Merenungkan Proses Kehidupan Sehari-hari

Merenungkan Proses Kehidupan Sehari-hari
Meditasi jalan di pagi hari

Saya mengikuti retret di Amitayus dari tanggal 29 sampai dengan 30 September 2018. Retret 2 hari ini sangat menyentuh hati. Saya merasa seperti kembali ke rumah diri sendiri. Anggota sangha monastik dan komunitas memberikan kondisi damai, hal ini membuat saya bisa memaknai kehidupan saat ini.

Sehari-hari, saya tidak punya waktu untuk menenangkan diri, namun selama retret saya merenungkan semua proses kehidupan yang penuh dengan suka dan duka, baik dan buruk, benar dan salah. Ternyata banyak terjadi penyimpangan yang telah saya lakukan, apakah itu secara sadar atau pun tidak sadar.

Retret ini menyadarkan saya betapa pentingnya untuk stop (berhenti) dari penyimpangan itu. Lewat kondisi berhenti inilah saya bisa merenung dengan mendalam sehingga saya kembali disadarkan untuk mengubah diri menjadi lebih baik.

Selain mendapatkan pencerahan kecil, saya juga mengenal teman-teman baru, suatu hal yang menarik mengobservasi bagaimana sikap dan tingkah laku yang unik dari setiap orang. Ini membuat saya lebih mengerti tentang perbedaan agar bisa menerimanya.

Hal yang menarik bagi saya adalah ketika sesi makan. Kami mengambil makanan dengan cara yang teratur, antri, dan hening. Setelah itu duduk untuk menunggu semuanya duduk, mendengarkan genta berkesadaran lalu mendengarkan perenungan. Hal ini melatih kesabaran saya. Hal seperti ini tampaknya bagus diterapkan di rumah, menyadari aktivitas sehari-hari.

Saya menyadari bahwa prilaku saya menjadi lebih baik saat retret, terutama ketika membaca dan mendengar dengan penuh kesadaran. Topik pembahasan mencakup keluarga, anak, dan leluhur. Tentu saja bagaimana menuju pada keharmonisan melalui komunikasi, saling memberi perhatian, kemudian juga menciptakan kedamaian antara pasangan suami istri.

Meditasi kerja juga menarik. Kami berbagi tugas untuk bersih-bersih, menyapu, menyuci, semua tugas ini serasa sangat nyaman, kerjaan menjadi mudah dan cepat terlesesaikan. Menjaga kebersihan juga merupakan cara kami untuk menjaga kesehatan bersama.

Retret selama 2 hari tampaknya kurang lama. Walaupun hanya 2 hari namun memberikan dampak besar agar saya bersemangat untuk berubah menjadi lebih baik. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada anggota sangha monastik, semua panitia, serta teman-teman yang bersama-sama dalam retret itu.

Ini adalah karma baik bagi saya sehingga bisa berkumpul dengan komunitas latihan hidup berkesadaran. Semoga semua makhluk hidup berbahagia. Sadhu, sadhu, sadhu.

Andi, peserta retret dari Cimone, Tangerang

A Cloud Never Dies

A Cloud Never Dies


Empat bulan lalu, ketika mendapat kabar bahwa papa mengidap sakit serius, saya langsung pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, saya sempat menghubungi seorang guru saya, Bhante Bao Tang, dan menceritakan keadaan ini. Lalu saya bertanya, “Apa yang harus saya lakukan jika terjadi hal yang terburuk karena saya belum pernah kehilangan orang terdekat yang dikarenakan kematian, Bhante?

Beliau menjawab, “Dalam menghadapi kematian orang terdekat, kita harus hadapi dengan cara yang terbaik buat diri kita dan keluarga kita.

Kemudian beliau menceritakan pengalaman saat beliau kehilangan mamanya beberapa bulan lalu.

“Ketika saya tiba di sisi beliau yang telah meninggal, saya berdiri dan bernapas dan berkonsentrasi, melihat secara mendalam. Saya melihat bahwa mama saya sudah membelah dirinya menjadi 6 (anak) dan keluarga kandungnya. Bagian kecil dari dirinya telah meninggal, tetapi bagian besarnya masih hidup. Saya juga melihat bahwa bagian kecil dari diri saya telah meninggal tetapi masih ada bagian besar saya yang masih hidup. Dengan perenungan ini rasa sedih kita dapat diatasi.”

“Kemudian saya melakukan perenungan pertanyaan:

  1. Apakah saya sudah memaafkan kesalahan orangtua saya?
  2. Apakah saya menjengguk beliau setiap saya pulang ke Indonesia?
  3. Apakah saya sudah dapat menerima kekurangan beliau?
  4. Apakah yang beliau inginkan sudah terpenuhi?”

“Ketika saya bisa menjawab ‘iya’ atas semua pertanyaan itu, saya bisa melepas. Kesedihan karena kehilangan sosok itu tidak seberapa, karena kita tahu beliau masih dapat ditemukan di dalam diri kita dan keluarga kita.”

Dapat memahami hal ini membuat hati saya tenang dalam mempersiapkan sebuah kehilangan terbesar dalam hidup saya. Empat bulan terakhir ini saya belajar memahami arti sebuah kehilangan, memahami tentang anicca, melihat langsung bagaimana proses tua, sakit, dan mati, memahami betapa pentingnya kita mengetahui bagaimana mempersiapkan diri menghadapi kesakitan dan kematian dan betapa pentingnya kita belajar berdamai dengan rasa sakit dan ketika saat ajal menjelang.

Air mata tetap mengalir ketika saat itu tiba, tapi hati saya sudah jauh lebih tenang dan siap dalam menghadapi proses ini. Ketika melihat awan ataupun telapak tangan saya, saya tahu bahwa papa tetap ada dalam diri saya dan saya akan melanjutkan hidup papa dalam diri saya.

A cloud never dies…

“When conditions are sufficient, a cloud transforms into rain, snow, or hail. The cloud has never been born and it will never die. This insight of signlessness and interbeing helps us recognize that all lives continue in different forms. Nothing is created, nothing is destroyed, everything is in transformation. There is no real death because there is always a continuation.”
~Thich Nhat Hanh

Saya sangat bersyukur mendapat pemahaman yang sangat berharga ini sejak beberapa bulan lalu karena sangat membantu saya memahami dan melewati proses ini. (Rumini Lim)