Sutra tentang Menilai dan Merefleksikan

Sutra tentang Menilai dan Merefleksikan

Demikianlah yang telah saya dengar, suatu ketika Buddha sedang menetap bersama penduduk Bagga di Sumsumaragiri, di Taman Rusa di Hutan Bhesakala. Yang Mulia Mahamaudgalyayana menyapa para biksu, “Sahabat-sahabatku.”

“Iya, sahabat,” mereka menjawab Yang Mulia Mahamaudgalyayana.

Yang Mulia Mahamaudgalyayana bersabda sebagai berikut:

“Para sahabat, seumpama ada seorang biksu yang berkata kepada biksu-biksu lain: ‘Berbicaralah kepadaku, Biksu Yang Terhormat. Saya ingin Anda menasihatiku.’ Jika ia sulit diajak bicara, diberkahi dengan kualitas yang membuatnya sulit untuk dihadapi, tidak sabar, tidak toleran, tidak dapat menerima kritik yang membangun ataupun kata-kata nasihat dan instruksi dari sahabat dalam latihan, maka mereka yang berlatih jalan perilaku luhur bersamanya akan berpikir, ‘Ia bukanlah seseorang yang dapat diajak bicara, ia bukanlah seseorang yang dapat diberi instruksi, ia bukanlah seseorang yang dapat dipercayai.’ Apa kualitas yang membuat seseorang sulit untuk didekati?

“Para sahabat, seorang biksu yang melekat pada nafsu keinginan yang salah dan dikendalikan oleh nafsu keinginan yang salah sulit untuk didekati dan diajak bicara.

“Berikut adalah alasan-alasan lain yang menyebabkan seseorang sulit untuk didekati dan diajak bicara: seseorang yang memuji diri sendiri dan membenci orang lain: ia sangat mudah marah dan dikuasai oleh amarahnya; karena ia marah, ia menyimpan dendam; karena ia marah, ia menjadi mudah tersinggung; karena ia marah, ia berbicara dengan cara yang kasar; ia menuduh seseorang yang mengoreksinya; ia menghina seseorang yang mengoreksinya; ia juga balik mengoreksi seseorang yang telah mengoreksinya; ia menghindari kritik dengan cara menanyakan pertanyaan lain; ia mengubah pokok pembicaraan; ia memanifestasikan sifat pemberang, marah, dan cemberut; ia tidak berhasil menjelaskan perilakunya ketika dikoreksi; ia tidak acuh dan dengki; ia cemburu dan serakah; ia munafik dan penuh dusta; ia keras kepala dan sombong; atau ia menyukai keduniawian dan melekat pada hal-hal yang tergolong dalam keduniawian dan sulit untuk melepaskan hal-hal tersebut. Ini semua, para sahabat, adalah energi kebiasaan yang menyebabkan seseorang sulit untuk didekati dan diajak bicara.

“Para sahabat, seumpama ada seorang biksu yang memohon kepada biksu lain: ‘Berbicaralah kepadaku, Biksu Yang Terhormat. Saya ingin Anda menasihatiku.’ Jika ia mudah diajak bicara, diberkahi dengan kualitas yang membuatnya mudah untuk dihadapi, sabar, toleran, terbuka dan dapat menerima kritik yang membangun ataupun kata-kata nasihat dan instruksi dari sahabat dalam latihan, maka mereka yang berlatih jalan perilaku luhur bersamanya akan berpikir, ‘Ia adalah seseorang yang dapat diajak bicara, seseorang yang dapat diberi instruksi, seseorang yang dapat dipercayai.’ Apa kualitas yang membuat seseorang mudah untuk didekati?

“Para sahabat, seorang biksu yang tidak terperangkap dalam nafsu keinginan yang salah dan tidak dikendalikan oleh nafsu keinginan yang salah mudah untuk didekati dan diajak bicara. Ia tidak memuji diri sendiri dan membenci orang lain: ia tidak mudah marah atau dikuasai oleh amarahnya; karena ia tidak marah, ia tidak menyimpan dendam; karena ia tidak marah, ia tidak mudah tersinggung; karena ia tidak marah, ia tidak berbicara dengan cara yang kasar; ia tidak menuduh seseorang yang mengoreksinya; ia tidak menghina seseorang yang mengoreksinya; ia juga tidak mengoreksi seseorang yang telah mengoreksinya; ia tidak menghindari kritik dengan cara menanyakan pertanyaan lain; ia tidak mengubah pokok pembicaraan; ia tidak memanifestasikan sifat pemberang, marah, dan cemberut; ia dapat menjelaskan perilakunya ketika dikoreksi; ia tidak cemburu dan serakah; ia tidak munafik dan penuh dusta; ia tidak keras kepala dan sombong; ia tidak menyukai keduniawian ataupun melekat pada hal-hal yang tergolong dalam keduniawian dan ia tidak sulit melepaskan hal-hal tersebut. Ini semua, para sahabat, adalah kualitas yang menyebabkan seseorang mudah untuk didekati dan diajak bicara.

“Para sahabat, seseorang seharusnya dapat menyimpulkan keadaan sendiri dengan mempertimbangkan keadaan orang lain dengan cara demikian: ‘Seseorang memiliki nafsu keinginan yang salah dan dikendalikan oleh keinginan salahnya; oleh karena itu, saya merasa ia sulit untuk didekati. Jika saya memiliki nafsu keinginan yang salah dan dikendalikan oleh nafsu keinginan yang salah ini, orang lain tidak akan merasa mudah untuk mendekati saya.’ Ketika seseorang dapat melihat ini dengan jelas, maka ia dapat bertekad: ‘Semoga aku tidak melekat pada nafsu keinginan yang salah ataupun dikendalikan oleh nafsu keinginan yang salah tersebut.’

“Cara berefleksi seperti ini harus dilatih dalam hal-hal lainnya, misalnya memuji diri sendiri dan membenci orang lain, mudah tersinggung dan dikuasai oleh amarah, dan sebagainya.

“Para sahabat, demikianlah cara seorang biksu seharusnya merefleksikan dirinya sendiri: ‘Pada momen ini, apakah saya melekat pada nafsu keinginan yang salah dan dikendalikan oleh nafsu keinginan yang salah?’ Jika ketika seorang biksu merefleksikan dengan cara demikian, ia mengetahui, ‘Pada momen ini, saya melekat pada nafsu keinginan yang salah dan dikendalikan oleh nafsu keinginan yang salah,’ maka ia harus berlatih dengan tekun untuk mengakhiri bentukan-bentukan mental yang tidak bajik ini. Jika, di samping itu, ketika ia merefleksikan, ia mengetahui, ‘Pada momen ini, saya tidak melekat pada nafsu keinginan yang salah dan tidak dikendalikan oleh nafsu keinginan yang salah,’ maka seorang biksu dapat hidup dengan perasaan yang bahagia, dan ia harus berlatih dengan tekun untuk menutrisi dan meningkatkan bentukan-bentukan mental yang bajik ini.

“Cara berefleksi seperti ini harus dilatih dalam hal-hal lainnya, misalnya memuji diri sendiri dan membenci orang lain, mudah tersinggung dan dikuasai oleh amarah, dan sebagainya.

“Jika, para sahabat, ketika ia berefleksi, seorang biksu melihat dengan jelas bahwa ia belum meninggalkan semua kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat ini, maka ia harus berlatih dengan tekun untuk meninggalkan semuanya. Jika, ketika ia berefleksi, seorang biksu melihat dengan jelas bahwa ia telah meninggalkan semua bentukan-bentukan mental yang tidak bajik ini, maka ia dapat hidup dengan perasaan yang bahagia, dan ia seharusnya berlatih dengan tekun untuk menutrisi dan meningkatkan bentukan-bentukan mental yang bajik ini.

“Seperti halnya ketika seorang pemuda yang gemar menghiasi dirinya sendiri dan mengontemplasi wajahnya di hadapan cermin atau semangkuk air yang jernih. Jika ia melihat kotoran atau noda pada wajahnya, ia akan berusaha untuk membersihkannya. Jika ia tidak melihat kotoran atau noda, ia akan berpikir, ‘Bagus, wajahku bersih.’

