Bagaimana Melepaskan Kemarahan?
Subtitle bahasa Indonesia telah tersedia
Subtitle bahasa Indonesia telah tersedia
Melayari kehidupan seperti layaknya mengarungi samudra, kadang arus bergerak perlahan, tiada angin, kadang permukaan air tenang dengan angin sepoi-sepoi, kadang arus mengganas dengan badai yang terjadi akibat panas dan udara yang lembap dari permukaan laut naik ke atmosfer Bumi, melewati kehidupan berarti bertahan dari perubahan.
Freud menyebut naluri sebagai dorongan internal, ada dorongan untuk bertahan hidup atau melanjutkan keturunan. Kemudian Freud juga menyebutkan dorongan agresi atau kehendak merusak. Naluri atau dorongan ini berkaitan erat dengan insting.
Well-being
Berbicara religiositas maka otomatis mengarah pada psikologis positif (Well-being psychological), psikologis ini sebenarnya menjadi kekuatan untuk menghadapi agresi, karena semua makhluk ingin terus bertahan hidup dan mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kematian. Tak heran jika muncul istilah religius insting yaitu naluri untuk menyembah kekuatan eksternal.
Tak heran banyak pakar setuju bahwa kehidupan religius hendaknya menurunkan kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan, membawa ketenangan kalbu. Jika kehidupan religius tidak mampu mentransformasi kecemasan dan ketakutan yang berasal dari ketidakpastian hidup, maka sia-sia manusia menempuh kehidupan religius.
Penulisan Kitab Suci
Sistem penyebaran Agama Buddha pada zaman dahulu selalu melalui lisan, namun akhirnya muncullah dorongan untuk menuliskan semua ajaran itu. Mencermati alasan di balik penulisan Tipitaka, seorang cendekiawan menulis The Story of Buddhis in Ceylon menyebutkan beberapa hal yang menarik berikut ini:
Sri Lanka yang saat itu disebut sebagai Pulau Lanka sering menjadi sasaran empuk serangan dari kelompok non buddhis. Pada saat itu Mahavihara merupakan pusat penyebaran Agama Buddha, jika banyak terjadi pertempuran dan gejolak politik, tentu saja semua aktivitas di Mahavihara akan terganggu dan ditelantarkan. Guru dan murid mengalami kesulitan bahkan karena satu dan lain hal akan memisahkan mereka sehingga proses pewarisan akan putus.
Sistem pewarisan ajaran secara lisan akan menjadi kelemahan yang signifikan, apalagi berbagai bencana kelaparan mengakibatkan jumlah kematian akan meningkat. Para monastik menyadari sepenuhnya kondisi kelaparan membuat proses penyebaran Dharma menjadi macet, mereka sudah mengalaminya berkali-kali situasi seperti ini.
Kualitas manusia yang bergabung dalam sanggha monastik juga makin hari makin menurun. Mereka yang hanya menumpang hidup atau bahkan tidak bertanggung jawab, mereka tidak bisa menjadi pewaris Dharma. Kitab mahavamsa menyebutkan inilah salah satu alasan penting untuk menuliskan Tipitaka (Mahavamsa 33, 101).
Perpecahan dalam sebuah sekte menjadi sekte baru menjadi pemicu berbahaya juga. Sebut saja perpecahan dalam tubuh Mahavihara sehingga lahirlah Abhayagirivihara dan Raja yang berkuasa saat itu berpihak pada salah satunya, yang seharunsya membantu rekonsiliasi. Para monastik lainnya memilih untuk menulis Tipitaka di pinggiran propinsi, di tempat yang lebih sepi.
Beda Prinsip
Saya cukup lama malang melintang di dunia organisasi buddhis, saya juga sudah bertemu dengan beraneka sifat dari orang yang ikut aktif dalam organisasi demikian. Lumrah melihat semangat mereka naik dan turun, ketika melihat ke dalam diri sendiri, saya juga menyadari bahwa semangat latihan saya juga serupa, sering naik, turun atau malah nyaris hilang.
Perpecahan terjadi berawal dari prinsip yang berbeda. Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahkan ada sekte yang terus berpecah menjadi puluhan sekte baru, ada yang melepaskan diri karena idealisme personal. Pertanyaannya adalah apakah jika seseorang tidak berada di sebuah organisasi besar lagi, lalu dia dicap sebagai orang yang keliru?
