali ke kamar untuk istrahat.

Saya melihat dia di kamar sudah tidak berselimut lagi dan sudah Relaks “Breathe you are alive!” Keadaannya sudah lebih baik, saya pun memutuskan untuk lanjut pergi ke kantor. Saya bersyukur dapat mengenal mindfulness ini beberapa bulan sebelum kejadian ini. (Sri)*

*Wanita karir, bersuami satu dan dua orang anak.

Mindfulness Class: Meditasi Jalan

Mindfulness Class: Meditasi Jalan
Meditasi Jalan siswa-siswi SD

“Take my hand we will walk,
we will only walk.
We will enjoy our walk without thinking of arriving anywhere.”
~Thich Nhat Hanh

Anak-anak senang sekali berlari atau tergesa-gesa. Oleh karena itu, meditasi jalan bukan saja dilakukan untuk siswa SD dan SMP, tapi juga oleh murid PG dan TK.

Dalam sesi bersama anak TK, saya tidak menjelaskan secara panjang lebar kepada mereka. Saya hanya menjelaskan secara singkat bagaimana nanti berjalan dengan tenang dan hening, sambil berucap ‘Terima kasih, Bumi’ atau ‘Thank you, Earth’ di dalam hati, dalam setiap langkah. Kalimat ini sengaja dipilih agar mereka perlahan dapat memahami betapa bumi telah sangat berjasa dalam perjalanan kehidupan kita.

Awalnya mereka dapat berjalan pelan. Tapi setengah perjalanan mereka sudah mulai tidak sabar dan kembali berjalan seperti biasa (baca: cepat). Tapi ada beberapa anak yang benar-benar serius melangkah dengan perlahan sambil mengamati langkahnya. Sambil bergandengan tangan, mereka mengatur langkah agar tidak terlalu cepat ataupun terlalu lambat bersama temannya.

Lain halnya dengan siswa SD dan SMP. Saya sengaja mencari lokasi di luar sekolah agar mereka dapat menikmati suasana baru. Kebetulan di sebelah sekolah ada kebun yang sangat luas dan memiliki kolam. Anak-anak sangat antusias mengetahui akan bermeditasi jalan di sana. Setelah selesai melakukan meditasi jalan, mereka diberi kesempatan untuk menikmati suasana kebun. Mereka juga diingatkan untuk dapat mempraktikkan ini di rumah atau di mana saja. Dari gerbang sekolah hingga ke kelas pada pagi hari, dari kelas ke kamar mandi sekolah.

Setiap langkah sadar penuh adalah seperti kita sedang mencetak jejak kaki kita ke bumi. Menjejakkan kaki seperti mencium bumi dengan kaki. Kita seharusnya tidak mencetak kesedihan, kecemasan, dan ketakutan kita pada bumi, tapi cetaklah kebahagiaan, ketenangan dan kedamaian di setiap langkah kita. Kita dapat melakukannya sebanyak kita mau. Kapan saja ketika kita melangkah, kita dapat melakukan ini dengan penuh sadar.

Untuk siswa SMP pernah saya siapkan materi secara visual yang menerangkan tentang jalan berkesadaran ini sebelum mereka mulai mempraktikkannya. Beberapa video saya kumpulkan, diantaranya tentang flash mob meditation di Hong Kong dan trailer film ‘Walk With Me’. Sebagian besar kelas antusias menonton. Ini adalah pengetahuan baru bagi mereka.

Saat berjalan sadar penuh bersama para remaja ini, ternyata jauh lebih baik. Kami berjalan dalam hening, dengan perlahan, mengamati setiap langkah. Hanya ada dua atau tiga anak yang kurang konsentrasi. Tapi secara keseluruhan, saya senang mereka bisa mengikuti kegiatan ini. Hingga kembali ke kelas, suasana masih tetap tenang untuk beberapa saat. Beberapa anak mengakui menikmati jalan berkesadaran ini.

”I have arrived, I’m home
In the here, in the now
I’m solid, I’m free
In the ultimate, I dwell.”

Memberi pengetahuan dan pengalaman baru selalu deg-degan, harap-harap cemas tapi antusias. Saya tidak tahu seberapa banyak yang mereka serap dan ingat akan pelajaran-pelajaran ini. Tapi seperti kata guru saya, andaikan mereka tidak mendapat manfaatnya, paling tidak masih ada satu orang yang mendapatkannya. Saya. Ya, saya selalu mendapat pengalaman baru pada setiap kali kesempatan berbagi dengan mereka di kelas.