“Maka, para sahabat, jika seorang biksu merefleksikan dan melihat bahwa semua bentukan-bentukan mental yang tidak bajik ini belum ditinggalkan, maka ia berlatih dengan tekun untuk meninggalkan semua hal tersebut. Jika ia melihat bahwa ia telah meninggalkan semua hal tersebut, ia merasa bahagia dan mengetahui bahwa ia perlu berlatih dengan tekun agar dapat menutrisi dan meningkatkan bentukan-bentukan mental yang bajik ini.”

Yang Mulia Mahamaudgalyayana telah bersabda. Para biksu merasa bahagia, memercayai, dan menerima wejangan dari guru mereka.

 

Anumāna Sutta, Majjhima Nikāya 15

Wawasan Pembawa ke Pantai Seberang

Wawasan Pembawa ke Pantai Seberang

  • Diterjemahkan ulang oleh Master Zen Thích Nhất Hạnh dari Prajñāpāramitā-hṛdaya Sūtra (Taishō 251) ke bahasa Inggris.
  • Diterjemahkan oleh Br. Chân Pháp Tử (Nyanabhadra) ke bahasa Indonesia berdasarkan naskah bahasa Inggris dan Vietnam.
  • Irama pendarasan oleh Br. Chân Pháp Linh
  • Arranger pendarasan bahasa Indonesia oleh Angelia Natatiluva
  • Pendaras oleh Sr. Trăng Quang Sơn
  • Unduh versi PDF klik sini

The Insight that Brings Us to the Other Shore
Wawasan pembawa ke pantai seberang

Avalokiteshvara
Avalokiteshvara

while practicing deeply with
Merenungkan mendalam

the Insight that Brings Us to the Other Shore,
Wawasan pembawa ke pantai seberang

suddenly discovered that
Seketika sadar bahwa

all of the five Skandhas are equally empty,
Semua pancaskanda adalah sunyata adanya

and with this realisation
Merealisasikan ini

he overcame all Ill-being.
Teratasi semua duka


“Listen Sariputra,
Wahai Sariputra,

this Body itself is Emptiness
Tubuh ini adalah sunyata

and Emptiness itself is this Body.
Dan sunyata adalah tubuh ini

This Body is not other than Emptiness
Tubuh ini tiada beda dengan sunyata

and Emptiness is not other than this Body.
Dan sunyata tiada beda dengan tubuh ini

The same is true of Feelings,
Begitu juga dengan perasaan,

Perceptions, Mental Formations,
Persepsi, formasi mental,

and Consciousness.
Dan kesadaran.


“Listen Sariputra,
Wahai Sariputra,

all phenomena bear the mark of Emptiness;
Semua fenomena bercirikan sunyata;

their true nature is the nature of
Sifat dasarnya adalah

no Birth no Death,
Tiada lahir tiada mati,

no Being no Non-being,
Tiada eksis, tiada non eksis,

no Defilement no Purity,
Tiada noda, tiada suci

no Increasing no Decreasing.
Tiada bertambah tiada berkurang.

“That is why in Emptiness,
maka itu sunyata,

Body, Feelings, Perceptions,
Tubuh, perasaan, persepsi,

Mental Formations and Consciousness
Formasi mental, dan kesadaran

are not separate self entities.
Bukanlah entitas tunggal terpisah.


The Eighteen Realms of Phenomena
Delapan belas ranah fenomena

which are the six Sense Organs,
Yaitu enam organ indra,

the six Sense Objects,
Enam objek indra,

and the six Consciousnesses
Dan enam kesadaran

are also not separate self entities.
Juga bukanlah entitas tunggal terpisah.

The Twelve Links of Interdependent Arising
Dua belas rantai interdependen kemunculan

and their Extinction
Dan kemusnahannya

are also not separate self entities.
Juga bukanlah entitas tunggal terpisah.

Ill-being, the Causes of Ill-being,
Duka, duka samudaya,

the End of Ill-being, the Path,
Duka nirodha, marga

insight and attainment,
Wawasan dan pencapaian,

are also not separate self entities.
Juga bukanlah entitas tunggal terpisah.

Whoever can see this
Mereka yang melihat semua ini

no longer needs anything to attain.
Tak perlu mencapai apa pun lagi.


Bodhisattvas who practice
Bodhisattwa mempraktikkan

the Insight that Brings Us to the Other Shore
Wawasan pembawa ke pantai seberang

see no more obstacles in their mind,
Tidak melihat adanya penghalang pikiran,

and because there
Dan karena

are no more obstacles in their mind,
Tiada lagi penghalang pikiran,

they can overcome all fear,
semua ketakutan teratasi,

destroy all wrong perceptions
Musnahlah semua persepsi keliru

and realize Perfect Nirvana.
Dan merealisasikan nirwana sempurna.


“All Buddhas in the past, present and future
Semua Buddha pada tiga masa

by practicing
Mempraktikkan

the Insight that Brings Us to the Other Shore
Wawasan pembawa ke pantai seberang

are all capable of attaining
Semua mampu mencapai

Authentic and Perfect Enlightenment.
Pencerahan autentik sempurna.


“Therefore Sariputra,
Maka itu Sariputra,

it should be known that
Ketahuilah bahwa

the Insight that Brings Us to the Other Shore
Wawasan pembawa ke pantai seberang

is a Great Mantra,
Adalah maha mantra,

the most illuminating mantra,
Maha vidya mantra,

the highest mantra,
Anuttara mantra,

a mantra beyond compare,
Samasama mantra,

the True Wisdom that has the power
Kearifan sejati berkekuatan

to put an end to all kinds of suffering.
Mengakhiri semua jenis duka.


Therefore let us proclaim
Maka itu marilah mendaraskan

a mantra to praise
Mantra untuk memuja

the Insight that Brings Us to the Other Shore.
Wawasan pembawa ke pantai seberang

Gate, Gate, Paragate, Parasamgate, Bodhi Svaha!
Gate, Gate, Paragate, Parasamgate, Bodhi Svaha!
Gate, Gate, Paragate, Parasamgate, Bodhi Svaha!”

Sutra tentang Napas Berkesadaran Penuh

Sutra tentang Napas Berkesadaran Penuh

Sutra tentang Napas Berkesadaran Penuh adalah salah satu sutra terpenting dalam tradisi Plum Village, dan diajarkan di setiap retret Plum Village. Ketika Thich Nhat Hanh menemukan sutra ini, dia berkata, “Saya merasa saya adalah orang paling bahagia di dunia.

Terjemahan di bawah ini telah dipersiapkan oleh Thich Nhat Hanh dari Anapanasati Sutta, Majjhima Nikaya 118, dan juga ada di dalam buku Chanting from the Heart (Parallax Press, Rev.Ed., 2006). Terjemahan bahasa Inggris pertama Thay diterbitkan pada tahun 1988, dan beliau terus merevisi dan menyempurnakan terjemahannya dalam beberapa tahun terakhir.

Untuk komentar lebih lanjut tentang teks ini, silakan melihat Thich Nhat Hanh, Breathe, You Are Alive! Sutra on the Full Awareness of Breathing (Parallax Press, Rev.Ed., 2010). Anda juga dapat membaca The Path of Emancipation: Talks from a 21-Day Mindfulness Retreat on the Discourse on the Full Awareness of Breathing (Parallax Press, 2000).

I

Aku mendengar sabda Buddha ini suatu ketika beliau menetap di Savatthi, di Taman Sebelah Timur, bersama sejumlah siswa yang terkenal dan berbakat, ada Sariputra, Mahamoggalyayana, Mahakassyapa, Mahakacchayana, Mahakotthita, Mahakappina, Mahachunda, Anuradha, Revata, dan Ananda. Para biksu senior dalam komunitas dengan tekun memberikan petunjuk kepada para biksu junior – beberapa mengajar sepuluh biksu, beberapa mengajar dua puluh, beberapa mengajar tiga puluh, dan beberapa mengajar empat puluh; dan dengan cara demikian para biksu yang baru berlatih mencapai kemajuan pesat secara bertahap.

