Mindfulness Class: Meditasi Jeruk

Mindfulness Class: Meditasi Jeruk

“Meditation is a matter of enjoyment. When you are offered an orange, there must be a way to eat your orange that can bring you happiness. You can eat your orange in such a way that you are truly present.”

Selama dua minggu bulan Oktober 2017 yang lalu, seluruh kelas SD dan SMP bergiliran melakukan meditasi jeruk. Ternyata banyak anak yang menyukai proses ini, proses menikmati sebuah jeruk dengan sadar penuh. Melihat dan merasakan kulit luar dan dalam, mencium wanginya, mengunyah dan merasakan manis asamnya buah tersebut serta menikmati setiap potongan secara perlahan.

Meditasi Jeruk

Terinspirasi dari Br. Pháp Khởi, materi meditasi jeruk kali ini saya bawakan dengan cara mendongeng pada anak-anak. Anak-anak sempat terkejut ketika melihat saya seolah-olah dapat mendengar suara buah jeruk yang ada di tangan saya berbisik di telinga saya. Mungkin mereka berpikir, “Bisa-bisanya laoshi mengajak bicara buah jeruk.”
Tapi yang terpenting mereka menangkap materi yang saya sampaikan. Hahaha..

Setelah selesai saya meminta mereka menulis pengalaman mereka dalam kegiatan ini.

Ada seorang anak menuliskan, “Pengalaman ini menyenangkan karena membuatku tahu bahwa jeruk itu juga memiliki kehidupan mirip dengan manusia.

Seorang anak lain menulis, “Saya sangat terkesan dengan meditasi jeruk. Tidak disangka ternyata meditasi ini lebih nikmat. Tadi saya mendapat jeruk yang asam. Pada awalnya saya memakan jeruk ini terasa asam. Tapi lama kelamaan ketika saya makan dengan pelan dan nikmat, jeruk ini terasa manis + asam (sedikit).

Ada juga yang menulis, “Sangat menyenangkan bisa duduk tenang dan berkumpul bersama guru dan teman-teman sambil merasakan buah jeruk secara mendalam.

Semoga pengalaman ini membawa kesan yang mendalam bagi mereka. Andai ada yang mendapat jeruk yang asam, berulat atau bahkan yang tidak suka makan jeruk, paling tidak mereka akan mengingat kisah yang diceritakan. Kisah bagaimana buah jeruk yang berada di tangan kita itu adalah sebenarnya sedang melakukan sebuah perjalanan. Perjalanan untuk bertransformasi dari sebuah bunga putih yang kecil dan wangi yang kemudian menjadi buah jeruk, hingga akhirnya berada di tubuh kita untuk memberi nutrisi bagi tubuh kita. (Rumini Lim)*

“And when the fruit is gone, let the experience linger, awakening gratitude and joy.”

*Guru Sekolah Ananda di Bagan Batu, ia mengajar mindfulness class

Mindfulness Class: Genta Kesadaran

Mindfulness Class: Genta Kesadaran

“Sesibuk apapun kita, ingatlah untuk selalu kembali ke napas.
Sadari setiap tarikan napas masuk dan keluar.
Karena saat inilah saat terpenting.
Bukan tadi, bukan nanti.”

Pada awal semester ganjil tahun 2017 yang lalu saya memperkenalkan teman baru pada semua murid, dari PG, TK, SD hingga SMP. Sebuah genta kesadaran mungil yang akan selalu menemani saya ketika bersama mereka. Ketika mendengar suara genta diundang, mereka dibiasakan untuk hening dan memperhatikan napas. Dan suara genta ini akan mereka dengar setiap harinya terutama ketika saat berkumpul makan pagi bersama.

Sebelum kontemplasi makanan dibacakan, mereka akan hening mendengar suara indah ini. Begitu juga setelah selesai bersantap. Sejak itu guru-guru tidak perlu berteriak lagi agar mereka hening sebelum makan. Suara genta ini sangat membantu mereka untuk hening sejenak dan kembali ke napas.

Siswa mengundang genta

Sekarang, bahkan murid-murid berebutan meminta izin untuk dapat belajar mengundang genta secara bergiliran saat makan pagi bersama. Terkadang saya sengaja memilih anak yang aktif untuk melakukannya, agar mereka belajar memperhatikan napas ketika mengundang genta. Terkadang saya memilih anak yang terlihat kurang percaya diri untuk melakukannya, atau untuk membacakan kontemplasi makanan, agar memupuk rasa percaya diri mereka. Sekarang saat makan pagi bersama menjadi salah satu momen yang menyenangkan bagi kami (para guru dan murid) setiap pagi.

“Listen, listen.. this wonderful sound, it brings me back to my true home. ~ Thich Nhat Hanh”


Aaron Carter mengundang lonceng

Namanya Aaron Carter Sahdat, duduk di kelas 1 SD. Aaron anak baik, tidak suka mengganggu temannya juga tidak cengeng. Satu kepolosan dia, dia tidak bisa duduk tenang di kelas dan selalu ingin mencari perhatian ibu gurunya.

Ketika makan pagi, Aaron selalu duduk paling ujung depan, jadi dia biasa melihat saya mengundang genta. Ketika kakak-kakak kelasnya bergiliran membaca kontemplasi makanan setiap pagi, dia lebih tertarik dengan suara genta. Berkali-kali dia bilang, “Laoshi, Aaron mau ngundang lonceng.”

Awalnya saya ragu. Tapi satu pagi saya panggil dia ke depan menemani saya mengundang genta. Telapak tangannya berada di antara genta dan telapak tangan saya. Saya memintanya untuk menarik napas sebelum membangunkan genta. Kembali bernapas tiga kali setiap kali genta diundang. Dan ternyata dia bisa mengikuti dengan baik. Dan dia sangat senang diperbolehkan melakukan itu.

Tidak disangka, sekarang dia sudah bisa mengundang genta sendiri tanpa ditemani lagi. Dan kata wali kelasnya, Aaron sekarang berubah banyak. Sudah mau menulis dan belajar di kelas. Kedewasaannya mulai bertumbuh tampaknya. (Rumini Lim)*

*Guru Sekolah Ananda di Bagan Batu, ia mengajar mindfulness class

Lima Tahun Pelatihan Monastik

Lima Tahun Pelatihan Monastik

Ketika kita berlatih sebagai monastik, kita memiliki kesempatan untuk menemukan akar dari kebebasan, soliditas, kegembiraan, dan kebahagiaan diri sendiri, dan kita dapat membantu komunitas. Ketika kita ditahbiskan dan selanjutnya mengenakan jubah cokelat, kita belajar untuk memotong ilusi dan penderitaan. Kita belajar untuk mentransformasikan penderitaan kita yang terdalam menjadi masa depan yang cerah dan masa kini yang lebih cerah lagi. Hal ini merupakan sebuah proses yang alami, karena saat kita menemukan akar kebajikan dalam hidup, kita juga akan mampu membantu orang lain untuk berhenti menciptakan penderitaan bagi dirinya sendiri dan dunia.

