Penyerahan Dana Pembangunan Ruang Kelas

Penyerahan Dana Pembangunan Ruang Kelas

Dengan penuh rasa sukacita, pada bulan Juni 2022, telah diserahkan dana yang terkumpul untuk Proyek Pembangunan Ruang Kelas di Plum Village Thailand (PVT). Dana sejumlah Rp250.797.629 tersebut diserahkan secara langsung kepada Abbot PVT, yaitu Br. Phap Anh, didampingi oleh Br. Phap Tu dan Br. Ky Ngo, dalam Gathering OI & Volunteer yang diadakan di Restoran Kembang Tandjoeng, Jakarta.

Penambahan ruang kelas ini sangat dibutuhkan mengingat PVT saat ini telah menjadi pusat pelatihan monastik bagi kawasan Asia. Proyek pembangunan ini direncanakan akan dimulai pada akhir 2022. Diharapkan dengan adanya penambahan dua ruang kelas ini dapat membantu pembelajaran dan pelatihan yang lebih memadai untuk para monastik di PVT.

Kami dari Komunitas Plum Village di Indonesia mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para donatur yang telah mendukung dan membantu proyek pembangunan tersebut. Ini merupakan salah satu cara untuk melanjutkan warisan guru kita, Master Zen Thich Nhat Hanh.

It takes time to practice generosity, but being generous is the best use of our time.  — Thich Nhat Hanh

 

 

Walking in Freedom

Walking in Freedom

Pagi ini kami mengadakan latihan jalan berkesadaran bersama. Kali ini kami mencari tempat baru di luar sekolah, agar ada suasana baru. Dengan keterbatasan tempat yang ada di kota ini, kami mendapatkan dua tempat, kebun di sebelah sekolah sebagai tempat berlatih mindful walking dan kebun ubi dengan hamparan ladang kelapa sawit yang luas sebagai latar belakang untuk tempat meditasi berdiri. Ini cukup menyegarkan karena dapat melihat dan merasakan suasana alam kembali di tengah rutinitas kami sebagai guru.

Berikut beberapa sharing berupa puisi, cerita dan insight dari guru-guru berdasarkan pengalaman mereka dalam berlatih mindful walking pada pagi ini atau selama ini.

Masih Adakah Alasan Bagi Kita Untuk Tidak Bersyukur?

Berjalan, tak hanya sekadar menapakkan kaki di Bumi.

Berjalan adalah sebuah keajaiban yang selayaknya harus disyukuri sepanjang napas masih bersarang di raga.

Sadari betapa luar biasa bahagianya seorang ibu yang melihat bayinya mulai bisa berjalan melangkahkan kakinya untuk pertama kalinya.

Bayangkan dan sadari betapa seorang astronot atau angkasawan yang pasti sangat merindukan menginjakkan kakinya di Bumi, saat ia telah berada begitu lama di angkasa luar.

Atau…

Bayangkan betapa rindunya seorang kapten kapal atau awak kapal yang bekerja di laut lepas atau seorang nelayan yang berbulan-bulan berada di tengah laut, dan tak dapat menginjak bumi.

Jadi, adakah alasan lagi bagi kita untuk tidak bersyukur atas masih dapat dengan bebas menapakkan kaki di Bumi dan melangkahkannya? (VJM)

Sepatu Bagus Tidak Akan Berguna Apabila Kita tidak Dapat Berjalan

Aku pernah menonton sebuah film tentang kehidupan seorang perempuan dan ada suatu kutipan di dalamnya yang berbunyi seperti ini, “Sepatu yang bagus akan membawamu ke tempat yang bagus”, dan aku setuju dengannya waktu itu, sebelum aku mengenal tentang meditasi berjalan. Mengapa? Karena kita biasanya memakai sepatu bagus untuk pergi ke tempat yang bagus. Semua orang melakukan itu. Kita akan bahagia memakai sepatu yang bagus karena kita tahu kita akan pergi ke suatu tempat dengannya. Dan tentu, kita merasa bahagia karena itu.

