Freedom Wherever We Go

Freedom Wherever We Go
Penahbisan novis di Upper Hamlet, Plum Village Prancis

Pratimoksha merupakan aturan dasar bagi monastik buddhis. Berlatih Pratimoksha, para monastik memurnikan kembali badan jasmani dan batinnya, membangkitkan maitri kepada semua makhluk, terus maju dalam jalur pembebasan. Prati berarti langkah demi langkah. Bisa juga diterjemahkan menjadi bergerak ke arah moksha. Moksha artinya pembebasan. Pratimoksha bisa diterjemahkan sebagai setiap Langkah membawa pembebasan. Setiap aturan membawa pembebasan bagi aspek tertentu secara khusus dalam kehidupan monastik. Jika seseorang berlatih menerapkan aturan menghindari alkohol, maka dia akan bebas, yaitu bebas dari mabuk. Jika seseorang menerapkan aturan menghindari pencurian, dia juga bebas, yaitu bebas dari penjara. Istilah Pratimoksha juga bisa diterjemahkan menjadi “di setiap tempat ada pembebasan”. Pratimoksha versi revisi diberi judul “Freedom Wherever We Go” (Pembebasan Kemanapun Kita Pergi) untuk mengingatkan para monastik bahwa mereka sedang bergerak ke arah pembebasan.

Sebagai bagian dari latihan di Plum Village, mereka yang sudah menerima penahbisan sepenuhnya (biksu/biksuni) wajib mempelajari Winaya pada 5 tahun pertamanya, Winaya merupakan literature sangat luas dan dalam, bagaimana definisi kehidupan dan cara pengelolaan kegiatan sehari-hari komunitas monastik. Pembelajaran Winaya mencakup Praktimoksha revisi dan klasik. Para monastik mempelajari Winaya bukan sebagaimana seorang profesor atau spesialis, tapi mereka mempelajari Winaya sebagai praktisi. Mereka mempelajari Winaya dengan kejernihan batin bahwa Winaya, tata karma, peraturan merupakan fondasi menunjang kelangsungan hidup Sangha. Kami berharap Pratimoksha revisi bisa menginspirasi sangha monastik zaman ini agar mereka bisa menemukan kembali integritasnya, kesederhanaan, keindahan, dan kebebasan dalam kehidupan monastik.

Pada tahun ke-5 Buddha membabarkan Dharma, Beliau bersama murid seniornya baru mulai menetapkan Pratimoksha untuk komunitasnya. Peraturan-peraturan itu ditetapkan satu per satu melalui beberapa dekade, setiap aturan selalu merespon kebutuhan dan situasi yang muncul dalam komunitas pada saat itu. Ketika Buddha hampir memasuki mahaparinirwana, Beliau berpesan kepada asistennya yaitu Bhante Ananda, peraturan minor boleh dihapus, agar Winaya tidak memberatkan, relevan, dan sesuai dengan kebutuhan. Pada saat itu, Bhante Ananda tidak bertanya secara jelas bagian minor yang mana dan yang seperti apa yang dimaksud oleh Buddha. Setelah Buddha memasuki mahaparinirwana, Bhante Kassyapa sebagai senior saat itu, tidak berani menghapus satu pun dari peraturan yang ada. Sekarang, 2600 tahun telah berlalu, dan rekomendasi Buddha tidak pernah dilaksanakan oleh para cucu muridnya.

Kisah sejarah menyebutkan, 200 tahun setelah Buddha mahaparinirwana, sekte Agama Buddha sudah ada sekitar 20 aliran, setiap sekte memiliki Winaya-nya masing-masing. Semua Winaya itu selalu memiliki akarnya dalam ajaran Buddha dan praktiknya. Pratimoksha merupakan intisari dari Winaya. Naskah inilah yang dilafalkan ulang oleh para biksu dan biksuni sebulan dua kali di dalam seremoni uposatha untuk memperkuat dan mempurifikasi tekad mereka. Di Vietnam dan Tiongkok, mereka menganut Pratimoksha dari aliran Dharmagupta. Di Sri Lanka, Thailand, Myanmar, mereka menganut Pratimoksha dari aliran Tamrasatiya (Theravada). Untuk biksu, aliran Dharmagupta memiliki 250 butir peraturan, dan Pratimoksha Tamrasatiya memiliki 227 butir. Dua Pratimoksha dari aliran-aliran itu hanya memiliki beberapa perbedaan minor saja, bahkan dua Pratimoksha itu mendekati indentik.

Agama Buddha perlu menjadi tradisi yang hidup. Sebagai pohon, ada cabang-cabang yang sudah mati perlu dipotong agar tunas baru punya kesempatan untuk tumbuh. Tunas baru itu adalah ajaran dan praktik yang mampu merespon kebutuhan kultur dan zaman sekarang. Perkembangan teknologi, media, dan kehidupan yang demikian cepat telah mempengaruhi gaya hidup para monastik. Degradasi gaya kehidupan monastik sangat nyata terjadi di berbagai tempat di dunia ini, bahkan komunitas buddhis dan non buddhis juga mengalami hal serupa. Demi merespon situasi saat ini, Pratimoksha revisi sangat dibutuhkan.

Upaya Plum Village merevisi Pratimoksha selalu tertuju pada relevansi dan responsif, Konsili Dharma Acharya Plum Village telah berkonsultasi dengan master Winaya, biksu, dan biksuni di Vietnam dan berbagai tradisi selama 5 tahun lebih. Sebagai tambahan, kami juga memiliki pengalaman kehidupan monastik di dunia barat dalam dua dekade belakangan ini. Oleh Karena itu, Pratimoksha revisi bertujuan untuk memberikan panduan dan dukungan bagi monastik buddhis kontemporer yang tinggal di Asia maupun Barat.

Praktimoksha revisi pertama kali diluncurkan pada tanggal 31 Maret 2003 di Choong Ang Shangha University di Seoul, Korea, yang merupakan salah satu Universitas Buddhis Mahayana di Asia. Dalam Pratimoksha revisi ini, kami telah mengganti peraturan yang sudah tidak sesuai lagi pada zaman sekarang dengan peraturan baru esensial yang bisa melindungi integritas dan praktik para monastik. Sebagai contoh, dalam Pratimoksha klasik menyebutkan para monastik hanya boleh berpergian dengan jalan kaki. Peraturan itu berbunyi demikian, “Jika seorang biksuni yang tidak sedang sakit, lalu ia menaiki kereta, maka dia telah melanggar peraturan Payantika.” Peraturan ini relevan dengan tempat dan zaman Buddha, karena berpergian dengan menggunakan kereta tidak lumrah bagi para petapa dan kereta itu simbol dari status tinggi dan orang kaya. Namun pada abad 21 ini, bepergian ke Amerika, jika Buddha harus berjalan kaki di jalan tol dan menolak untuk menaiki kendaraan, bisa jadi Buddha akan mengalami kecelakaan atau bahkan ditangkap oleh polantas. Untuk merespon kebutuhan zaman modern monastik, Pratimoksha revisi menyebutkan tentang penggunaan kendaraan (mobil), komputer, televisi, telepon genggam, games elektronik, surel (e-mail), dan internet.