Pelatihan monastik selama lima tahun ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi Anda untuk belajar bagaimana menjalani hidup Anda dengan penuh makna, menemukan tali persaudaraan, dan membuat perubahan sosial yang selama ini selalu kita impikan menjadi mungkin untuk diwujudkan di sini dan sekarang. Dengan merasakan kehidupan sederhana yang dijalani oleh biksu dan biksuni serta mengembangkan kehidupan spiritual, Anda akan mampu membantu biksu dan biksuni senior Anda dalam menyelenggarakan retret dan kegiatan di seluruh dunia.

Anda akan mampu untuk berbagi tentang praktik dan transformasi diri, serta menolong banyak orang, termasuk anak-anak, pasangan, dan keluarga. Ketika kita melepaskan pencarian kita akan kekayaan, kekuasaan, kenikmatan sensual, dan mengenakan jubah cokelat milik monastik, kita tidak perlu menunggu hingga lima tahun untuk dapat membantu orang lain. Sejak hari pertama, kita dapat menginspirasi orang-orang di sekitar hanya dengan berjalan dengan penuh kesadaran, soliditas, dan kebebasan.

Silakan kunjungi salah satu pusat latihan kami di Amerika Serikat, Perancis, Jerman, dan Thailand untuk menanyakan tentang program ini dan mempelajari lebih lanjut mengenai proses pendaftarannya.

Persyaratan Umum:
Usia 17 – 32 tahun. Jika Anda berusia di bawah 18 tahun Anda harus mendapatkan persetujuan dari orang tua Anda.
Single atau telah bercerai. Hubungan Anda dengan orang-orang yang dekat dengan Anda telah selesai, dan keputusan Anda selaras dengan mereka, sehingga mereka tidak akan menjadi hambatan bagi latihan Anda sebagai monastik.

Tidak menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau kondisi medis yang serius. Kestabilan mental dan kesehatan fisik Anda harus dalam kondisi yang sewajarnya sehingga tidak menjadi hambatan atau tantangan bagi latihan Anda dan juga bagi komunitas. Akan dilakukan pemeriksaan darah dan kesehatan sebelum Anda mengikuti program ini.

Tidak memiliki hutang atau beban finansial. Sebagai monastik, kita berlindung kepada Sangha, dan tidak memiliki hutang, atau memiliki rekening bank dan atau kartu kredit. Jika diperlukan, Anda dapat menutup rekening bank dan kartu kredit yang Anda miliki, sehingga Anda dapat berlindung pada Sangha sepenuhnya untuk seluruh kebutuhan Anda, termasuk makanan, pakaian, obat-obatan, dan tempat tinggal.

Komitmen untuk belajar, berlatih, dan melayani. Latihan kami mengajak Anda untuk mengalir menjadi satu kesatuan sebagai Sangha. Anda berkomitmen untuk belajar bagaimana berlatih sebagai sebuah komunitas dan mengikuti bimbingan Sangha, termasuk menghadiri seluruh kegiatan. Monastik yang tidak dapat berkomitmen untuk mengikuti jadwal dan latihan Sangha dipersilakan untuk meninggalkan komunitas.

Melepaskan barang-barang milik pribadi. Sebagai bagian dari latihan, Anda akan diminta untuk melepaskan barang-barang tertentu seperti laptop, ponsel, dan lain-lain, dan diminta masuk ke dalam komunitas dengan tangan kosong.
Kunjungan keluarga. Anda dapat mengunjungi anggota keluarga Anda selama 14 hari setelah berlatih selama 2 tahun sebagai novis (samanera atau samaneri). Anda tetap dapat menghubungi mereka, memperhatikan mereka, dan berbagi kebahagiaan dengan mereka dengan menulis surat/email untuk mereka atau menelpon mereka dari waktu ke waktu.

Periode pengajuan mengikuti program pelatihan: Datanglah ke salah satu dari pusat latihan kami untuk mengikuti retret selama dua minggu sebelum Anda mengajukan diri untuk mengikuti program pelatihan. Anda dapat berkonsultasi dengan biksu atau biksuni tentang kehidupan mereka untuk mempelajari lebih banyak tentang kehidupan monastik dan hidup berkomunitas.

Jika Anda menemukan bahwa cara hidup ini selaras dengan aspirasimu dan Anda dapat menemukan kebahagiaan dalam latihan sehari-hari, Anda dapat menulis surat untuk menceritakan tentang keinginan Anda untuk mengikuti program pelatihan lima tahun ini. Komunitas akan bertemu untuk mendiskusikan permintaan Anda dan mengundang Anda untuk mengikuti program aspiran ketika terdapat dukungan yang selaras dengan permintaan Anda dan ketika kondisi yang menunjang Anda untuk mengikuti program pelatihan ini telah tercukupi.

Periode pelatihan sebagai Aspiran (3 bulan hingga 1 tahun): Setelah permintaan Anda untuk mengikuti program pelatihan telah disetujui, Anda akan diberikan jubah berwarna abu-abu untuk Anda gunakan selama masa pelatihan sebagai aspiran. Anda akan diajak untuk berpindah ke tempat tinggal aspiran bersama dengan aspiran lainnya. Seorang mentor yang telah ditugaskan akan membimbing Anda dalam masa awal latihan dan masa transisi ke dalam kehidupan monastik.

Latihan Anda bukan hanya tentang belajar pengetahuan dan gagasan-gagasan semata. Ini merupakan praktik yang Anda pelajari untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga Anda mampu mentransformasikan penderitaan Anda, serta mengembangkan pengertian dan cinta kasih. Dalam periode ini, Anda akan diminta untuk melepaskan harta benda dan komitmen duniawi Anda sehingga Anda cukup bebas untuk memulai kehidupan Anda sebagai seorang monastik.

Setelah menjalani masa latihan sampai dengan satu tahun, komunitas monastik akan bertemu untuk melihat secara mendalam latihan dan aspirasi Anda. Atas dasar tersebut, komunitas akan memutuskan apakah Anda sudah siap untuk ditahbiskan sebagai novis (samanera/samaneri) atau apakah Anda lebih cocok untuk melanjutkan latihan Anda sebagai umat awam di dalam komunitas.

Periode pelatihan sebagai Novis (3 tahun): Ketika Anda sudah ditahbiskan sebagai novis (samanera/samaneri), Anda akan diajak pindah ke kediaman monastik, untuk tinggal bersama dengan biksu dan biksuni lainnya.

Latihan Anda akan lebih berfokus pada kehidupan monastik, berdasarkan buku latihan untuk pemula, Stepping Into Freedom, dan buku panduan untuk hidup berkomunitas, Joyfully Together. Penting untuk selalu diingat bahwa pelatihan monastik pada dasarnya berbeda dengan pencarian akademis di universitas. Alih-alih sekedar memperoleh pengetahuan dan mengembangkan keahlian semata, sebagai monastik kita diingatkan untuk selalu kembali ke latihan dasar yaitu bernapas, berjalan, dan makan dengan sadar penuh, serta mendengarkan genta, meskipun kita telah berlatih selama lima, sepuluh, atau tiga puluh tahun.