Tetapi ketika aku belajar meditasi berjalan, pikiranku langsung berubah. Meditasi berjalan mengajarkan aku bahwa ke mana pun kita pergi, kuncinya bukan pada sepatu yang dikenakan, tetapi pada kaki yang merupakan bagian dari tubuh kita. Sepatu yang bagus tidak akan ada gunanya apabila kita tidak dapat berjalan. Disadari atau tidak, tubuh kita adalah keajaiban Tuhan, sangat indah. Kita memiliki perasaan karena kita dapat merasakan semua hal. Perasaan yang kita rasakan ketika memakai sepatu bagus yang akan membawa kita ke tempat yang bagus tidaklah sebanding dengan perasaan yang muncul ketika kita hanya memakai sepasang sandal biasa dan berjalan dengan penuh kesadaran. Aku menyadari insight ini, and it’s amazing.

Meditasi jalan telah mengajarkan aku untuk membuka mata, hati dan pikiranku bahwa aku memiliki tubuh yang menakjubkan yang harus kurawat. Aku memiliki kaki yang dapat membawaku ke mana saja yang aku inginkan. Aku memiliki mata yang dapat melihat pemandangan indah. Ini bukan lagi tentang sepasang sepatu bagus yang membuatku bahagia, tetapi kebahagiaan walau hanya memakai sandal, berjalan dengan perlahan dan penuh kesadaran, yang tidak dapat digantikan oleh apa pun.

Aku merasakan hal ini ketika retret di Pllum Village Thailand 2019. Aku melihat ratusan orang dengan wajah bahagia berlatih bersama meditasi berjalan pada pagi hari dengan pemandangan yang indah dan udara yang segar. Ya, aku dapat merasakan apa yang membuat mereka bahagia. Berjalan menyadari kaki melangkah, memperhatikan langkah kita perlahan menyentuh Bumi, dan menyadari kita dapat berjalan adalah kebahagiaan sesungguhnya. Aku yakin mereka juga merasakan hal yang sama waktu itu. Meditasi berjalan membawa kita pada perasaan lebih mendalam, lebih menghargai dan tentu saja, lebih bersyukur. (BAS)

Memandang Dari Sudut Pandang Yang Berbeda

Ketika kita berada di suatu tempat dalam suatu perjalanan, entah perjalanan sungguhan ataupun perjalanan hidup, ada banyak peristiwa yang terjadi di dalamnya, termasuk suka duka yang kita lewati juga merupakan pembelajaran bagi kita sendiri. Saat kita berdiri sendiri, menyadari napas masuk napas keluar… saya sadar saya hidup…. meyakini bahwa kita masih hidup adalah salah satu momen wujud rasa syukur kepada Allah SWT.

Ada beberapa hal yang menjadi pengingat ‘momen saat ini’ tadi pagi. Ketika melihat hamparan warna hijau, yang terbayang adalah wujud kebesaran Allah SWT. Menyadari saat kita melihat, kita masih memiliki mata yang lengkap dan sempurna, saat kita mendengar dengan telinga, bernapas dengan hidung dan paru-paru yang sehat, berdiri dengan kaki yang tegak, semua kesehatan yang ada pada kita saat ini adalah berkah pemberian Allah SWT.

Melihat sebatang pohon kering, juga menjadikan pemikiran saya lebih mendalam. Terbersit beberapa pertanyaan, “Mengapa pohon itu begitu? Mungkin banyak faktor yang mempengaruhinya, entah tanahnya yang tidak subur lagi, entah mungkin memang saatnya ia menggugurkan daunnya atau mungkin memang ia sudah saatnya kering dan mati”.

Banyak hal yang bisa menyebabkan itu semua terjadi, menyadari bahwa ia adalah salah satu bukti siklus hidup di bumi ini. Bukti bahwa ia pernah hidup, pernah berada di sekitar kita, di dekat kita, bersama kita dan bahwa kita semua adalah bukti ketidakabadian dalam hidup ini. Semua itu menjadikan diri saya belajar. Belajar bersyukur, belajar untuk menerima dan melepaskan. Ikhlas, merupakan satu kata yang tepat walau tidak mudah untuk dilakukan.(ES)

Banyak Rasa Syukur Ketika Kita Menyadari Saat Ini

Masih banyak cerita lain dari guru-guru. Semua cerita bermuara pada rasa syukur atas saat ini. Ada di antara mereka yang sedang memiliki masalah, tetapi ketika berjalan menyadari setiap langkah dan menyadari momen saat ini, dapat menyegarkan dan menenangkan mereka.

“Ketika aku bernapas masuk, aku berkata pada diriku sendiri, ‘Ini adalah menakjubkan bahwa aku masih dapat berjalan seperti ini.’ Dengan kesadaran itu, aku dapat menikmati setiap langkahku. Aku berkata, ‘Aku hidup!’

