Bertemu Musim Semi

Bertemu Musim Semi

Bertemu Musim Semi (Vn. Đi gặp mùa xuân) adalah buku yang menceritakan secara rinci tentang kehidupan Master Zen Thích Nhất Hạnh yang akrab disapa Thầy dalam bahasa Vietnam, artinya guru. Melalui buku ini, kita dapat melihat bahwa sejak kecil sudah ada aspirasi sangat besar dalam dalam hati Thầy untuk untuk belajar, berlatih, dan mengabdi untuk masyarakat. Melalui banyak pasang surut politik Vietnam dan Dharma, aspirasi tersebut tetap teguh dan telah membantu banyak orang mentransformasi penderitaan mereka dan menemukan kebahagiaan di saat ini.

Buku “Bertemu Musim Semi” (Đi Gặp Mùa Xuân), sementara ini hanya tersedia dalam bahasa Vietnam

Buku ini merupakan materi yang sangat berharga, tidak hanya untuk penelitian tetapi juga untuk praktik. Kita dapat membaca dan mengikuti jejak Thầy, lebih menghargai tanah air kita dan membuka hati kita, pikiran kasih (bodhicitta) memiliki kesempatan untuk tumbuh setiap hari dari jejak langkah guru spiritual kita. Thầy juga telah menjalani kehidupan sebagaimana manusia biasa layaknya banyak orang.

“Sebagian besar dedikasinya untuk berbagi dengan orang lain menunjukkan bagaimana hidup dengan penuh kesadaran (mindfulness) dan kasih sayang tidak hanya berkontribusi terhadap kedamaian batin, tetapi juga mencerminkan bagaimana setiap orang dapat menggunakan kesadaran penuh untuk membangun perdamaian di dunia. Master Zen Thích Nhất Hạnh menjalani kehidupan yang komplet dan bermakna. (Yang Mulia Dalai Lama).

Melalui buku ini, kita yakin bahwa kita akan memiliki kemampuan untuk menjadi penerus yang indah dari para leluhur pendahulu, sama seperti Thầy merupakan kelanjutan yang indah dari banyak generasi leluhur sebelumnya. (Diterjemahkan oleh Br. Pháp Tử dari Sách “Đi gặp mùa xuân”)

The Healing Island

The Healing Island

I am a seeker. Long ago, I realized that my physical needs were met a thousand times over shelter, safety from the elements, clean water, clothes, and nutrition. Yet, I felt a longing for connection and belonging that I struggled to satisfy in my own home and in the city of Angels, Los Angeles. I yearned to contribute and be the change I wanted to see in the world: peace in oneself, peace in the world, as our teacher Thich Nhat Hanh’s teaching with his own life: My life is my teaching.

Of all the books, workshops, seminars, and meditation retreats I attended from various people and organizations, I found myself repeatedly returning to Deer Park Monastery on a mountain in Escondido near San Diego. There, I practiced Zen meditation with monks, nuns, and lay practitioners like myself. I was drawn to the comforting feeling of simply being—without judgment, without mistakes. This wonderful sense of acceptance and belonging at Deer Park or Plum Village mindfulness events allowed me to easily connect with so-called strangers, some of whom organically and gradually became my lifelong friends, even now that I’ve moved across the ocean to Bali, the healing island of the gods.

In Los Angeles, I happily joined different organizing teams for sanghas and Plum Village events quite often, on and off, during my 13 years of practicing mindfulness. Working with mindful friends towards a common mission of serving others and bringing the pure teaching and life-changing path to those in need brought me great joy and happiness. My needs for connection and contribution were beautifully and meaningfully met. I also had opportunities to learn and grow, gaining insights from great mindful teachers (both monastics and lay practitioners) and practicing mindful breathing, deep looking, and loving speech, especially in challenging situations involving less mindful individuals, including myself 

Moving to Bali last year, I noticed that the Plum Village tradition here is not as established as in Southern California. Initially, I felt sad and missed the wonderful communities I had in the past. But, as with everything in life, it is not about the outer circumstances but how we perceive them—whether as a victim or as a learner eager to grow. So, I decided to step up and bring more mindfulness events to the expat community here, where I see a huge need despite the seemingly perpetual vacation lifestyle many of us lead.

I’m thankful for the chance to step up as the main organizer of two beautiful Days of Mindfulness so far. Each event brought a wonderful co-organizer (who hopefully will become a lifelong friend) and obstacles that were overcome beautifully, resulting in beneficial experiences for many friends, some of whom had never heard of Thay or knew how to walk mindfully before.

For the first Day of Mindfulness, monastics contacted my co-organizing friend out of the blue, announcing their visit to Bali (which doesn’t yet have a Plum Village monastery, though one is coming soon, much to my joy) just five days before the planned event. We quickly coordinated with Green School, changed the date, and had four beautiful nuns lead the entire event.

Reflecting on how mindfulness and the Plum Village tradition have shaped my last 15 years, I feel thankful and happy. The practice is extremely simple—just returning to our breath, which even a child can do naturally and unconsciously. Yet, consistency is key and makes all the difference. As adults, we are now learning to breathe, walk, eat, listen, and talk all over again.

I love the pure teaching of Buddha as a philosophy of life. We measure our practice progress not by rigid, shallow, and egoic parameters like how often we sit, how much we know about Buddhist concepts, how little meat we eat, or how much charity work we do but by how compassionate we become towards ourselves and others, and how our lives harmonize with outer circumstances and those around us.