Anda akan melatih dan mengembangkan perhatian penuh, konsentrasi, dan pengertian berdasarkan pada tata krama dan sila yang menjadi pedoman perilaku bagi samanera dan samaneri, yang diwujudkan secara konkret melalui perbuatan, ucapan, dan pikiran Anda dalam kehidupan sehari-hari.

Anda akan berbagi kamar dengan dua, tiga, atau empat biksu dan biksuni lainnya dan akan diberikan seorang mentor untuk membimbing latihan Anda. Setelah tiga tahun, Anda dapat memenuhi syarat untuk ditahbiskan secara penuh menjadi komunitas biksu dan biksuni, dengan persetujuan Thay dan seluruh komunitas.

Penahbisan penuh (1 tahun): Pada periode ini, Anda akan memasuki Sangha Biksu, dan berlatih sebagai anggota seutuhnya dari komunitas monastik, menjalankan sila-sila yang lebih tinggi yang dilaksanakan oleh Biksu dan Biksuni.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai kehidupan biksu dan biksuni di komunitas kami, Anda dapat membaca penjelasan kami tentang bagaimana kami hidup dan berlatih sebagai seorang monastik dengan komitmen seumur hidup.

[Link untuk penjelasan latihan sebagai monastik seumur hidup]

Silakan kunjungi website kami untuk penjelasan lebih lengkap mengenai program ini.

Rekomendasi buku untuk dibaca: Old Path White Clouds, Happiness, Stepping Into Freedom, Joyfully Together (tersedia di Parallax Press).

Menjadi Monastik

Menjadi Monastik

Monastik merupakan istilah umum untuk biksu, biksuni, samanera, dan samaneri. Anda memiliki kesempatan untuk bergabung dengan komunitas monastik Plum Village (PV). Anda dapat belajar dan berlatih di salah satu pusat latihan PV di Eropa, Amerika, atau Asia. Komunitas atau sangha monastik PV terus berkembang, saat ini berjumlah sekitar 700an orang yang tersebar dari tiga benua itu.

Komunitas Monastik PV
Komunitas monastik PV saat ini terdiri dari berbagai negara meliputi Perancis, Inggris, Belanda, Jerman, Italia, Spanyol, Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand, Indonesia, India, Kanada, Swedia, Portugal, Amerika Serika, dan Australia. Usia mereka juga berkisar 15 sampai dengan 79 tahun, meskipun rata-rata berumur dari 20 hingga 30 tahun. Walaupun komunitas monastik PV terdiri dari berbagai negara, namun saat ini yang paling banyak adalah dari Vietnam, jadi hidup dalam komunitas yang beraneka ragam diperlukan kemampuan untuk merangkul budaya yang berbeda-beda. Bahasa yang dipergunakan secara umum adalah Vietnam, Inggris, dan Perancis, jadi seseorang minimal perlu menguasai salah satu Bahasa itu.

Persyaratan
Anda yang ingin bergabung dengan komunitas monastik PV harus berusia di bawah 50 tahun. Tidak ada prasyarat gelar akademik. Mereka yang berusia di bawah 18 tahun perlu mendapat persetujuan dari orang tua. Tidak mengidap penyakit yang serius dan fatal atau cacat berat. Komunitas monastik PV hidup selibat dan komitmen seumur hidup. Kehidupan komunitas menjadi elemen penting, bukan bersifat individualis. Seorang samanera atau samaneri wajib melewati program pelatihan selama 3 tahun sebelum menerima penahbisan penuh sebagai biksu atau biskusni.

Permohonan Penahbisan
Langkah pertama adalah Anda perlu tinggal di Plum Village minimal 3 bulan sebagai praktisi umat biasa. Anda bisa mendapatkan pengalaman langsung tentang kehidupan komunitas, kemudian para monastik juga punya kesempatan untuk mengamati Anda juga. Masa tinggal di pusat latihan PV adalah 2 minggu, setelah itu Anda boleh menulis surat permohonan untuk memperpanjang masa tinggal sekaligus mengungkapkan keinginan untuk bergabung dalam komunitas monastik. Komunitas monastik akan mempertimbangkan permohonan Anda.

Surat yang Anda tulis perlu mencantumkan latar belakang, pengalaman latihan, lalu aspirasi apa yang mendorong Anda sehingga ingin bergabung ke dalam komunitas monastik. Apabila komunitas monastik menyetujui permintaan Anda, maka Anda resmi menjadi aspiran (calon samanera atau samaneri).

Sebagai aspiran, Anda akan diberikan pelatihan bagaimana cara meningkatkan kualitas-kualitas positif, lalu bagaimana mengubah hal-hal negatif dalam dirimu. Anda juga dibebaskan dari biaya kontribusi akomodasi. Anda akan mendapat seorang mentor yang akan membantu Anda dalam pelatihan selanjutnya. Setelah melalui berbagai pelatihan dan dianggap siap, maka Anda bisa diajukan untuk menerima penahbisan menjadi samanera atau sameneri.

Sebagai Aspiran, Anda diwajibkan mengikuti semua aktivitas, kecuali ada aktivitas yang hanya untuk komunitas monastik saja.

Hidup sebagai samanera-samaneri
Anda sudah bisa sedikit membantu orang lain walaupun masih dalam status samenera-samaneri, tidak perlu menunggu menjadi Dharmacharya atau biksu/biksuni. Dalam beberapa bulan berlatih dengan tekun, praktik berjalan, bernapas, serta membangkitkan kedamaian dan kebahagiaan, itu saja sudah bisa banyak membantu orang lain. Sebagai praktisi muda Anda bisa mendukung komunitas dan membawa kebahagiaan bagi banyak orang.

Setelah melewati masa latihan samanera-samaneri selama 3 tahun, Anda akan dipertimbangkan untuk ditahbiskan menjadi biksu atau biksuni. Pusat latihan PV adalah rumahmu. Walaupun Anda menghadapi berbagai kesulitan, kita tetap bertekad untuk mencari jalan keluar dan berusaha hidup harmonis dengan kakak dan adik dalam Dharma.

Keluarga Anda diperbolehkan mengunjungi Anda, dan setiap 2 tahun sekali Anda diperbolehkan mengunjungi keluarga, atau sesegera mungkin jika ada kondisi darurat.

Semoga Anda dapat memenuhi cita-cita mulia demi kepentingan semua makhluk.

Mindfulness Class: Hidup Sadar Penuh Bagi Murid Sekolah

Mindfulness Class: Hidup Sadar Penuh Bagi Murid Sekolah
Happy Teachers Change The World

Ada yang berbeda sejak awal tahun pelajaran bulan Juli lalu bagi murid-murid Sekolah Ananda. Sebuah kelas baru diperkenalkan kepada semua kelas SD dan SMP. Namanya ‘Mindfulness Class’. Terdapat dua ruang kelas khusus untuk mendukung program ini. Satu ruang khusus untuk kegiatan total relaksasi, dan satu lagi sebagai tempat pertemuan ketika pelajaran ini berlangsung. Dua minggu sekali murid-murid SD bergiliran akan mencicipi pengalaman baru di setiap pertemuannya. Bagi siswa SMP mereka mendapat jadwal lebih intens, seminggu sekali.