Ada orang yang bertanya, “Siapakah Anda, beraninya mengubah peraturan yang telah ditetapkan oleh Buddha?” Kami hanya menjawab, “Kami adalah anak-anak dari Buddha. Kami adalah kelanjutan dari Buddha, kami berlatih untuk mewujudkan keinginan Beliau.” Buddha menginvestasikan banyak waktu dan energi untuk mengajar dan melatih para monastik. Agama Buddha bisa bertahan hidup hingga hari ini karena Sangha monastik terus dijaga kelanjutannya. Tujuan dari Pratimoksha revisi adalah untuk melindungi kebebasan dan integritas praktik dari monastik, agar jalur menuju pembebasan otentik bisa terus berlangsung.

Agama Buddha akan tetap menjadi tradisi yang hidup, maka ajaran dan praktik perlu selalu relevan. Pratimoksha hendaknya jangan hanya menjadi objek akademik dan studi intelektual saja. Ada begitu banyak master Winaya dan mengerti dan menghafal literaturnya, mampu mengajar dan menjelaskannya dengan elegan. Tujuan utama Pratimoksha adalah memberikan panduan kepada biksu dan biksuni. Kami yakin bahwa Buddha mempercayakan pengertian, kepintaran, dan keberanian para keturunannya agar jalur pembebasan bisa terus berlanjut, mudah diakses dan terbuka untuk generai saat ini. Oleh karena itu, merevisi ajaran dan praktik yang ada perlu dilakukan.

Ini merupakan kali pertama, tradisi Plum Village telah menyediakan naskah Pratimoksha revisi kepada semua orang, termasuk praktisi awam. Kami yakin naskah ini bisa membantu memperkuat latihan dari empat lapisan Sangha yaitu biksu, biksuni, upasaka, dan upasika. Membaca Pratimoksha mengizinkan praktisi awam mengerti peraturan para monastik dan bagaimana gaya kehidupan monastik. Membaca Pratimoksha juga menginspirasi kehidupan yang lebih berkaruna, bermetta, dan berpanya agar kita bisa saling melindungi, mereka yang kita kasihi, lingkungan, dan semua makhluk.

Kami merevisi Pratimoksha demi menghormati guru akar kami yaitu Buddha Sakyamuni, beserta semua guru-guru silsilah spiritual, mereka telah mentransmisikan Dharma mulia dari generasi ke generasi. Kami yakin dengan menjadikan Agama Buddha sebuah tradisi yang hidup dan bebas dari degradasi dan korupsi, demikianlah untuk menjadi keturuan otentik dari Buddha. (Thich Nhat Hanh)

Alih bahasa: Nyanabhadra.
Sumber: Freedom Wherever We Go: A Buddhist Monastic Code For the 21st Century, Parallax Press.

Buddha Wanita: Sebuah Revolusi untuk Biksuni Tradisi Plum Village

Buddha Wanita: Sebuah Revolusi untuk Biksuni Tradisi Plum Village
Biksuni tradisi Plum Village

Pada tahun 2005, Thich Nhat Hanh, Sister Chan Kong, dan delegasi monastik serta perumahtangga pergi ke Vietnam untuk pertama kalinya sejak Thay diasingkan 39 tahun yang lalu.

Ketika perayaan tahun baru lunar, Thay berdiri paling depan di barisan para biksu tetua, sementara para biksuni duduk dengan tangan beranjali. Seorang biksu membacakan teks yang mengagungkan kehadiran Awalokiteshwara – bodhisatwa penuh welah asih – di dalam setiap biksuni, dan mendeklarasikan tekad berlatih winayanya dengan sungguh-sungguh demi melindungi dirinya sendiri juga biksuni lain.

Thay kemudian bernamaskara tiga kali di hadapan para biksuni – hal ini membuat biksu-biksu tetua yang berdiri di samping Thay terkejut. Para biksu tidak pernah terpikir untuk menunjukkan rasa hormat kepada biksuni, namun mereka mengikuti teladan Thay. Walaupun ini merupakan latihan standar di wihara-wihara Plum Village, bernamaskara kepada biksuni merupakan momen yang hebat, merendahkan hati, momen transformasional bagi tradisi monastik di Vietnam.

Thay, Sister Chan Khong dan monastik-monastik Plum Village lainnya sudah membuat perubahan-perubahan revolusioner untuk biksuni di Plum Village, antara lain menyetarakan status, suara dan pengaruh sehingga sama dengan para biksu. Berikut beberapa perubahan utama untuk biksuni di komunitas Plum Village:

  • Sementara banyak biksuni di komunitas-komunitas Buddhis lain tidak bisa menerima penahbisan penuh, biksuni-biksuni di Plum Village ditahbiskan sampai ke level yang sama dengan saudara-saudara monastik lainnya.
  • Semua monastik saling berbagi tugas, di dalam maupun di luar wihara. Biksu dan biksuni bertanggungjawab untuk mengajar, menyusun perencanaan, memasak, membersihkan wihara, mengurus keuangan, dan lain sebagainya. Dalam pengambilan keputusan di wihara, pendapat biksu dan biksuni sama-sama dihargai secara setara melalui prosedur demokrasi Sanghakarman.
  • Secara tradisional, biksuni yang paling senior akan ditempatkan di belakang biksu yang paling muda saat meditasi duduk dan jalan, serta dalam upacara dan prosesi. Di wihara-wihara Plum Village, biksu dan biksuni duduk, berjalan dan melakukan namaskara secara berdampingan.
  • Secara tradisonal, hanya biksu yang memberikan wejangan Dharma, mereka juga jarang melibatkan biksuni dan wanita. Di wihara-wihara Plum Village, biksu dan biksuni secara begantian memberikan wejangan Dharma, dan wejangan ini ditujukan untuk seluruh komunitas. Ketika para monastik belum memiliki pengalaman untuk memberikan wejangan sendirian, maka mereka mengajar dalam kelompok dengan jumlah biksu dan biksuni yang seimbang.
  • Tiga murid utama yang ditahbiskan oleh Thay adalah biksuni: Sister Chan Kong, Sister Chan Duc dan Sister Chan Vi. Sekarang, lebih dari separuh praktisi monastik Plum Village adalah wanita.
  • Ajaran-ajaran Thich Nhat Hanh itu inklusif. Ajaran dan latihan-latihan untuk monastik ditujukan untuk biksu dan biksuni secara setara, demikian juga ceramah, buku dan latihan yang diberikan kepada perumahtangga juga untuk semua orang. Thay selalu cermat dalam frekuensi pengunaan kata ganti orang ketiga wanita (she), kata ganti orang ketiga pria (he) dan ‘seseorang’ yang netral, serta ‘mereka’ dalam buku maupun ceramah Dharmanya.
  • Kebanyakan wihara tidak memiliki kondisi biksu dan biksuni berlatih berdampingan. Namun, Thay mengatur wihara Plum Village supaya para biksu dan biksuni berlatih, belajar, bekerja dan bermain bersama. Pengaturan ini mendorong para monastik untuk melihat satu sama lain sebagai saudara dan saudari dari keluarga yang sama, mengurangi fantasi dan persepsi salah yang dapat menciptakan jarak, serta membantu para monastik menghadapi energi seksual secara langsung alih-alih menghindari atau menahannya.
  • Dalam latihan Touching the Earth (Menyentuh Bumi), yaitu latihan menghormati para leluhur dan senior, Thay menambahkan beberapa figur wanita kehormatan lainnya: Mahagotami, biksuni yang ditahbiskan pertama kali; Awalokiteshwara, bodhisatwa penuh welas asih; serta Ibu Pertiwi.
  • Ajaran-ajaran, seremoni dan kaligrafi Thay berpusat pada Ibu Pertiwi, mengakui beliau sebagai seorang bodhisatwa. Penekanan Thay mengacu pada ajaran mengenai Hakikat Kebuddhaan dan guru terkandung dalam femininitas.
  • Thay menciptakan delapan “Guru Dharma” untuk biksu, serupa dengan sekumpulan tata acara yang diciptakan oleh Buddha mengenai bagaimana biksuni berinteraksi dengan biksu. Delapan Gurudharmas untuk biksu bisa diakses melalui Mindfulness Bell di sini (halaman 19).
  • Untuk pertama kalinya sejak masa Buddha, Thay membantu merevisi Pratimoksha, kode etik monastik untuk biksu dan biksuni yang sudah menerima penahbisan penuh.
  • Secara tradisional, biksuni dan teman perumahtangga tidak diizinkan membaca vinaya biksu. Di wihara Plum Village, Thay membuat vinaya biksu dan biksuni tersedia untuk kalangan umum.
  • Menurut Pratimoksha (sila monastik), seorang biksu boleh lepas jubah sampai tujuh kali. Namun jika seorang biksuni yang sudah ditahbiskan penuh lepas jubah, ia hanya bisa kembali sebagai samaneri dan tidak bisa menerima penahbisan penuh kembali. Dalam tradisi Plum Village, Thay mengizinkan biksuni untuk menerima penahbisan ulang penuh.

Secara keseluruhan, Thay menekankan bahwa anggota sanggha berlapis empat harus dihargai dan dihormati karena latihan dan kapasitas mereka untuk hidup dalam harmoni, bukan karena gender mereka. Posisi revolusioner biksuni-biksuni di Plum Village menarik banyak wanita untuk ditahbiskan di komunitas tersebut, baik perumahtangga wanita maupun samaneri yang telah berlatih di tradisi-tradisi lain.

Latihan dan cara hidup di Plum Village telah mendorong pemberdayaan biksuni muda dalam latihan mereka, serta mengubah cara mereka memandang diri sendiri. Latihan-latihan ini akan mempengaruhi cara pelatihan murid-murid di masa yang akan datang, sehingga menyediakan banyak ruang gerak, kepercayaan dan suara bagi wanita.

Terima kasih, Thay dan komunitas terkasih, atas daya upaya yang berkelanjutan untuk mendukung saudari-saudari monastik kita. Kami merunduk penuh rasa syukur kepada Sister Dang Nghiem dan Sister Hien Nghiem atas kontribusinya untuk daftar ini. (Alih bahasa: Aya Muhartono)

Sumber: Female Buddhas: A Revolution for Nuns in the Plum Village Tradition

Jarak Pandang Pengadilan Pikiran

Jarak Pandang Pengadilan Pikiran
Panorama Farm @PakChong Thailand

Beberapa minggu yang lalu adalah hari-hari menjelang tahun baru Imlek atau dikenal juga sebagai hari raya awal musim semi, saya yang terlahir sebagai etnis Tionghoa dan dibesarkan dalam tradisi Tionghoa, tentu saja menyambutnya dengan suka-cita.

Salah satu tradisi yang masih dipegang teguh adalah membersihkan seluruh rumah, termasuk menggosok kaca jendela agar mengkilat, membersihkan daun pintu, mencuci tirai, dan mengecat dinding rumah.

Selain kesibukan tradisi tersebut, rasanya awal musim semi memang selayaknya disambut gembira oleh seluruh manusia yang terlahir di negara empat musim.

Artinya, musim dingin yang menggigit dan menyusahkan bahkan untuk berjalan saja harus seperti penguin atau tangan/kaki patah akibat jatuh tergelincir telah berlalu digantikan dengan musim semi yang ceria.

Renovasi Rumah

Pada tahun ini, selain membersihkan rumah keluarga kami juga berencana merevonasi bagian rumah yang sudah melapuk. Di tengah pekerjaan renovasi, karena satu dan lain hal tukang bangunan absen seminggu. Akibatnya jadwal selesai pun mulur dan seluruh rumah berantakan, kotor, berdebu lebih lama dari perkiraan, padahal hari raya sudah sangat dekat.

Karena cemas dan gregetan, dalam hati saya membatin, ini si Bapak lama banget kerjanya, masa mengecat dua teralis jendela saja setengah hari tidak selesai-selesai. Saat si Tukang istirahat makan siang, saya ambil kuas dan cat besi, mulai mengecat.

Polesan pertama…. Ugh emulsi catnya memisah, cat dan teralis tidak mau saling menempel. Cat menetes semena-mena ke lantai, menambah kekotoran. Tidak kehilangan akal, saya berhenti mengecat dan mengalasi seluruh lantai dengan koran bekas, kemudian mulai mengecat lagi.

Masalah baru timbul, posisi teralis yang menghadap ke halaman membuat mata menentang cahaya, silau sekali, sukar sekali melihat mana yang belum terkena cat dan mana yang sudah. Makin dicat, makin belepotan, benar-benar tidak beres.

Dengan berteriak saya bertanya, “ini harus dicat dua kalikah?” Si Tukang menjawab, “benar”. Ok, berarti cat pertama belepotan tidak apa, nanti diperhalus dicat kedua. Seluruh teralis jendela akhirnya selesai dan hasilnya bisa ditebak tidak rapi sama sekali. Cat kedua akhirnya diteruskan oleh Tukang yang sudah selesai makan siang.

Jarak Pandang

Kemudian saya beralih membersihkan lantai dan dinding yang terkena percikan cat dan semen. Pada jarak pandang mata dengan objek sekitar 45-50 cm, terlihat jelas hampir seluruh lantai dan dinding dikotori percikan cat dan sisa-sisa semen, ada yang sebesar kancing baju ada pula yang setitik jarum, semua tidak luput dari pandangan saya.