Salah Baju
Ketika kita bersama-sama dalam sebuah organisasi, maka kita menyebutnya sebagai satu keluarga spiritual, dengan menggunakan “baju” yang sama. Ketika seseorang mengundurkan diri dari organisasi itu, kedua pihak dianggap sudah putus hubungan keluarga, lalu ketika masing-masing sudah berbeda baju, sehingga satu pihak merasa organisasinya lah yang paling benar, oleh karena itu patutkah pihak sana melontarkan kalimat “kamu salah baju”?.
Sungguh ironis menyebut bajunya sendiri yang paling benar, lalu baju orang lain salah. Ini yang disebut sebagai terjebak pada baju (bungkus) atau container, dan melupakan isi (content). Tampaknya ini kanker yang berpotensi menghadirkan perpecahan makin besar lagi.
Buddhadharma Universal
Saya tetap berpegang pada etika universal, kejernihan batin serta keyakinan saya atas Buddhadharma. Ada beberapa pertanda keyakinan saya tersebut misalnya, saya sangat tersentuh dengan hanya membaca tulisan dalam sebuah video klip singkat yang berjudul Buddha My Father, saat itu seluruh urat nadi saya bergetar dari kepala sampai ke ujung-ujung jari kaki dan tangan, air mata pun berlinang keluar.
Ada beberapa hal lain yang masih membuat saya setia pada Buddhadharma, sebut saja kisah suatu malam saya berpapasan dengan seorang Biksu tradisi Vajrayana, tampaknya beliau barusan selesai memberikan wejangan Dharma, sayang sekali saya tidak ikut program itu, lalu muncul perasaan sedih.
Malam itu ketika saya tidur, saya justru bermimpi mengikuti wejangan Dharma itu. Ada adegan saya berjalan dari kamar kecil kembali ke aula besar tapi saya malah tersesat dan tiba pada ruang sanggha yang mewah dan indah. Saya juga melihat labirin dengan penuh lukisan dan simbol-simbol buddhis berwarna merah muda.
Potongan mimpi selanjutnya terlihat saya sedang berupaya keluar dari labirin dan tiba di lapangan luas di Bodhgaya tempat Yang Mulia Dalai Lama sedang memberikan wejangan Dharma. Dari kejauhan tertampak bangunan khas Bhutan dan Nepal. Ternyata saya terlahir sebagai orang Bhutan pada zaman dahulu. Mimpi saya berakhir di sana.
Fungsi Baju
Saya merasa jejak yang ditinggalkan oleh ajaran Buddha memberi dampak besar, ada benih dalam diri saya yang tersentuh sehingga muncul visualisasi demikian dalam mimpi.
Terserah Anda berada di sekte yang mana, terserah Anda berada di organisasi yang mana, terserah baju apa pun yang Anda kenakan, kita perlu selalu ingat bahwa baju untuk melindungi diri dari panas, sengatan serangga, dan menutupi bagian-bagian tertentu.
Saya yakin, fungsi baju untuk melindungi manusia, sungguh tak bijak apabila hanya sekadar digunakan untuk memupuk sang “aku-organisasi” lalu menuding orang lain salah baju.
*CHÂN MINH TUYỀN (真明泉) anggota Ordo Interbeing Indonesia, volunteer retret mindfulness, wanita karir, sekaligus adalah apoteker yang juga meraih gelar master di bidang manajemen pendidikan
Wihara Ekayana Serpong (WES) kembali mengadakan kegiatan DOM (Day of Mindfulness), pada tanggal 3 Mar 2018, kegiatan yang bertujuan agar para pesertanya dapat berlatih sadar penuh sepanjang sesi latihan. DOM kali ini, dibimbing oleh Sister Rising Moon.
DOM kali ini punya kesan tersendiri bagi saya, karena saya berhasil, membawa serta kedua orang tua saya untuk ikut berlatih. Dan ini juga kali pertama saya mengikuti DOM di WES.
Sepanjang latihan awal, ketika meditasi duduk, orientasi dan ceramah, jujur hati saya tak begitu tenang, karena saya juga mengamati kedua orang tua saya. Membantu mengingatkan mereka ketika bel untuk menarik napas. Membantu membukakan halaman agar mendukung mereka untuk berlatih.