Di semester depan, telah saya siapkan beberapa materi baru lagi bagi mereka. Meditasi kerikil, meditasi kerja, meditasi gerakan, dan mengulangi beberapa materi sebelumnya. Mereka akan belajar bahwa meditasi tidaklah hanya berupa duduk diam dan memejamkan mata.

Meditasi adalah berlatih melakukan kegiatan keseharian kita dengan sadar penuh, baik dalam duduk, berjalan, berbaring, makan, kerja, bahkan mendengar suara lonceng atau genta. Sama halnya seperti sedang menanam benih kesadaran dan menyiraminya dengan baik setiap hari sehingga dapat tumbuh menjadi pohon yang kokoh dan berguna, berlatih hidup sadar penuh sejak masa kanak-kanak akan membangun banyak karakter positif dalam diri mereka tumbuh hingga dewasa kelak. (Rumini Lim)*

“When we are mindful, deeply in touch with the present moment, our understanding of what is going on deepens, and we begin to be filled with acceptance, joy, peace and love.” ~Thich Nhat Hanh

*Guru Sekolah Ananda di Bagan Batu, ia mengajar mindfulness class

Day of Mindfullness Sebagai Charger

Day of Mindfullness Sebagai Charger
Briefing sebelum chanting “Namo Avalokitesvaraya” oleh volunteers dan monastik

Bukan sekedar lima, enam, atau tujuh kali saya diajak ikutan DOM (Day of Mindfullness) yang diselenggarakan oleh teman-teman dari komunitas hidup berkesadaran Plum Village, bahkan saya sering melihat Informasi kegiatan ini muncul di wall Facebook saya, dan tentu saja ajakan itu selalu saya jawab dengan konsisten “kayaknya saya nggak bisa ikut deh”.

Sebenarnya bukan tidak bisa ikut, tapi ini soal “Mau atau tidak mau” ikut. Kalau sudah dari awal tidak mau ikut, maka akan muncul 1001 alasan untuk tidak ikut. Demikian sebaliknya, kalau sudah niat mau ikut, maka bagaimanapun godaan yang datang kita akan tetap berusaha untuk hadir”.

Kali ini saya diajak untuk jadi volunteer dalam kegiatan tsb bersama dengan teman saya, saya sanggupi, “okay saya ikut!”.

Bel Kesadaran
Hari sabtu pun tiba ditemani dengan hujan, Kegiatan dimulai pukul 08.30 dan saya tiba pukul 08.45. Saat saya masuk Sister Raising Moon sedang menjelaskan mengenai tata tertib, dan semua yang berkaitan dengan acara DOM ini. Instruksinya simpel, “Apabila anda mendengar bunyi bel, maka bawa kesadaran Anda kembali ke napas masuk, napas keluar di sini, dan saat ini”.

Sadari setiap aktivitas tubuh yang Anda lakukan, baik itu duduk, berjalan, makan, juga aktivas lainnya…. Berusaha untuk menyadarinya

Tentu saja semua peserta berusaha mengikuti instruksi yang diberikan, dalam kegiatan ini kita akan sering mendengar suara bel yang dibunyikan, seketika itu juga semua peserta diam. berusaha menyadari napas yang keluar dan masuk, berusaha untuk “kembali ke Rumah” ini, tubuh ini.

Ada kalanya saya tidak merasakan apa-apa, oh.. ternyata ini dikarenakan saya tidak hadir sepenuhnya pada present moment ini, tidak hadir sepenuhnya dalam napas ini.

Ada kalanya, saya merasa begitu nyaman, asik dan happy dengan napas ini, hadir bersama napas ini, damai. Namun kondisi tersebut timbul dan tenggelam, gambaran dari ketidakstabilan kesadaran saya.

Menyanyi Berkesadaran
Hal lainnya yang berbeda dalam kegiatan ini adalah peserta diajak untuk ikut menyanyikan lagu-lagu dari Plum Village, dalam bahasa Inggris maupun Indonesia. Lagunya singkat, namun padat bermakna. Dengan metode bernyanyi ini, kondisi relaksasi pun terbangun.

Dengan menggunakan metode bernyanyi ini, kita kembali diajak untuk sadar, hadir sepenuhnya di sini dan sekarang. Lirik lagunya menyejukkan hati, menenangkan dan menyadarkan, ini salah satunya :

“Happiness is here and now.
I have dropped my worries.
Nowhere to go, nothing to do. No longer in a hurry.