Nih, Tukang jorok sekali kerjanya, kenapa tidak hati-hati saat bekerja, omel saya dalam hati. Keringat yang menetes di dahi dan punggung tak saya hiraukan, sampai berjam-jam kemudian saya menyerah karena pinggang mulai berontak.

Pandangan mata akhirnya lepas dari obyek lantai dan dinding, menjauh, melebar dan makin lebar……tiba-tiba semua terlihat bersih. Haiiiiii…… ke mana hilangnya si titik cat, ke mana hilangnya tetesan semen? Indahnya rumah saya, tidak ada tanda goresan kuas di teralis, tiada debu di sela-sela lantai, tiada percikan cat sedikit pun. Ajaib sekali rasanya tiba-tiba semua telah bersih. Apa benar sudah bersih? penasaran saya memperpendek jarak pandang, dan segala kotoran muncul kembali, mengganggu kembali.

Pengadilan Pikiran

Label “bersih” dan “kotor” sedetik demi sedetik berubah-ubah sedemikian cepat. Saya terhenti mengosok lantai dan merenung, kotor dan bersih adalah persepsi yang dibentuk oleh pengadilan (judgement) pikiran dan pengetahuan bawah sadar bahwa bersih adalah seharusnya begini-begini dan begini dan jika tidak memenuhi kriteria tersebut artinya kotor.

Persepsi makin parah ditambah dengan tudingan bahwa si Tukang bekerja serampangan. Kenyataannya benda-benda itu masih seperti itu adanya. Entah kita labeli dengan istilah bersih atau kotor, benda itu tetap ada di situ, sesuai karakternya.

Bagaimana dengan perasaan hati? Berkaca dari pengalaman bersih dan kotor di atas, jika perasaan hati dibiarkan larut dan intens hanya merasakan sisi kotor saja, maka kita pun akan terus menerus memperkuat kebiasaan untuk menilai segala sesuatu dari sisi buram, sisi kotor… kotor…kotor…kotor. Padahal ada sisi lain, bersih, yang cukup sering kita abaikan.

Alangkah melelahkannya hidup jika berfokus pada sisi buram terus-menerus, lepaskan pandangan dan kita akan melihat matahari masih ada di luar memberikan cahaya dan kehangatan kepada kita, keluarlah dan sentuhlah dunia dengan jiwa lapang, maka hidup pun berseri.

KSHANTICA anggota Ordo Interbeing Indonesia, volunteer retret mindfulness, dan aktif di MBI DKI Jakarta

To Live Happily in the Here and Now

To Live Happily in the Here and Now
Dharma Sharing bersama anak sekolah

Siswa SMP Sekolah Ananda pertama kali mengadakan Day of Mindfulness (DoM). Anak-anak sudah pernah mempraktikkan hidup berkewawasan (mindfulness) ketika makan, duduk, relaksasi total. Praktik ini sudah dilakukan secara rutin oleh para guru, sekarang saatnya untuk mengajak anak-anak untuk ikut latihan juga.

Tema DoM perdana ini adalah Happiness is here and now. Anak remaja banyak terbebani oleh tugas sekolah, maka dari itu penting mengajarkan mereka cara untuk berbahagia melalui meditasi. Kami ingin anak-anak berbahagia di sekolah juga di rumah, agar mereka tumbuh menjadi generasi yang berkewawasan.

Menyentuh Momen Saat Ini

“The present moment is filled with joy and happiness. If you are attentive, you will see it.”

Thich Nhat Hanh

Sesi berbagi Dharma (Dharma Sharing), anak-anak diminta untuk menyebutkan hal apa yang membuat mereka bahagia maupun tidak bahagia. Mereka berbahagia ketika dapat berkumpul dengan orang tua dan keluarga. Mereka tidak berbahagia ketika orang tua bertengkar, kurang diperhatikan, berselisih paham dengan teman, tidak dibelikan barang yang diinginkan, nilai rapor rendah, ada anggota keluarga yang sakit atau meninggal dunia. Jawaban ini lebih bervariasi.

Siswa mulai mengerti bahwa kondisi untuk berbahagia sebenarnya sudah ada, mereka sering melupakannya. Contoh, matahari di langit. Luangkan waktu sejenak untuk merasakan hangatnya matahari, semua kehidupan bisa berlangsung dikarenakan sinar matahari.

Banyak makanan bergantung pada sinar matahari, matahari seperti seorang ayah dan ibu merawat kita, selalu hadir setiap hari. Jika seseorang merasa tidak diperhatikan, tidak ada yang menyayangi, ingatlah matahari selalu merawat semuanya, setiap detik dan menit, bahkan setiap hari. Bumi, pohon, air, udara, burung, serangga, mereka selalu hadir untuk kita. Itu adalah suatu kebahagiaan.

Jangan menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain atau materi. Jangan berpikir, “Saya akan bahagia jika saya menjadi juara kelas, atau ketika saya dibelikan handphone terbaru, atau ketika mama bahagia, maka saya akan bahagia.” Kita bisa memunculkan rasa bahagia dalam diri kita terlebih dahulu.

Jika seseorang berhentik sejenak untuk menyentuh momen kekinian, maka banyak kondisi kebahagiaan yang terlihat jelas. Kita tidak perlu mencari kondisi-kondisi kebahagiaan di luar sana, justru saat ini kita sudah memiliki banyak kondisi kebahagiaan.

Berhenti dan menyentuh momen kekinian, maka tubuh dan pikiran bisa beristirahat. Berhenti untuk memberi kesempatan bagi kita untuk mengenali kondisi-kondisi bagi kebahagiaan sesungguhnya sudah hadir dan ada di depan kita. Jika kita bahagia, maka kita dapat menjadi sumber kebahagiaan juga bagi orang lain.

Mengenali Benih Positif dan Benih Negatif di Dalam Diri

“The seed of suffering in you may be strong, but don’t wait until you have no more suffering before allowing yourself to be happy.”

Thich Nhat Hanh

Anak-anak diberi kesempatan untuk mengenal benih positif dan negatif yang dominan dalam dirinya. Mereka sudah mampu mengenali benih-benih itu. Mereka menuliskan cara-cara menyirami benih positif, dan menghindari menyirami benih negatif.

Benih-benih positif yang ada dalam diri para siswa antara lain suka memberi, rendah hati, suka tersenyum, ramah, ceria, perhatian, easy going, bersyukur, humoris, percaya diri, tenang, jujur, penyayang, bersemangat, mudah memaafkan, pantang menyerah, tidak suka cakap kotor, dan lain-lain.

Benih-benih negatif yang dalam diri para siswa antara lain pemarah, egois, serakah, tidak percaya diri, malas, iri hati, suka melawan, suka menunda, berbohong, rendah diri, keras kepala, sombong, boros, kasar, dan lain-lain.