Jam istirahat pun tiba, orang tua saya bercerita. Mama kakinya cepat pegal. Papa juga agak terkantuk karena bangun terlalu pagi. Saya bersyukur, saya yang masih “lebih muda” sudah mulai mengenal praktik latihan ini. Dan saya sadar, tanpa adanya mereka, tak akan ada tubuh ini, dan tidak mungkin saya bisa berlatih. Sudah tugas saya untuk mengenalkan mereka latihan ini. Semoga dukungan komunitas dapat membantu mereka dalam latihan.
No Mud, No Lotus
itulah tema DOM kemarin, yang bisa di artikan, tak ada kebahagiaan (Lotus = Teratai) tanpa penderitaan (Mud = lumpur).
Seperti yang di ceritakan sister, kadang kita tidak menghargai gigi kita, kita tidak bersyukur ketika gigi kita baik dan tidak sakit. Harusnya kita bahagia. Tapi begitu kita sakit gigi, baru kita menyadari sebenarnya ketika gigi kita sehat, itulah kebahagiaan.
Begitu juga dalam hidup saya ini. Saya sadar betul, hal yang menarik saya kembali untuk latihan, salah satunya karena mengalami penderitaan kehidupan.
Saya letih akan kebahagiaan semu. Makan, bermain, karaoke, jalan–jalan, nonton bioskop, semua itu memang asyik. Tapi tidak juga memberikan jawaban atas permasalahan kehidupan saya. Setelah melakukan itu semua, saya tetap harus menghadapi permasalahan hidup ini. Bagi saya, hal itu hanyalah pengalih perhatian, maka dari itu, saya menganggap hal semacam itu hanyalah kebahagiaan yang palsu.
Pikiran saya dulu
Melihat keadaan kedua orang tua saya, saya menyadari, pentingnya berlatih selagi muda. Kadang pun masih bisa ada rasa menyesal yang timbul, kenapa tidak dari kecil saya berlatih. Tapi kembali, penyesalan tak ada gunanya.
Saya mencoba menelusuri dan mengingat, pola pikir saya ketika kecil. Aaah, saat itu memang hidup saya masih “baik-baik” saja. Tak ada masalah, tak ada yang perlu dipusingkan.
Ternyata oh ternyata. Terima kasih masalah, you save my life!
Apa lagi ya yang jadi alasan ketika muda saya tak berlatih?
Oo.. dulu saya merasa, meditasi itu menjenuhkan. Duduk diam. Ngapain coba? Tapi saya sekarang sadar, dulu pengertian saya kurang tepat. Meditasi ternyata tidak harus duduk, tapi bisa hanya dengan cukup sadar dan menyadari napas.
Apalagi ya pikiran yang membuat saya tak berlatih dulu?
Mmm… Oo, karena rasa “malas”. Nanti ajalah, mau happy–happy duluan. Namanya juga bocah, masih pengen main game, masih ingin haha hihi. Jalan–jalan. Nonton. Dan ternyata satu kata “nanti” itu lamaaaaa sekali. Bertahun–tahun lamanya.
Yap, no mud no lotus, penderitaan yang membawa saya ke jalan ini. Dengan merasakan penderitaan, saya berusaha mencari sebabnya, dan mulai mengubah bentuk mental. Dengan mendengar ceramah dan berlatih hidup sadar, perlahan saya mengerti dan hidup terasa lebih berarti.
Kematian tak dapat diprediksi
Berpikir tentang kematian, menjadi sebuah cambuk dalam diri saya untuk terus berbuat baik. Saya sadar, cepat lambat, kematian adalah pasti. Saya tidak tahu, siapa yang berangkat lebih duluan. Mungkin saya, atau keluarga. Tapi dengan menyadari ini, saya tetap berusaha mawas diri dan melakukan kebaikan.
Waktu berjalan cepat, terutama bila tidak kita sadari. Dengan menyadari hidup, setiap tarikan napas itu berarti. Setiap tindakan kita, yang mungkin kecil, pasti ada membawa perubahan. Baik atau buruk, tergantung yang kita lakukan.
Kematian bukanlah hal yang kita takutkan. Tapi penting sekali untuk mengetahui, amat sulit terlahir menjadi manusia. Bayangkan seekor penyu yang muncul 100 tahun sekali untuk menarik napas di tengah samudra, dan ketika muncul ke permukaan, ada gelang berbentuk lingkaran yang ukurannya pas dengan leher penyu tersebut. Ketika penyu itu muncul dan masuk ke dalam gelang, kelahiran sebagai manusia terjadi.