Happiness is here and now.
I have dropped my worries.
Somewhere to go, something to do.
But I don’t need to hurry”

Merasakan Makanan
Saat jam makan siang tiba, semua peserta perlahan berjalan menuju ke ruang makan di lantai dasar. Dengan perlahan menuruni tangga, berbaris rapi. Satu persatu peserta mengambil makanan dan masuk ke ruang makan, sambil menunggu peserta yang lainnya. Duduk dengan hening, sambil terus berusaha menjaga kesadaran. Memang bukan hal yang mudah, raut wajah boleh saja tampak tenang, namun belum tentu pikiran hadir di sini dan saat ini.

Makan dengan kesadaran adalah makan dengan dapat merasakan rasa makanan, tekstur makanan, dan semua aktivitas yang terjadi di dalam mulut kita. Saat mulut menyentuh makanan, lidah merasakan rasa, gigi yang saling bertautan sampai dengan tenggorokan yang merasakan makanan lewat.

Makan kali ini terasa lebih lama, lebih lamban namun lebih berarti. Menjadi berarti karena kita dapat merasakan rasanya makan, makan tanpa buru-buru. Acap kali ketika merasakan makanan enak saat makan, kita akan makan satu suap ke suapan berikutnya secara cepat, karena ingin segera merasakan rasa enak pada suapan berikutnya.

Namun dengan cara makan seperti itu, sebenarnya kita sama sekali tidak benar-benar merasakan rasa enaknya makan. Rasa enaknya makan hanya akan muncul saat kita makan dengan penuh kesadaran, hadir secara utuh di sini dan saat ini.

Kedengarannya memang mudah, tapi perlu latihan yang konsisten. Dalam kegiatan DOM ini, kembali kita diingatkan, dikondisikan dan diajarkan untuk makan secara berkesadaran.

Senam & Yoga
Aktivitas meditasi duduk dalam jangka waktu tertentu dapat membuat beberapa bagian tubuh kita menjadi pegal-pegal dan kurang nyaman. Namun jangan khawatir, dalam kegiatan DOM kita diajak untuk Senam berkesadaran dan Yoga. Saya sendiri merasakan hal ini sangat membantu merelaksasikan otot-otot tubuh yang tegang, dapat disebabkan karena aktivitas kerja sehari-hari kita maupun karena duduk terlalu lama.

Gerakan senam yang diajarkan tidaklah rumit, hanya berupa gerakan sederhana namun tepat sasaran. Gerakan tubuh harmoni dengan napas masuk dan napas keluar, sehabis mengikuti senam dan yoga saya merasakan otot-otot tubuh menjadi relaks dan nyaman saat kita kembali melakukan meditasi duduk.

Anton (Baris atas, nomor 2 dari kiri)

Walk With Me
Walk With Me” merupakan sebuah film yang dibuat di Plum Village, menceritakan kehidupan Monastik Zen di sana dengan aktivitas harian mereka mulai dari menyiapkan makanan, mencukur rambut, menyambut peserta retret/tamu, menghadiri wejangan Dharma dari Bhante Thich Nhat Hanh, dan duduk untuk meditasi. Menggambarkan perjuangan para monastik yang bertahun-tahun menjalani latihan sebelum menemukan kedamaian batin. Tidak banyak percakapan yang terjadi di film tersebut, namun pesannya jelas akan membuat kita tersadarkan betapa berharganya kedamaian batin.

Kesemua aktivitas yang dirancang dalam kegiatan DOM ini tidak lain adalah sebuah upaya untuk memunculkan kembali kesadaran kita di sini dan saat ini. Bagi kita yang selalu sibuk dengan semua rutinitas, tentu butuh sesekali “berhenti” sejenak dan kembali menyadari tubuh dan pikiran ini. Kebanyakan dari kita sering mendengar tentang meditasi, tau bagaimana bermeditasi, tau arti penting untuk selalu hidup sadar, namun seberapa baik praktik berkesadaran kita?

Kegiatan DOM ini ibarat Charger, charger untuk men-charge latihan kita untuk menyadari tubuh dan pikiran ini. Charger untuk kualitas diri yang lebih baik. (Anton Vijja Nanda)*

Marilah terus berlatih, hingga mencapai kesadaran tertinggi
Marilah terus berlatih, hingga mencapai kebuddhaan yang sempurna

*Peserta dan Voulentir DOM Pusdiklat Bodhidharma Jakarta, 20 Jan 2018

NoBar Perdana Walk With Me

NoBar Perdana Walk With Me
Kshantica: baris depan, kedua dari kiri

Ketika Bhante Nyanabhadra pertama kali menanyakan; “Indonesia, siapkah screening Film Walk With Me?