When I first encountered the practice in 2010, I was going through the toughest time of my life. Despite deep postpartum depression and years of physical, emotional, and relationship struggles, occasional visits to Deer Park recharged me every time, bringing me hope and much-needed self-belief. However, I lacked the consistency to bring mindfulness into my daily life.

Now, 15 years later, I realize the ultimate power of giving. To me, GIVING means:

  • Bring mindfulness to those ready to learn and practice it consistently,
  • Offering discounts and accepting full refunds in my mental health practice,
  • I deeply listen to my wounded inner child, my partner, and my daughter, understand the emotions and needs behind our words and actions, and respond with acceptance and clarity.

We cannot give without receiving. It is a universal law, like breathing out and in. Since intentionally centering myself on giving, I have received more and more in beautiful natural ways—physically, emotionally, financially, and in my relationships. Living my dream healer life in Bali is another manifestation of this giving philosophy that I am slowly bringing into reality in my daily life.

Living this intentional life of giving and the three right livelihoods I chose, mindfulness is invaluable. It is the energy we cultivate consistently in our daily lives through rituals of mindful teeth brushing, walking, dishwashing, sitting meditation, and even arguing or any other daily rituals that speak to oneself). So, when triggering moments arise, we have the light of mindfulness and awareness to illuminate the darkest corners of our unpresent, autopilot states of being.

Stay tuned for more Days of Mindfulness events! The next one is on August 10 from 9 AM to 1 PM in Canggu, Bali. And another one at the end of August at Green School Bali. (Kim Dang)

Pusat Mindfulness Thich Nhat Hanh untuk Kesehatan Masyarakat

Pusat Mindfulness Thich Nhat Hanh untuk Kesehatan Masyarakat
Thich Nhat Hanh Center for Mindfulness in Public Health (sumber foto: Lionsroar)

Pusat Mindfulness ini bertujuan untuk mengembangkan alat-alat asesmen ilmiah untuk mengevaluasi pengaruh intervensi mindfulness pada kesehatan.

Universitas Harvard mengumumkan dibukanya Thich Nhat Hanh Center for Mindfulness (Pusat Mindfulness Thich Nhat Hanh), tambahan baru bagi Sekolah Kesehatan Masyarakat Chan T.H. Harvard. Menurut siaran pers, misi dari pusat ini adalah untuk “memperkaya masyarakat di dunia agar dapat hidup dengan tujuan, ketenangan, dan sukacita melalui latihan mindfulness; mengejar pendekatan berdasarkan-bukti untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan melalui mindfulness; dan mendidik serta melatih umat awam tentang mindfulness.”

Pusat ini didirikan sebagai penghormatan bagi guru Buddhis Vietnam dan pendiri dari gerakan ajaran Buddha yang Terlibat, Thich Nhat Hanh, bagi dedikasinya terhadap kedamaian dan aktivisme sepanjang hidupnya dan pengaruhnya pada ajaran mindfulness. Pusat ini didirikan dengan hadiah 25-juta dollar dari donor anonim, mewakili salah satu donasi tunggal terbesar dalam sejarah sekolah tersebut.

Walter Willet, direktur dari pusat mindfulness dan guru besar epidemiologi dan nutrisi melaporkan bahwa pusat mindfulness ini akan membawa mindfulness ke dalam konteks penelitian kesehatan masyarakat. “Kami berharap Pusat ini dapat menjadi  pusat penyelidikan yang teliti dan berkolaborasi dengan rekan-rekan dari seluruh dunia untuk memajukan sains tentang mindfulness,” Willett menyatakan dalam siaran pers Senin.

Penelitian dari Pusat mindfulness ini akan berfokus pada pengembangan alat-alat asesmen ilmiah untuk mengevaluasi dampak intervensi mindfulness terhadap kesehatan. Pusat berencana untuk memfokuskan upaya penelitiannya pada mindfulness dan hidup terkait lingkungan dan nutrisi.

Lilian Cheung, direktur penelitian dan latihan mindfulness di Departemen Nutrisi Harvard, dan salah satu penulis buku Savor: Mindful Eating, Mindful Life dengan Thich Nhat Hanh, berkata bahwa dia berharap Pusat Mindfulness Thich Nhat Hanh di Harvard akan mendorong orang-orang untuk memulai latihan mindfulness dalam kehidupan sehari-hari mereka.

“Selama bertahun-tahun, saya menjadi sangat tertarik untuk mempelajari bagaimana latihan mindfulness dapat diterapkan dalam mata kuliah kesehatan masyarakat, yang mencari cara untuk mencegah penyakit dan mengembangkan kesejahteraan pada skala populasi. Inilah yang tepatnya akan dilakukan Pusat ini,” kata Cheung. (Translator: Octavia)

Sumber: Harvard University launches Thich Nhat Hanh Center for Mindfulness in Public Health

Seremoni Mengenang Satu Tahun Kepergian Master Zen Thich Nhat Hanh

Seremoni Mengenang Satu Tahun Kepergian Master Zen Thich Nhat Hanh
Seremoni peringatan mendiang Master Zen Thich Nhat Hanh

Hujan rintik-rintik menguyur kota Huế ketika kami dalam perjalanan menuju wihara Diệu Trạm. Wihara Diệu Trạm merupakan wihara para Bhiksuni dengan jumlah residen 80 biarawati yang bersebelahan dengan wihara Từ Hiếu, wihara para Bhiksu dengan jumlah residen 20 biarawan. Wihara Từ Hiếu merupakan tempat Master Zen Thich Nhat Hanh ditahbiskan, oleh karena itu kadang wihara ini disebut sebagai Wihara Akar dari tradisi Zen Plum Village.