Mindfulness mengingatkan aku untuk memberi perhatian dan menikmati bahwa tubuhku masih hidup dan cukup kuat bagiku untuk berjalan.”

(Latihan Jalan Berkesadaran ini sekaligus kami persembahkan sebagai hadiah kepada Thay Thich Nhat Hanh yang genap berusia 94 tahun pada tanggal 11 Oktober 2020. Happy Continuation Day, Thay!)

Rumini, Guru Sekolah Ananda, Bagan Batu

Wake Up

Wake Up

Generasi muda Buddhis dan Non-Buddhis demi masyarakat yang lebih sehat dan berwelas asih.

Thich Nhat Hanh

Wake Up merupakan komunitas global yang terdiri praktisi muda berusia dari 18 sampai dengan 35 tahun, komunitas ini terinspirasi oleh metode pengajaran Master Zen Thich Nhat Hanh. Kami berkumpul bersama mempraktikkan kewawasan (mindfulness) untuk merawat dirinya, memberikan kontribusi bagi terciptanya masyarakat yang lebih sehat dan berwelas asih.

Kami ingin membantu dunia ini yang telah dibanjiri oleh intoleransi, diskriminasi, loba, kemarahan, dan putus asa. Kami menyadari bahwa kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh masyarakat, dengan demikian kami memilih cara hidup agar bumi ini bisa bertahan lebih lama.

Mempraktikkan kewawasan, konsentrasi, dan keatifan (mindfulness, concentration, and insight) memungkinkan kita untuk menumbuhkan sikap toleransi, non diskriminasi, dan sikap welas asih di dalam diri sendiri dan dunia ini.

Praktik

Kami menjadikan 5 Latihan Sadar Penuh (Five Mindfulness Trainings) sebagai pedoman praktik konkrit tentang cinta sejati dan welas asih, dan jalan kehidupan harmonis dengan setiap orang dan bumi ini. Pedoman ini merupakan fondasi kehidupan dan mewakili pelayanan ideal kami.

Praktik yang kami lakukan berlandaskan upaya untuk membangkitkan kewaspadaan lewat napas dan hidup penuh kewawasan pada momen kekinian, menyadari apa yang sedang terjadi di dalam hati dan lingkungan sekitar. Praktik ini membantu kami menurunkan ketegangan (tension) dalam tubuh dan perasaan agar kami bisa hidup lebih bermakna dan bahagia, lalu menggunakan cara mendengar dengan penuh welas asih dan bahasa kasih untuk membangun kembali komunikasi dan rekonsiliasi dengan pihak lain.

Merenungkan Proses Kehidupan Sehari-hari

Merenungkan Proses Kehidupan Sehari-hari
Meditasi jalan di pagi hari

Saya mengikuti retret di Amitayus dari tanggal 29 sampai dengan 30 September 2018. Retret 2 hari ini sangat menyentuh hati. Saya merasa seperti kembali ke rumah diri sendiri. Anggota sangha monastik dan komunitas memberikan kondisi damai, hal ini membuat saya bisa memaknai kehidupan saat ini.

Sehari-hari, saya tidak punya waktu untuk menenangkan diri, namun selama retret saya merenungkan semua proses kehidupan yang penuh dengan suka dan duka, baik dan buruk, benar dan salah. Ternyata banyak terjadi penyimpangan yang telah saya lakukan, apakah itu secara sadar atau pun tidak sadar.

Retret ini menyadarkan saya betapa pentingnya untuk stop (berhenti) dari penyimpangan itu. Lewat kondisi berhenti inilah saya bisa merenung dengan mendalam sehingga saya kembali disadarkan untuk mengubah diri menjadi lebih baik.

Selain mendapatkan pencerahan kecil, saya juga mengenal teman-teman baru, suatu hal yang menarik mengobservasi bagaimana sikap dan tingkah laku yang unik dari setiap orang. Ini membuat saya lebih mengerti tentang perbedaan agar bisa menerimanya.

Hal yang menarik bagi saya adalah ketika sesi makan. Kami mengambil makanan dengan cara yang teratur, antri, dan hening. Setelah itu duduk untuk menunggu semuanya duduk, mendengarkan genta berkesadaran lalu mendengarkan perenungan. Hal ini melatih kesabaran saya. Hal seperti ini tampaknya bagus diterapkan di rumah, menyadari aktivitas sehari-hari.

