Keinginan untuk datang ke tanah suci Buddha di India, sebenarnya sudah ada sejak 17 tahun yang lalu, saat saya pertama kali belajar mengenal Buddhadharma di bangku sekolah. Dipenghujung bulan Oktober 2023, di saat tengah makan siang, saya mendapatkan sebuah pesan singkat dari Br. Phap Tu, yang seakan-akan menjadi “lonceng kesadaran” untuk mengingatkan saya makan penuh kesadaran. Brother mengirim pesan, menawarkan perjalanan ke India untuk menelusuri jejak langkah Buddha. Dan, betapa beruntungnya saya mendapatkan sponsor dari seorang donatur yang baik hatinya, Ci Susan. Terimakasih Ci Susan akhirnya, salah satu mimpi saya dapat terwujud di tahun ini.
Pada akhir bulan Februari 2024, saya dan ke-4 teman baru dari Medan (Sumiko), Jambi (Ci Marnis) dan Jakarta (Aunty Mira & Nuan), terbang dari Indonesia ke India, untuk bergabung dengan teman-teman dari Vietnam, Hongkong, Amerika dan Australia untuk memulai perjalanan Dharmayatra. Perjalanan kali ini berbeda daripada perjalanan biasanya, karena kami tidak hanya sekedar mengunjungi situs-situs Buddhis yang ada di sana, melainkan juga mempraktikkan seni hidup sadar, seperti yang Buddha praktikkan dahulu, bersama komunitas Plum Village.
Perjalanan ini megusung tema “Old Path, White Clouds” dan memang tidak mengunjungi semua situs yang ada, dikarenakan keterbatasan waktu dan tak ingin terburu-buru dalam mengunjungi suatu tempat. Situs yang kami kunjungi hanya berfokus di seputaran tempat petapa Gotama berjuang merealisasikan pencerahan, menjadi Buddha, dan tempat Buddha mengajar saja. Lebih tepatnya di Varanasi, Bodhgaya dan Rajgir. Dari semua situs tersebut, semuanya sangat indah dan memiliki kesan tersendiri.
Seperti di Sarnath (Varanasi) tempat Buddha pertamakali membabarkan Dharma kepada 5 petapa, dan di Veluvana (Rajgir) tempat Buddha sering berkunjung dan mengajar, kami memulai kegiatan Day of Mindfulness (DOM) dengan kegiatan meditasi jalan bersama, sungguh damai dan tenang di setiap langkah. Dilanjutkan dengan chanting pagi, meditasi duduk dan ceramah Dharma yang disampaikan Thay Phap Kham, Guru kami dalam perjalanan kali ini, beliau bagaikan Buddha yang tengah mengajar di tengah-tengah muridnya. Pesan yang disampaikan sangat teduh dan cerita mengenai kehidupan Buddha sangat mengalir dan memberi inspirasi pada kami semua. Dharma Sharing dalam grup kecil “Bamboo Forest” yang diselingi meditasi minum teh juga membuat suasana kebersamaan menjadi tambah hangat.
Yang tak terlupakan, saat menikmati pemandangan matahari terbit dan terbenam dari Puncak Burung Nasar, Griddhrakūta, dengan berdiam dalam keheningan di tengah keasrian alam, sangat indah sejauh mata memandang. Rasa lelah menaiki ratusan anak tangga rasanya terbayarkan lunas saat itu juga. Tak salah, jika tempat ini di pilih Buddha menjadi salah satu tempat berdiam favoritnya kala itu. Kebebasan dan kebahagiaan melebur menjadi satu rasa, damai.
Berbicara tentang perjalanan di India memang semuanya indah, namun dibalik keindahannya ada pemandangan yang tak dapat kita tutupi, yaitu kemiskinan warganya. Dari anak-anak, wanita dan orangtua yang meminta-minta dapat kita temui disetiap sudut kota. Rasa iba, kasihan dan ingin membantu tentu saja ada. Namun, dikarenakan jumlah mereka yang sangat banyak, terlepas dari isu mereka sengaja di rekrut, rasanya tak mungkin dapat membantu semuanya.
Satu-satunya cara bijak yang dapat kami lakukan adalah dengan memberikan donasi ke salah satu sekolah di sana, namanya Siddhartha Compassion School, yang didirikan dengan misi memberikan pendidikan gratis bagi ratusan anak India, khususnya di Bodhgaya. Lewat pendidikan, di masa mendatang mereka diharapkan bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, dan bisa mengangkat derajat orangtua agar dapat keluar dari jerat kemiskinan yang menyandera keluarga mereka bertahun-tahun.
Adapun donasi yang kami berikan berupa seragam baru, buku tulis dan aneka snack jajanan kecil. Raut kebahagiaan terpancar dari wajah mungil mereka. Sangking senangnya, seorang bocah berlarian dan tak sengaja menjatuhkan permen dan coklat yang ia dapatkan, dengan penuh kasih seorang nenek dari Vietnam, anggota kami dalam perjalanan, membantu dia memasukkan permen dan coklat ke saku kantong celananya. Perasaan haru dan pikiran saya terkenang kembali ke masa kecil, ingat ketika nenek melakukan hal yang sama, memberikan permen dan membantu memasukkannya ke saku celana. Hangatnya kasih sayang seorang nenek membawa keceriaan bagi seorang anak kecil, demikian juga yang saya rasakan.
14 hari perjalanan dharmayatra di Tanah Suci Buddha tak terasa telah berakhir, Kini kami telah pulang ke rumah masing-masing dengan segudang kenangan dan pengalaman yang berbaur dengan rasa syukur dan keyakinan terhadap Buddhadharma yang semakin mantap. Semangat praktik hidup sadar pun masih terjaga. Semoga benih baik ini dapat terus bertumbuh menjadi kebahagiaan bagi banyak makhluk. (Ferry Setiawan)