Materi yang diberikan adalah hampir sama dengan kegiatan retret hidup berkesadaran versi Plum Village, hanya saja ini tidak dilakukan sekaligus dalam kurun waktu tertentu. Meditasi jeruk, meditasi biskuit, meditasi jalan, meditasi gerak, meditasi berbaring, meditasi kerikil, dan meditasi kerja adalah bagian dari materi kelas ini sepanjang dua semester.

Satu semester telah berjalan dengan baik. Senang anak-anak banyak yang menyukai kelas ini. Sebagian materi utama telah dilaksanakan. Pada setiap pertemuan bukan hanya mereka yang berlatih, tapi saya juga. Kami berlatih bersama seperti sebuah sungai, sebagai sebuah komunitas, dan rasanya sangat menyenangkan. (Rumini Lim)*

*Guru Sekolah Ananda di Bagan Batu, ia mengajar mindfulness class

Sudahlah, Makan Dahulu Buburmu

Sudahlah, Makan Dahulu Buburmu
Retret @VipassanaCenter Sibolangit

Retret Mindfulness barusan merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Komunitas DOM Menara Air bersama Siddhi dengan dukungan dari Wihara Borobudur Medan. Lokasinya di Sibolangit, Wihara Vipassana Center, dari tanggal 24 sampai dengan 26 November 2017.

Beberapa hari mengikuti retret membuat saya merasa segar kembali, tidak hanya pengetahuan bertambah juga sekaligus memperkuat latihan secara formal dan kemudian dibawa kembali ke latihan sehari-hari yaitu latihan non formal.

Lanjut Tidur
Hari Jumat sore sekitar pukul 15:00an, saya bersama suami berangkat ke lokasi retret dari kantor. Kami berdua meluncur ke Sibolangit dengan kendaraan pribadi, sedangkan peserta lainnya berkumpul di Wihara Borobudur untuk berangkat bersama dengan bus yang telah disewa oleh panitia.

Malam pertama tiba di lokasi, acara dimulai dengan orientasi singkat oleh Suhu Nyanabhadra, kemudian diakhiri dengan mengumpulkan handphone dan pengumuman tambahan dari panitia tentang beberapa hal yang perlu diketahui, setelah itu kami berlatih hening bening (noble silent).

Keesokan harinya, semua peserta bangun pada pukul 05:00 pagi, setelah itu 05:30 sudah berkumpul di aula meditasi untuk memulai sesi meditasi duduk. Maaf, saya tidak bisa ikut pada waktu itu karena saya masih batuk. Saya melihat ke samping tempat tidur melihat anak perempuan saya juga masih tidur, dia tidak ikut meditasi duduk pagi. Anak dan ibu melanjutkan meditasi “tidur”.

Kegiatan berlanjut dengan meditasi jalan pelan di ruangan, mendengarkan pembacaan sutra lalu meditasi jalan pelan di pekarangan wihara. Para peserta biasanya diajak meditasi gerak badan kemudian melanjutkan meditasi jalan menuju ruang makan.

Nikmatnya Bubur
Saya lihat jam sarapan sudah hampir tiba, lalu bergegas ke ruang makan untuk ikut sarapan bersama-sama. Setiap sesi meditasi makan, semua akan duduk dengan hening mendengarkan lima renungan sebelum makan. Pagi itu sungguh beruntung, menunya adalah bubur, dalam hati berkata “Wow, nikmat sekali…..”.

Sarapan pagi itu terasa indah dan nikmat karena ditemani suami, anak, dan semua keluarga besar seperjuangan dalam retret. Saya senang bisa ikut retret bersama keluarga. Saya juga senang dengan meditasi makan (mindfulness eating), setiap orang diwajibkan untuk mengunyah sebanyak 32 kali, dalam hati berkata “Wow, ini kan bubur!”.

Suhu mengangkat pelantang suara (microphone) lalu menyampaikan, “Hari ini kita akan berlatih makan berkesadaran dengan mengunyah 32 kali sebelum ditelan, cukup satu sendok saja, lalu kunyah. Namun, berhubungan hari ini menunya bubur, jadi Anda semua mendapat diskon, boleh kunyah 20 kali saja”.

Di saat itu, kenangan saya muncul begitu saja. Saya ingat bahwa hal ini pernah saya lakukan ketika berusia 8 tahun, waktu itu saya masih kecil. Ketahuilah bahwa pada saat itu kami sekeluarga sering makan bersama-sama. Kakak, adik, dan kedua orang tua. Sekarang saya merasakan perasaan yang serupa makan bersama keluarga. Bayangan itu muncul seketika, lalu saya kembali lagi kepada aktivitas utama saya yaitu mengunyah bubur. Saya sempat membatin, “Sudahlah, makan dahulu buburmu”.

Kamu adalah Dharma
Selesai makan bubur, saya masih duduk merenungkan hal apa yang menarik ketika sedang makan bersama tadi. Doa tadi, doa yang disebut Lima Perenungan Sebelum Makan. Selama ini ketika saya makan yah sudah makan saja. Ternyata apa yang saya makan tadi adalah anugerah dari alam semesta dan hasil kerja keras semua makhluk.

Ya ampun, selama ini saya sering tidak terlalu peduli. Saya sering kesal ketika apa yang mau saya makan tidak sesuai dengan keinginan. Saya selalu merasa ada saja yang kurang, kurang ini, kurang itu, kurang kecap, kurang kerupuk, dan segala jenis kekurangan. Bahkan ketika selesai makan juga masih saja berpikir kurang ini dan itu, merasa tidak puas.

Perenungan sejenak itu membuat saya merasa bahwa sebetulnya kondisi untuk berbahagia sudah tersedia saat ini. “Wahai bubur, terima kasih, hari ini saya mendapatkan pelajaran yang berharga. Wahai bubur, kamu adalah Dharma saya saat itu”.

Sebelum beranjak dari meja makan, saya dengan hening berkata dalam hati, “Semoga apa yang saya makan hari ini dan saat ini menjadi berkah bagi saya atas hasil kerja keras dari semua makhluk dan semoga semua makhluk berbahagia, sadhu…sadhu…sadhu”.

Cerita di atas adalah Dharma Sharing yang saya sampaikan pada sabtu sore, kebetulan waktu itu hanya di bagi 2 grup. Sebut saja grup Bunga, yang mana grup ini adalah semua peserta yang baru pertama kali mengikuti retret hidup berkesadaran. (Sri Astuti)*

*Istri dari 1 orang suami dan Ibu dari 2 orang anak, seorang putra dan putri.

