Kumpulan Cerita yang Tidak Pernah Selesai

Kumpulan Cerita yang Tidak Pernah Selesai
Chanting Namo Avalokitesvaraya @Lower Hamlet, Plum Village France

Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Kalimat ini tentu sudah sering terdengar, terlepas dari apa agama apa pun. Tentu saja ini benar. Contohnya saya berencana memotong rambut agar rambut saya tidak mekar seperti singa jantan, kenyataannya malah seperti orang baru bangun tidur. Contoh lain saya berencana membuat pudding cantik dengan bunga asli, kenyataannya warna kuning sang bunga krisan kalah genjreng dengan warna kuning buah mangga yang sedang musim, alih-alih terlihat bunganya, semua lapisan hanya terlihat kuning.

Di waktu lain, saya berencana menjadi penulis artikel pendek yang produktif, kenyataannya semua artikel saya setengah jalan, tidak ada yang selesai dan tidak ada yang dikirimkan ke media mana pun. Hal di atas hanya cerita dari sisi manusia biasa, bagaimana cerita manusia adidaya seperti Buddha Gautama?

Konon tertulis bahwa Buddha sewaktu bangkit dari pencerahannya, Beliau lama terdiam, merenung dan memikirkan apakah Beliau mangkat saja atau tetap tinggal di Bumi, mengajarkan Dharma dengan susah payah, jungkir balik dan mungkin dibenci banyak orang. Singkat cerita, Buddha tinggal dan mengajarkan Dharma hingga jejaknya masih ada saat ini, apakah Buddha berencana?

Pertanyaan di atas tentu saja bukan pertanyaan yang mudah dijawab, apalagi bagi kita yang belum mengembangkan jalan hidup spiritual dan melihat segala sesuatu dari sudut pandang duniawi. Seseorang mungkin menjawab, Buddha pasti membuat rencana buktinya Beliau mengunjungi kelima sahabatnya berlatih dan membabarkan Dharma sehingga kelimanya menjadi murid-Nya. Orang lain mungkin berkata Buddha tidak berencana mengajarkan Dharma dan membiarkan ajaran Buddha menjadi banyak aliran.

Terlepas dari perencanaan, dunia sendiri berubah dan makin cepat dengan berkembangnya information and technology, baru-baru ini saya membaca beberapa berita kasus bunuh diri karena kehidupan nyata dan imajinasi yang dibuat oleh games online sudah tidak bisa dibedakan lagi, dan yang mengejutkan lagi hal ini tidak mengenal umur, gender, pendidikan ataupun kemajuan pendidikan suatu negara. Ada anak remaja yang menjatuhkan diri dari tingginya apartemen karena dalam games yang dimainkan dikisahkan dia akan begitu saja hidup kembali.

Lalu apa sumbangsih kita selaku manusia yang masih waras?  Apakah kita biarkan saja dunia berputar apa adanya, toh Buddha pernah menyatakan, “Apakah Buddha muncul atau tidak, Dhamma tetap ada selamanya di dunia ini.”  Siapa berjodoh, dia akan bertemu dan mendengar ajaran ini, siapa belum berjodoh mungkin dikelahiran nanti akan berjodoh, bertemu dan mendengar ajaran ini. Tentu saja, ini pemikiran keliru, perlu ada upaya agar ajaran ini bisa menyentuh dan diberikan kepada orang lain yang belum mengenalnya. Pertanyaan selanjutnya “Bagaimana caranya?”.

Thay, panggilan akrab untuk Master Zen Thich Nhat Hanh seorang pemimpin spiritual pernah berkata transform yourself. Bertransformasi bukan perkara mudah. Saya pikir saya telah banyak berubah, namun disela-sela latihan saya tahu, egoisme saya masih dekat dengan awan, tindak-laku saya masih memikirkan apa keuntungan yang saya dapat jika saya melakukannya, saya masih memihak seseorang atau lembaga yang saya sukai.