Tidak ada salahnya mengejar kebahagiaan materi dan duniawi, tapi seimbangkan dengan berlatih. Bayangkan ada seorang kaya, dengan kekayaan 5 miliar. Tapi sudah meninggal, Anda diminta bertukar tempat dengannya, Anda dapat 5 miliar tapi langsung mati, apakah Anda mau ?
Dengan mengetahui sulitnya menjadi manusia, kiranya kita bisa lebih menghargai setiap detik dalam hidup ini. Karena waktu yang telah pergi tak akan pernah kembali. Jadikanlah hidupmu, selalu berarti..
Teruslah berlatih, teruslah berbuat kebaikan.
Be mindful and be happy! (Edwin Halim)*
Perjalanan hari ini ternyata cukup panjang. Saya baru pulang dari Palu dan secepatnya ke wihara Buddhayana di Putat Gede, Surabaya. Di sana saya sudah ditunggu. Saya merasa beruntung karena tidak perlu berangkat sendiri.
Ingin hati kami segera berangkat, namun badan saya protes. Kecapekan membuat saya muntah. Jadi saya isi dulu perut saya, baru secepatnya tancap gas menuju Villa Dharma di Prigen, Pasuruan. Perjalanan lancar. Kami berangkat sebagai grup terakhir untuk mengikuti retret hidup berkesadaran bagi pembina GABI (Gelanggang Anak Buddhis Indonesia).
Kami tiba sudah cukup larut malam. Briefing sebentar mendengarkan pembagian kamar dan dijelaskan bahwa praktik pertama yang kami lakukan adalah noble silent. Setelah semuanya beres, kami juga sudah siap menuju dunia mimpi.
Makan Pagi Berkesan
Pagi hari, kami mulai dengan meditasi duduk sekitar 30 menit, kemudian dilanjutkan dengan meditasi jalan pelan mengelilingi area villa serta menikmati udara segar pagi dan pemandangan indah.
Kegiatan selanjutnya adalah sarapan, kami mengantri menggambil makan, setelah semuanya duduk, kami mendengarkan lonceng dan doa renungan singkat. Kami punya waktu makan dengan pelan dan hening selama 15 menit.
Makan pagi itu sangat berkesan bagi saya, udara pagi yang sejuk membuat hati menjadi lebih tenang. Sesekali saya mendengar ada kicauan burung merdu tak lupa sesekali juga mendengarkan suara bising dari kendaraan. Kala itu, saya menikmati dan merasakan suasana makan pagi yang sangat khidmat.
Kami diberikan waktu untuk istirahat dan bersih diri sebelum acara selanjutnya dimulai. Kegiatan menyanyi beberapa lagu mindfulness, mendengar sharing dari bhante dan gerak berkesadaran.
Membuka Mata
Workshop pagi itu sangat sederhana, kami diajak untuk jujur kepada diri sendiri dan menyadari sifat-sifat yang sudah ada dalam diri. Sungguh luar biasa, bahkan di luar dugaan. Workshop ini membuka mata saya lebih lebar tentang diri sendiri dan komunitas saya.
Semenjak SMA saya tidak memiliki hubungan akrab dengan kedua orangtua. Saya ternyata adalah anak pembangkang, itu bahkan makanan setiap hari. Saya sedang merefleksikan ulang, apa yang saya rasakan pada saat workshop itu.
Sesi workshop ini juga mengingatkan saya berbagai memori keluarga. Saya tiba-tiba merasa bersyukur dan sangat beruntung memiliki komunitas Pembina GABI. Spiritual saya berkembang secara signifikan, pola pikir saya juga sudah banyak berubah, bahkan perilaku dan cara pandang juga makin mengarah ke dunia yang lebih positif.
Pembelajaran Buddhis ternyata memberi efek positif yang baru saya rasakan, seperti menghargai, menghormati, dan mengasihi kedua orangtua. Saya mengalami pertumbuhan yang baik dalam komunitas ini.
Kami Berbeda
Benar, kami berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Kami juga memiliki karakter berbeda, permasalahan yang dihadapi juga sangat bervariasi. Satu hal yang membuat saya bersyukur adalah kami berkumpul layaknya sebuah keluarga besar. Saya bangga menyatakan bahwa komunitasku adalah keluarga.