Malam itu bulan purnama, dan Upacara Pavarana diadakan untuk mengakhiri retret musim hujan (vassa). Begawan Buddha, Yang Tercerahkan, sedang duduk di tempat terbuka, dan para siswa-Nya berkumpul di sekelilingnya. Setelah menatap semua orang yang hadir, Ia menyampaikan:

“Wahai para biksu, Saya bersukacita setelah mengetahui hasil yang telah Anda capai dalam latihan. Saya juga tahu Anda masih bisa mencapai kemajuan lebih jauh lagi. Apa yang belum Anda capai, bisa direalisasikan. Apa yang belum Anda sadari, dapat Anda sadari dengan sempurna. [Untuk ikut serta dalam memberikan dukungan] Saya akan menetap di sini hingga bulan purnama berikutnya. “

Ketika mereka mendengar bahwa Buddha akan menetap di Savatthi selama satu bulan lagi, para biksu dari seluruh negeri mulai berdatangan untuk menerima pelajaran dari Beliau. Para biksu senior terus mengajar para junior untuk berlatih bahkan lebih giat lagi. Beberapa biksu senior mengajar sepuluh biksu, beberapa mengajar dua puluh, beberapa mengajar tiga puluh, dan beberapa mengajar empat puluh. Melalui bantuan ini, para biksu yang lebih baru dapat, sedikit demi sedikit, mencapai kemajuan dalam pemahamannya.

Ketika bulan purnama berikutnya tiba, Buddha, duduk di bawah langit terbentang luas, melihat ke sekeliling para biksu yang berkumpul dan mulai menyampaikan:

“Wahai para biksu, komunitas kita murni dan baik. Pada intinya, dalam komunitas ini tidak ada pembicaraan yang tidak berguna dan kesombongan, dan oleh karena itu patut untuk menerima persembahan dan dipandang sebagai ladang jasa kebajikan. Komunitas seperti ini jarang ada, dan setiap peziarah yang mencarinya, tidak peduli seberapa jauh ia harus melakukan perjalanan, akan menganggapnya layak untuk dilakukan.

“O para biksu, ada biksu-biksu dalam kelompok ini yang telah mencapai tingkat Arahat, menghancurkan setiap akar kotoran batin (kilesa), meletakkan setiap beban, dan mencapai pengertian benar dan emansipasi. Ada juga para biksu yang telah memotong lima ikatan internal (samyojana) pertama dan mencapai hasil berupa tidak pernah kembali lagi (anāgāmī) ke siklus kelahiran dan kematian.

“Ada orang-orang yang telah melepaskan tiga ikatan internal pertama dan mendapatkan hasil berupa kembali sekali lagi (sakadāgāmi). Mereka telah memotong akar keserakahan, kebencian, dan ketidaktahuan, dan hanya perlu kembali ke siklus kelahiran dan kematian sekali lagi. Ada orang-orang yang telah melepaskan tiga ikatan internal dan mencapai tingkat memasuki-arus (sotāpanna), dengan tenang berjalan menuju kondisi Yang Tercerahkan. Ada orang yang mempraktikkan Empat Landasan Kesadaran Penuh (satipaṭṭhāna). Ada orang yang mempraktikkan Empat Upaya Benar (sammappadhānā), dan ada yang mempraktikkan Empat Landasan Keberhasilan (Iddhipāda). Ada mereka yang berlatih Lima Pancaindra (pañca indriya), ada yang berlatih Lima Kekuatan (pañca bala), ada yang berlatih Tujuh Faktor Pencerahan (satta bojjhaṅgā), dan ada yang berlatih Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ada yang mempraktikkan cinta kasih, ada yang berlatih welas asih, ada yang berlatih sukacita, dan ada yang berlatih ekuanimitas (upekkhā). Ada yang mempraktikkan Sembilan Perenungan (paṭikkūlamanasikāra), dan ada yang berlatih Pengamatan tentang Ketidakkekalan. Ada juga para bhikkhu yang telah berlatih Napas Berkesadaran Penuh. ”

II

“O para biksu, napas berkesadaran penuh, jika dikembangkan dan dilatih secara terus menerus, akan bermanfaat dan membawa manfaat besar. Latihan ini akan menuntun pada keberhasilan dalam mempraktikkan Empat Landasan Kesadaran Penuh. Jika metode Empat Landasan Kesadaran Penuh dikembangkan dan dipraktikkan secara terus-menerus, praktik ini akan menuntun pada keberhasilan dalam latihan Tujuh Faktor Percerahan. Tujuh Faktor Pencerahan, jika dikembangkan dan dipraktikkan secara terus menerus, akan memunculkan pemahaman dan pembebasan batin (pikiran).

“Bagaimana cara untuk mengembangkan dan berlatih metode Napas Berkesadaran Penuh secara terus-menerus sehingga latihan ini akan membawa hasil dan memberikan manfaat besar?

“Itu adalah seperti ini, para biksu: seorang praktisi pergi ke hutan atau di bawah kaki pohon, atau ke tempat yang sepi, duduk dengan stabil dalam posisi bersila berbentuk lotus, menegakkan tubuhnya, dan berlatih seperti ini: ‘Bernapas masuk, aku tahu aku sedang bernapas masuk. Bernapas keluar, aku tahu aku sedang bernapas keluar.’

1. ‘Menarik napas panjang, aku tahu aku sedang menarik napas panjang. Mengembuskan napas panjang, aku tahu aku sedang mengembuskan napas panjang.

2. ‘Menarik napas pendek, aku tahu aku sedang bernapas pendek. Mengembuskan napas pendek, aku tahu aku sedang mengembuskan napas pendek.

3. ‘Napas masuk, aku menyadari seluruh tubuhku. Napas keluar, aku menyadari seluruh tubuhku.’ Ia berlatih seperti ini.

4. ‘Napas masuk, aku menenangkan seluruh tubuhku. Napas keluar, aku menenangkan seluruh tubuhku.’ Ia berlatih seperti ini.

5. ‘Napas masuk, aku merasa sukacita. Napas keluar, aku merasa sukacita.’ Ia berlatih seperti ini.

6. ‘Napas masuk, aku merasa bahagia. Napas keluar, aku merasa bahagia.’ Ia berlatih seperti ini.

7. ‘Napas masuk, aku menyadari bentukan mentalku. Napas keluar, saya menyadari bentukan mentalku.’ Ia berlatih seperti ini.

8. ‘Napas masuk, aku menenangkan bentukan mentalku. Napas keluar, aku menenangkan bentukan mentalku.’ Ia berlatih seperti ini.

9. ‘Napas masuk, aku menyadari pikiranku. Napas keluar, aku menyadari pikiranku.’ Ia berlatih seperti ini.

10. ‘Napas masuk, aku membuat pikiranku bahagia. Napas keluar, aku membuat pikiranku bahagia.’ Ia berlatih seperti ini.

11. ‘Napas masuk, aku memusatkan pikiranku. Napas keluar, aku memusatkan pikiranku.’ Ia berlatih seperti ini.

12. ‘Napas masuk, aku membebaskan pikiranku. Napas keluar, aku membebaskan pikiranku.’ Ia berlatih seperti ini.

13. ‘Napas masuk, aku mengamati sifat ketidakkekalan dari semua dharma (fenomena). Napas keluar, aku mengamati sifat ketidakkekalan dari semua dharma.’ Ia berlatih seperti ini.

14. ‘Napas masuk, aku mengamati lenyapnya keinginan. Napas keluar, aku mengamati lenyapnya keinginan.’ Ia berlatih seperti ini.

15. ‘Napas masuk, aku mengamati hakikat tiada-kelahiran tiada-kematian dari semua fenomena. Napas keluar, aku mengamati hakikat tiada-kelahiran tiada-kematian dari semua fenomena.’ Ia berlatih seperti ini.

16. ‘Napas masuk, aku mengamati melepaskan. Napas keluar, aku mengamati melepaskan.’ Ia berlatih seperti ini.

“Napas Berkesadaran Penuh, jika dikembangkan dan dipraktikkan terus menerus sesuai dengan petunjuk ini, akan bermanfaat dan membawa keuntungan besar.”