Ketika kami tiba di wihara Diệu Trạm, beberapa biarawati menyambut dan mengantarkan kami menuju kamar. Walaupun udara dingin dan lembab sangat terasa di malam itu, hati saya merasa sangat bahagia. Ada kurang lebih 150 siswa monastik dari pusat latihan Plum Village dari berbagai negara yang datang ke wihara akar untuk berpartisipasi dalam rangkaian acara peringatan satu tahun wafatnya Maha Guru Zen, Thích Nhất Hạnh. Thầy yang artinya Guru merupakan sapaan Beliau, telah menahbiskan 1.214 siswa monastik dan puluhan ribu murid awam.

Rangkaian acara peringatan satu tahun wafatnya Thầy diawali dengan dua hari retret monastik yaitu pada tanggal 3 s.d. 4 Januari 2023. Ini merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi monastik karena para senior bhiksu dan bhiksuni dari tradisi Plum Village berbagi Dharma kepada generasi monastik yang lebih muda. Retret monastik ini juga menjadi ajang reuni, berkumpul dengan kakak dan adik seperguruan yang telah lama tidak bertemu.

Energi kebahagiaan dan keceriaan terpancar di segala sudut kedua wihara meskipun banyak persiapan yang harus dilakukan dalam menyambut total sekitar 250 monastik. Ada begitu banyak pekerjaan yang harus dibereskan, seperti memotong sayur, memasak, mempersiapkan aula meditasi, sistem audio dan terjemahan, mempersiapkan kamera dan siaran langsung, dan lain lain. Seluruh monastik dan awam yang hadir bersama-sama bersumbangsih dalam meditasi kerja.

Bunga seruni atau kadang disebut bunga krisan.
Bunga Seruni (sumber: wikipedia id)

Pada tanggal 5 s.d. 6 Januari, wihara Từ Hiếu yang merupakan tempat pelaksanaan seremoni peringatan wafatnya Thầy dibersihkan secara menyeluruh dan tenda-tenda dipasang. Bunga dan buah dipersembahkan ke altar Buddha dan Bodhisattwa, altar leluhur dan Thầy. Di altar Thầy selalu dihiasi bunga Seruni yang berwarna coklat kekuningan, ini adalah bunga kesukaan Thầy.

Di Plum Village Perancis, bunga Seruni mekar di bulan Oktober. Di Phương Khê, tempat tinggal Thầy di Prancis selalu dihiasi dengan bunga ini. Hingga saat ini, Phương Khê selalu dibersihkan secara berkala oleh siswa monastik, bunga-bunga dan tanaman yang ada tetap dirawat. Bahkan di Phương Khê telah dibangun aula meditasi yang baru.

Aula meditasi yang baru ini merupakan amanat dari Thầy ketika Beliau sedang sakit. Dengan menggunakan kursi roda, pendamping Thầy akan membawa Beliau ke salah satu gedung tua di Phương Khê dan Beliau memberikan petunjuk bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk pemugaran gedung tersebut. Hal ini dilakukan karena jumlah siswa monastik yang terus bertambah sehingga aula lama yang digunakan sudah tidak muat lagi. Thầy adalah arsitek dari aula meditasi yang baru itu.

Seremoni peringatan hari wafatnya salah satu leluhur Guru, Thầy Huệ Minh berdekatan dengan seremoni guru kita maka seremoni untuk Beliau juga menjadi bagian dari rangkaian acara dan diadakan pada tanggal 7 Januari. Ada banyak monastik yang merupakan siswa atau cucu siswa Beliau berdatangan ke wihara Từ Hiếu untuk mengikuti seremoni peringatan itu. Begitu pula praktisi awam hadir dari berbagai kota di Vietnam maupun dari luar negeri. Pendarasan doa-doa dilakukan secara tradisional dan menggunakan bahasa sino Vietnam yang mirip dengan bahasa Mandarin.

Day of Mindfulness (DOM) yang menjadi ikon dari Plum Village diadakan di hari Minggu, 8 Januari, begitu banyaknya siswa monastik dan praktisi awam yang berdatangan, aula meditasi wihara Diệu Trạm menjadi tidak muat tetapi tim soundsystem sudah mempersiapkan tempat di luar aula meditasi sehingga semua yang hadir dapat mengikuti DOM. Thầy Pháp Ấn membabarkan Dharma dilanjutkan dengan makan siang bersama dan sorenya ada sesi tanya jawab.

Di dalam tradisi Vietnam, tahun pertama meninggalnya seorang Guru disebut tahun Tiểu Tường, yang mana upacara peringatan ini hanya dihadiri oleh keluarga monastik dan siswa-siswa Beliau. Tahun kedua disebut tahun Đại Tường, di tahun kedua ini akan diadakan seremoni dalam skala besar, Para Maha Guru dari berbagai wihara di Vietnam akan diundang untuk menghadiri Đại Tường, ini juga seremoni memindahkan altar Thầy ke altar utama leluhur.