Cara menyiram atau tidak meyiram benih agar bertumbuh antara lain:

  • Selalu bersyukur
  • Sabar dan selalu tersenyum
  • Tidak membandingkan diri dengan orang lain
  • Mencari dan berkumpul dengan orang-orang dan lingkungan yang baik
  • Berpikir positif
  • Mengingat hal-hal yang diajarkan orang tua
  • Lebih dekat dengan Tuhan, rajin ibadah dan berdoa
  • Banyak membaca quote-quote motivasi
  • Mengendalikan emosi
  • Memahami sifat dan karakter orang lain
  • Menjadikan hal-hal baik sebagai kebiasaan
  • Memikirkan orang lain dan menempatkan diri di posisi orang lain untuk dapat memahami bagaimana keadaannya jika kita berlaku tidak mengenakkan pada mereka
  • Menenangkan diri

Bagi anak seusia 12 – 15 tahun, pemikiran-pemikiran seperti ini cukup bagus, walaupun masih ada sebagian siswa yang menjawab masih tidak tahu bagaimana cara menyiram atau tidak menyiram benih-benih tersebut. Hal ini memberikan saya ide baru untuk membahas topik ini lebih mendalam pada DoM bulan berikutnya dengan cara lebih seru.

Sharing Bersama Fasilitator

“I am determined to practice deep listening. I am determined to practice loving speech.”

Thich Nhat Hanh

Setelah relaksasi total, para siswa berpencar sesuai kelompoknya untuk bermain games dan berbagi cerita bersama masing-masing fasilitator. Dalam kelompok kecil, para fasilitator menjelaskan terlebih dahulu tata cara dalam sharing. Diawali dengan memberi bow (hormat) sebelum dan setelah bercerita, tidak memotong pembicaraan teman, tidak mengejek apabila teman salah bicara, belajar mendengarkan teman tanpa menghakimi, dan berbicara dengan bahasa yang sopan dan tidak menyakiti teman. Mereka juga belajar mengundang lonceng secara bergiliran setiap kali seorang temannya selesai berbagi cerita.

Dalam kesempatan ini bukan hanya sesama siswa berbagi cerita, tapi juga para fasilitator (yang juga adalah guru). Di sekolah mungkin tidak banyak hal yang mereka ketahui tentang guru-guru mereka, tapi pada kesempatan ini para guru tidak segan berbagi cerita. Berbagi tentang keluarga, keseharian mereka, tentang cita-cita, apa yang membuat mereka bahagia pada hari itu, apa yang mereka sukai dan tidak sukai, dan lain-lain.

Latihan berkewawasan selesai pada sore hari. Ada beberapa anak yang jujur mengatakan bahwa hal yang membuat ia bahagia pada hari itu adalah ia dapat bangun lebih telat dari biasanya (karena DoM dimulai pukul 8.30 pagi), tidak perlu belajar pada Sabtu ini, dapat bermain game dengan teman-teman dan  menikmati relaksasi total, serta tidak perlu memikirkan pelajaran sekolah ataupun pekerjaan rumah.

Latihan DoM ini adalah pengalaman pertama bagi para siswa. Semoga latihan hari ini memberi rasa relaks dan semoga mereka dapat mengingat bahwa untuk menumbuhkan rasa bahagia dalam diri adalah tidak sulit, cukup menyadari saat ini, menyentuh momen saat ini, maka kita akan menyadari bahwa kondisi-kondisi untuk berbahagia sebenarnya telah ada di hadapan kita.

“It is possible to live happily in the here and now. So many conditions of happiness are available—more than enough for you to be happy right now. You don’t have to run into the future in order to get more.”

Thich Nhat Hanh

RUMINI LIM, guru sekolah Ananda Bagan Batu, pengajar mindfulness class dan volunteer retret mindfulness

Merayakan Imlek Bersama Thay di Wihara Tu Hieu Vietnam

Merayakan Imlek Bersama Thay di Wihara Tu Hieu Vietnam

Master Zen Thich Nhat Hanh yang akrab disapa Thay telah kembali ke Vietnam sejak tahun 2018. Satu-satunya wihara akar (root monastery) dari Plum Village adalah Wihara Tu Hieu di Kota Hue, sentral Vietnam.

Kondisi kesehatan beliau prima. Jika cuaca cerah, beliau bersama asistennya akan keluar jalan-jalan menikmati wihara tua itu. Tidak heran jika tiba-tiba banyak umat yang mengikuti perlahan-lahan dari belakang.

Ada kalanya, ketika cuaca mendung dan hujan, maka beliau tidak keluar. Ada beberapa orang Amerika yang sengaja pergi ke Vietnam untuk bertemu Thay, namun sayangnya saat curah hujan sangat tinggi, sehingga mereka tidak berhasil bertemu Thay.

Berita kepulangan Thay ke Vietnam tersebar cepat. Banyak orang yang pernah berpartisipasi dalam retret yang diselenggarakan oleh Plum Village maupun para pelaku spiritual dan meditasi juga mampir untuk bertemu dengan sang master Zen.

Tahun baru lunar atau imlek juga dirayakan oleh masyarakat Vietnam dengan sebutan Tet. Imlek juga dirayakan di wihara Tu Hieu. Pagi-pagi para murid dan senior berkumpul untuk menyentuh bumi (namaskara) dan menyampaikan ucapan selamat dan doa untuk Thay.

Berikut ini ada Video yang direkam oleh umat yang hadir juga beberapa foto kiriman dari asisten Thay yang sedang bertugas di sana.

Video dan foto

Merayakan Tet (Imlek) di Wihara Tu Hieu, Kota Hue, Vietnam

Menepi Sebentar Mengeluarkan Kerikil Kecil dari Sepatu

Menepi Sebentar Mengeluarkan Kerikil Kecil dari Sepatu
Menepi sebentar

Sudah 40 tahun lebih saya menjalani hidup, walaupun banyak kondisi yang sudah saya lalui, tetapi saya tidak pernah paham arti kehidupan. Bagi saya bangun pagi, ke kantor, pulang dan tidur merupakan rutinitas yang kewajiban yang dilakoni setiap hari.

Ada seorang guru yang saya hormati, ia sering memberikan kata “kunci” untuk membuka pintu kebodohan dan kemelekatan saya. Suatu hari ia memberikan izin kepada saya untuk pergi berlatih di Plum Village Thailand.

Saya juga bersyukur karena ada seorang sahabat juga mendukung saya. Kami berkumpul dan belajar dalam jumlah peserta yang lumayan banyak dan dari berbagai Negara dan dari berbagai daerah di Indonesia.

Ritme Berjalan

Saat meditasi pagi, kami diminta duduk hening di baktisala,  setelah itu kami meditasi jalan. Saya mengenakan jaket karena masih sangat pagi dan cuaca dingin. Kondisi sekitar gelap, sehingga penglihatan sungguh terganggu. Tidak bisa melihat dengan jelas, berjalan tanpa arah tujuan, hanya mengikuti peserta lain yang jalan di depan.