Saya menyadari bahwa prilaku saya menjadi lebih baik saat retret, terutama ketika membaca dan mendengar dengan penuh kesadaran. Topik pembahasan mencakup keluarga, anak, dan leluhur. Tentu saja bagaimana menuju pada keharmonisan melalui komunikasi, saling memberi perhatian, kemudian juga menciptakan kedamaian antara pasangan suami istri.

Meditasi kerja juga menarik. Kami berbagi tugas untuk bersih-bersih, menyapu, menyuci, semua tugas ini serasa sangat nyaman, kerjaan menjadi mudah dan cepat terlesesaikan. Menjaga kebersihan juga merupakan cara kami untuk menjaga kesehatan bersama.

Retret selama 2 hari tampaknya kurang lama. Walaupun hanya 2 hari namun memberikan dampak besar agar saya bersemangat untuk berubah menjadi lebih baik. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada anggota sangha monastik, semua panitia, serta teman-teman yang bersama-sama dalam retret itu.

Ini adalah karma baik bagi saya sehingga bisa berkumpul dengan komunitas latihan hidup berkesadaran. Semoga semua makhluk hidup berbahagia. Sadhu, sadhu, sadhu.

Andi, peserta retret dari Cimone, Tangerang

Bangga Menyatakan bahwa Komunitasku adalah Keluargaku

Bangga Menyatakan bahwa Komunitasku adalah Keluargaku

Foto bersama retret pembina GABI Wihara Buddhayana Surabaya

Perjalanan hari ini ternyata cukup panjang. Saya baru pulang dari Palu dan secepatnya ke wihara Buddhayana di Putat Gede, Surabaya. Di sana saya sudah ditunggu. Saya merasa beruntung karena tidak perlu berangkat sendiri.

Ingin hati kami segera berangkat, namun badan saya protes. Kecapekan membuat saya muntah. Jadi saya isi dulu perut saya, baru secepatnya tancap gas menuju Villa Dharma di Prigen, Pasuruan. Perjalanan lancar. Kami berangkat sebagai grup terakhir untuk mengikuti retret hidup berkesadaran bagi pembina GABI (Gelanggang Anak Buddhis Indonesia).

Kami tiba sudah cukup larut malam. Briefing sebentar mendengarkan pembagian kamar dan dijelaskan bahwa praktik pertama yang kami lakukan adalah noble silent. Setelah semuanya beres, kami juga sudah siap menuju dunia mimpi.

Makan Pagi Berkesan
Pagi hari, kami mulai dengan meditasi duduk sekitar 30 menit, kemudian dilanjutkan dengan meditasi jalan pelan mengelilingi area villa serta menikmati udara segar pagi dan pemandangan indah.

Kegiatan selanjutnya adalah sarapan, kami mengantri menggambil makan, setelah semuanya duduk, kami mendengarkan lonceng dan doa renungan singkat. Kami punya waktu makan dengan pelan dan hening selama 15 menit.

Makan pagi itu sangat berkesan bagi saya, udara pagi yang sejuk membuat hati menjadi lebih tenang. Sesekali saya mendengar ada kicauan burung merdu tak lupa sesekali juga mendengarkan suara bising dari kendaraan. Kala itu, saya menikmati dan merasakan suasana makan pagi yang sangat khidmat.

Kami diberikan waktu untuk istirahat dan bersih diri sebelum acara selanjutnya dimulai. Kegiatan menyanyi beberapa lagu mindfulness, mendengar sharing dari bhante dan gerak berkesadaran.

Membuka Mata
Workshop pagi itu sangat sederhana, kami diajak untuk jujur kepada diri sendiri dan menyadari sifat-sifat yang sudah ada dalam diri. Sungguh luar biasa, bahkan di luar dugaan. Workshop ini membuka mata saya lebih lebar tentang diri sendiri dan komunitas saya.

Semenjak SMA saya tidak memiliki hubungan akrab dengan kedua orangtua. Saya ternyata adalah anak pembangkang, itu bahkan makanan setiap hari. Saya sedang merefleksikan ulang, apa yang saya rasakan pada saat workshop itu.

Sesi workshop ini juga mengingatkan saya berbagai memori keluarga. Saya tiba-tiba merasa bersyukur dan sangat beruntung memiliki komunitas Pembina GABI. Spiritual saya berkembang secara signifikan, pola pikir saya juga sudah banyak berubah, bahkan perilaku dan cara pandang juga makin mengarah ke dunia yang lebih positif.

