Saling Mencari

Saling Mencari

Telah lama aku mencari-Mu, wahai Begawan,
sejak aku masih belia,
aku telah mendengar seruan Begawan
ketika aku baru saja mulai bernapas.


Aku pergi berkelana
menempuh jalan berisiko
menghadapi begitu banyak bahaya,
menanggung keputusasaan, ketakutan, harapan, dan kenangan.

Sejak lama aku mencari Begawan,
menempuh perjalanan ke wilayah paling jauh,
sangat luas dan liar, mengarungi samudra luas,
melintasi puncak-puncak tertinggi, tersesat di antara awan-awan.
Aku telah terbaring mati, benar-benar sendirian,
di ujung tanduk pasir gurun purba.
Aku menyimpan di dalam hatiku begitu banyak air mata batu.
Aku bahkan pernah bermimpi meneguk setetes embun,
tertampak galaksi nan jauh yang berkilau dengan cahaya gemerlap.

Aku telah meninggalkan jejak kaki di pegunungan surgawi
dan berteriak dari Neraka Avici, kelelahan, gila karena putus asa
karena aku sangat lapar dan kedinginan,
karena aku mendambakan,
karena aku ingin mencari tahu,
siapakah orang yang bermartabat sempurna.

Aku tahu ada keyakinan misterius
dalam rangkulan hatiku,
keyakinan mendalam juga jernih
Di situlah tempat begawan bersemayam.
walaupun aku tidak pernah tahu di mana Begawan berada,
sejak lama aku berfirasat
bahwa Begawan dan aku sesungguhnya satu kesatuan,
lalu jarak di antara kita hanyalah sekilas pemikiran,
tidak lebih jauh daripada jaraknya detakan jantung.

Kemarin sore aku berjalan sendirian,
melihat dedaunan musim gugur berserakan di jalur tua itu,
dan bulan yang cerah, menggantung di atas gerbang,

tiba-tiba tampak seperti bayangan seorang kawan lama.
Bintang bersinar terang melaporkan kehadiranmu,
bahwa Begawan telah hadir di sini.

Semalaman turun hujan nektar,
secepat itu merembes melalui jendela,
di angkasa tertampak hujan badai menggelegar,
Bumi dan langit seolah-olah sedang marah.
Namun, akhirnya hujan di hatiku telah berhenti
awan mendung juga telah berpencar.
Aku menatap melalui jendela,
Bulan sabit telah bersinar kembali,
Bumi dan langit juga sudah tenang kembali.
Melihat pantulan diriku dalam rembulan
Aku melihat diriku sendiri,
terlihatlah Begawan. 

Begawan sedang tersenyum.
Betapa indahnya!
Rembulan kebebasan telah kembali kepadaku,
apa pun dalam benakku hilang seketika.
Sejak momen itu,
dan di setiap momen berikutnya,
aku melihat tiada yang lenyap.
Tiada yang perlu dipulihkan.
bunga mana,
batu seperti apa,
menatapku langsung mengenaliku.
Ke mana pun aku memandang,
aku melihatmu tersenyum oh Begawan
senyuman tanpa-kelahiran dan tanpa-kematian.
Senyuman yang aku terima saat memandang cermin bulan.

Aku melihatmu duduk di sana,
solid bagaikan Gunung Meru,
damai bagaikan napas,
Begawan duduk di situ,
tak pernah absen sama sekali.
Duduk sebagaimana bumi ini
tiada bara api dan badai
Begawan duduk di situ
bebas dan hening sepenuhnya.

Akhirnya,
aku menemukanmu, oh Begawan,
dan aku menemukan diriku.
Air mata berlinang tak tertahankan
Di sana aku duduk.
di bawah langit biru tua,
pegunungan yang tertutup salju terlukis di cakrawala,
dan matahari merah yang bersinar memancarkan kemilau.

Wahai Begawan,
engkau adalah cinta pertamaku.
engkau adalah cinta suci,
Dan aku tidak akan pernah membutuhkan
cinta yang disebut “terakhir”.
Engkau bagaikan sungai spiritual
telah melewati banyak kehidupan
ratusan ribu kelahiran kembali
namun selalu tertampak baru.

Telah lama aku mencarimu, oh Begawan,
sejak aku masih belia
Aku telah mendengar seruan Begawan
ketika aku baru saja mulai bernapas
Begawan adalah kedamaian
Begawan adalah soliditas
Begawan adalah kebebasan
Dialah Tathāgata Buddha 

Aku bertekad memperkuat
sumber kebebasan
sumber soliditas
dipersembahkan kepada semua makhluk
kini dan esok hari.

Asap, Awan, dan Angin

Asap, Awan, dan Angin
Jembatan Gentala Arasy, Jambi

Betapa udara bersih sangat berharga, ini baru saya sadari ketika udara di sekitar bikin sesak napas. Tak hanya itu, bahkan rumah pun penuh asap, bernapas serasa begitu memberatkan, dada terasa sakit, dan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) melanda.