Sesi retret juga diisi dengan minum teh di teras, kami menikmati teh dengan hening serta meditasi sejenak. Menyadari hembusan angin sejuk, mendengar gemericik air, nyanyian burung saling bersahutan, gesekan dedaunan, dan suara serangga. Kami seperti bersatu dengan alam.
Sekeliling Vila Dharma dihuni oleh penduduk, dan lokasinya cukup tinggi. Sehingga kami bisa mendengar banyak suara sekitar. Pada meditasi sore itu kami juga menyadari adanya suara adzan bersahut-sahutan di puncak perbukitan. Ini sungguh pengalaman meditasi di ruang terbuka yang pertama kali.
Kami semua memejamkan mata untuk bersatu dengan alam. Pada awal meditasi, saya merasa rileks. Suara kendaraan yang melintas membuat kesadaran saya terhadap alam mulai sirna. Saat sharing, ternyata teman-teman lain juga mengalami hal serupa ketika meditasi outdoor.
Memulai Lembaran Baru
Malam hari, kami mendapat kesempatan untuk mengikuti Beginning Anew. Judulnya saja sudah bikin penasaran dan jelas saja itu keren! Diawali dengan cerita tentang betapa pentingnya cinta kasih dalam mengomunikasikan dan menjalin suatu hubungan. Konteks hubungan tentu saja tidak terbatas pada suami istri saja, tapi juga termasuk keluarga kandung, komunitas, persahabatan, maupun relasi sosial.
Bhante memberikan tips mudah dalam praktik ini, dengan 3 langkah yang wajib diikuti. Langkah pertama adalah “flower watering”, kita memberikan apresiasi, menyampaikan terima kasih kepada orang yang kita ajak komunikasi. Kedua, “I regret” yaitu menyadari dan segera meminta maaf terhadap kekeliruan yang telah diperbuat. Ketiga “I hurt” yaitu menyampaikan bahwa diri kita juga terluka atau jujur atas perasaan sakit yang kita alami.
Sesi malam itu diakhiri dengan menyentuh bumi atau bersujud. Kami bersujud di depan altar Buddha sambil mendengarkan perenungan. Menyadari keberadaan bumi, menyadari keterkaitan manusia dengan bumi yang menjadi tempat yang kita tinggali ini.
Memanfaatkan Momen
Keesokan harinya kami mendapat presentasi “Everyday Mindfulness and Technology”. Topik ini memaparkan tentang bagaimana menyadari momen kekinian dalam kehidupan sehari-hari. Secara nalar, tampaknya sulit sekali karena saya belum terbiasa. Namun sesungguhnya dari bangun tidur hingga malam, sungguh banyak momen yang bisa dimanfaatkan untuk berlatih mengembangkan kekuatan kesadaran, berlatih come back to here and now.
Bangun pagi, boleh saja dimulai dengan bernapas kesadaran dan senyum, ini bisa menjadi momentum membangun komitmen. Bertekad untuk menatap semua makhluk dengan mata karuna, dan bertekad senyum kepada semua orang yang saya temui.
Gosok gigi yang telah menjadi rutinitas setiap hari juga bisa menjadi sebuah latihan. Sadari setiap gerakan menggosok. Saya sudah mencoba menerapkan meditasi gosok gigi, ternyata memberikan pengalaman yang sangat berbeda. Entah saya baru sadar atau kemarin sikat giginya ngawur. Saya merasakan sensasi segar yang lebih segar daripada hari-hari sebelumnya.
Praktik memang perlu realistis. Ambillah dari hal-hal yang sederhana seperti makan dengan hening dan sadar selama 5 menit, atau kita berusaha makan dengan menerapkan teknik kesadaran sampai ada orang ajak bicara, maka kita baru membalas pembicaraan. Intinya sadari setiap momen apa adanya. Teknik ini bisa diterapkan dalam aksi berjalan, menyantap makanan, meneguk minuman, bahkan duduk di mobil menunggu macet atau lampu merah.