III

“Dengan cara apa seseorang mengembangkan dan terus menerus mempraktikkan Napas Berkesadaran Penuh, agar berhasil dalam latihan Empat Landasan Kesadaran Penuh?

“Ketika praktisi menarik atau mengembuskan napas panjang atau pendek, menyadari napasnya atau seluruh tubuhnya, atau menyadari bahwa ia sedang membuat seluruh tubuhnya tenang dan damai, ia berdiam dengan damai mengamati tubuh di dalam tubuh, tekun, terjaga sepenuhnya, dengan jernih memahami keadaannya, melampaui semua kemelekatan dan penolakan terhadap kehidupan ini. Latihan bernapas dengan Kesadaran Penuh ini termasuk dalam Landasan Kesadaran Penuh Pertama, yaitu tubuh.

“Ketika praktisi menarik napas masuk atau keluar, menyadari sukacita atau kebahagiaan dari bentukan mental, atau untuk mengkondisikan bentukan mental menjadi damai, ia bersemayam dengan damai dalam mengamati perasaan di dalam perasaan, tekun, terjaga sepenuhnya, dengan jernih memahami keadaannya, melampaui semua kemelekatan dan penolakan terhadap kehidupan ini. Latihan bernapas dengan Kesadaran Penuh ini termasuk dalam Landasan Kesadaran Penuh Kedua, yaitu perasaan.

“Ketika praktisi menarik napas masuk atau keluar dengan kesadaran pikiran, atau untuk membuat pikiran menjadi bahagia, untuk mengumpulkan pikiran dalam konsentrasi, atau untuk melepaskan dan membebaskan pikiran, ia bersemayam dengan damai dalam pengamatan pikiran di dalam pikiran, tekun, terjaga sepenuhnya, dengan jernih memahami keadaannya, melampaui semua kemelekatan dan penolakan terhadap kehidupan ini. Latihan bernapas dengan Kesadaran Penuh ini termasuk dalam Landasan Kesadaran Penuh Ketiga, yaitu pikiran (batin). Tanpa Napas Berkesadaran Penuh, tidak akan ada perkembangan stabilitas dan pemahaman meditasi.

“Ketika praktisi bernapas masuk atau bernapas keluar dan merenungkan inti dari ketidakkekalan atau inti dari lenyapnya keinginan atau sifat tiada-kelahiran tiada-kematian dari semua fenomena atau melepaskan, ia bersemayam dengan damai dalam pengamatan objek pikiran dalam objek pikiran, tekun, terjaga sepenuhnya, dengan jernih memahami keadaannya, melampaui semua kemelekatan dan penolakan terhadap kehidupan ini. Latihan bernapas Kesadaran Penuh ini termasuk dalam Landasan Kesadaran Penuh Keempat, yaitu objek pikiran (objek batin, dharma).

“Praktik Napas Berkesadaran Penuh, jika dikembangkan dan dipraktikkan secara terus menerus, akan menuntun pada pencapaian sempurna dari Empat Landasan Kesadaran Penuh.”

IV

Lebih dari itu, jika mereka dikembangkan dan terus menerus dipraktikkan, Empat Landasan Perhatian Penuh akan menuntun pada Tujuh Faktor Pencerahan yang sempurna. Bagaimana bisa?

“Ketika praktisi dapat mempertahankan, tanpa gangguan, berlatih mengamati tubuh di dalam tubuh, perasaan di dalam perasaan, pikiran di dalam pikiran, dan objek pikiran di dalam objek pikiran, dengan tekun, terjaga sepenuhnya, dengan jernih memahami keadaannya, melampaui semua kemelekatan dan penolakan terhadap kehidupan ini, dengan stabilitas meditasi yang teguh, kukuh dan tak tergoyahkan, ia akan mencapai Faktor Pencerahan Pertama, yaitu kesadaran penuh (mindfulness). Ketika faktor ini dikembangkan, itu akan menjadi sempurna.

“Ketika praktisi dapat bersemayam dalam kestabilan meditasi tanpa terganggu dan dapat menyelidiki setiap dharma (fenomena, objek pikiran), setiap objek pikiran yang muncul, maka Faktor Pencerahan Kedua akan lahir dan berkembang dalam dirinya, yaitu faktor menyelidiki dharma (factor of investigating dharmas, dhamma vicaya). Ketika faktor ini dikembangkan, itu akan menjadi sempurna.

“Ketika praktisi dapat mengamati dan menyelidiki setiap dharma dengan cara berkelanjutan, tekun, dan teguh, tanpa terganggu, Faktor Pencerahan Ketiga akan lahir dan berkembang dalam dirinya, yaitu faktor energi (factor of energy, viriya). Ketika faktor ini dikembangkan, itu akan menjadi sempurna.

“Ketika praktisi telah mencapai kestabilan, diam tak tergoyahkan dalam arus latihan, Faktor Pencerahan Keempat akan lahir dan dikembangkan dalam dirinya, yaitu faktor sukacita (factor of joy, pīti). Ketika faktor ini dikembangkan, itu akan menjadi sempurna.

“Ketika praktisi dapat berdiam tanpa gangguan dalam keadaan sukacita, ia akan merasakan tubuh dan pikirannya menjadi ringan dan damai. Pada titik ini, Faktor Pencerahan Kelima akan lahir dan dikembangkan, yaitu faktor kelegaan (factor of ease, passaddhi). Ketika faktor ini dikembangkan, itu akan menjadi sempurna.

“Ketika tubuh dan pikiran tenang, praktisi dapat dengan mudah masuk ke dalam konsentrasi. Pada titik ini, Faktor Pencerahan Keenam akan lahir dan dikembangkan di dalam dirinya, yaitu faktor konsentrasi (factor of concentration, samādhi). Ketika faktor ini dikembangkan, itu akan menjadi sempurna.

“Ketika praktisi berdiam dalam konsentrasi dengan ketenangan yang dalam, ia akan berhenti membeda-bedakan dan membandingkan. Pada titik ini, Faktor Pencerahan Ketujuh muncul, lahir, dan dikembangkan dalam dirinya, yaitu faktor pelepasan (factor of letting go, upekkha). Ketika faktor ini dikembangkan, itu akan menjadi sempurna.

Ini adalah bagaimana Empat Landasan Kesadaran Penuh, jika dikembangkan dan dipraktikkan secara terus menerus, akan menuntun pada pencapaian sempurna dalam Tujuh Faktor Pencerahan. ”

V.

“Bagaimana Tujuh Faktor Pencerahan, jika dikembangkan dan dipraktikkan terus menerus, menuntun pada pencapaian sempurna dari pemahaman sejati dan pembebasan penuh?

“Jika praktisi mengikuti jalan Tujuh Faktor Pencerahan, hidup di tempat terpencil yang tenang, mengamati dan merenungkan lenyapnya nafus keinginan, ia akan mengembangkan kemampuan untuk melepaskan. Ini akan menjadi hasil dari mengikuti jalan Tujuh Faktor Pencerahan dan akan menuntun pada pencapaian sempurna dari pemahaman sejati dan pembebasan sepenuhnya.”

VI

Inilah yang disabdakan oleh Begawan, Yang Tercerahkan; dan setiap orang di dalam pesamuhan tersebut merasa bersyukur dan gembira telah mendengar ajaran-Nya.

Anapanasati Sutta, Majjhima Nikaya 118

 

Sutra Untaian Bunga: Sepuluh Maha Aspirasi Bodhisattwa Samantabhadra

Sutra Untaian Bunga: Sepuluh Maha Aspirasi Bodhisattwa Samantabhadra

Badan, ucapan, batin, jernih dalam kesatupaduan,
Aku bersujud sepenuh hati kepada semua Buddha tak terhitung
Dari masa lalu, masa sekarang, dan masa akan datang
melalui seluruh alam semesta di sepuluh penjuru

Kekuatan dari aspirasi Samantabhadra
memungkinkan aku hadir di setiap sudut.
Di situ hadir Buddha, aku juga hadir.
Jumlah Buddha tak terhitung, aku juga demikian.

Dalam setiap partikel debu terdapat Buddha,
Semuanya hadir bersama rombongan pesamuhannya.
Kekuatan dari keyakinanku menembus ke dalam
setiap atom dari semua Dharmadhatu.