Air Mata Emosi Telah Menjadi Sekuntum Teratai Suci

Air Mata Emosi Telah Menjadi Sekuntum Teratai Suci
Retret WBI Prov Jambi @WihSakyakirti

Retret Hidup Berkesadaran yang baru dilaksanakan dari tanggal 30 November sampai dengan 3 Desember 2017 ini diadakan dalam lingkungan Wihara Sakyakirti Jambi. Lingkungan ini sudah lumrah bagi semua peserta yaitu pengurus Wanita Buddhis Indonesia (WBI) Provinsi Jambi.

Peserta hadir pada sore hari, setelah menikmati makan malam, semua peserta mendapat orientasi singkat tentang berbagai latihan pokok yang akan dilakukan bersama-sama beberapa hari ke depan.

Sudut Berbeda
Hari berikutnya, kegiatan demi kegiatan diikuti dengan santai dan relaks. Ada sesi workshop, para peserta diminta untuk menggambar objek gabungan yang disusun secara acak di depan mata, kami dalam posisi duduk melingkar. Beberapa peserta tampak ragu dengan instruksi menggambar sambil bergumam bahwa tidak bisa menggambar.

Beberapa menit telah berlalu, satu persatu peserta mulai menghasilkan gambar proyeksi pikiran masing-masing. Setelah selesai menggambar, setiap peserta secara bergilir mengoper hasil karyanya ke kiri, sampai hasil karyanya kembali lagi kepada dirinya sendiri. Kami melihat bahwa setiap gambar mempunyai hasil yang unik dan berbeda-beda. Kegiatan ini menyadarkan kami bahwa cara kami melihat atau cara pandang kami ternyata berbeda-beda, padahal objek yang digambar adalah sama, hanya melihatnya dari sudut yang berbeda. Ini menjadi renungan sangat berharga bagi semua peserta.

Begitu Indah
Praktik jalan berkesadaran merupakan praktik harian, kami melewati tangga yang sudah sangat sering kami lewati. Namun pada hari itu ada seorang peserta yang berkata, “Jika kita berfoto di tangga ini pasti bagus.”

Saya tersenyum kecil, wah setelah sekian lama baru disadari ternyata tangga yang biasa-biasa ini tiba-tiba menjadi begitu indah, saya sadar karena pikiran kami indah, pikiran kami jernih, sehingga tangga itu tiba-tiba menjadi indah. Ternyata benar adanya kalau keindahan itu ada di mana-mana, hanya saja kita yang tidak menyadarinya.

Setiap pagi setelah sarapan, kami mempraktikkan meditasi kerja. Pada hari itu, ada peserta yang membersihkan kamar tidur bersama, ketika hendak masuk ke gedung itu mendapati gerbang utamanya terkunci, ternyata kuncinya tertinggal di dalam. Syukur saya mendapat informasi bahwa security memiliki kunci serep.

Setelah saya mendapatkan kunci serep, dalam perjalanan kembali ke tempat peserta yang masih menunggu dibukakannya pintu gedung tersebut, seorang panitia tergesa-gesa menemui saya, tampaknya ada sesuatu yang terjadi. Ia mengabarkan bahwa ada seorang peserta sedang menangis dan emosinya sedang tidak stabil. Saya menemui peserta tersebut dan merangkulnya untuk membantunya tenang kembali.

Meredakan Emosi
Saya mencoba untuk mempraktikkan mendengar dengan penuh kesabaran. Tampaknya dia cukup emosional, ia menceritakan kepedihan hatinya, menumpahkan air matanya beserta semua gundah di hati. Ia menceritakan bahwa ada seseorang menegur peserta lain dengan kata-kata yang kurang enak didengar. Teguran tersebut terdengar olehnya sehingga ia sedih dan menangis. Padahal yang ditegur adalah orang lain, kok dirinya yang merasa sangat tersinggung dan sedih.

Hati kesal pun tumbuh menjadi besar dalam dirinya, setiap kali bertemu dengan orang yang menegur itu, ia membuang muka tidak mau menatapnya. Pada saat bhante memberikan wejangan Dharma pas sekali berkaitan dengan bagaimana pikiran membesar-besarkan sesuatu sehingga sakit hati kecil bisa menjadi sakit hati besar, sakit hati itu bagaikan panah kedua dan seterusnya yang terus menerus menyakiti diri kita sendiri. Ia merasa bhante sedang menyinggung dirinya, sehingga dia merasa makin terpojokkan. Ia menduga bahwa ada seseorang telah mengadu kepada bhante sehingga bhante memberikan wejangan Dharma seperti itu. Emosi negatif dirinya tambah besar, apa pun yang muncul dalam dirinya makin negatif.

Dia menangis dan menangis. Setelah luapan airmata dan emosinya telah tertumpahkan, dia mulai tenang. Baru kemudian saya angkat bicara. Saya mencoba menceritakan sisi positif dari orang yang menegur tersebut, yang mana sisi positif ini yang dia tidak pernah ketahui, yang selama ini dia dengar hanya sisi-sisi negatifnya saja yang sudah seperti sampah yang menumpuk di pikirannya. Semua orang memiliki sisi baik dan kurang baik, namun manusia lebih sering mencatat sisi yang kurang baiknya, lalu melupakan sisi baiknya.

Titik Balik
Sore hari ketika sesi Dharma Sharing, ternyata kasus menegur itu disampaikan oleh salah satu peserta, inilah titik balik yang saya rasakan. Semua yang sharing bisa menggunakan bahasa kasih, tidak menuduh, lalu menceritakan apa yang mereka ingat dan bahkan meminta maaf kalau ucapannya dianggap sebagai teguran, padahal tidak bermaksud menegur. Emosi masing-masing orang telah reda dan pengertian pun lahir dari sana.

Keesokan harinya, masih ada orang yang berkisah tentang insiden itu, namun dia sudah bisa senyum dan tidak terlalu terganggu lagi oleh insiden itu. Saya merasa inilah transformasi yang luar biasa. Ada kalanya kita perlu memberikan izin kepada seseorang menumpahkan air matanya, mengeluarkan isi hatinya yang sudah beku agar air pengertian bisa mengalir kembali. Sekuntum teratai telah tumbuh ketika air mata emosi berubah menjadi pupuk dan air hujan pengertian. Yang awalnya emosi itu dianggap sebagai sampah atau buntang (bangkai), kini telah menjadi pupuk untuk menumbuhkan teratai suci.

Terima kasih kepadamu para sahabat yang telah berlatih bersama-sama, memberikan kami pengalaman yang begitu berharga. Tentunya ini juga berkat bimbingan yang diberikan oleh Bhante Nyanabhadra dan Bhante Bhadraputra selama retret itu.