Meditasi kerja pun dilanjutkan di hari senin, 9 Januari di pagi dan siang hari. Lalu di malam hari di aula meditasi Bulan Purnama, wihara Từ Hiếu diadakan acara mengenang Thầy, ada begitu banyak kenangan indah yang dibagikan, transformasi dan penyembuhan, kebahagiaan dan kegembiraan serta nyanyian-nyanyian, dan semua ini dipersembahkan kepada Thầy.

Kota Huế diguyur hujan sejak saya tiba tanggal 2 Januari, jikalaupun hujan berhenti paling lama 30 menit atau satu jam saja lalu hujan akan turun lagi. Tetapi di hari seremoni peringatan wafatnya Thầy di tanggal 10 Januari, sejak pagi hujan tidak turun setetes pun sampai kami selesai makan siang.

Lebih dari 2.500 orang memadati wihara Từ Hiếu, siswa monastik, anggota ordo Interbeing, praktisi awam, anak remaja dan anak-anak. Seremoni dimulai pukul 09:00 di aula Buddha, wihara Từ Hiếu dengan mendaraskan sutra dan mantra secara tradisional dalam bahasa Sino Vietnam. Guru-guru besar memimpin pendarasan dan siswa monastik Thầy berlutut di hadapan altar Buddha serta melakukan namaskara berulang kali kepada Buddha dan Bodhisattwa.

Meditasi makan bersama

Satu jam kemudian, para monastik melakukan prosesi dari aula Buddha ke aula meditasi Bulan Purnama untuk melanjutkan pendarasan sutra dengan menggunakan Bahasa Vietnam. Bukan hanya siswa-siswa monastik Thầy yang bernamaskara pada saat pendarasan, guru-guru besar yang memimpin seremoni ini pun ikut bernamaskara di depan altar Thầy. Pendarasan sutra-sutra dilakukan dengan melodi khas dari kota Huế, sangat indah, unik dan penuh dengan kekuatan.

Di sore harinya, kami mengunjungi taman kenangan tempat Thầy dikremasikan yang berjarak 45 Km dari wihara. Saat itu hujan rintik-rintik, kami melakukan penghormatan kepada Thầy dengan mempersembahkan dupa, bunga dan buah lalu kami mendaraskan Namo Avalokitesvaraya dilanjutkan dengan meditasi jalan di sekitar taman. Setelah selesai, Thầy Pháp Ấn mengatakan bahwa Thầy sangat suka melakukan meditasi jalan ketika hujan rintik-rintik. Kami semua sangat merasakan kehadiran Thầy.

Kota Huế merupakan kota tua dan umat Buddha di sini masih sangat tradisional, monastik yang telah meninggal dikuburkan dan didirikan stupa di atasnya. Ada begitu banyak stupa dan pemakaman umum di kota ini. Ketika pemerintah kota Huế mendapat info bahwa Thầy menginginkan upacara yang sederhana dan dikremasikan, mereka membangun krematorium dari batu bata dan proses kremasi menggunakan kayu.

Stupa piramida kecil di taman kenangan

Setelah krematorium ini selesai dibangun, seorang Maha Guru yang juga sangat dihormati di kota Huế, menginginkan upacara yang sederhana dan dikremasikan, Beliau adalah yang pertama menggunakan krematorium ini. Lalu satu tahun kemudian, Thầy menggunakan krematorium tersebut. Setelah itu, krematorium ini ditutup. Di taman ini didirikan dua monumen untuk mengenang dua Guru besar dan batu bata yang digunakan disusun menjadi bentuk piramida, menjadi saksi telah dikremasikannya dua Guru besar di taman tersebut.

Saya merasa sangat terharu dapat mengikuti rangkaian acara peringatan satu tahun wafatnya Thầy, keberadaan saya di Vietnam membuat saya merasa sangat terhubungkan dengan lebih mendalam kepada wihara akar, para leluhur, Thầy dan kebudayaan serta kehidupan orang Vietnam. (Sr. Trăng Mới Lên; monastik yang berasal dari Indonesia, saat ini tinggal di Lower Hamlet, Plum Village Prancis)

Silsilah Zen Plum Village

Silsilah Zen Plum Village
Thầy di Borobudur tahun 2010

Master Zen Thích Nhất Hạnh (釋一行) (1926 – 2022), akrab disapa Thầy, merupakan guru utama silsilah Zen Plum Village. Ia memiliki Nama Silsilah: Trừng Quang (澄光), Nama Dharma: Phùng Xuân (逢春), dan Gelar Dharma: Nhất Hạnh (一行). Thích (釋) adalah bahasa Vietnam untuk Sakya, nama marga Buddha. Semua anggota monastik di tradisi Buddhis Vietnam memiliki nama yang diawali Thích.

Mereka yang telah menerima 5 Latihan Kesadaran Penuh (Pancasila Buddhis versi revisi), diberikan Nama Silsilah (Pháp Danh, 法名). Saat seseorang ditahbiskan menjadi anggota monastik atau anggota Ordo Interbeing (OI), maka mereka menerima Nama Dharma (Pháp Tự, 法字).

Sebagian anggota monastik ada yang memiliki Gelar Dharma (Pháp Hiệu, 法號), ada juga yang tidak memilikinya. Gelar Dharma boleh dipilih mandiri atau diberikan oleh guru. Pada umumnya para monastik disapa dengan Gelar Dharmanya, jika tidak ada Gelar Dharma maka boleh menyapa Nama Dharmanya.