Pernahkan kita membayangkan mengusap ingus dari anak jalanan yang sedang sakit tanpa rasa jijik sedikit pun? Atau secara spontanitas memberikan sebagian besar simpanan kita untuk masyarakat papa yang membutuhkan biaya pengobatan dan kemudian berhari-hari kemudian puasa makan sampai gajian tiba dan mendapat julukan orang bodoh dari teman-teman kita?

Tentu saja ada kabar baiknya, Buddha selalu menyarankan kita bertindak bijaksana, pedomannya pun sudah diberikan kepada para perumah-tangga, Sigalovada Sutta adalah contohnya.  

Kembali ke pertanyaan “Bagaimana caranya?” Dari pengalaman saya, jawabannya hanya satu, berlatihlah. Luangkan waktu setiap hari menyadari napas berhembus mengempiskan perut, menyadari napas masuk membuat perut membulat, menyadari napas hangat keluar di ujung hidung, menyadari udara segar memasuki tubuh melalui hidung.

Semua guru akan melatih hal yang sama, bernapaslah, mengembara kemana pun mereka akan berkata, bernapaslah dengan sadar dan sabar. Makin menyadari napas, saya makin tahu pikiran saya sering lari ke seribu arah, dia sibuk seperti radio yang berbunyi selama dua puluh empat jam, tujuh hari dalam seminggu dan tanpa pernah rusak.  Makin mengerti maka saya tahu tahu ego saya masih tinggi, makin tinggi maka guru pun tidak akan mendekat.

*CHÂN MINH TUYỀN (真明泉) anggota Ordo Interbeing Indonesia, volunteer retret mindfulness, wanita karir, sekaligus adalah apoteker yang juga meraih gelar master di bidang manajemen pendidikan

Apakah Saya Paling Benar?

Apakah Saya Paling Benar?
Jalan setapak di Lower Hamlet, Plum Village Prancis.

Setiap bangun pagi, hal pertama yang saya lakukan adalah membuka ponsel, membaca status/berita di Media Sosial (Facebook, Instagram, Twitter, Whatsapp dan lainnya), saya akan menghabiskan waktu beberapa menit bahkan lebih.

Media sosial adalah media online, tempat para penggunanya bisa saling berkomunikasi dan berinteraksi, sarana pergaulan sosial yang dilakukan secara online melalui jaringan internet. Para pengguna media sosial atau bisa juga disebut dengan user ini bisa melakukan komunikasi atau interaksi, berkirim pesan, baik pesan teks, gambar, audio hingga video, saling berbagi (sharing) dan juga membangun jaringan atau networking.

Banyak di antara teman saya, memposting status yang tanpa sengaja melukai perasaan orang lain. Banyak juga di antara mereka yang selalu terbawa perasaan (baper)  bahwa status yang diposting, sengaja dibuat untuk orang tertentu, akan tetapi belum tentu kata-kata tersebut ditujukan kepada satu orang tertentu.

Saat membaca sebait kalimat, saya merasa bagus, memberikan inspirasi, memotivasi semangat dan meningkatkan keyakinan, biasanya saya membagikan atau mengopi kata-kata motivasi tersebut. Akan tetapi saat orang lain membaca posting tersebut, bisa saja merasa sindiran dan tanpa disadari ia merasa kesal.

Saat saya kesal dan benci kepada seseorang, saya dengan sengaja membuat sindiran ataupun kata kata kebencian untuk melampiaskan kekesalan, supaya seluruh dunia tahu siapa dia. Secara tidak sadar saya telah menuduh mereka salah ……..  Yakin mereka salah ? Apakah saya paling benar?

Sahabat, teman di media sosial kebanyakan tidak saling mengenal, tapi mereka menilai seseorang dari status, bahasa, video, dan foto. Apa yang seseorang post di media sosial, menunjukan Kualitas, Karakter dan Watak orang tersebut.

Postingan yang dipost, saat orang lain membaca dan melihat, apakah setiap orang mempunyai pemikiran yang sama satu sama lainnya ? TIDAK

Semua orang punya pendapat dan pemikiran yang berbeda, walaupun Status (bahasa) yang ditulis sama. Ada yang membenarkan pendapat tersebut, ada juga yang tidak.