Aku bertekad untuk menggunakan maha suara samudera,
mengumandangkan suara gema luar biasa
memuja para Buddha bagaikan lautan kebajikan,
Dari masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.

Aku membawakan persembahan indah ini:
Untaian dari bunga yang sangat ingah,
dupa, musik, parfum, dan panji-panji,
Semua ini untuk menghiasi Tathagata dan tanah suci.

Membawakan makanan, jubah, bunga harum,
pelita, cendana, alas untuk duduk,
perhiasan terbaik semuanya tersedia di sini–
semua ini merupakan persembahan kepada Tathagata.

Terinpirasi oleh aspirasi Samantabhadra,
Dengan sepenuh hati, menyertakan pemahaman terdalam,
Dengan kasih sayang penuh keyakinan kepada Buddha tiga masa,
memberikan persembahan kepada Tathagata di setiap sudut.

Dari waktu yang tiada awal saya telah berbuat tidak terampil
karena kemelekatan, kebencian, dan ketidaktahuan
Melalui berbagai aksi badan jasmani, ucapan, dan pikiran.
Saat ini aku bertekad untuk memulai lembaran baru, aku bertobat.

Aku bermuditacita atas semua aksi kebajikan
yang dilakukan oleh siapa pun di segala penjuru,
Oleh siswa dan mereka yang tidak perlu belajar lagi,
Para Buddha dan para Bodhisattwa.

Semua makhluk merupakan pelita bagi dunia ini
dan juga mereka yang baru saja mencapai pencerahan,
Aku memohon engkau menatap kami dengan penuh kasih,
mohon putarkanlah Roda Dharma untuk kami semua.

Dengan sepenuh hati, segala kerendahan aku memohon
kepada semua Buddha dan mereka yang hampir memasuki nirwana:
Mohon tetap bersama kami, sepanjang tiga masa,
demi memberikan manfaat dan kebaikan untuk semua.

Dengan rendah hati persembahan ini untuk mengundang Buddha
mohon tinggal bersama kami dan bimbinglah kami ke pantai seberang.
Semua kebajikan dari puji-pujian beserta pertobatan tulus ini
Aku persembahkan untuk pencapaian pencerahan sempurna.

Kebajikan ini dilimpahkan kepada Tiga Permata,
kepada hakikat dan bentuk Dharmadhatu.
Dua kebenaran saling bersinggungan dengan sempurna
ke dalam segel Samadhi.

Samudera kebajikan sungguh tak terukur.
Aku bertekad untuk melimpahkannya dan tidak untuk diri sendiri.
Jika ada manusia, dengan tidak sengaja mendiskriminasi dan menuduh,
mencoba untuk melakukan suatu yang tidak baik pada ajaran ini
dengan menguncarkan kata-kata dan aksi-aksi yang tidak baik,
semoga halangan mereka bisa sepenuhnya tersingkirkan.

Dalam setiap momen, kearifan telah meliputi Dharmadhatu,
menyambut semua makhluk tiba pada kondisi tidak-mundur-lagi.
Ruang dan semua makhluk sungguh tak terhitung jumlahnya,
demikian juga gangguan batin dan akibat dari aksi sebelumnya.
Keempat hal ini sungguh banyak dan sungguh tak terukur.
Demikian juga persembahan kebajikan ini.

Diterjemahkan oleh Thich Nhat Hanh dari
Avatamsaka Sutra 36
Taisho Revised Tripitaka 279

Sutra tentang Delapan Realisasi Para Makhluk Agung

Sutra tentang Delapan Realisasi Para Makhluk Agung

Dengan sepenuh hati, siang dan malam, para siswa-siswi Buddha seharusnya melafalkan dan memeditasikan delapan realisasi yang telah ditemukan oleh para makhluk agung.

Realisasi pertama adalah menyadari sepenuhnya bahwa dunia itu tidak kekal. Semua rezim politik suatu hari nanti akan jatuh jua; segala sesuatu yang terbentuk dari empat elemen (padat, cair, gas, dan panas) adalah ‘kosong’ dan mengandung benih-benih penderitaan.  Manusia terbentuk dari lima agregat (skandha) dan tanpa diri tunggal yang terpisah.  Semua itu selalu dalam proses berubah—secara terus menerus lahir dan mati. Semua itu kosong akan diri tunggal sejati, tidak bisa eksis secara mandiri. Batin adalah sumber dari semua kebingungan, dan badan jasmani merupakan hutan belantara dari semua tindakan tidak murni. Apabila kita memeditasikan fakta-fakta ini, kita bisa secara pelan-pelan terlepas dari samsara, lingkaran kelahiran dan kematian.

Realisasi kedua adalah menyadari sepenuhnya bahwa makin banyak nafsu keinginan mendatangkan makin banyak penderitaan. Semua kesukaran di dalam kehidupan sehari-hari muncul dari keserakahan dan nafsu keinginan. Mereka yang memiliki sedikit keinginan dan sedikit ambisi bisa relaks, badan jasmani dan batin mereka terbebas dari jebakan duniawi.

Realisasi ketiga adalah menyadari sepenuhnya bahwa batin manusia selalu mencari sesuatu untuk dimiliki dan tidak pernah merasa puas. Ini menyebabkan makin banyak tindakan-tindakan tidak murni. Akan tetapi, para bodhisatwa selalu mengingat akan prinsip memiliki sedikit keinginan . Mereka melakoni kehidupan sederhana dengan damai untuk berlatih dalam sang Jalan, dan menjadikan realisasi atas pemahaman sempurna sebagai satu-satunya karir mereka.

Realisasi keempat adalah menyadari sepenuhnya akan dampak kemalasan yang bisa menjadi rintangan latihan (kenikmatan sensual, kemelekatan, kemalasan, kecemasan, dan keragu-raguan). Berdasarkan alasan inilah, kita harus berlatih dengan rajin untuk mengurangi faktor-faktor mental tidak sehat yang melilit kita, dan menaklukkan keempat jenis Mara, guna membebaskan diri kita dari penjara kelima agregat (skandha) dan ketiga alam .

Realisasi kelima adalah menyadari sepenuhnya bahwa ketidaktahuan adalah penyebab dari lingkaran kelahiran dan kematian yang tiada akhir. Oleh karena itu, para bodhisatwa selalu ingat untuk mendengar dan belajar guna mengembangkan pemahaman dan upaya mahir. Ini memungkinkan mereka untuk mendidik para makhluk hidup dan membawa mereka ke alam yang penuh sukacita.

Realisasi keenam adalah menyadari sepenuhnya bahwa kemiskinan menciptakan kebencian dan kemurkaan, menciptakan siklus keji atas pikiran dan aktivitas negatif. Ketika mempraktikkan kedermawanan, para bodhisatwa menganggap semua orang setara, apakah itu teman maupun musuh. Mereka tidak mengutuk kesalahan masa lalu siapapun, demikian juga tidak membenci mereka yang sekarang sedang melakukan kejahatan.

Realisasi ketujuh adalah menyadari sepenuhnya bahwa kelima jenis nafsu (harta kekayaan, kecantikan, ambisi, makanan enak, dan tidur) menjerumuskan kita ke dalam kesulitan. Walaupun kita hidup di dunia ini, kita mencoba untuk tidak terjebak dalam hal-hal keduniawian. Seorang biksu, contohnya, hanya memiliki tiga set jubah dan satu mangkuk. Dia hidup sederhana guna mempraktikkan sang Jalan. Sila membebaskan dia dari kemelekatan terhadap hal-hal duniawi, dan dia memperlakukan semua orang dengan welas asih dan tanpa diskriminasi.

Realisasi kedelapan adalah menyadari sepenuhnya bahwa api kelahiran dan kematian sedang membara, menyebabkan penderitaan tiada akhir di mana-mana. Hendaknya kita membangkitkan ikrar mulia untuk membantu semua makhluk, memikul beban mereka, dan membimbing semua makhluk merealisasi kebahagiaan tertinggi.