Thầy lahir pada tahun 1926 di Vietnam. Pada usia 16 tahun, ia bergabung ke Wihara Từ Hiếu (慈孝寺) di Kota Huế. Ia menerima “Transmisi Pelita Dharma” di Wihara Từ Hiếu pada 1 Mei 1966, sekitar 10 hari sebelum beliau meninggalkan Vietnam demi menyuarakan perdamaian untuk Vietnam.

Guru utama dari Thầy adalah Master Zen Chân Thật (真寔, 1884-1968) [Nama Silsilah: Thanh Quí (倩季), Nama Dharma: Cứu Cánh (究竟), dan Gelar Dharma: Chân Thật (真寔)]. Ketika Master Chân Thật meninggal dunia pada tahun 1968, beliau menginstruksikan agar menunjuk Thầy sebagai kepala Wihara Từ Hiếu, suatu posisi yang dijabat Thầy hingga akhir hayatnya.

Dalam sesi Transmisi Pelita Dharma, Master Chân Thật mentransmisikan gatha berikut ini kepada Thầy:

Nhất hướng phùng xuân đắc kiện hành
Hành đương vô niệm diệc vô tranh
Tâm đăng nhược chiếu kỳ nguyên thể
Diệu pháp đông tây khả tự thành

一 向 逢 春 得 健 行
行 當 無 念 亦 無 諍
心 燈 若 照 其 原 体
妙 法 東 西 可 自 成

Alih bahasa dari Gatha di atas sebagai berikut:

Bangkitkan tekad hanya menuju ke satu (Nhất) arah, alhasil akan bersua juga dengan musim semi (Phùng Xuân), dan pawai itu akan menjadi pawai heroik. Aksi (Hạnh) terbebas dari spekulasi juga persaingan. Pelita hati menyinari sifat sejatinya, transmisi Dharma menakjubkan terwujud di timur dan barat.

Dalam gatha ini terdapat Nama Dharma dari Thầy (Phùng Xuân), yang artinya ‘bertemu musim semi, dan Gelar Dharma (Nhất Hạnh). Nhất artinya satu (tunggal), dan Hạnh artinya aksi. Kedua kata ini menjadi kata awalan dalam dua baris pertama dari gatha tersebut.

Master Chân Thật menerima transmisi dari kakak senior seperguruannya, yaitu Master Zen Tuệ Minh (慧明, 1861-1939) [Nama Silsilah: Thanh Thái (清泰), Nama Dharma: Chính Sắc (正色), dan Gelar Dharma: Tuệ Minh (慧明)]

Master Tuệ Minh mentransmisikan gatha berikut ini kepada Master Chân Thật:

Chân thật duy tùng thể tính không
Thâm cùng vọng thức bản lai không
Thỉ tri thị vật nguyên phi vật
Diệu dụng vô khuy chỉ tự công

真 寔 惟 從 体 性 中
深 窮 妄 識 本 來 空,
始 知 是 物 原 非 物
妙 用 無 虧 只 自 功

Kebenaran sejati dapat ditemukan dalam sifat sejati kekosongan.
Sejak awal hingga kini, persepsi keliru ternyata kosong adanya.
Diketahui bahwa segala sesuatu tidaklah nyata.
Dharma nan indah selalu hadir, tergantung pada latihan, apakah mampu bersentuhan dengannya.

Dalam gatha di atas pada baris pertama mengandung nama Chân Thật (Kebenaran Sejati), Master Chân Thật merupakan murid termuda dari Master Zen Cương Kỷ (1810-1899) [Nama Silsilah: Hải Thiệu (海紹), dan Nama Dharma: Cương Kỷ (綱紀)].

Master Cương Kỷ (1810-1899) mentransmisikan gatha ini kepada Master Tuệ Minh:

Chính sắc thể viên minh
Tâm pháp bổn tự nhiên
Hư không thu nhất điểm
Kế tổ vĩnh lưu truyền.

正 色 体 圓 明
心 法 本 自 然
虛 空 收一 點
繼 祖 永 留 傳.

Sifat warna kebenaran sejati tertampak jelas dan lengkap,
Dharma dari hati pada dasarnya adalah natural.
Ruang nan luas dapat disusutkan menjadi suatu titik.
Lanjutkan pekerjaan leluhur dan transmisikan Dharma ke generasi berikutnya.

Di baris pertama terdapat Chính Sắc (Warna Kebenaran Sejati), yang merupakan Nama Dharma dari Master Tuệ Minh.

Master Cương Kỷ menerima transmisi Pelita Dharma dari gurunya, Master Zen Nhất Định (1784-1847) [Nama Silsilah: Tánh Thiên (性天) dan Nama Dharma: Nhất Định (一定, Konsentrasi pasa Kesatuan)], yaitu pendiri dari Wihara Từ Hiếu.

Berikut gatha transmisinya:

Cương kỷ kinh quyền bất chấp phương
Tùy cơ ứng dụng thiện tư lương
Triêu triêu tương thức nan tầm tích
Nhật nhật xuyên y khiết phạn thường

綱 紀 經 權 不 執 方
隨 機 應 用 善 思 量,
朝 朝 相 識 難 尋 跡
日日 穿 衣 契 飯 常.