Bagaimana perasaan orang lain, saat membaca status yang dengan sengaja dibuat untuk dia?

Terluka, sedih dan kecewa ………    setelah itu bahagia?

Seberapa lama kebahagian itu bisa dirasakan ?

Keuntungan apa yang didapatkan ?

Saat saya terluka oleh sebuah pukulan atau goresan, begitu luka itu sembuh, saya dengan cepat melupakannya. Tapi jika kata-kata yang melukai hati, bisa membentuk dendam yang dibawa sampai akhir hidup.

Mari renungkan, apa yang saya berikan? Seberapa besar perhatian, bantuan yang seseorang berikan kepada orang lain? Sehingga dengan mudah dia merusak reputasi seseorang menggunakan bahasa emosi dan tuduhan, jika tidak ada, apa hak seseorang untuk menciptakan bahasa kebencian kepada orang lain.

Ada yang terlihat sedang menutupi kekurangan dirinya dengan terus mengungkit kelemahan orang lain ke permukaan untuk dilihat banyak orang. Tujuannya untuk menutupi kekurangan dirinya, agar pihak lain tidak melihat kekurangannya, tapi tanpa disadari, hal itu melukai dirinya sendiri.

Bagaimana perasaan saya jika bahasa kebencian saya tidak ditanggapi ?

Orang itu tidak membaca status saya atau mungkin sudah membaca tapi tidak menanggapinya sama sekali ? Bagaimana jika bahasa kebencianmu hanya dianggap sampah?  Marah……. Kecewa ……. Gelisah ……

Memilih diam saat kondisi tidak nyaman, bukan berarti takut. Banyak orang memilih diam karena mereka tidak mau mengambil sampah orang lain.

Surga ….. Neraka ….. begitu dekat, saat saya mengambil sampah yang dibuang oleh orang lain, masuk kedalam pikiran dan perasaan, maka saya sudah memilih neraka untuk diri sendiri. Jika saya hanya melihat, mengamati dan melepaskan sampah itu, maka saya memilih surga, bahagia tanpa merasakan kesedihan, kekecewaan dan penyesalan.

Mencari cari kesalahan orang lain itu membuang waktu, karena seberapa banyak kesalahan yang diperbuat orang lain, tidak akan mengubah apa pun pada diri saya.

Jangan hidup dalam kemarahan dan kebencian di hatimu. Anda hanya menyakiti dirimu sendiri lebih dari orang yang Anda benci (Dalai Lama XIV)

SVD

Mencuci Piring

Mencuci Piring

The clouds in this cup of tea

Oleh Thich Nhat Hanh
Dikutip dari “At Home in the World: Stories and essential teachings from a monk’s life

Ketika saya masih Samanera di Pagoda Tu Hieu, mencuci piring adalah tugas yang sangat tidak menyenangkan. Setiap tahun ketika Retret musim hujan, semua biksu akan datang kembali ke wihara untuk berlatih bersama selama tiga bulan, dan terkadang hanya kita (dua Samanera) yang bertugas memasak dan mencuci semua peralatan untuk lebih dari seratus biksu.

Pada waktu itu tidak ada sabun. Kita hanya punya abu, sekam nasi, dan sekam kelapa, hanya itu saja. Mencuci tumpukan mangkok yang sangat tinggi merupakan tugas yang sulit, terutama saat musim dingin di mana air sangat dingin membeku.

Jadi kami harus memanaskan air di teko besar sebelum bisa mulai mencuci. Jaman sekarang, dengan adanya sabun cair, sabut penggosok khusus, dan bahkan air hangat, sangat mudah untuk menikmati mencuci piring.

Bagi saya, ide bahwa mencuci piring itu tidak menyenangkan dapat muncul hanya jika Anda tidak melakukannya. Sewaktu anda berdiri di depan wastafel dengan lengan baju digulung dan tangan di dalam air hangat, itu sangat cukup menyenangkan.