Semua peserta berjalan dengan ritme yang berbeda, dengan cara yang berbeda. Tidak lama berjalan, ada batu kecil yang masuk dalam sepatu, membuat langkah saya tidak nyaman karena sakit. Saya masih tetap berjalan sampai akhirnya menepi. Agar tidak menghalangi peserta di belakang saya untuk melangkah, saya mengeluarkan batu kecil dari sepatu, setelah itu melangkah kembali.

Jalan yang kami lalui ada yang berbatu kecil-kecil, ada yang hanya tanah tanpa rumput, ada juga jalan yang lebih lembut karena basah, ada juga jalan yang datar dan yang tidak datar.

Selama kurang lebih 45 menit kami berjalan, matahari mulai bersinar, lingkungan di sekitar mulai kelihatan dengan jelas, ada berbagai tanaman buah, bunga dan rumput yang ikut tumbuh, ada banyak jenis dan bentuk batu di tempat kami berjalan.

Mengikuti Rutinitas

Saya mulai menikmati pemadangan, merasakan hangatnya matahari, melihat langit, matahari dan tanaman di sekitar terasa indah. Apa pun yang saya lihat indah, udara menyegarkan, cuaca menyejukkan, suara alam begitu damai. Matahari terbit terasa indah, terbenam juga indah, bulan juga indah, sampai rumput yang tumbuh pun terasa indah, membawa kedamaian.

Hari kedua meditasi jalan, saya memaknai hidup sama dengan meditasi jalan. Hidup tanpa tujuan, tanpa mengetahui apa yang kita inginkan dan kita butuhkan, sama halnya dengan berjalan dalam kegelapan, kita melewati hari hanya mengikuti rutinitas.

Semua orang punya cara dan reaksi yang berbeda dalam setiap kondisi yang dihadapinya, sama halnya saat berjalan dengan ritme berbeda dan juga cara berjalannya. Saat orang lain yang tidak sengaja melukai kita, sama halnya dengan batu kecil tidak tidak sengaja masuk ke dalam sepatu.

Perjalan hidup terkadang lancar, terkadang tidak lancar, sama halnya dengan medan jalan yang dilalui, berbatu, berpasir, penuh rumput atau tidak rata.

Titik Terang

Jika kita dapat terus bertahan dan melangkah maju, akan ada titik terangnya, tidak selamanya berjalan dalam kegelapan, ada matahari yang terbit menggantikan gelap menuju terang, hangatnya matahari mengusir rasa dingin yang dirasakan di awal berjalan.

Sepanjang menjalani kehidupan, pikiran dipenuhi dengan hal-hal positif, memancarkan cinta kasih ke semua akan terasa begitu indah. Matahari di Thailand dan di Indonesia sama saja,yang berbeda adalah bagaimana cara kita melihat, merasakan dan menanggapi hal yang berada di hadapan kita.

Jika sangat lelah, sedih dan kecewa, jangan dipaksakan, kita bisa menepi sebentar, mengeluarkan batu kerikil kecil yang tanpa sengaja masuk ke sepatu kita. Setelah siap kita baru melangkah kembali.

Saat berjalan terlalu cepat, di dalam kegelapan, tanpa sengaja menabrak atau menyakiti orang yang kita lalui dan tidak melihat sekitar, kita hanya fokus di depan, bagaimana bisa lebih cepat.

Saat berjalan terlalu lambat, kita ketinggalan barisan, tidak ada yang bisa kita minta bantuan. Berjalan tidak perlu terlalu cepat atau terlalu lambat, tapi mengikuti irama, mendengar suara alam, melihat keindahan di hadapan kita, perasaan damai membawa kebahagiaan.

Lepaskan

Sahabatku, terima kasih punya kondisi yang sangat baik bisa bertemu dan berlatih bersama. Sahabatku begitu luar biasa, belajar bersama selama beberapa hari, membuat saya mengerti bahwa di atas langit ada langit lagi. Membuat saya merasa begitu kecil dan membuat saya melihat keakuan yang ada di dalam diri saya.

Saya bukan orang yang paling menderita, saya bukan orang yang paling benar, semua orang ada masalah yang dihadapinya, akan tetapi reaksi dan cara menyelesaikannya adalah yang paling penting. Akhirnya sampah yang saya pungut dalam perjalanan hidup akhirnya bisa saya lepaskan.

Jika Anda melepas sedikit, Anda akan sedikit damai, Jika Anda melepas banyak, Anda akan banyak damai, Jika anda melepas penuh, Anda akan mengetahui kedamaian dan kebebasan penuh, Pergulatan Anda dengan dunia akan berakhir sudah

(Hello Happiness, Ajahn Brahm)

Saya akan berbagi sebuah kata kunci dari suhu :
Janganlah terpengaruh oleh masalah, kegelisahan, tidak nyaman, dan kemelekatan orang lain. Itu adalah urusan mereka. Suka, tidak suka, senang, tidak senang, nyaman, tidak nyaman biarlah mereka sendiri mengurusnya. Sementara ini, kita cukup menjaga kesadaran, terus belajar, berlatih dan berpraktik Dharma.

Terima kasih SUHU,

SVD

Love Poem

Wake Up retreat Hong Kong 2017@Lotus Pond Temple Love Poem, composed by Sze Chai, lyric from: Love Poem by Thich Nhat Hanh @Bangkok Art and Culture Center 27 January 2019 Love Poem Composed by: Sze ChaiLyrics from: Love Poem — Thich Nhat Hanh Your eyes are made of six elements They are beautiful Should I …

Why Do We Need To Be Mindful?

Why Do We Need To Be Mindful?
Dari kiri: Okta, Lili, Nuan, Finny, dan Wati

Sadar? Apakah ada manfaat jika kita melakukan aktivitas dengan sadar? Sadar yang dimaksud adalah sadar akan napas, sadar akan segala aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Retreat dapat menjadi jalan untuk membuat saya menjadi sadar setiap saat. Mengembalikan energi positif ke dalam tubuh.

Saya mengikuti retret yang diadakan oleh Plum Village Thailand pada tanggal 26 Desember 2018 sampai dengan 1 Januari 2019. Retret ini dinamakan Asia Pacific Sangha Retreat. Banyak peserta dari luar negeri seperti Korea, Jepang, Vietnam, Thailand, Amerika, Australia, Tiongkok, Indonesia, Hongkong dan sebagainya.

Dharma Universal

Saya merasa kagum karena tidak semua yang mengikuti acara ini beragama Buddha, tetapi mereka tersentuh dengan praktik meditasi. Pikiran saya terbuka dan menjadi tahu bahwa tidak harus beragama Buddha untuk mempelajari Dharma. Dharma bersifat universal.

Saya sangat senang karena saya dapat mengenal teman spiritual dari berbagai negara dan dapat berkomunikasi dengan mereka. Kalau lawan bicara saya tidak paham Inggris biasanya saya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh sehingga mereka mengerti apa yang saya katakan meski memiliki waktu lama untuk sama-sama paham.