Menegakkan aturan disiplin perlu fleksibilitas, jangan terjebak dalam tata cara.
Dalam setiap situasi, selalu menggunakan pemikiran tepat.
Setiap pagi melihat wajah setiap insan, namun begitu sulit melihat sifat aslinya.
Terapkanlah praktik setiap hari layaknya mengenakan jubah dan menyantap makanan.

Cương Kỷ berarti ‘disiplin’ atau ‘hukum’. Berikut alih bahasa dari gatha di atas:

Master Nhất Định menerima Transmisi Pelita dari Master Zen Phổ Tịnh (普淨) [Nama Silsilah: Đạo Minh (道明), Nama Dharma: Phổ Tịnh (普淨)]. Ketika menerima transmisi pelita, Master Nhất Định baru berusia 30 tahun (tahun 1814).

Master Nhất Định menorehkan banyak kisah mengagumkan mengenai kehidupannya, seperti merawat ibunya yang sudah tua renta di pondok kecil, yang belakangan menjadi Wihara Từ Hiếu. Từ berarti ‘cinta kasih’ dan Hiếu berarti ‘bakti’.

Berikut ini adalah gatha transmisi pelita Dharma dari Master Phổ Tịnh kepada Master Nhất Định:

Nhất Định chiếu quang minh
Hư không mãn nguyệt viên
Tổ tổ truyền phó chúc
Đạo Minh kế Tánh Thiên

一 定 照 光 明
虛 空 滿 月 圓
祖 祖 傳 付 祝
道 明 繼 性 天

Konsentrasi pada Kesatuan memancarkan cahaya,
Bagaikan bulan purnama di angkasa luas.
Generasi ke generasi, setiap leluhur saling melanjutkan.
Maka dari itu, Tánh Thiên akan melanjutkan Đạo Minh.

Di baris terakhir, terbaca Tánh Thiên yang merupakan Nama Silsilah dari Master Nhất Định dan juga ada Nama Silsilah gurunya yaitu Đạo Minh (道明). Master Phổ Tịnh adalah Kepala Wihara Báo Quốc (報國寺). Beliau wafat di tahun 1816.

Guru dari Master Phổ Tịnh adalah Master Zen Chiếu Nhiên (照然) [Nama Silsilah: Đại Tuệ (大慧), dan Nama Dharma: Chiếu Nhiên (照然)], yang merupakan Kepala Wihara Báo Quốc (報國寺) juga Wihara Thuyền Tôn (禪宗寺).

Guru dari Master Chiếu Nhiên adalah Master Zen Lưu Quang (流光) [Nama Silsilah: Tế Ân (濟恩), dan Nama Dharma: Lưu Quang (流光). Beliau juga adalah Kepala Wihara Báo Quốc (報國寺).

Guru dari Master Lưu Quang adalah Master Zen Liễu Quán (了觀) (1670-1742) [Nama Silsilah: Thiệt Diệu (寔妙), dan Nama Dharma: Liễu Quán (了觀)]. Master Liễu Quán merupakan penulis gatha yang tercatat di Sertifikat Penahbisan Silsilah Zen Plum Villlage, ‘… generasi ke-43 Aliran Lâm Tế (Linji, 臨濟宗) dan generasi ke-9 Garis Dharma Liễu Quán.

Sebagai murid Thầy, contoh Nama Silsilah: Welas Asih dari Hati (心慈). Hati (Tâm, 心) adalah karakter klasik Tionghoa yang ke-9 dalam gatha Master Liễu Quán:

Thiệt tế đại đạo
Tánh hải thanh trừng
Tâm nguyên quảng nhuận
Đức bổn từ phong
Giới định phúc tuệ
Thể dụng viên thông
Vĩnh siêu trí quả
Mật khế thành công
Truyền trì diệu lý
Diễn xướng chánh tông
Hành giải tương ứng
Đạt ngộ chân không.

寔 際 大 道
性 海 清 澄
心 源 廣 潤
德 本 慈 風
戒 定 福 慧
體 用 圓 通
永 超 智 果
密 契 成 功
傳 持 妙 理
演 暢 正 宗
行 解 相 應
達 悟 真 空

Berikut ini adalah alih bahasa Thầy:

Jalan agung Realitas,
Adalah samudra murni sifat sejati.
Sumber Pikiran menembus ke setiap sudut.
Dari akar kebajikan muncul praktik welas asih.
Moralitas, konsentrasi dan wawasan –
Sifat dan fungsi ketiganya adalah satu.
Buah kearifan transenden,
Dapat diwujudkan dengan kebersamaan yang indah.
Pertahankan dan teruskan prinsip yang mengagumkan,
Untuk membuka tabir ajaran sejati!
Agar realisasi Kekosongan Sejati menjadi mungkin,
Kearifan dan Tindakan harus berjalan beriringan.

Jika Anda adalah seorang Dharma Acharya, setelah menerima Transmisi Pelita Dharma dari Thầy, maka murid Anda, yang menerima 5 latihan Sadar Penuh dari Anda, dia adalah generasi ke-44 Aliran Lâm Tế dan generasi ke-10 Garis Dharma Liễu Quán. Dia menyandang nama silsilah dari karakter ke-10 sebagai tersebut dalam gatha di atas (karakter ke-10 adalah ‘nguyên’, 源, berarti: Sumber), contoh: Kejernihan dari Sumber.

Guru dari Master Liễu Quán adalah Master Zen Tử Dung (子融) [Nama Silsilah: Minh Hoằng (明弘), dan Gelar Dharma: Tử Dung (子融)].