Saya sama sekali tidak tertarik, saya tidak berbakat untuk membuat video sependek apapun filmnya, sehingga saya tidak menjawab apa pun ketika itu.

Beberapa bulan berlalu, kembali topik film ini ditanyakan, akhirnya penasaran saya bertanya, “Siap apa sebenarnya?

Ternyata kesiapan yang dimaksud adalah kesiapan untuk tayang di bioskop seperti peruntukan film ini dibuat oleh Marc J. Francais & Max Pugh, menyusul negara-negara lain yang sudah tayang di sinema umum seperti di Perancis, Thailand, Taiwan, dan Selandia Baru.

Ini bukanlah referensi film, jadi saya tidak akan mengulas film dokumenter Walk With Me namun menceritakan rasa yang timbul saat menontonnya.

Akhirnya nobar (nonton bareng) film ini diadakan perdana dalam Day of Mindfullness di Pusdiklat Bodhidarma, pada Hari Sabtu tanggal 20 Januari 2018. Membludaknya pendaftar dibandingkan kapasitas umum Pusdiklat tidak menyurutkan semangat berlatih mempraktikkan meditasi terapan ini.

Film ini sungguh luar biasa, selama menonton saya berdoa, semoga suatu hari nanti ketika semangat belajar ajaran Guru sudah jauh menyusut, ketika orang-orang sudah melupakan cara berlatih, lupa cara hidup dalam komunitas, ketika orang-orang lupa bahwa monastik juga memiliki orang tua dan mereka diizinkan untuk bertemu sanak keluarga, ketika orang-orang sudah lupa bahwa belajar ajaranNya bukan berarti hanya duduk memegang dupa, mendaraskan doa sepanjang hari, saat itulah film ini ditemukan kembali. Haru biru menyelimuti hati, luar biasa… Luar biasa… Luar biasa…

Dalam ceramahnya, Bhante Nyanabhadra mengingatkan bahwa Kita saat ini berlatih menerapkan kesadaran dalam setiap kegiatan keseharian, kita menyadari bernapas mendalam dan lambat. Berperilaku kalem dan ease, selalu hidup present moment (kekinian), dan tahu saat ini adalah saat terindah. Saya menjadi mengerti hidup berkesadaran adalah sebuah sebuah seni, bisa dipelajari, seiring latihan maka makin terasah.

Sepanjang berlatih, energi kolektif positif dari semua peserta, volunteer dan Sanggha menular, sungguh sangat meditatif, saya hidup sekarang, saat ini, I am joy! (Kshantica)

Happy Teachers Gathering

Happy Teachers Gathering
Happy Teachers Gathering @ThaiPlumVillage (Dec 2017)

Bayangkan 500an orang berkumpul di satu tempat, hanya satu kata, bising! Namun Plum Village punya cara untuk membuat semua orang hening dengan memancarkan secercah senyum, itu yang terjadi pada Retret Core Sangha penghujung tahun di Plum Village Thailand sejak 25 Desember 2017 s.d. 1 Januari 2018.

Plum Village Thailand menjadi pusat latihan bagi kawasan Asia Pasifik. Tradisi Zen yang diasuh oleh Zen Master Thich Nhat Hanh yang kerap disapa Thay (artinya guru), yang mana beliau sedang dalam tahap penyembuhan dari stroke yang mendera beliau sejak 2014.

Thay memberi pesan cukup jelas untuk membantu para guru, meminta para murid-murid monastik maupun sahabat awam untuk memberikan perhatian khusus kepada guru sekolah. Oleh karena itulah muncul program “Happy Teachers Change The World“. Program membawa “mindfulness” (sadar penuh) yang lebih praktis dan sekuler ke dunia pendidikan.

Penerbit Parallax telah menerbitkan buku “Happy Teachers Change The World” yang merupakan kerjasama dari Plum Village dan Katherine Weare yang merupakan pakar pendidikan dari Inggris. Buku ini bisa diperoleh dari sini.

Kesempatan berkumpul selalu dipergunakan untuk membangun jaringan, terutama yang berkaitan dengan misi pendidikan. Ho Gia Anh Le, guru yang berasal dari Vietnam, saat ini mengajar di Singapura; ia menginisiatifkan pertemuan para pendidik yang kebetulan hadir dalam retret core sangha tersebut.