Di tengah-tengah musibah asap, saat saya berkesempatan keluar dari kota yang berasap ini. Saya pun bisa menghirup udara Jakarta sangat saya syukuri, padahal udara Jakarta sebenarnya juga sudah cukup terpolusi, tapi jauh lebih baik dibandingkan dengan udara di Jambi, pada saat ini.

Lupa Bersyukur

Hal ini menyadarkan saya bahwa saya sering lupa bersyukur dengan sesuatu yang biasa berada sangat dekat, memberiku hidup yang baik, semua itu adalah udara yang bersih, hujan, air bersih, sinar matahari dan masih banyak lagi.

Saat udara bersih (biasa) kita lupa mensyukuri untuk udara bersih yang kita hirup dengan bebas setiap saat. Saat hujan terlalu sering, kita mengeluh karena kehujanan, banjir. Memboroskan air bersih yang tinggal mengalir saat keran dibuka. Sinar matahari yang terik, menjadi keluhan. Padahal tanaman, sayur yang kita makan, bila tanpa sinar matahari tidak akan bisa berfotosintesis, tidak bisa tumbuh besar.

Saat bencana kebakaran hutan dan lahan melanda, bahkan untuk bernapas saja susah, bau asap yang menusuk hidung, menyesakkan paru-paru, membuat kerongkongan menjadi kering, mata perih, seperti ikan yang diangkat keluar dari air, megap-megap. Betapa udara bersih sangat berharga.

Berharap Awan dan Angin

Ketika berharap turun hujan, mengapa tidak ada yang mengusahakan hujan buatan? Untuk membuat hujan buatan juga tidak hanya serta merta cukup dengan menggunakan bahan-bahan kimia, tapi juga dibutuhkan faktor alam yang mendukung, yaitu adanya kumpulan awan yang cukup.

Ya awan, awan sangat dibutuhkan kala “musim” asap begini. Walau awan bisa datang dan pergi sesuka-sukanya, tapi di saat begini, semua orang berharap awan bisa berkumpul di tempat di mana sumber kebakaran terjadi, sehingga hujan buatan bisa diwujudkan. Syukur-syukur bisa hujan secara alami.

Kemana perginya air? Mengapa awan tidak terkumpul? Kumpulan titik-titik air ini yang terbentuk menjadi awan, sangat dinanti-nantikan kehadirannya. Kadang kala, angin meniupnya menjadi tersebar kemana-mana, usaha mewujudkan hujan buatan pun gagal.

Ya angin, udara, awan, sinar matahari, semua itu dibutuhkan pada saat yang tepat, untuk berdaya guna bagi kehidupan kita. Karena ketidakpedulian, Kita merusaknya, atau tidak peduli mau tercemar atau tidak, membakar lahan berimbas kebakaran hutan, buang sampah sembarangan menyebabkan selokan tersumbat dan banjir, dan lain sebagainya tindakan-tindakan yang dapat merusak alam.

Tapi setelah menghadapi udara yang berasap, sesak napas, sudahkah disadari bahwa masa depan yang akan datang, lingkungan tempat kita tinggal ini, akan menjadi seperti apa, bila kita tidak peduli, tidak menjaganya mulai dari sekarang.

Manusia Awan

Manusia juga ada yang seperti awan dan angin. Awan datang dan pergi, saatnya datang maka berkumpulah seperti layaknya orang yang telah berjanji, kumpul bersama lalu munculah ide dan kegiatan. Bagaimana dengan angin? Angin dibutuhkan untuk membawa awan berkumpul juga membawa awan menjadi buyar.

Sifat angin memang susah ditebak, kita tidak bisa memerintah angin untuk tidak datang dalam bentuk badai atau angin kencang yang bisa memporak-porandakan segala sesuatu. Kita hanya bisa mempersiapkan diri kita untuk menghadapi angin kencang dengan berlindung dalam bangunan yang kokoh atau menghindarinya.

Dengan belajar mindfulness saya jadi mengerti dan mensyukuri ada udara bersih yang saya hirup setiap saat. Ada awan yang bisa menurunkan hujan kala asap begitu pekat hingga menyesakkan dada, ada angin yang walau tak tentu arah, tapi berkat angin, awan bisa berkumpul.

Ada orang yang kita harapkan kehadirannya, namun orang tersebut masih seperti awan, terlalu sulit ditebak kehadirannya. Berharap ada orang yang seperti angin yang meniupkannya untuk hadir pada saat yang tepat. Namun angin (orang itu) juga sulit ditebak akan bertiup ke arah sini atau sana, atau malah menjauh.

Hanya perlu memahami, lalu ya sudah, demikianlah adanya. jengkel, gondok, atau marah mungkin di awal-awal ada, tapi berfokus pada tujuan sambil napas masuk napas keluar, akan mentranformasikan perasaan negatif tersebut menjadi bunga sukacita setelah semua kesulitan bisa dilalui.

ELYSANTY (True Peaceful Sound), anggota Ordo Interbeing dan sukarelawan praktik mindfulness dari Jambi