Kedelapan realisasi ini adalah penemuan para makhluk agung, para Buddha dan bodhisatwa, dengan semangat tiada Lelah mereka telah mempraktikkan jalan welas kasih dan pemahaman. Mereka telah mengarungi perahu Dharmakaya  ke pantai nirwana, namun demikian mereka kembali lagi ke dunia ini, setelah melepaskan kelima nafsu itu, dengan pikiran dan hati tertuju pada jalan agung, mendandalkan kedelapan realisasi ini untuk menolong semua makhluk mengenali penderitaan di dalam dunia  ini.

Apabila para siswa-siswi Buddha mendaraskan kedelapan realisasi ini dan memeditasikannya, mereka akan mengakhiri kesalahpahaman dan kesulitan-kesulitan yang tak terhitung dan merealisasi pencerahan, meninggalkan dunia kelahiran dan kematian, berdiam dalam kedamaian sejati.


Sumber: Taisho Revised Tripitaka, No. 779


Diterjemahkan oleh Thích Nhất Hạnh dari bahasa Mandarin ke bahasa Inggris, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Chân Pháp Tử.

14 Syair untuk Meditasi oleh Thich Nhat Hanh

14 Syair untuk Meditasi oleh Thich Nhat Hanh

Thich Nhat Hanh
Buku Pendarasan Plum Village

1

Bagai sepasang sayap burung,
praktik berhenti (śamatha)
dan menatap mendalam (vipaśyanā)
saling menopang
Satu kesatuan berdampingan

2

Śamatha adalah praktik berhenti,
agar saya bisa mengenali dan menyentuh,
menutrisi dan menyembuhkan,
menenangkan dan melahirkan konsentrasi

3

Vipaśyanā adalah menatap mendalam
tentang sifat sejati dari pancaskandha
agar saya dapat menumbuhkan pengertian
dan mentransformasikan penderitaan

4

Napas dan langkah saya memungkinkan
saya membangkitkan energi kewawasan
sehingga saya bisa menyadari dan menyentuh
keajaiban kehidupan di dalam dan di sekeliling

5

Menenangkan tubuh dan pikiran
menerima nutrisi dan penyembuhan
melindungi ke-enam indra
saya tetap terkonsentrasikan

6

Menatap mendalam ke dalam inti realitas
untuk melihat sifat sejati berbagai fenomena
mempraktikkan vipaśyanā membuat saya bisa
melepaskan segala dambaan, nafsu, dan ketakutan

7

Berada dalam momen kini dengan damai
mentransformasikan energi kebiasaan
menumbuhkan energi pengertian membebaskan
saya dari kegelapan batin dan kepedihan

8

Ketidakekalan dan ‘tiada aku’ sesungguhnya satu
Tiada aku menyatu dengan saling ketergantungan
menyatu dengan kekosongan, menyatu dengan sebutan konvensional
menyatu dengan jalan tengah, menyatu dengan interbeing

9

Kekosongan, tiada label, dan tiada tujuan
membebaskan saya dari penderitaan
agar dalam latihan keseharian
Saya tidak terjebak dalam intelektual belaka

10

Nirwana adalah non pencapaian
Pencerahan seketika atau bertahap tiada bedanya
Realisasi sejati adalah hidup dengan bebas
saat ini pada momen ini

11

Sutra-sutra intisari, seperti
wejangan tentang Pernapasan Berkewawasan
dan Empat Landasan Kewawasan
menunjukkan kepada saya jalan mentransformasi
tubuh dan pikiran, langkah demi langkah

12

Sutra-sutra dan ajaran-ajaran Mahayana
membuka banyak gerbang lebar dan segar
memungkinkan saya memasuki kedalaman arus
meditasi yang mengalir dari sumber asal ajaran Buddha

13

Tidak mendiskriminasi
semua latihan yang diajarkan oleh
Tathagata dan guru-guru leluhur
Empat Kebenaran Mulia terjalin dengan sempurna
Mesti menjadi dasar dari transmisi autentik

14

Didukung oleh Tubuh Sanggha
Latihan saya mengalir lebih mudah
memungkinkan saya untuk menyadari dengan cepat
tekad terbesar saya untuk mencintai dan memahami semua mahkluk

Alih Bahasa: Endah & Finny Owen

The Insight That Brings Us To The Other Shore Mp3

The Insight That Brings Us To The Other Shore Mp3

Recorded by ex-Plum Village Brother Michael. This is Thich Nhat Hanh’s revised Heart Sutra, which he completed just before becoming ill in September 2014. The Music is composed by Br. Phap Linh, an English monk based at Plum Village. Thich Nhat Hanh approved the music before suffering a stroke in November 2014, from which he is still recovering.

Unduh Mp3 silakan klik The Insight That Brings Us To The Other Shore.Mp3

Avalokiteshvara
while practicing deeply with
the Insight that Brings Us to the Other Shore,
suddenly discovered that
all of the five Skandhas are equally empty,
and with this realisation
he overcame all Ill-being.

“Listen Sariputra,
this Body itself is Emptiness
and Emptiness itself is this Body.
This Body is not other than Emptiness
and Emptiness is not other than this Body.
The same is true of Feelings,
Perceptions, Mental Formations,
and Consciousness.

“Listen Sariputra,
all phenomena bear the mark of Emptiness;
their true nature is the nature of
no Birth no Death,
no Being no Non-being,
no Defilement no Purity,
no Increasing no Decreasing.

“That is why in Emptiness,
Body, Feelings, Perceptions,
Mental Formations and Consciousness
are not separate self entities.

The Eighteen Realms of Phenomena
which are the six Sense Organs,
the six Sense Objects,
and the six Consciousnesses
are also not separate self entities.

The Twelve Links of Interdependent Arising
and their Extinction
are also not separate self entities.
Ill-being, the Causes of Ill-being,
the End of Ill-being, the Path,
insight and attainment,
are also not separate self entities.

Whoever can see this
no longer needs anything to attain.

Bodhisattvas who practice
the Insight that Brings Us to the Other Shore
see no more obstacles in their mind,
and because there
are no more obstacles in their mind,
they can overcome all fear,
destroy all wrong perceptions
and realize Perfect Nirvana.

“All Buddhas in the past, present and future
by practicing
the Insight that Brings Us to the Other Shore
are all capable of attaining
Authentic and Perfect Enlightenment.

“Therefore Sariputra,
it should be known that
the Insight that Brings Us to the Other Shore
is a Great Mantra,
the most illuminating mantra,
the highest mantra,
a mantra beyond compare,
the True Wisdom that has the power
to put an end to all kinds of suffering.
Therefore let us proclaim
a mantra to praise
the Insight that Brings Us to the Other Shore.

Gate, Gate, Paragate, Parasamgate, Bodhi Svaha!
Gate, Gate, Paragate, Parasamgate, Bodhi Svaha!
Gate, Gate, Paragate, Parasamgate, Bodhi Svaha!”

Memperbarui Sutra Hati

Memperbarui Sutra Hati

Pada Tanggal 11 September 2014, Bhante Thich Nhat Hnah telah menyelesaikan penerjemahan ulang satu dari Sutra sangat penting dalam Mahayana yakni Sutra Hati ke dalam Bahasa Inggris.

Sutra Hati vesi Inggris ini diterjemahkan dari Bahasa Vietnam yang mana versi Vietnman ini juga hasil penerjemahan baru oleh Bhante setelah sekitar 3 minggu di European Institute of Applied Buddhism di Jerman.

Hasil penerjemahan versi Inggris yang baru ini akan dimasukkan dalam buku Pendarasan Plum Village, dan tentu saja akan dimasukkan dalam buku pendarasan versi baru nanti. Sutra Hati versi baru ini sedang dalam proses penataan irama dan lagu oleh monastik di Plum Village, semoga bisa segera dipublikasikan nanti.