Semoga kita semua akan tumbuh menjadi kuncup-kuncup teratai yang indah. (elysanty)

Air Mata Semua Insan Berasa Asin

Air Mata Semua Insan Berasa Asin
Sunita bertemu dengan Buddha

Suatu hari, Buddha bersama para muridnya pergi memohon makanan di sebuah desa di pinggiran Sungai Gangga, Buddha melihat seorang pria sedang memikul keranjang berisi kotoran manusia. Pria itu adalah Sunita dari kaum terbuang (paria). Sunita sudah pernah mendengar tentang Buddha dan komunitasnya, namun ini adalah pertama kali bertemu dengan Buddha. Sunita menjadi awas, menyadari bahwa dirinya kotor dan pakainnya berbau tidak sedap. Ia segera meletakkan keranjang itu dan mencari tempat untuk bersembunyi. Dari belakang berdiri beberapa biksu yang mengenakan jubah safron, dan dari depan Buddha sedang berjalan mendekatinya bersama dua biksu. Sunita tidak tahu harus berbuat apa, Sunita terpojok menuju pinggiran sungai dan bersimpuh lutut serta beranjali.

Masyarakat sekitar merasa heran dan keluar dari rumah untuk melihat kejadian itu. Sunita bersembunyi karena takut dirinya mengotori para biksu. Dia tidak menyangka bahwa Buddha berjalan mendekatinya. Sunita tahu persis bahwa para biksu berasal dari kasta tinggi. Dia percaya bahwa apabila dirinya mengotori para biksu maka itu adalah pelanggaran berat. Sunita berharap Buddha dan muridnya pergi menjauh darinya. Tetapi Buddha tidak beranjak, bahkan Buddha terus berjalan hingga pinggiran sungai dan berkata, ”Wahai sahabat, naiklah ke sini dan lebih dekat, kita boleh berbincang-bincang.”

Sunita masih beranjali dan enggan, ”Yang Mulia, saya tidak berani!

Mengapa tidak?” Buddha bertanya.

Saya dari kaum terbuang, saya tidak mau mengotori Anda dan para biksu.

Buddha menjawab, ”Dalam semangat Dharma, tiada lagi perbedaan sistem kasta. Anda adalah manusia yang sama persis dengan kami. Kami tidak takut akan terkotori olehmu. Justru keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin yang bisa mengotori kami. Anda adalah seseorang yang membawa kebahagiaan bagi kami. Siapa namamu?

Yang Mulia, nama saya Sunita.

Sunita, apakah Anda ingin bergabung dengan pesamuhan biksu seperti kami?

Saya tidak boleh!

Mengapa tidak boleh?

Karena saya dari kaum terbuang.

Sunita, saya sudah sampaikan bahwa dalam semangat Dharma tiada sistem kasta. Jalan menuju pembebasan, sistem kasta itu tidak ada lagi. Seperti Sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu, Mahi, dan Rohini. Ketika semua air sungai ini mengalir ke samudra, mereka tidak memiliki identitas pribadi lagi. Seseorang yang meninggalkan rumahnya menjadi petapa juga demikian, ia meninggalkan sistem kasta, apakah dia seorang Brahmana, ksatria, sudra, vaisya, maupuan paria. Sunita, jika Anda berkenan, Anda boleh bergabung dengan pesamuhan biksu.

Buddha menitipkan mangkok makan kepada Meghiya dan meraih tangan Sunita. Buddha berkata, ”Sariputra, mohon bantu saya membersihkan Sunita. Kita akan menahbiskannya sebagai biku di sini, di pinggir sungai ini.

Tidak pernah dalam sejarah Kerajaan Kosala bahwa sebuah komunitas spiritual menerima kaum terbuang. Banyak orang mengutuk keputusan Buddha yang dianggap melanggar norma suci leluhurnya. Ada di antara mereka yang menuduh bahwa Buddha sedang membuat plot untuk memporak-porandakan sistem yang ada kemudian membuat kekacauan di negeri ini.

Buddha menyampaikan, ”Menerima kaum terbuang ke dalam pesamuhan hanyalah urusan waktu saja. Semangat Dharma adalah semangat kesetaraan. Pesamuhan kita tidak mengenal sistem kasta. Kita akan menghadapi kesulitan atas penahbisan Sunita, namun ini akan menjadi momentum membuka pintu pertama kali dalam sejarah dan generasi mendatang akan berterima kasih atas kebijakan ini. Kita hendaknya tetap bersemangat.

Peristiwa penahbisan Sunita akhirnya sampai di telinga Raja Pasenadi. Sejumlah guru spiritual zaman itu meminta audiensi dengan raja dan menyampaikan kekhawatiran atas peristiwa itu. Argumen mereka telah membuat raja merasa kecewa, walaupun raja merupakan pengikut setia dari Buddha, raja berjanji akan menyelesaikan masalah itu, raja kemudian berkunjung ke Jetavana.

Raja turun dari kereta kuda dan berjalan di halaman wihara. Para biksu berjalan di bawah rindangnya pohon. Raja terus berjalan menuju gubuk Buddha. Raja memberi salam kepada setiap biksu disepanjang perjalanan. Menatap wajah setiap biksu yang begitu damai membuat keyakinan kepada Buddha makin kokoh. Di pertengahan perjalanan raja melihat ada seorang biksu yang duduk di atas batu besar di bawah pohon pinus, dia sedang memberikan pelajaran kepada grup kecil biksu dan praktisi awam. Sungguh pemandangan yang indah. Biksu itu tampaknya belum genap berusia 40 tahun, namun wajahnya terpancarkan kedamaian dan kebijaksanaan. Para pendengar mencurahkan perhatian sepenuhnya dan mengingat pelajaran yang sedang diberikan. Raja berhenti sebentar dan mendengarkan, baginda sangat terkesan dengan apa yang disampaikannya, tetapi tiba-tiba baginda teringat tujuan untuk bertemu dengan Buddha, lalu melanjutkan perjalanannya.

Buddha menyambut kedatangan raja, mengundang baginda masuk ke dalam gubuk dan duduk di atas kursi bambu. Setelah saling menyapa dan memberi salam, Raja bertanya kepada Buddha, siapakah biksu yang duduk di atas batu besar itu? Buddha tersenyum dan menjawab, ”Biksu itu bernama Sunita, ia berasal dari kaum terbuang, pekerjaan sehari-harinya adalah memikul keranjang kotoran manusia untuk dibuang. Menurut baginda, bagaimana pelajaran Dharma yang ia dengar tadi?

Raja merasa malu. Sungguh sulit dipercaya, biksu yang memancarkan kecemerlangan itu adalah Suntia yang berasal dari kaum terbuang yang pekerjaannya adalah memikul keranjang kotoran manusia. Saya hampir tidak percaya. Buddha melanjutkan, ”Biksu Sunita telah berlatih sepenuh hati sejak hari pertama penahbisannya. Dia adalah seorang yang tulus, pintar, dan memiliki tekad kuat. Walaupun dia baru 3 bulan ditahbiskan, dia telah menjadi biksu yang dihormati banyak orang karena kebajikan dan ketulusan hatinya. Apakah Baginda ingin bertemu dan memberikan persembahan kepadanya?

