Hidup Mendalam Penuh Makna

Begawan Buddha, sejak wawasan mendalam tentang impermanen semakin mendalam, aku semakin mengerti, ternyata Lima Peringatan Kehidupan selalu mendorongku untuk selalu rajin berlatih meditasi setiap hari.
- Menjadi tua adalah suatu kewajaran, tak mungkin aku bisa menghindari penuaan
- Jatuh sakit adalah suatu kewajaran, tak mungkin aku bisa menghindari penyakit
- Mati adalah suatu kewajaran, tak mungkin aku bisa menghindari kematian
- Apa pun yang aku hargai dan junjung tinggi pada hari ini, nanti di masa depan, semua itu akan berpisah jua
- Warisan satu-satunya yang kumiliki adalah hasil dari perbuatan tubuh, ucapan, dan pikiran. Perbuatanku menjadi landasan pijakanku.
Aku bersyukur karena memperkuat pemahaman tentang impermanen, sehingga aku bisa menghargai setiap hari dengan penuh makna. Buddha yang telah tercerahkan, Engkau bijak dalam menggunakan waktu, kesehatan, usia muda untuk berkarir dalam jalur pembebasan dan keterjagaan. Aku bertekad menjadikaMu sebagai panutanku, tidak mengejar kekuasaan, jabatan, ketenaran, dan profit. Aku tidak ingin memboroskan waktu lagi. Aku bertekad menggunakan waktu dan energi untuk berlatih agar mendapatkan transformasi berbagai gangguan mental sehingga memperoleh pengertian dan cinta kasih. Wahai Buddha, aku sebagai generasi penerus dan kelanjutanMu, aku sepenuh hati bertekad untuk berlatih sehingga karir pengertian dan cinta kasihMu bisa terus bergelora dalam hati para praktisi generasi berikutnya.
Melalui latihan memperdalam pemahaman terhadap impermanen, aku melihat kehadiran semua orang yang aku cintai begitulah bermakna: orangtuaku, guru-guruku, para sahabat, dan para sahabat seperjuangan dalam spiritual. Aku mengerti sepenuhnya bahwa, semua orang yang aku cintai juga tidak kekal begitu juga diriku. Ada waktu ketika aku berada dalam kealpaan sehingga aku berkesimpulan bahwa mereka yang aku cintai akan hidup selama-lamanya, sepanjang hayatku. Aku selalu berpikir bahwa mereka tidak menjadi tua, mereka tidak akan sakit, dan mereka tidak akan pernah absen dari hidupku.
Aku tidak menghargai kehadiran mereka. Aku tidak bersukacita dan juga tidak bergembira bersama mereka. Malahan, aku menguncarkan kata-kata kasar kepada mereka. Bahkan ada suatu ketika, diam-diam aku ingin mengusir mereka dari hidupku saat aku merasa kesal. Aku telah membuat mereka menderita, aku telah membuat mereka sedih dan marah, karena aku tidak tahu cara menghargai mereka.
Aku menyadari ada suatu ketika aku bertindak kasar terhadap ayahku, ibuku, kakak, adik, guru, sahabat Dharma, pasangan, aku memperlakukan mereka dengan buruk, tanpa berpikir panjang, mengabaikan mereka, dan tidak tahu berterima kasih.
Buddha yang mulia, dengan sepenuh hati aku menyatakan penyesalan atas kesalahan-kesalahan itu. Aku akan belajar mengatakan, “Ayahku, kita masih bersama, aku sangat bahagia.” “Kakak, engkaulah wujud kehadiran solid bagiku. Dirimu menjadi sumber sukacita dalam hidupku.” “Kakak, kamu tahu bagaimana membuat aku segar kembali dan membuat hidupku semakin indah.”
Aku bertekad untuk berlatih menggunakan bahas kasih, pertama-tama kepada mereka yang kucintai kemudian kepada semua orang.
Menyentuh Bumi
Begawan Buddha, guru dari para dewa dan manusia, mohon menjadi saksi atas tekad ini. [Genta]