Master Zen Tử Dung termasuk generasi ke-34 aliran Lâm Tế.

Pada tahun 1702, Liễu Quán yang masih belia bertemu dengan gurunya, Master Tử Dung di Wihara Ấn Tôn (印宗寺) di Gunung Long Sơn di Thuận Hóa, Vietnam. Master Zen Tử Dung mengajarkan kepadanya untuk merenungkan kōan: “Segala fenomena bergantung pada Kesatuan, Kesatuan bergantung pada apa?” (萬法歸一, 一歸何處?).

Liễu Quán berlatih dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak mendapatkan ilham. Suatu hari, ketika membaca Truyền Đăng Lục (Catatan Transmisi Pelita, 傳燈錄), dan melihat kalimat “Menunjuk pada objek itu adalah meneruskan intisari Dharma. Banyak dari mereka yang mengalami kesulitan memahami bagian ini” (指物傳心, 人不會處), tiba-tiba dia memahami kōan tersebut.

Di tahun 1708, dia kembali ke Gunung Long Sơn dan memberi tahu gurunya mengenai pemahamannya. Gurunya menjawab:

“Tiba di suatu lubang yang dalam, tetapi mampu melepaskan dirimu sendiri,
Hanya engkau yang dapat menanggungnya.
Setelah kematianmu, engkau dilahirkan kembali,
Siapa yang berani mencelamu?”

Liễu Quán tertawa dan bertepuk tangan, tetapi gurunya berkata: “Engkau belum mengerti sepenuhnya!” Liễu Quán menjawab: “Bebannya terbuat dari besi.” Master Tử Dung tidak puas dengan jawaban tersebut.

Keesokan harinya, Master Tử Dung berkata kepada Liễu Quán: “Percakapan kemarin belum selesai, silakan melanjutkan.” Atas permintaan gurunya, Liễu Quán menjawab:

“Andaikan saya tahu bahwa
di dalam pelita telah mengandung cahayanya,
maka nasi sudah lama matang.”

Kali ini, Master Tử Dung puas dan memberi persetujuannya.

Di tahun 1712, mereka saling berjumpa untuk ketiga kalinya di Quảng Nam. Dia menyampaikan gatha “Memandikan Buddha”. Master Tử Dung bertanya: “Patriark mentransmisikan kepada patriark. Buddha mentransmisikan kepada Buddha. Apa yang saling mereka transmisikan?” Master Liễu Quán segera menjawab:

“Di atas bebatuan tumbuh tunas bambu
tingginya lebih dari sepuluh meter.
Sapu berambut penyu beratnya tiga kilogram.”

石 筍 抽 條 長 一 丈
龜 毛 撫 拂 重 三 斤

Master Tử Dung membalas:

“Mendayung perahu di atas gunung tinggi.
Menunggang kuda di dasar samudra.”

高 高 山 上 行 船
深 深 海 底 走 馬

Master Liễu Quán menjawab:

“Memainkan sitar tanpa senar selama berjam-jam,
Mematahkan tanduk lembu tanah liat membuatnya menangis sepanjang malam.”

折 角 泥 牛 徹 夜 吼
沒 絃 琴 死 盡 日 殫

Master Zen Tử Dung sangat senang dengan jawaban tersebut, saat itu Master Zen Liễu Quán telah berusia 42 tahun.


Dialihbahasakan oleh Gracia Yap, disunting oleh Endah, dan disusun ulang oleh Br. Pháp Tử, berdasarkan naskah “A Letter to Friends About Our Lineage” oleh Br. Pháp Dung

Senyuman dari Plum Village

Senyuman dari Plum Village

Plum Village bukan merupakan sebuah wihara Vietnam yang terletak di tanah Eropa. Di Plum Village, kita bisa melihat budaya India, budaya Tiongkok, budaya Vietnam, dan budaya Barat. Jika kita perhatikan dengan saksama, kita melihat bahwa unsur non-Plum Village ada di Plum Village. Oleh sebab itu, Plum Village juga merupakan objek meditasi. Makin dalam kita mengamati, makin jelas kita melihatnya…. Jika kita melihat lebih mendalam, kita melihat bahwa Plum Village juga tidak lahir dan tidak mati. – Thich Nhat Hanh

 

Anh Thieu datang dari Vietnam dengan kapal bersama istri dan dua anaknya. Mereka adalah orang pertama yang membantu kami membangun Plum Village. Dari musim dingin tahun 1982 hingga musim panas tahun 1983, kami terus bekerja keras. Pada awal tahun 1983, kami mulai menanam beberapa pohon di Upper Hamlet. Pohon-pohon pertama yang ditanam adalah enam pohon pinus payung. – Thich Nhat Hanh

 

Jika Anda mengunjungi Plum Village, Anda harus membawa pulang Plum Village secara keseluruhan bersama Anda, tanpa kurang sedikit pun. Membawa pulang Plum Village, membuat Anda akan bisa bertahan lebih lama. Ajaran dan praktik mengenai “Aku telah tiba, aku di rumah” (I have arrived, I am home) selalu melengkapi ajaran tentang “mengalir seperti sebuah sungai dan bukan setetes air” (going as a river and not as a drop of water). Jika Anda adalah setetes air, maka Anda akan menguap di tengah jalan; tetapi jika Anda mengalir seperti sungai, Anda pasti akan mencapai samudera.– Thich Nhat Hanh

 

Foto-foto ini adalah milik Plum Village, Eileen Kiera, dan Lyn Fine. Sedangkan kutipan-kutipan dicetak ulang dari buku I Have Arrived, I Am Home (2003) oleh Thich Nhat Hanh dengan izin dari Parallax Press, Berkeley, California, www.parallax.org.