Saya menikmati waktu saya dengan setiap piring, menjadi sadar sepenuhnya terhadap piring tersebut, air, dan setiap gerakan tangan saya. Saya tahu jika saya buru-buru untuk menyelesaikannya agar bisa segera duduk dan makan hidangan penutup atau menikmati secangkir teh, waktu mencuci piring akan jadi tidak menyenangkan dan tidak patut dilakukan. Adalah sangat disayangkan, karena setiap menit, setiap detik kehidupan adalah keajaiban. Piring-piring itu sendiri dan fakta bahwa saya ada di sana mencuci adalah keajaiban!

Jika saya tidak mampu mencuci piring dengan gembira, jika saya mau menyelesaikannya cepat-cepat supaya bisa pergi dan menikmati hidangan penutup atau secangkir teh, saya akan sama tidak mampunya untuk menikmati hidangan penutup atau teh ketika saya akhirnya mendapatkannya.

Dengan garpu di tangan saya, saya akan memikirkan tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya, sehingga tekstur dan rasa hidangan penutup, serta kenikmatan memakannya, semuanya akan hilang.

Saya akan selalu diseret ke masa depan, kehilangan kehidupan seluruhnya, dan tidak akan pernah bisa hidup di masa kini.

Setiap pemikiran, setiap aksi dalam cahaya mentari kesadaran akan menjadi suci. Dalam cahaya ini, tidak ada batasan antara yang suci dan tidak.

Saya harus mengakui bahwa perlu lebih banyak waktu bagi saya sampai selesai mencuci piring, namun saya hidup sepenuhnya di setiap momen, dan saya bahagia.

Mencuci piring adalah sebuah cara dan sekaligus sebuah tujuan. Kita mencuci piring tidak hanya agar piring bersih, kita juga mencuci piring hanya untuk mencuci piring, untuk hidup sepenuhnya dalam setiap momen ketika mencucinya, dan untuk benar-benar bersentuhan dengan kehidupan.

Penerjemah: Hestia

Walking Meditation

Walking Meditation

Music by Leong Wan Yee
Vocal: Bodhicitta Wendy Tiow, Leong Wan Yee, Sean Liew (Bear), Karamen Chia
A Bodhicitta Production with the blessing of Plum Village www.bodhicittaproductions.com
Illustrations by Yên
Cartoon Sunrise Sunshine Timelapse: https://www.youtube.com/watch?v=B_G5y…
Walking Meditation- poem by Thich Nhat Hanh

Audio Mp3

Unduh Mp3 klik sini

Walking Meditation

Take my hand.
We will walk.
We will only walk.
We will enjoy our walk
without thinking of arriving anywhere.
Walk peacefully.
Walk happily.
Our walk is a peace walk.
Our walk is a happiness walk.
Then we learn
that there is no peace walk;
that peace is the walk;
that there is no happiness walk;
that happiness is the walk.
We walk for ourselves.
We walk for everyone
always hand in hand.
Walk and touch peace every moment.
Walk and touch happiness every moment.
Each step brings a fresh breeze.
Each step makes a flower bloom under our feet.
Kiss the Earth with your feet.
Print on Earth your love and happiness.
Earth will be safe
when we feel in us enough safety.

– Thich Nhat Hanh

The Insight That Brings Us To The Other Shore Mp3

The Insight That Brings Us To The Other Shore Mp3

Recorded by ex-Plum Village Brother Michael. This is Thich Nhat Hanh’s revised Heart Sutra, which he completed just before becoming ill in September 2014. The Music is composed by Br. Phap Linh, an English monk based at Plum Village. Thich Nhat Hanh approved the music before suffering a stroke in November 2014, from which he is still recovering.

Unduh Mp3 silakan klik The Insight That Brings Us To The Other Shore.Mp3

Avalokiteshvara
while practicing deeply with
the Insight that Brings Us to the Other Shore,
suddenly discovered that
all of the five Skandhas are equally empty,
and with this realisation
he overcame all Ill-being.

“Listen Sariputra,
this Body itself is Emptiness
and Emptiness itself is this Body.
This Body is not other than Emptiness
and Emptiness is not other than this Body.
The same is true of Feelings,
Perceptions, Mental Formations,
and Consciousness.