Sutra Hati:
Prajna Paramita

Avalokiteshvara
merenungkan mendalam
wawasan pembawa ke pantai seberang
seketika sadar bahwa
semua pancaskanda adalah sunyata adanya
merealisasikan ini
teratasi semua duka (G)

Wahai Sariputra,
tubuh ini adalah sunyata
dan sunyata adalah tubuh ini
tubuh ini tiada beda dengan sunyata
dan sunyata tiada beda dengan tubuh ini
begitu juga dengan perasaan,
persepsi, formasi mental,
dan kesadaran. (G)

Wahai Sariputra,
semua fenomena bercirikan sunyata;
sifat dasarnya adalah
tiada lahir tiada mati,
tiada eksis, tiada non eksis,
tiada noda, tiada suci
tiada bertambah tiada berkurang.
Maka itu sunyata,
tubuh, perasaan, persepsi,
formasi mental, dan kesadaran
bukanlah entitas tunggal terpisah. (G)

Delapan belas ranah fenomena
yaitu enam organ indra,
enam objek indra,
dan enam kesadaran
juga bukanlah entitas tunggal terpisah.
Dua belas rantai interdependen kemunculan
dan kemusnahannya
juga bukanlah entitas tunggal terpisah.
Duka, duka samudaya,
duka nirodha, marga
wawasan dan pencapaian,
juga bukanlah entitas tunggal terpisah.
Mereka yang melihat semua ini
tak perlu mencapai apa pun lagi. (G)

Bodhisattwa mempraktikkan
wawasan pembawa ke pantai seberang
tidak melihat adanya penghalang pikiran,
dan karena
tiada lagi penghalang pikiran, semua ketakutan teratasi,
musnahlah semua persepsi keliru
dan merealisasikan nirwana sempurna. (G)

Semua Buddha pada tiga masa
mempraktikkan wawasan pembawa ke pantai seberang
semua mampu mencapai
pencerahan autentik sempurna. (G)

Maka itu Sariputra,
ketahuilah bahwa
wawasan pembawa ke pantai seberang
adalah maha mantra,
maha vidya mantra,
anuttara mantra,
samasama mantra,
kearifan sejati berkekuatan
mengakhiri semua jenis duka. (G)

Maka itu marilah mendaraskan
mantra untuk memuja
wawasan pembawa ke pantai seberang

Gate gate paragate paramsagate bodhi swaha (3x)

Alasan Thich Nhat Hanh menerjemahkan ulang Sutra Hati

Keluarga terkasih,

Alasan Thay (Bhante Thich Nhat Hanh akrab disapa Thay, Bahasa Vietnam yang berarti Bhante) menerjemahkan ulang Sutra Hati adalah karena para sesepuh belum memaksimalkan penggunaan bahasa secara utuh dalam menuliskannya. Oleh karena itu hampir 2000 tahun banyak terjadi pemahaman keliru.

Thay ingin menceritakan ulang dua buah kisah: yang pertama adalah kisah seorang samanera yang pergi bertemu dengan guru zen, dan kisah kedua berkaitan dengan seorang biksu yang datang untuk bertanya kepada Master Tue Trung.

Kisah Samanera Kecil
Dalam kisah pertama, seorang guru zen bertanya kepada samanera: “Apa yang engkau pahami tentang Sutra Hati?”

Samanera itu beranjali dan membalas:
“Saya telah mengerti bahwa pancaskandha itu kosong. Tidak ada mata, tidak ada telinga, tidak ada hidung, tidak ada lidah, tidak ada badan jasmani juga pikiran; tiada bentuk, tiada suara, tiada bau, tiada rasa, tiada perasaan, tiada objek pikiran; enam kesadaran indra juga tidak eksis, enam belas fenomena juga tidak eksis, dua belas rantai saling memunculkan juga tidak eksis, bahkan kearifan dan pencapaian juga tidak eksis.”

Guru bertanya, “Apakah Anda percaya apa yang tertera dalam Sutra Hati?”
Samanera menjawab, “Ya, saya percaya sepenuhnya.”

“Coba kamu ke sini,” ucap Guru seraya memanggil samanera tersebut. Ketika samanera mendekat, Ia menggunakan jempol dan jari telunjuknya untuk mencubit hidung samanera itu.
Samanera kontan meronta kesakitan, “Guru! Mengapa engkau mencubit hidungku?!” Guru menatap samanera itu dan berkata “Barusan kamu bilang hidung itu tidak eksis, kalau memang benar hidung itu tidak eksis lalu apa yang sakit?”

Kisah Master Tue Trung
Master Tue Trung merupakan seorang guru zen perumah tangga, beliau pernah menjadi mentor bagi raja muda Tran Nhan Tong pada abad ke-13 di Vietnam. Suatu hari, seorang biksu datang berkunjung untuk bertanya tentang Sutra Hati.

“Yang mulia, Apa arti dari kalimat ‘badan jasmani adalah sunyata, sunyata adalah badan jasmani’? Apa makna sesungguhnya?”
Pada awalnya Master Tue Trung hanya terdiam saja, dan kemudian dia bertanya kepada biksu itu, “Apakah Anda punya badan jasmani?”
“Iya, punya.”
“Lantas, mengapa engkau bilang tidak punya badan jasmani?”

Master Tue Trung melanjutkan, “Coba bayangkan angkasa, apakah angkasa juga berwujud?”
“Tidak, angkasa tidak berwujud.”
“Lantas mengapa engkau bilang kekosongan adalah wujud?”

Biksu itu berdiri, membungkuk hormat, dan pergi. Tapi Master Tue Trung segera memanggil dia kembali dan melantunkan gatha berikut ini:

Wujud adalah kekosongan, kekosongan adalah wujud,
Merupakan suatu cara upaya kausalya sementara yang digunakan oleh para Buddha tiga masa
Kekosongan bukanlah wujud, dan wujud bukanlah kekosongan
Hakikat kekosongan dan wujud selalu jernih dan terang, tidak terjebak pada ada maupun tiada

Kisah Master Tue Trung tampaknya memunculkan kontradiksi Sutra Hati dan menantang konsep “Wujud adalah kekosongan dan kekosongan adalah wujud”, konsep yang dianggap pakem dalam literatur Prajñāpāramitā.

Thay merasa bahwa Master Tue Trung terlalu berlebihan dalam kisah itu. Master Tue Trung tidak mampu melihat bahwa kesalahan bukan terletak pada konsep ‘wujud adalah kekosongan’, justru kesalahannya terletak pada struktur kalimatnya, ‘Oleh karena itu dalam kekosongan tiada wujud’. Menurut Thay, struktur syair dalam Sutra Hati dari awal hingga baris yang berbunyi ‘tiada kelahiran, tiada kematian, tiada noda, tiada murni, tiada penambahan, tiada pengurangan’ sudah bagus adanya. Thay menyayangkan bahwa para sesepuh yang menyalin Sutra Hati tidak mengikutsertakan istilah ‘tiada ada dan tiada tak ada’ yang seharusnya diletakkan sebelum ‘tiada kelahiran, tiada kematian’, karena dua istilah itu bisa membantu kita melampaui gagasan ada dan tiada, dan kita tidak lagi terjebak pada ide seperti ‘tiada mata, tiada telinga, tiada hidung, tiada lidah, dan seterusnya’. Hidung samanera itu masih sakit hingga hari ini, pahamkah Anda?

Perkaranya mulai dari kalimat: “Dengarlah Shariputra, karena dalam kekosongan, tiada wujud, tiada perasaan, tiada persepsi, tiada bentuk-bentuk mental, dan tiada kesadaran indra (sanskerta: TasmācŚāriputraśūnyatayāmnarūpamnavedanānasamjñānasamskārānavijñānam). Sungguh aneh! Sebelumnya dinyatakan bahwa kekosongan adalah wujud, dan wujud adalah kekosongan, tapi sekarang malahan pernyataan berlawanan: Tiada kekosongan, tiada badan jasmani. Bagian dalam Sutra Hati ini bisa membawa mudarat kekeliruan pemahaman. Bagian ini menyatakan bahwa semua fenomena itu bukan bagian dari kategori ‘ada’, dan dengan demikian menyatakan bahwa semua fenomena termasuk bagian dari ‘tiada’ (tiada wujud, tiada perasaan, tiada persepsi, tiada bentuk-bentuk mental, tiada kesadaran indra). Sementara hakikat dari semua fenomena merupakan tiada juga tiada tak ada, tiada lahir dan tiada mati. Pandangan ‘ada’ merupakan pandangan ekstrem dan pandangan ‘tiada’ juga merupakan pandangan ekstrem. Hanya karena kalimat yang tidak tepat inilah hidung samanera itu masih sakit hingga kini.