Grup Dharma sharing saya adalah group Indonesia. Namun, karena saya merasa ingin meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, saya meminta kepada fasilitator saya untuk mengganti grup menjadi internasional dan fasilitator saya memperbolehkan lalu memberikan rekomendasi ke grup yang cocok untuk saya.

Saya mendapat grup dari delapan negara berbeda. Inilah kesempatan emas bagi saya untuk melatih kemampuan berbahasa Inggris saya dalam mendengar dan berbicara. Fasilitatornya berbeda dengan yang gelombang pertama sehingga dapat mengganti suasana dalam Dharma sharing.

Suasana dalam dhamma sharing kali ini lebih serius dan lebih berbagi mengenai apa yang dirasakan selama di sana dan pengalaman pribadi beberapa peserta. Saya mendapat teman dan keluarga baru di Thailand. Semua adalah keluarga, keluarga dalam Dharma.

Anjali

Selama di retret,  saya mendapatkan mami dan papi baru. Umur saya paling muda di retret itu dan ternyata ada satu cici yang memiliki anak yang sudah seumuran saya. Dia tidak mau dipanggil aunty, ya sudah sekalian saja saya panggil mami.

Saya mendapat satu hal pembelajaran yang menjadi pertanyaan saya dari dulu. Mengapa kita harus bow saat ingin sharing dan membalas bow orang yang ingin sharing. Saya hanya sekedar menangkap bahwa itu sebagai rasa saling menghormati satu sama lain.

Ternyata di balik itu terdapat arti sendiri. Tangan kiri diibaratkan sebagai pikiran dan tangan kanan diibaratkan sebagai tubuh dan disatukan membentuk sebuah sikap anjali lalu membungkuk badan kepada komunitas. Artinya tubuh dan pikiran disatukan untuk sharing pengalaman kepada komunitas yang berada di lingkaran dengan penuh kesadaran, menyampaikan apa yang ingin kita sampaikan dari hati dan pikiran

Not For Sale

Di Plum Village ada suatu tempat yang dinamakan bookshop. Walau namanya bookshop, tidak hanya menjual buku, tetapi juga jual baju, snack, dan sebagainya. Di balik latihan, terdapat shopping time yang sangat ditunggu para peserta. Saya membeli banyak barang untuk dibawa ke Jakarta karena barang yang dijual di Plum Village tidak semuanya mudah dicari di Jakarta

Pada saat saya sedang asik melihat-lihat barang, saya tertarik dengan patung Buddha yang dibingkai kristal. Sangat menarik perhatian saya, saya berencana untuk membelinya untuk diletakkan di altar rumah. Saya pun mengangkat patung Buddha tersebut dan membawanya menuju kasir untuk menanyakan harga patung  tersebut. Dan setelah saya sampai kasir, salah satu kasir dengan muka sedikit panik bilang “Sorry sister, not for sale, not for sale!”.

Patung Buddha Kristal
Patung Buddha Kristal

Saya dengan spontan langsung meletakkannya kembali ke tempat semula. Saya kira dijual karena mui dan genta saja dijual, jadi tidak ada salahnya jika menanyakan harga  patung tersebut karena memang beberapa barang yang dijual tidak tertera harganya. Pelajaran bagi saya untuk lebih sadar membedakan barang yang dijual dan tidak, mungkin saya sedang error saat itu.

Kado ZONK

Hari terakhir ada perayaan exchange gift (tukar kado). Tukar kado merupakan salah satu acara yang sangat menarik karena dilakukan dengan bermain games. Games-nya adalah orang pertama mengambil kado dan saya mendapat urutan pertama karena saya satu-satunya orang yang mengambil “5 Latihan hidup sadar” di kelompok, jadi mereka menunjuk saya.

Setelah mengambil kado, orang kedua dapat memilih ingin mengambil kado lagi atau dapat mengambil kado saya. Saya mendapatkan kado makanan dan sebenarnya saya lebih menginginkan mendapatkan kado barang yang bisa dikenang. Saya berharap orang kedua mengambil kado saya dan ternyata, ZONK.

Orang kedua lebih memilih untuk mengambil yang baru. Hingga orang terakhir tidak ada yang ingin mengambil hadiah saya, tetapi saya bersyukur setidaknya mendapatkan hadiah yang bisa dimakan dan membuat perut menjadi kenyang. Mungkin saya memang sudah berjodoh dengan makanan, kemana-mana selalu bertemu makanan, dan muncullah “Diet itu besok”.

Sesi tukar kado adalah sesi yang paling seru dan menarik karena sangat menantang untuk menandakan bahwa barang itu impermanence (sementara). Barang tersebut tidak akan selamanya menjadi miliknya karena bisa diambil oleh orang lain yang mengincarnya sehingga dapat menandakan bahwa semua di dunia ini bersifat sementara dan mengalami perubahan (Anicca).

Juragan Thai Tea

Setelah acara selesai, kami berjalan mengelilingi kota Pak Chong, dan yang paling mengesankan adalah jalan di lembah. Untuk mencapai air terjun saja harus jalan 3km. Sekitar 1,5 jam baru sampai ke air terjun dan saya bisa melampauinya walau capek banget,  maklum jarang olahraga, tapi seru juga melihat pemandangan alam yang sangat alami sambil bercerita.

Setelah itu, kami pergi ke pasar tradisional Pak Chong dan seketika mata saya tertuju pada Thai tea yang menjadi target saya untuk oleh-oleh. Saya langsung borong 15 bungkus besar, maka julukan “juragan Thai tea” pun muncul. Satu bungkus untuk satu tahun saja mungkin masih tersisa. Pulang dari Thailand langsung jualan Thai tea, boleh juga tuh idenya untuk menambah penghasilan. Setelah puas berbelanja, kami pun kembali ke Plum Village Thailand untuk beristirahat.

Phinawati Tjajaindra (Nuan)mahasiswa UPH, jurusan Hukum. Praktisi kewawasan (mindfulness) dan sukarelawan Retret dan Day of Mindfulness.

Kecambah Ketumbar Penggugah Kesadaran, Suka Tidak Suka Aku Terima

Kecambah Ketumbar Penggugah Kesadaran, Suka Tidak Suka Aku Terima
Meditasi Kerja di Plum Village Thailand

Retreat di Plum Village Thailand (PVT) merupakan sebuah tekad yang tertanam satu tahun lamanya. Karena dari tahun lalu sudah diajak untuk ikut, tapi berhubung waktunya sudah terlalu mepet dan cuti sudah habis, jadi saya tekadkan tahun depan saja.

Penantian satu tahun diproses dengan tidak mulus begitu saja. Dari harga tiket yang awalnya Rp 1,5 juta (pada saat teman-teman yang lain sibuk koordinasi dan membeli tiket), saya yang masih belum mengajukan izin cuti belum berani membeli tiket, kemudian harga tiket pun naik menjadi Rp 2,2 juta. Sesaat setelah peristiwa lion air jatuh, harga tiket pun jatuh lagi ke harga Rp 1,5 juta, di sinilah saya buru-buru membeli tiket. 