“Listen Sariputra,
all phenomena bear the mark of Emptiness;
their true nature is the nature of
no Birth no Death,
no Being no Non-being,
no Defilement no Purity,
no Increasing no Decreasing.

“That is why in Emptiness,
Body, Feelings, Perceptions,
Mental Formations and Consciousness
are not separate self entities.

The Eighteen Realms of Phenomena
which are the six Sense Organs,
the six Sense Objects,
and the six Consciousnesses
are also not separate self entities.

The Twelve Links of Interdependent Arising
and their Extinction
are also not separate self entities.
Ill-being, the Causes of Ill-being,
the End of Ill-being, the Path,
insight and attainment,
are also not separate self entities.

Whoever can see this
no longer needs anything to attain.

Bodhisattvas who practice
the Insight that Brings Us to the Other Shore
see no more obstacles in their mind,
and because there
are no more obstacles in their mind,
they can overcome all fear,
destroy all wrong perceptions
and realize Perfect Nirvana.

“All Buddhas in the past, present and future
by practicing
the Insight that Brings Us to the Other Shore
are all capable of attaining
Authentic and Perfect Enlightenment.

“Therefore Sariputra,
it should be known that
the Insight that Brings Us to the Other Shore
is a Great Mantra,
the most illuminating mantra,
the highest mantra,
a mantra beyond compare,
the True Wisdom that has the power
to put an end to all kinds of suffering.
Therefore let us proclaim
a mantra to praise
the Insight that Brings Us to the Other Shore.

Gate, Gate, Paragate, Parasamgate, Bodhi Svaha!
Gate, Gate, Paragate, Parasamgate, Bodhi Svaha!
Gate, Gate, Paragate, Parasamgate, Bodhi Svaha!”

Thich Nhat Hanh Pulang ke Rumah

Thich Nhat Hanh Pulang ke Rumah

Jumat, 2 November 2018

Pusat Latihan Internasional Plum Village
Le Pey, Thénac 24240, Perancis

Para biksu dan biskuni dari Pusat Latihan Internasional Plum Village dari Engaged Buddhism menemani guru terkasih, Master Zen, pemimpin siritual global, aktivis perdamaian dan penyair, Thich Nhat Hanh, saat ia kembali lagi ke tanah kelahirannya. Sejak merayakan hari kelanjutannya yang ke-92 bulan lalu, beliau telah mengungkapkan keinginannya untuk kembali ke wihara akar, Wihara Tu Hieu di Hue, Vietnam untuk menetap di sana hingga akhir hayatnya. Thich Nhat Hanh telah mengubah tantangan fisik sangat berat yang muncul sejak stroke yang dideritanya sekitar 4 tahun lalu menjadi pelajaran luar biasa. Walaupun menghadapi kesulitan ini, beliau justru memberikan pelajaran yang luar biasa melalui tetap hidup dalam setiap momen dengan penuh kedamaian dan ketenangan, kehadiran sepenuhnya dan kehidupan bermakna.

Wihara Tu Hieu merupakan tempat Thich Nhat Hanh pertama kali di ditahbiskan pada tahun 1942, waktu itu beliau berusia 16 tahun. Setelah menghabiskan hampir 60 tahun mengajar di luar negeri, kepulangan terakhir Thich Nhat Hanh ke tanah kelahirannya merupakan sumber kedamaian dan kebahagiaan bagi murid-muridnya di Wihara Tu Hieu beserta silsilahnya.

Sungguh penting bagi semua pengikut internasional dari Thich Nhat Hanh untuk tetap menjalin koneksi dengan akar spiritual di Vietnam. Thich Nhat Hanh, yang telah melahirkan istilah Engaged Buddhism (Agama Buddha terjun aktif) dan mendedikasikan dirinya untuk memperbarui Agama Buddha sehingga bisa membantu individu juga masyarakat agar bisa menghadapi tantangan masa kini, selalu melihat akar pengajarannya tentang kehidupan spiritual yang terjun aktif dari patriak buddhis Vietnam yaitu Dinasti Ly dan Tran.