Raja membalas dengan jujur, ”Tentu saja saya ingin bertemu dengan Bhante Sunita dan memberikan persembahan kepada beliau. Guru, ajaranmu sungguh dalam dan luar biasa! Saya tidak pernah bertemu dengan guru spiritual yang hati dan pikirannya terbuka. Saya yakin semua makhluk akan mendapatkan manfaat dari ajaranmu. Jujur saja, saya ke sini sebenarnya untuk menyampaikan keberatan atas penahbisan Sunita. Namun setelah melihat dengan mata kepala sendiri, saya sekarang sudah mengerti. Saya tidak perlu lagi bertanya tentang hal itu. Mohon izinkan saya untuk bersujud padamu.” (alih bahasa: Phap Tu)

Sumber: http://www.mindfulnessbell.org/archive/2015/12/everyones-tears-are-salty

Great Big Smile

Great Big Smile

unduh MP3 klik sini

I am a bird, a beautiful bird,
I am the sun, the golden sun,
I am the wind, blowing in
the beautiful bird in the sun, we are one in our wonderful world.

I am a seed, a tiny seed,
I am the rain, gentle rain,
I am a stream, carrying,
A tiny seed in the rain as we change in our wonderful world.

I am a note, a beautiful note,
I am a song, a beautiful song,
I am a child, great big smile,
I’m a note in a song sing along in our wonderful world.

Sr Chan Đức’s Mewakili Thay di Union Medal Award Ceremony

Sr Chan Đức’s Mewakili Thay di Union Medal Award Ceremony
Sr. Chân Đức mewakili Thay di Seremoni Union Medal Award @NewYork
*Pidato pada tanggal 6 September 2017

 

Ibu Ketua, fakultas, para mahasiswa, dan sahabat sekalian, saya merasa ini sebuah kehormatan dapat mewakili Plum Village dan Thay, guru kami. Thay mengalami stroke pada tahun 2014, sehingga beliau tidak bisa hadir di sini bersama-sama kita. Namun Thay hadir bersama kita di sini secara semangat. Saya bisa merasakan kehadiran beliau berjalan di koridor gedung ini. Pada tahun 2001, Thay berkesempatan menginap di sini selama beberapa hari sesudah peristiwa 11 September (9/11). Beliau menyampaikan nasihat kepada masyarakat negeri ini bagaimana cara baik merespon kejadian yang menyayat hati itu di Gereja Riverside.

Jika Thay dapat berbicara pada hari ini, beliau pasti akan memberikan pesan yang sama persis seperti yang telah beliau sampaikan, ketika kita berada dalam ancaman begitu banyak kesulitan, tentang Korea Utara dan juga respon terhadap Korea Utara, bagaimana kita dapat mempraktikkan mendengar secara mendalam terutama terhadap diri sendiri, mendengar penderitaan kita sendiri, mengerti luka kita, mengerti luka mendalam kita. Kemudian, bagaimana kita dapat mendengarkan penderitaan dan luka dari mereka yang ada di sekitar kita. Bagaimana kita dapat mendengarkan penderitaan dan luka dari orang-orang yang memposisikan dirinya sebagai musuh. Melalui mendengar secara mendalam dan mampu mengekspresikan dan mendengar diri kita sendiri, kita dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang terbentang dari homo sapiens dan bumi kita pada saat itu. Daripada menghancurkan homo sapiens, kita dapat mengubah homo sapiens menjadi homo conscious, makhluk yang paham bagaimana untuk hidup secara bermakna dalam kehidupan sehari-hari, hidup dengan belas kasih, dengan cinta kasih, dengan gembira, kebahagiaan mendalam, dan cinta mendalam.

Medali ini akan dikirimkan ke Thailand, tempat Thay sedang menjalani masa pemulihannya. Atau mungkin ke Vietnam, saat ini (cat: 22 Okt) Thay sedang mengunjungi Wihara akar Plum Village, Tu Hieu, disitulah Thay pertama kali ditahbiskan menjadi samanera. Saat itu, keinginan mendalam beliau adalah memperbarui Agama Buddha, sehingga Agama Buddha bisa menjadi sebuah jalan yang terbuka untuk kita agar bisa menghadapi penderitaan masa kini. Ketika Thay tinggal di New York, beliau mampu menyembuhkan banyak luka yang beliau alami di masa perang Vietnam. Saat itu, beliau kembali kepada dirinya sendiri, dan mempraktikkan meditasi jalan, napas berkesadaran, agar bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Penyembuhan itu terjadi, seperti yang beliau katakan dalam jurnalnya di tahun 1962, ketika beliau membaca catatan harian menjelang akhir dari Dietrich Bonhoeffer, yang juga pemilik seminari ini. Pengorbanan, pengertian, dan kasih dari Dietrich Bonhoeffer sangat diapresiasi oleh Thay, dan membantu Thay menyadari betapa ketulusan dan keberanian dibutuhkan untuk memperbarui Agama Buddha.

Thay selalu berpikir bahwa beliau akan dapat mengajar di Vietnam, memperbarui Agama Buddha di Vietnam. Namun, sebab dan kondisi membawanya ke Amerika Serikat, yang berarti bahwa selama lebih dari empat puluh tahun (beliau dalam pengasingan selama empat puluh tahun), sejak beliau datang pada tahun 1962 sampai hari ini, Thay telah mempersembahkan sebuah Agama Buddha baru bagi dunia Barat. Sejak itu, kita dengan penuh keberanian dapat terus maju dan dapat terus maju di jalan ini yang membantu kita bertransformasi dari homo sapiens menjadi homo conscious. Jenis makhluk yang tidak hanya peduli dengan spesies manusia akan tetapi mampu menjaga seluruh makhluk, khususnya bumi tercinta yang kita pijak ini, sekeliling kita, dan atmosfer yang berada di atas kita.

Kami sangat bersyukur dapat hadir di sini hari ini, bersama-sama dengan Anda semua, dapat menerima medali yang luar biasa ini. Kami akan membawanya untuk Thay. Thay akan selalu di sini bersama dengan Anda di dalam hati Anda semua. Kapanpun Anda mempraktikkan jalan penuh kedamaian di sepanjang koridor ini, Anda semua berada dalam sentuhan Thay.

Sebagai ungkapan terima kasih kepada fakultas dan seluruh mahasiswa di institut ini, kami ingin mempersembahkan sebuah kado kecil. Ini adalah kaligrafi karya Thay. Kami berharap kado ini bisa sedikit memperkuat Socially Engaged Buddhism yang dipopulerkan oleh Thich Nhat Hanh untuk Agama Buddha yang lebih aktif terjun ke dalam masyarakat. Ketika program itu telah mendapatkan kondisi yang sesuai, maka kado itu bisa ditempatkan di ruang itu. (Ang)

Sumber: https://plumvillage.org/news/2017-union-medal/

Napas Untuk Mudik

Napas Untuk Mudik
Foto bersama peserta Day of Mindfulness di Wihara Ekayana Serpong

Rumah identik dengan suasana damai yang menyejukan hati. Rumah adalah tempat yang paling nyaman juga untuk melepas kepenatan dan kelelahan yang mendera kehidupan. Di era digital yang serba terkoneksi dengan hiper dan cepat luar biasa, tak jarang membuat kita menjadi lebih cepat. Ibarat kualitas baterai pada gawai di masa kini yang lebih cepat habis karena penggunaan data yang berat dan terus menerus, kondisi “low battery” juga mudah sekali dialami oleh manusia di kehidupan masa kini. Dan rumah adalah semacam “power outlet” untuk kita dapat melepas lelah dan mengisi ulang energi kita.