Pembelajaran Buddhis ternyata memberi efek positif yang baru saya rasakan, seperti menghargai, menghormati, dan mengasihi kedua orangtua. Saya mengalami pertumbuhan yang baik dalam komunitas ini.

Kami Berbeda
Benar, kami berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Kami juga memiliki karakter berbeda, permasalahan yang dihadapi juga sangat bervariasi. Satu hal yang membuat saya bersyukur adalah kami berkumpul layaknya sebuah keluarga besar. Saya bangga menyatakan bahwa komunitasku adalah keluarga.

Sesi retret juga diisi dengan minum teh di teras, kami menikmati teh dengan hening serta meditasi sejenak. Menyadari hembusan angin sejuk, mendengar gemericik air, nyanyian burung saling bersahutan, gesekan dedaunan, dan suara serangga. Kami seperti bersatu dengan alam.

Sekeliling Vila Dharma dihuni oleh penduduk, dan lokasinya cukup tinggi. Sehingga kami bisa mendengar banyak suara sekitar. Pada meditasi sore itu kami juga menyadari adanya suara adzan bersahut-sahutan di puncak perbukitan. Ini sungguh pengalaman meditasi di ruang terbuka yang pertama kali.

Kami semua memejamkan mata untuk bersatu dengan alam. Pada awal meditasi, saya merasa rileks. Suara kendaraan yang melintas membuat kesadaran saya terhadap alam mulai sirna. Saat sharing, ternyata teman-teman lain juga mengalami hal serupa ketika meditasi outdoor.

Memulai Lembaran Baru
Malam hari, kami mendapat kesempatan untuk mengikuti Beginning Anew. Judulnya saja sudah bikin penasaran dan jelas saja itu keren! Diawali dengan cerita tentang betapa pentingnya cinta kasih dalam mengomunikasikan dan menjalin suatu hubungan. Konteks hubungan tentu saja tidak terbatas pada suami istri saja, tapi juga termasuk keluarga kandung, komunitas, persahabatan, maupun relasi sosial.

Bhante memberikan tips mudah dalam praktik ini, dengan 3 langkah yang wajib diikuti. Langkah pertama adalah “flower watering”, kita memberikan apresiasi, menyampaikan terima kasih kepada orang yang kita ajak komunikasi. Kedua, “I regret” yaitu menyadari dan segera meminta maaf terhadap kekeliruan yang telah diperbuat. Ketiga “I hurt” yaitu menyampaikan bahwa diri kita juga terluka atau jujur atas perasaan sakit yang kita alami.

Sesi malam itu diakhiri dengan menyentuh bumi atau bersujud. Kami bersujud di depan altar Buddha sambil mendengarkan perenungan. Menyadari keberadaan bumi, menyadari keterkaitan manusia dengan bumi yang menjadi tempat yang kita tinggali ini.

Memanfaatkan Momen
Keesokan harinya kami mendapat presentasi “Everyday Mindfulness and Technology”. Topik ini memaparkan tentang bagaimana menyadari momen kekinian dalam kehidupan sehari-hari. Secara nalar, tampaknya sulit sekali karena saya belum terbiasa. Namun sesungguhnya dari bangun tidur hingga malam, sungguh banyak momen yang bisa dimanfaatkan untuk berlatih mengembangkan kekuatan kesadaran, berlatih come back to here and now.

Bangun pagi, boleh saja dimulai dengan bernapas kesadaran dan senyum, ini bisa menjadi momentum membangun komitmen. Bertekad untuk menatap semua makhluk dengan mata karuna, dan bertekad senyum kepada semua orang yang saya temui.

Gosok gigi yang telah menjadi rutinitas setiap hari juga bisa menjadi sebuah latihan. Sadari setiap gerakan menggosok. Saya sudah mencoba menerapkan meditasi gosok gigi, ternyata memberikan pengalaman yang sangat berbeda. Entah saya baru sadar atau kemarin sikat giginya ngawur. Saya merasakan sensasi segar yang lebih segar daripada hari-hari sebelumnya.

Praktik memang perlu realistis. Ambillah dari hal-hal yang sederhana seperti makan dengan hening dan sadar selama 5 menit, atau kita berusaha makan dengan menerapkan teknik kesadaran sampai ada orang ajak bicara, maka kita baru membalas pembicaraan. Intinya sadari setiap momen apa adanya. Teknik ini bisa diterapkan dalam aksi berjalan, menyantap makanan, meneguk minuman, bahkan duduk di mobil menunggu macet atau lampu merah.