Walaupun sejak stroke Thich Nhat Hanh sudah tidak bisa berkomunikasi secara lisan lagi, namun ia tetap memancarkan kekuatan kewaspadaan dan kehadirannya. Setelah memanggil semua murid seniornya pada pertemuan tanggal 24 Oktober 2018 di Plum Village Thailand, tempat ia berdiam sejak Desember 2016, Thich Nhat Hanh mengomunikasikan keinginannya untuk kembali ke Vietnam melalui bahasa tubuh, menganggukkan dan menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan.

Persiapan kepulangannya ke Vietnam telah dipersiapkan dan Beliau mendarat di Bandara Da Nang, Vietnam pada tanggal 26 Oktober. Kedatangannya disambut secara meriah oleh para biksu sesepuh, beserta biksu, biksuni, dan praktisi awam.

Setelah beristirahat di penginapan dekat pantai selama dua hari, Thich Nhat Hanh tiba di Wihara Tu Hieu pada sore hari tanggal 28 Oktober 2018, dimana ia disambut dengan prosesi formal tradisional yang diiringi genta dan tambur. Ketika beliau memasuki kompleks wihara, ia menyempatkan diri untuk menyentuh gerbang kuno dingin yang terbuat dari bebatuan: lambang kedatangan dan kepulangan. Semua orang yang hadir di sana dalam suasana hening ketika ia mengontemplasikan danau bulan sabit, tempat ia menggoreskan banyak kenangan pada masa monastik muda, dan kemudian berlanjut ke Aula Buddha (Buddhasala) untuk memberi hormat dan mempersembahkan dupa kepada altar leluhur.

Sejak ketibaannya, kesehatan Thich Nhat Hanh masih rentan namun stabil. Ia telah bergabung dalam meditasi jalan bersama komunitasnya pada waktu subuh, mengunjungi setiap sudut wihara yang merupakan rumahnya dan tempat ia tumbuh saat memulai perjalanan spiritualnya. Sore hari pada tanggal 26 Oktober 2018 di Da Nang, sebagai kepala wihara dan kepala silsilah Tu Hieu, Thich Nhat Hanh mengarahkan muridnya untuk mempersipkan draf surat undangan kepada semua biksu dan biksuni dari silsilah Tu Hieu (murid dan keturunan dari Master Zen Thanh Quy, guru dari Thich Nhat Hanh), untuk menghadiri pertemuan keluarga dan merayakan kepulangannya di Wihara Tu Hieu tanggal 3 November 2018. Seperti yang dikatakan Thich Nhat Hanh ketika beliau pertama kali pulang ke Vietnam tahun 2015, setelah empat dekade dalam pengasingan, “Tiada agama, tiada doktrin yang lebih tinggi daripada persaudaraan kakak dan adik”.

Bahkan pada momen saat ini, Thich Nhat Hanh masih semangat dan enerjik dalam menggunakan setiap napas dan aksinya untuk membangun serta memperkuat “beloved community of compassion” (komunitas welas asih yang terkasih), dan untuk mengembangkan penyembuhan, rekonsiliasi dan transformasi dalam komunitasnya, masyarakat dan di dunia ini.

Thich Nhat Hanh Pulang ke Vietnam pada November 2018

Melepas: Memulai Lembaran Baru

Melepas: Memulai Lembaran Baru
Meditasi makan dengan hening bersama

Minggu itu, dengan diiringi hujan gerimis, tak menyurutkan niat kami untuk tetap berlatih bersama. Hari itu kami berkumpul pada pukul 6 pagi untuk berlatih bersama, sebelum berlatih kami menyempatkan diri untuk melepas ikan lele ke sungai, memberikan kebebasan dan kehidupan bagi ikan-ikan tersebut.

Tempat latihan kali ini kami laksanakan di luar wihara yaitu di Candi Kedaton, salah satu bagian dari kompleks percandian Muaro Jambi. Setelah pelepasan ikan di tepi sungai kami pun menuju Candi Kedaton untuk bersiap-siap latihan, karena waktu sudah menunjukkan pukul 7:30 pagi, kami memulai latihan dengan makan pagi dengan hening dan berkesadaran selama 20 menit. Setelah sarapan, kami lanjutkan dengan peace walk.