Jelang keberangkatan, saya kehilangan data tiket teman yang pembelian tiketnya melalui saya. Cek dan ricek, ternyata tiket domestiknya belum terbayar pada saat proses pembelian, sehingga tiket tersebut batal secara otomatis. Saya membeli ulang tiket tersebut pada H-2, tentunya dengan harga yang lebih tinggi hampir sepadan dengan harga tiket Jakarta – Bangkok.

Dalam perjalanan ke bandara, mobil yang kami tumpangi mengalami kecelakaan, beruntung kami berlima termasuk sopir selamat. Hanya bagian depan mobil yang ringsek dan kami terbentur. Ada yang terbentur di kening, dada, lutut, kepala dan lengan. Namun demikian kami tetap bisa melanjutkan perjalanan ke PVT dengan bahagia dan selamat.

Damai Setiap Langkah

Hari pertama retret harus bangun pukul 4 pagi (hari biasa saya bangun pukul 5 pagi kadang pukul 6 pagi). Ini kondisi yang tidak disukai ditambah sudah dua malam kurang tidur, tapi demi meditasi pagi mau tidak mau harus bangun. 

Sitting meditation pagi pertama dilalui dengan baik dan dilanjutkan dengan meditasi jalan. Saat itu langit masih gelap, di tengah kegelapan kami melakukan walking meditation hingga langit terang.

Hal yang disayangkan adalah karena gelap, kami tidak bisa melihat keindahan lingkungan yang kami lalui. Suka tidak suka harus diterima. Damai dalam setiap langkah walau tidak bisa melihat keindahan lingkungan yang kami lalui.

Setelah walking meditation, dilanjutkan dengan sarapan. Sarapannya berupa oatmeal dan kacang-kacangan, serta susu. Ini juga bukan kebiasaan saya, suka tidak suka harus diterima, daripada kelaparan. Tapi ternyata Ok jugalah oatmeal + kacang merah + susu + kismis. Pikiran menolak sesuatu yang tidak biasa, tapi sesuatu yang tidak biasa belum tentu tidak baik atau tidak enak.

Kecambah Ketumbar

Saat makan siang, saat saya menyadari ada sesuatu yang tidak saya sukai di dalam makanan saya, yaitu daun kecambah ketumbar. Karena sudah dipotong halus-halus jadi berserakan di makanan saya, sehingga tidak bisa dipisahkan. Jika ada yang sempat terlihat langsung saya singkirkan di pinggir mangkok, tapi banyak yang tidak terlihat karena teraduk-aduk bersama makanan lainnya. Makan dengan sadar penuh, membuat saya sadar bahwa ini ada sesuatu yang tidak saya sukai, tapi suka tidak suka harus diterima, dikunyah dan ditelan.

Begitu juga di kehidupan kita, banyak hal yang tidak kita sukai atau tidak kita inginkan yang terjadi. Contoh, saya tidak suka saat ada yang memberikan pandangannya tentang sesuatu yang saya lakukan yang menurutnya tidak tepat. Saya hanya menginginkan teman tersebut berkata hal-hal yang menyejukkan hati saya dan sesuai dengan yang saya pikirkan atau lakukan.

Sekali pun pendapat teman tersebut mungkin benar adanya, tapi ketidaksukaan saya membuat saya menolaknya. Di sini saya menyadari bahwa, ada kondisi-kondisi yang harus diterima dan dilewati terlepas dari suka tidak sukanya saya terhadap kondisi-kondisi tersebut, suka tidak suka harus diterima.

Kecenderungan kita adalah menolak sesuatu yang tidak biasa atau tidak disukai sebelum kita mencoba mengkaji manfaatnya, mengkaji kebenarannya lebih jauh dan mencoba menerimanya.

Saat teman bersikap tidak sesuai dengan yang saya pikirkan dan saya inginkan, maka saya melabeli teman tersebut sebagai teman yang susah, bahkan terkadang diposisikan sebagai musuh. Lalu kemudian saya akan menjaga jarak dengannya, karena berpikir dia adalah sandungan untuk saya.

Makin dijauhi, maka makin membentang jarak yang menyebabkan komunikasi macet. Ketika komunikasi macet, segala hal menjadi terhambat. Begitulah hal-hal ini berlangsung, berawal dan bermula dari pikiran dan respon saya.

Kembali ke kesadaran akan si kecambah ketumbar tadi, seharusnya saya mencoba menerima teman tersebut sebagaimana adanya dia, karena persepsi saya tentang dia tidak sepenuhnya benar, bisa jadi itu hanya persepsi keliru saya tentangnya. 

Begitu pula dengan kondisi-kondisi lainnya yang muncul, tidak selalu harus sesuai keinginan namun ketika tidak sesuai, suka tidak suka tetap harus diterima dan dijalani dengan kesadaran penuh, dengan kesadaran bahwa tidak saya sukai, belum tentu tidak baik. Ada kalanya malah itu sesuatu yang baik dan bisa memberi manfaat bagi orang banyak, hanya saja saya harus berlapang hati untuk belajar menerimanya.

Naik Ke Bukit

Di sela-sela waktu latihan, kami menyempatkan diri untuk naik ke suatu bukit yang cukup terjal. Sampai di satu bagian, saya tidak yakin bisa naik lagi karena bagian tersebut cukup terjal dan tidak berbatu sehingga licin. Takut tergelincir, padahal untuk sampai di puncaknya tinggal beberapa meter lagi. Saya memilih berhenti di sana, duduk melihat keadaan, rasanya sungguh tidak mungkin, terlalu terjal dan licin. 

Tapi kemudian saya melihat sisi lain yang berbatu yang lebih aman, kemudian perlahan saya pun pindah ke sisi itu dan mulai melanjutkan perjalanan hingga ke puncaknya. Di sini saya menyadari bahwa hidup kita terkadang seperti menaiki bukit itu. Ada kondisi di mana kita merasa keadaan sangat tidak mungkin untuk kita lanjutkan atau kerjakan, namun bila kita mengambil waktu istirahat sejenak, maka kita akan menemukan cara-cara yang lebih tepat untuk menyelesaikannya.

Namun apabila kita memaksakan diri untuk tetap melanjutkan dengan gegabah, bisa jadi kita akan terjatuh  meluncur ke bawah. Bila dalam suatu komunitas kita adalah yang di belakang, kita hanya akan jatuh sendirian, namun bila kita adalah yang di depan maka kita dapat mencelakai teman yang berada di belakang kita, kita bisa membawa mereka jatuh bersama kita.

Dharma ada dimana-mana, ada di dalam mangkok nasiku, juga ada di sepanjang jalan menuju puncak bukit. Hanya perlu menemukannya dengan kesadaran penuh. (Plum Village Thailand, 22-24 Desember 2018)

*ELYSANTY Volunteer Day of Mindfulness dan Retret Hidup Berkesadaran dari Jambi