Bersama Komunitas
Saya berkomitmen, ketika nanti ada retreat bersama komunitas ini lagi maka saya akan siap. Ini merupakan short escape, refreshing yang bermanfaat bagi saya bersama komunitas ini. Saya ingin menyampaikan terima kasih yang sangat besar atas waktu dan kesediaan Bhante Nyanabhadra dalam membimbing kami selama retreat, Ce Ida yang sudah sangat rempong mengurus kami yang banyak urusan duniawinya, dan teman-teman komunitas yang sudah bertahan dan berjuang bersama.

Saya juga meminta maaf, jika ada kesalahan, tingkah laku saya yang terlalu sanguin yang mungkin dapat membuat kalian terganggu, juga ketidak disiplinan saya dalam berkomitmen dalam komunitas ini. Thank you (Victor).

*Pembina GABI juga Ayah dari satu orang anak dan suami dari satu orang istri

Membangun Komunitas

Membangun Komunitas

Membangun sebuah komunitas (sangha) seperti menanam bunga matahari. Kita mencari kondisi-kondisi yang bisa menyokong pertumbuhan bunga dan kondisi apa saja yang bisa menghambat pertumbuhannya. Kita membutuhkan bibit-bibit yang sehat, tukang kebun yang terampil, dan banyak sinar matahari serta lahan. Saat kita mulai bekerja dalam pembangunan komunitas, hal yang paling penting untuk diingat adalah bahwa kita sedang melakukannya bersama-sama.

Makin kita bersatu dalam komunitas, kita juga mulai merasakan bahwa keegoisan makin mengecil. Kita bisa relaks mulai menaruh kepercayaan pada kebijaksanaan dan wawasan kolektif komunitas. Kita dapat melihat dengan jelas bahwa mata dan tangan-tangan serta hati komunitas lebih besar daripada individu.

Kita punya kesempatan untuk membantu membangun komunitas setiap saat, dengan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan komunitas dan menyumbangkan tenaga serta wawasan-wawasan kita. Untuk menopang latihan kita sendiri bilamana kita meninggalkan pusat pelatihan, kita perlu mengetahui bagaimana membangun sebuah komunitas. Mari kita aktif dalam menjalin hubungan persaudaraan dengan mereka yang ada di sekitar kita. Bilamana kita menyadari sifat sejati kita yakni saling kebergantungan (interbeing), secara alami kita menjalin hubungan persahabatan dengan orang lain dengan berbagi latihan kita dan meminta dukungan serta bimbingan dari sesamanya.

Thay mengajarkan kita agar penuh semangat dalam latihan hidup berkesadaran. Masa lalu telah berakhir dan masa depan tidak pasti, hanya masa sekarang ini yang merupakan keajaiban hidup. Hidup dalam suasana ini, kita sudah menjadi anggota yang berharga dari komunitas. Kita akan terampil bekerja dalam proses yang terus-menerus dalam membangun sebuah tempat berlindung bagi banyak orang.

Thay mendorong kita semua untuk menjadi pendiri komunitas, mengikuti jejak Buddha, beliau seorang pendiri komunitas yang hebat. Bila kita dapat hidup dan berlatih dalam kerukunan di dalam komunitas kecil, maka kita bisa berbagi kerukunan ini dengan komunitas yang lebih besar, keluarga dan teman-teman kita, kerabat kerja dan para sesama praktisi. Bilamana ada sukacita dalam praktik pembangunan komunitas latihan, maka kita tahu cara yang kita lakukan sudah tepat.

Ordo Interbeing

Ordo Interbeing

Ordo Interbeing 接現 (Viet: Tiếp Hiện, Pinyin: Jiē xiàn) merupakan komunitas monastik dan praktisi awam yang berkomitmen untuk hidup sesuai dengan 14 Latihan Sadar Penuh. Latihan ini merupakan ajaran bodhisatwa dari tradisi Mahayana.

Ordo Interbeing dibentuk pada tahun 1966 oleh Zen Master Thich Nhat Hanh (yang akrab disapa Thay) di Saigon. Ordo ini merupakan silsilah dari Linji, tradisi praktik meditasi yang mengetengahkan empat semangat utama yaitu:

  1. Non kemelekatan terhadap pandangan,
  2. Menyelami secara nyata sifat kesaling ketergantungan melalui meditasi,
  3. kesesuaian, dan
  4. upaya kausalya.