Mengikuti Pemimpin

Bhante memimpin di depan, kami mengikuti tanpa memikirkan akan kemana dan tiba dimana. Semua peserta mengikuti dengan hening. Di sini Saya menyadari bahwa saat bersama komunitas, kita harus mengikuti kemanapun bhante (sebagai pemimpin) berjalan. Muncul pemikiran seharusnya bhante bisa mengitari kompleks lebih luas lagi, tapi kenapa bhante hanya berjalan mengitari candi saja.

Harusnya bhante bisa seperti ini dan seperti itu.  Begitulah pikiran berseliweran, tapi tetap harus mengikuti kemana bhante berjalan, dengan tetap tenang, hening serta sadar penuh. Saat bersama komunitas, alangkah indahnya tetap bersama-sama dalam satu arah, sehingga terlihat harmonis, indah, dan memudahkan untuk di foto (hasil foto diibaratkan pada kualitas latihan yang diingat lebih lama). Mengalir bagaikan sungai untuk mencapai lautan, bila sendiri-sendiri akan menguap di jalan sebelum mencapai lautan.

Saat berjalan di belakang bhante, saya tidak melihat ke belakang, ternyata saya berjalan berbeda dengan yang lain, saya menyadari ini setelah melihat foto, jika tidak melihat foto saya tidak tahu jika saya beda sendiri.
Berjalan di belakang bisa melihat keseluruhan anggota komunitas, namun berjalan di depan akan sulit untuk memperhatikan komunitas. Terkadang harus berjalan di depan untuk memimpin namun terkadang juga harus berjalan di belakang untuk memperhatikan, mengayomi dan memberitahu saat ada yang keluar dari rel.

Di sepanjang perjalanan juga ada binatang-binatang kecil yang harus kita perhatikan jangan sampai terinjak. Sebisa mungkin menghindar agar tidak sampai menginjak mereka. Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal-hal kecil yang harus kita usahakan untuk tidak menjadikannya hal besar, sebisa mungkin menghindari untuk tidak menjadi penyebab penderitaan bagi orang lain (makhluk lain).

Watering flower & beginning a new

Ini saatnya saling mengungkapkan ketidaksukaan atau kekesalan yang pernah dialami terhadap sahabat yang duduk di hadapan kita. Setelah mengungkapkan hal yang negatif, kami juga mengungkapkan hal yang positif, saling memaafkan dan siap memulai lembaran baru, tentunya diiringi oleh tetesan air mata.

Terima kasih mendalam kepada Thay yang telah mengajarkan metode latihan yang sangat membantu saya dan komunitas yang tak lepas dari energi-energi negatif kami saat kami kelelahan dengan kegiatan di vihara, kami masih bisa bersentuhan dengan keindahan Dharma.

Sudut Pandang Teman

Saat melihat hasil foto, ada foto-foto yang di-shoot dari jarak jauh sehingga view yang terfoto adalah Candi secara utuh sedangkan kami terlihat sangat kecil.  Bagi fotografer, mungkin yang dianggap objek yang bagus adalah Candi, namun bagi kami tentunya kami ingin terlihat dengan jelas jika kami sedang berlatih.

Dalam keseharian, kita punya pandangan dan pengertian kita masing-masing, setiap orang punya pembenarannya sendiri, kita mau orang lain untuk mengerti dan mengikuti maunya kita, namun sulit bagi kita untuk mengerti dan mengikuti maunya orang lain.

Bila si fotografer bisa mengerti keinginan kami, tentu lain waktu dia akan dipanggil lagi, namun bila dia ‘ngeyel‘ dengan pembenarannya, lain waktu dia tidak akan dipanggil lagi sebagai fotografer. Mungkin dia tidak cocok menjadi fotografer tapi lebih cocok menjadi tour guide.

Widyamaitri praktisi mindfulness, volunteer retreat dan Day of Mindfulness, juga anggota Ordo Interbeing