Beberapa teman dari Indonesia juga tampak hadir, Ibu Linda Roesli dan Novi mewakili sekolah Nanyang Zhi Hui Medan, Shantum Seth mewakili jaringan pendidikan dari India, dan beberapa negara lainnya yaitu dari Vietnam, Thailand, Jerman, Perancis, dan lain-lain.

Masing-masing membagikan bagaimana mereka membawa “mindfulness” ke dunia pendidikan, bagaimana reaksi anak-anak terhadap program ini. Semua orang merasa pertemuan ini perlu sering dilakukan agar bisa saling memberikan semangat dan inspirasi segar.

Benih sudah ditanamkan, semoga jaringan “Happy Teachers” Asia bisa melakukan sesuatu lebih konkrit di kemudian hari. Nanti mungkin akan ada kegiatan bersama, seperti konferensi mindful teachers sebagaimana yang disarankan oleh Thay Phap Kham (Dharmacharya senior dari Asia Pasifik). Kita tunggu kabar berikutnya. (Pháp Tử)

Mindfulness Class: Meditasi Biskuit dan Teh

Mindfulness Class: Meditasi Biskuit dan Teh
Meditasi Biskuit dan Teh

“Drink your tea slowly and reverently, as if it is the axis on which the world earth revolves – slowly, evenly, without rushing toward the future.” ~ Thich Nhat Hanh

Ketika diumumkan akan diadakan “biscuit meditation” untuk siswa SD, mereka sangat antusias dan penasaran. Ini kali pertama bagi mereka. Bagi siswa SMP, mereka sudah pernah melakukannya. Agar bervariasi untuk siswa SMP, saya memakai sistem potluck yang mana setiap anak diminta untuk membawa satu bungkus kecil biskuit yang akan kami nikmati bersama ditemani segelas teh. Biskuit yang terkumpul menjadi sangat bervariasi sehingga mereka lebih bersemangat.

Karena ini pertama kali bagi kelas SD, mereka dijelaskan terlebih dahulu bagaimana melakukan meditasi ini. Dari mulai memberi bow ketika biskuit diberikan secara bergiliran, mengedarkan biskuit dengan sadar penuh, menghirup wangi teh dan mencicipinya secara perlahan, menggigit biskuit secara perlahan dan membiarkannya melembut di mulut, menikmati biskuit bersama teh dan merasakan sensasinya, hingga menutup meditasi dengan melakukan bow bersama-sama.

Anak-anak terlihat sangat antusias dan berusaha melakukannya dengan sungguh-sungguh. Jika ada temannya yang lupa memberi bow, mereka akan saling mengingatkan dengan berbisik, “Bow dulu.”

Saat mereka menikmati biskuit, ada yang sangat serius melakukannya, ada yang sambil berpandang-pandangan dengan temannya lalu tersenyum. Ketika lonceng diundang kembali sebagai tanda selesai, meditasi kami tutup dengan bow bersama-sama. Setelah itu anak-anak berbagi pengalaman mereka bagaimana rasanya melakukan meditasi ini.

Lain halnya dengan siswa SMP. Dalam kelas ini, mereka bukan hanya belajar menikmati makan dalam hening dan tidak terburu-buru, tetapi mereka juga dilatih agar dapat melihat sifat ‘interbeing‘ dari makanan yang mereka konsumsi.

“Elemen-elemen apa saja yang ada dalam biskuit dan teh yang mereka makan dan minum?”

“Apakah mereka bisa membayangkan perjalanan yang dibutuhkan oleh makanan itu hingga terhidang di hadapannya?”

“Bagian mana dari snack ini yang membutuhkan waktu paling lama untuk ditanam? Bagian mana yang membutuhkan perjalanan paling jauh untuk tiba di hadapan kita?”

“Apakah mereka dapat melihat adanya peran cacing, matahari, awan, hujan, petani coklat, peternak sapi, supir truk, dan orang yang mengangkutnya?

Setelah memahami adanya saling keterkaitan ini, mereka akan belajar untuk tidak meremehkan apapun. Belajar untuk tahu bersyukur dan berterima kasih, menjadi lebih peduli dan lebih sadar akan lingkungan sekitarnya.(Rumini Lim)*

“Karena dalam sebuah piring makanan, terdapat banyak tangan, hati dan jiwa yang terlibat dalam penyiapannya.” ~ Thich Nhat Hanh

*Guru Sekolah Ananda di Bagan Batu, ia mengajar mindfulness class