Bersama Komunitas
Saya berkomitmen, ketika nanti ada retreat bersama komunitas ini lagi maka saya akan siap. Ini merupakan short escape, refreshing yang bermanfaat bagi saya bersama komunitas ini. Saya ingin menyampaikan terima kasih yang sangat besar atas waktu dan kesediaan Bhante Nyanabhadra dalam membimbing kami selama retreat, Ce Ida yang sudah sangat rempong mengurus kami yang banyak urusan duniawinya, dan teman-teman komunitas yang sudah bertahan dan berjuang bersama.
Saya juga meminta maaf, jika ada kesalahan, tingkah laku saya yang terlalu sanguin yang mungkin dapat membuat kalian terganggu, juga ketidak disiplinan saya dalam berkomitmen dalam komunitas ini. Thank you (Victor).
Tahun 2015 sebuah organisasi buddhis yag bernama SIDDHI (Sarjana dan Profesional Buddhis Indonesia) mengadakan acara yang bernama SMS (Siddhi Mindfulness Sharing), Waktu itu saya bersama dengan suami saya memutuskan untuk mengikuti acara tersebut.
Tema kali ini membahas sebuah Buku yang berjudul “The Art of Power” bersama Pak Adi Putra dari Jakarta, yang kebetulan teman seperguruan waktu di jakarta.
Jujur acara ini adalah acara yang pertama kali saya ikuti di komunitas ini, acaranya dimulai dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore, saya tidak punya gambaran sama sekali acaranya seperti apa sebelumnya. Suasana di sana sungguh menarik, penuh dekorasi yang indah dan sejuk.
Nah waktu itu ada 2 orang biksu yang ikut hadir di acara tersebut. Acaranya dimulai dengan duduk hening. Saya hanya duduk dan melihat ke kanan dan ke kiri, saya berkata dalam hati ini duduknya mau seperti apa ya? Saya tidak tau kalau itu duduk meditasi. Saya juga belum pernah tau apa itu meditasi, lalu terdengar suara pemukulan Gong, Gong nya Besar sekali. Suasana pun langsung hening selama 15 menit. Setelah itu dilanjutkan dengan mendengarkan sharing mengenai buku” the art of power” yang disampaikan oleh Pak Adi Putra
Makan Siang Prasmanan
Pukul 12 siang tiba, ini adalah waktu yang paling saya tunggu-tunggu yaitu makan siang. Hati ini senang sekali. Nah waktu makan tiba kita semua mulai antri untuk ambil makanan kan, wahhh sayurnya enak sekali, o iya kita makan vegetarian ya, kata salah satu panitia. oh ok, no problem buat saya, tapi masalah buat suami saya, karena dia tidak suka makan sayur (senyum kecut).
Setelah selesai antri ambil makanan kita kembali duduk untuk makan bersama. Ini lebih seru lagi, panitia menjelaskan bagaimana cara makan di sesi makan bersama ini, teman-teman dalam sesi makan bersama ini, kita makan dengan hening ya selama 20 menit, dan kunyah sebanyak 32 kali, jadi tidak usah terburu-buru.
Dimulai dengan bunyi gong dan perenungan sebelum makan, waktu itu Saya tersenyum kecil sambil berpikir kunyah 32 kali. Saya masih belum mengerti apa ini. Saya tidak memperhatikan maksud dari semuanya ini. saya makan saja seperti biasa sambil melihat ke kiri dan ke kanan, serta sesekali senyum-senyum… melihat sekitar karena merasa aneh, dan lucu aja.
Napas Masuk, Napas Keluar
Kali ini adalah sesi penjelasan dari seorang Biksu (Brother), Sebelum mulai dengan apa yang mau dijelaskan brother bertanya, siapa saja yang baru ikut acara ini dan ternyata ada sekitar 50% dari para peserta yang baru pertama kali ikut acara ini.
Kemudian brother bertanya apa itu Mindfulness? ya kalau artinya sih Berkesadaran. Brother melanjutkan dengan bertanya lagi, kalau gitu yang dimaksud dengan berkesadaran itu apa? ya Sadar…???!!!! (jawab peserta)
Yang dimaksud dengan SADAR apa sih? Brother bertanya lagi. Suasana menjadi hening. Brother Menjelaskan cara atau proses kerja berkesadaran itu seperti apa
TUBUH:
PERASAAN:
Mulailah dengan Bernapas Masuk, dan Bernapas Keluar, melalui TUBUH dan PERASAAN. (Sri)*
*Wanita karir, bersuami satu dan dua orang anak.