Namun sayangnya bagi sebagian besar masyarakat, terutama di perkotaan metropolitan seperti Jakarta dapat pulang ke rumah setiap saat terutama pada saat kita sibuk, stress, kehabisan energi tidaklah semudah itu. Padahal hampir seluruh masyarakat membutuhkan sebuah solusi yang instan juga untuk dapat mengikuti tuntutan kehidupan yang ekspres dan instan juga. Akhirnya yang sering kali terjadi untuk mendapat kedamaian yang instan adalah dengan menenggelamkan diri ke media sosial, alkohol, makan berlebihan, rokok, kehidupan dunia gemerlap bahkan obat-obatan terlarang. Walaupun kedamaian tersebut bisa didapatkan pada saat tersebut, namun kualitasnya kurang baik dan tak jarang memberikan efek samping yang negatif terdahadap kesehatan mental, jasmani, sosial bahkan finansial.

Padahal sebetulnya terdapat sebuah solusi yang sangat mudah dan aman serta cukup instan efeknya bilamana dipraktikkan secara rutin dan konsisten. Solusi ini tidak menimbukan efek samping ketergantungan yang negatif. Bahkan sebaliknya pada saat kita mengalami “ketergantungan” pada solusi ini lebih banyak efek positif yang bisa didapatkan. Dan kabar baiknya, solusi ini tersedia untuk setiap manusia baik mereka yang memiliki gaya hidup modern, tradisional bahkan purba sekalipun. Solusi ini mampu membawa kita kembali pulang ke rumah kita yang sejati, kapan saja dan di mana saja.

Solusi tersebut adalah gaya hidup dengan penuh kesadaran dengan menunggangi napas sebagai kendaraan untuk dapat membawa kita pulang ke rumah kita yang sejati kapan saja dan di mana saja dengan ekspres dan instan.

Di hari Sabtu, 04 November 2017 yang lalu bertempat di Wihara Ekayana Serpong terdapat puluhan orang berkumpul bersama untuk melatih diri mempraktikkan indahnya seni hidup dengan penuh kesadaran melalui napas masuk dan napas keluar sebagai kendaraan ekspres untuk membawa mereka pulang ke rumah sejati. Bersama-sama mereka duduk dalam keheningan menikmati setiap hembusan napas, bernyanyi dengan penuh kesadaran, menikmati berkah alam semesta melalui makanan dan minuman hingga saling berbagi cerita pengalaman dalam praktik dengan penuh kasih.

Dan di saat bersama-sama mereka menikmati setiap hembusan napas masuk dan napas keluar, sontak seketika mereka semua tiba ke rumah sejati. Bersama-sama mudik ke kampung halaman yang penuh cinta kasih dan kedamaian. Mendapatkan kembali energi untuk recharge diri setelah sekian lama tenggelam dalam kesibukan sehari-hari.

Di penghujung kegiatan, mereka semua pun berdoa agar latihan bersama yang telah dilakukan seharian penuh, dapat memberikan manfaat yang lebih luas lagi pada kehidupan yang kita semua jalani bersama. Tak lupa mereka berjanji bertemu berlatih bersama kembali setelah satu purnama untuk dapat kembali bersama mudik ke kampung halaman sejati. (Astrid Maharani)

Jadwal DoM (Day of Mindfulness)
08.00 – 08.30 Persiapan
08.30 – 09.00 Registrasi dan Song of Mindfulness
09.00 – 09.45 Kebaktian Bahasa Indonesia dan Meditasi duduk dipandu
09.45 – 10.00 Meditasi Gerak & Toilet Break
10.00 – 12.00 Menonton Video Ceramah Thay
12.00 – 13.00 Meditasi Makan
13.00 – 13.45 Relaksasi Total
13:45 – 14:00 Istirahat
14.00 – 15.45 Meditasi Teh dan Sharing
15.45 – 16.00 Pelimpahan Jasa dan Penutup

Patriak Zen Pertama dari Vietnam

Patriak Zen Pertama dari Vietnam

Khuong Tang Hoi: Patriak Pertama dari Vietnam

Plum Village memiliki patriak zen pertama bernama Khương Tăng Hội (康僧會, pinyin: Kāng Sēnghuì). Menurut catatan Vietnam, tanggal 1 November 2017 merupakan hari untuk mengenang kembali jasa-jasanya dalam menyebarkan ajaran Buddha.

Pagi itu, di Plum Village Thailand, empat lapisan sangha berkumpul di aula utama. Semuanya duduk dengan hening sekitar 20 menit, lalu dimulai dengan membacakan gatha pembukaan dan Sutra Hati dalam bahasa Vietnam, dilanjutkan dengan menyentuh bumi untuk menghormati Buddha Shakyamuni beserta sesepuh Zen dari Maha Kasyapa, Sariputra, Maha Moggalyana, Upali, Ananda, hingga Master Tang Hoi, dan beberapa sesepuh zen dari Tiong Kok hingga para guru besar kontemporer Vietnam.

Menyentuh bumi pagi itu menjadi sesuatu yang sangat luar biasa, bukan karena jumlahnya tapi makna dari setiap sentuhan bumi untuk mengingat kembali para guru-guru besar hingga Buddha Sakyamuni. Kegiatan dilanjutkan dengan membacakan biografi singkat Master Tang Hoi dan menyanyikan tembang yang memuji nama besarnya.

Sesepuh Zen Tang Hoi meninggal pada tahun 208M, beliau merupakan biksu yang banyak berkecimpung dalam menerjemahkan kitab suci Tripitaka pada zaman Tiga Kerajaan (三國, pinyin: Sānguó. Beliau lahir di Jiaozhi (交趾, pinyin: Jiāozhǐ) yang merupakan bagian dari Vietnam pada zaman sekarang ini. Ayahanda beliau berasal dari pedagang Sogdian dan ibundanya berasal dari Vietnam. Wilayah Sogdian merupakan kawasan yang saat ini merupakan bagian dari Tajikistan dan Uzbekistan.

Kisah mencatat bahwa beliau banyak memberikan kontribusi dalam penerjemahan Tripitaka ke dalam bahasa mandarin kuno. Suatu ketika beliau meditasi dan berdoa dengan sepenuh hati sehingga relik Buddha muncul di sebuah vas bunga. Seorang Raja bernama Wu Sun Quan mencoba untuk menghancurkan relik itu tapi tidak berhasil.