Pada tanggal 5 Februari 1966, ordo ini lahir dengan 6 anggota, mereka merupakan sahabat dan murid dari Thay yang bekerja sama untuk mengurangi penderitaan akibat perang melalui The School of Youth for Social Service. Dengan bergabung dalam ordo ini mereka mencurahkan hidupnya untuk praktik sadar penuh (mindfulness), etika, dan aksi welas asih dalam masyarakat.

Thay terdesak diasingkan karena perang di Vietnam, maka selama 15 tahun berikutnya tidak ada anggota baru dari Ordo Interbeing. Mulai pada tahun 1981, Thay mengundang beberapa murid monastik yang belajar dan praktik di dunia barat. Sejak 2006, ordo ini telah berkembang luas sekitar 1000an praktisi awam dan 250an monastik yang berada di luar Vietnam.

Pada tahun 2006, Thay pertama kali kembali ke Vietnam setelah diasingkan selama 39 tahun, beliau mentransmisikan 14 Latihan Sadar Penuh kepada praktisi serius dari Vietnam. Pusat latihan juga telah dibangun, Ordo ini berkembang pesat di Vietnam termasuk ratusan monastik dan praktisi awam.

Ordo Interbeing dibentuk oleh Zen Master Thich Nhat Hanh pada tahun 1960an, pada saat itu perang Vietnam sedang berkecamuk, pada saat itu ajaran Buddha sangat dibutuhkan untuk menjadi penawar kebencian, kekerasan, dan politik pecah belah yang sedang melanda negeri itu. Pada bulan purnama Februari 1966, Zen Master Thich Nhat Hanh menahbiskan 6 anggota baru masuk menjadi bagian dari Ordo tersebut, 3 pria dan 3 wanita usia mereka berkisar 22 s.d. 32. Mereka ber-enam merupakan anggota dari Youth for Social Service yang telah terbentuk pada setahun sebelumnya.

Sejak pembentukannya, Ordo Interbeing mencakup 4 lapisan kategori komunitas buddhis (Sangha), yaitu biksu dan biksuni, upasaka dan upasika. Dari 6 orang anggota pertama, 3 orang wanita memilih untuk hidup selibat seperti biksuni walaupun mereka tidak mencukur rambut atau mengambil sila biksuni. Tiga orang pria memilih untuk menikah dan praktik sebagai perumah tangga.

Penahbisan itu merupakan perayaan yang luar biasa. Setiap anggota memperoleh pelita yang memiliki tudung buatan Bhante Thich Nhat Hanh sendiri, juga ada kaligrafi dalam tulisan mandarin “Lamp of Wisdom”, “Lamp of the Full Moon” dan “Lamp of the World”. Pada seremoni itu, enam anggota pertama bertekad untuk belajar, berlatih, dan melaksanakan 14 latihan sadar penuh dari Ordo Interbeing, yang merupakan campuran dari moralitas tradisional buddhis dan hal berkaitan dengan isu sosial kontemporer.

Ordo Interbeing Indonesia

Ordo Interbeing Indonesia terbentuk pada 12 Januari 2010 ditandai dengan Yang Mulia Bhante Dharmavimala Mahathera dan Samanera Nyanabhadra (sekarang Biksu Nyanabhadra atau Br. Pháp Tử) menerima 14 Latihan Sadar Penuh langsung dari Master Zen Thich Nhat Hanh di Upper Hamlet.

Pada 2 Oktober 2010 di Kinasih Resort, Sukabumi. Sebanyak 13 orang yang menerima transmisi 14 Latihan sadar Penuh.

Diantaranya 6 monastik yang terdiri:

  1. Biksu Nyanagupta,
  2. Biksu Bhadraputra (saat ini Bhadravajra),
  3. Biksu Bhadravidya (telah kembali menjadi umat biasa),
  4. Biksu Bhadrajyoti,
  5. Biksuni Bhadrasatyani,
  6. Biksu Bhadrautama (telah kembali menjadi umat biasa).

Ada 7 umat perumah tangga yaitu

  1. Rohana,
  2. Liana,
  3. Kshantica,
  4. Ellyana,
  5. Yuliana,
  6. Jenny, dan
  7. Suryati (saat ini Sr. Tin Yeu).
Seremoni transmisi 14 Latihan Sadar Penuh pada 2 Oktober 2010 di Kinasih Resort, Sukabumi.