Gatha tersohor yang ditulis oleh Patriak ke-6 Hui Neng, yang beliau sampaikan kepada Patriak ke-5 Hung Ren, juga menyatakan demikian dan Hui Neng juga terjebak pada pandangan keliru:

Sesungguhnya, tiada pohon bodhi
Cermin jernih juga tidak pernah eksis
Tiada sesuatu yang pernah eksis dari waktu tanpa awal
Lantas bagaimana mungkin ada debu bisa menempel padanya?

Iringan awan bergerak menutupi lubang gua
Menyebabkan banyak burung tidak bisa pulang ke rumah

Pengertian mendalam dari prajñāpāramitā merupakan pengertian yang sangat ampuh, membantu kita mengatasi dua sisi yang saling bertolak belakang seperti: lahir dan mati, ada dan tiada, noda dan suci, bertambah dan berkurang, subjek dan objek, dan sebagainya,. Pengertian itu juga membantu kita bersentuhan dengan hakikat sejatinya tiada lahir atau tiada mati, tiada ada dan tiada tak ada, dan sebagainya, yang merupakan hakikat sejati dari semua fenomena. Keadaan bebas ini disebut keadaan dingin, damai, tiada ketakutan; yang bisa kita alami dalam kehidupan ini juga, di dalam badan jasmanimu, dan juga dalam pancaskandhamu, yakni Nirwana. Sebagaimana burung terbang ke angkasa, para rusa berlari bebas di hutan, demikian pula para bijaksana bersemayam dalam keadaan Nirwana. Kalimat ini sungguh indah, bisa ditemukan dalam bab Nirwana dalam Dharmapada versi mandarin.

Pengertian mendalam dari prajñāpāramitā merupakan kebenaran tertinggi, menembus batas semua kebenaran konvensional. Pengertian ini merupakan visi tertinggi dari Buddha. Apa pun yang tercantum dalam Tripitaka, bahkan koleksi prajñāpāramitā yang sangat menakjubkan sekalipun, apabila isinya bertolak belakang dengan konsep itu, maka itu sama saja masih terjebak dalam kebenaran konvensional. Sungguh malangnya, ternyata ada paragraf cukup panjang dalam Sutra Hati saat ini yang juga mengandung kontradiksi tersebut.

Oleh karena alasan inilah Thay telah mengubah penggunaan istilah dalam versi terjemahan baru Sutra Hati (sebelumnya berbahasa Sanskerta maupun Mandarin) yang diterjemahkan oleh Xuan Zang. Thay menerjemahkannya sebagai berikut: ‘Oleh karena itu dalam kekosongan, badan jasmani, perasaan, persepsi, dan bentuk-bentuk mental, dan kesadaran indra tidak bisa berdiri sendirian.’ Semua fenomena merupakan produk dari saling ketergantungan: Inilah poin utama dari ajaran prajñāpāramitā. ‘Bahkan pengertian mendalam dan pencapaian juga tidak bisa terwujud sendirian.’ Thay juga menambahkan istilah ‘tiada ada (kurang ‘ada’ ya?) dan tiada tak ada’ dalam teks terjemahan baru. Tiada & tiada tak ada merupakan visi mendalam Buddha yang dinyatakan dalam Sutra Kātyāyana ketika Buddha menjelaskan tentang pandangan tepat. Istilah tiada dan tiada tak ada akan membantu generasi mendatang agar tidak menderita lagi akibat cubitan di hidung.

Sutra Hati ditujukan untuk membantu para Sarvāstivādin melepaskan pandangan tiada aku dan tiada dharma. Esensi paling dalam dari Prājñāpāramitā adalah kekosongan ‘aku’ (ātmaśūnyatā) dan kekosongan dharma (dharmanairātmya) dan bukan tiada dari aku dan dharma. Dalam Sutra Kātyāyana Buddha bersabda bahwa banyak di antara manusia terjebak dalam pandangan ada dan tiada. Oleh karena itulah kalimat ‘dalam kekosongan tiada wujud, perasaan…’ sudah jelas sekali masih terjebak dalam konsep ‘tiada’ dan tidak sesuai dengan kebenaran tertinggi. Kekosongan aku hanya berarti aku yang tidak bisa berdiri sendiri, bukan aku yang tidak eksis; sebagaimana balon yang bagian tengahnya kosong bukan berarti balon tidak eksis. Demikian juga kekosongan dharma: berarti bahwa fenomena tidak bisa berdiri sendiri dan bukan semua dharma tidak eksis. Contohnya bunga yang terbuat dari elemen non bunga. Bunga itu tidak bisa terwujud tanpa elemen lain, tapi itu bukan berarti bunga itu tidak ada.

Sutra Hati sedikit terlambat muncul yang mana pada saat itu ajaran Tantra telah menyebar. Sesepuh Buddhis mengompilasi Sutra Hati agar para penganut ajaran Tantra juga berlatih dan melafalkan Sutra Hati, oleh karena itulah Sutra Hati dibuat dalam bentuk Mantra. Ini juga termasuk upaya mahir. Thay menggunakan kalimat, ‘Kearifan yang menyeberangkan kita ke pantai seberang’, karena dalam mantra itu ada istilah pāragate yang berarti ‘pergi menuju pantai seberang, pantai kearifan.’

Pārāyana dan pāramitā sama-sama diterjemahkan menjadi ‘menyeberang ke pantai sana’. Dalam Sutta Nipāta ada bab yang berjudul Pārāyana yang juga diterjemahkan sebagai ‘menyeberang ke pantai sana’.

Para sahabat, saya harap Anda bisa menikmati berlatih Sutra Hati baru versi Inggris. Brother Phap Linh sedang menciptakan irama pendarasan yang baru. Sutra Hati versi baru ini akan diikutsertakan dalam Edisi baru Buku Pendarasan Plum Village. Kemarin, tanggal 21 Agustus, setelah selesai menerjemahkan Sutra Hati sekitar pukul 3 subuh, seberkas cahaya bulan menyinari kamar Thay.

Dengan kasih sayang dan kepercayaan,
Gurumu,

Insitut Ashoka, EIAB Waldbröl – Jerman

Sutra Cinta Kasih

Sutra Cinta Kasih

Ini yang harus dikerjakan oleh dia yang terampil
dalam kebaikan untuk mencapai ketenangan
harus mampu, jujur, sungguh jujur ikhlas,
lemah lembut, tiada sombong

Merasa puas dan mudah dilayani
tidak sibuk berlebihan dan hidup sederhana
tenang indranya dan waskita
rendah hati, tidak melekat pada keluarga

Tak berbuat kesalahan barang sekecil apa pun
yang dapat dicela oleh orang bijaksana
semoga kita bahagia dan sentosa
semoga semua makhluk berbahagia

Makhluk hidup apa pun juga
yang bergerak dan tidak bergerak, tanpa kecuali
yang panjang atau gemuk
yang sedang, pendek, kecil, atau besar

Yang terlihat atau yang tak terlihat
yang jauh atau yang dekat
yang telah lahir atau yang akan dilahirkan
semoga semua makhluk berbahagia

Tidak menipu orang lain
tidak menghina siapa saja di mana saja
jangan karena marah dan benci
mengharapkan orang lain celaka

Bagaikan seorang ibu mempertaruhkan jiwanya
melindungi anaknya yang tunggal
demikianlah terhadap semua makhluk
cinta kasih dalam pikiran dipancarkan tanpa batas

Cinta kasih ke segenap alam semesta
dalam pikiran dipancarkan tanpa batas
ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling
tanpa rintangan, tanpa kebencian dan permusuhan

Selagi berdiri, berjalan, atau duduk
atau berbaring selama tiada lelap
dia tekun mengembangkan perhatian penuh kesadaran ini
yang disebut Kediaman Luhur

Tidak tergelincir pada pandangan yang keliru
dengan sila dan pandangan yang sempurna
setelah melepaskan kemelekatan nafsu indra
dia tidak akan pernah kembali lagi ke dalam rahim.

(GENTA 2x)

Metta Sutta