Astrid Prajogo

Astrid Prajogo

Pendiri dan CEO di Haofood, Cina

Bisakah Anda mengubah sistem makanan yang sudah ketinggalan zaman menjadi sesuatu yang jauh lebih berbasis tanaman (plant-based), berkelanjutan (sustainable), dan ramah hewan (animal friendly), tetapi tidak harus mengidentifikasi diri sebagai vegan? Oh, tentu saja! Bagi Astrid Prajogo, kira-kira seperti ini:

“Sebagai orang Indonesia, saya memiliki hubungan yang kuat dengan laut. Kami berenang, snorkeling, dan menyelam di laut setiap saat sejak masa kanak-kanak. Itu memberi kami banyak kebahagiaan,” kenangnya. “Pada salah satu sesi menyelam saya di Bali delapan tahun lalu, saya mulai melihat semakin banyak warna karang yang berubah menjadi putih. Momentum itu benar-benar menyadarkan saya, seperti: “Wah, perubahan iklim memang sangat nyata”. Itu membuat saya berpikir bahwa jika perubahan iklim itu nyata, maka mungkin akan segera sulit bagi kita untuk mendapatkan bahan makanan dengan kualitas terbaik. Hal-hal tidak selalu semudah dan terjangkau seperti sekarang ini.” Sebagai seorang foodie (dan juga manusia), membayangkan kelangkaan makanan lezat benar-benar telah mengguncangnya.

“Daging nabati yang lezat dapat membantu non-vegan mendukung orang yang mereka cintai dengan lebih baik.”

Inspirasi, hal yang disukai dan kiat hidup:

  • Kiat hidup pada masa pandemi yang membantu Anda bertahan hidup di tahun 2021: Praktik bernapas berkesadaran penuh dan berjalan berkesadaran penuh tanpa berpikir atau “tiba” di mana pun. Tidak hanya pada tahun 2021 tetapi selama lima belas tahun terakhir ini.
  • Seseorang yang menginspirasi Anda: Thich Nhat Hanh.
  • Serial/film terakhir yang membuat Anda terjaga: Emily in Paris (sangat lucu!)
  • Buku favorit/Buku yang harus dibaca semua orang: Anger dan How to Eat oleh Thich Nhat Hanh.
  • Obsesi podcast terbaru: Saya tidak punya podcast favorit. Namun saya paling sering mendengar podcast dari guru saya Thich Nhat Hanh dan mentor saya di Plum Village.
  • Aplikasi yang menurut Anda paling berharga: Plum Village App.
  • Makanan favorit/suguhan vegan favorit: Baguette, roti khas Prancis, dan sayuran tumis ala Kanton.

Pertama, dia tidak bisa membayangkan menjadi seorang vegan. “Rasanya seperti konflik yang tidak pernah berakhir dalam diri saya: Saya tahu saya harus mengubah cara makan saya untuk mempertahankan kebahagiaan saya dari makanan yang baik, dan salah satu cara utama untuk melakukannya adalah dengan mengurangi asupan daging, tapi saya tidak menyukai rasa daging vegan yang saya kenal selama ini. Saya yakin saya tidak sendirian dalam hal ini.” Segalanya mulai berubah pada saat dia menyantap Beyond Burger dan Impossible Meat. “Lalu saya mengerti. Produk-produk itu sangat berbeda dalam rasa dan tekstur dari daging vegetarian tradisional Cina yang saya pikir adalah satu-satunya alternatif saya! Itu mengilhami saya untuk membuat ayam nabati yang sangat lezat,” kata Astrid tentang momen yang menentukannya itu.

Pengalaman tujuh belas tahun dalam berwirausaha, mulai dari komunikasi kreatif hingga keahlian memasak (gastronomy), sepertinya merupakan dasar yang baik untuk dikembangkan. Sosok perempuan yang selalu bangga terhadap Indonesia yang pindah ke Tiongkok 23 tahun lalu, Astrid, sebelumnya telah membangun Good Indonesian Food, disajikan di Kementerian Pariwisata Indonesia, dan dengan kegiatan tersebut, telah memperkenalkan kepada banyak orang akan budaya lokal yang autentik, yang kaya dan beragam. Dia bisa melakukan hal serupa di industri protein nabati, sambil melakukan perjalanannya sendiri. Haofood, perusahaan ayam vegannya yang berbasis di Shanghai yang menggunakan protein kacang sebagai bahan dasar, mulai bersinar di tahun 2020. “Motivasi tambahan adalah putri saya yang berusia 9 tahun menjadi vegetarian dalam semalam. Meskipun saya sangat bangga padanya, sebagai seorang ibu, saya juga merasa stres karena dia tidak dapat menemukan apa pun untuk dimakan, dan saya khawatir apakah dia akan mendapatkan nutrisi yang tepat.

“Saya ingin memberdayakan orang untuk mengalami keajaiban dan pesona magis makanan, dan membuat mereka lebih bahagia melaluinya, selamanya.”

“Ketika saya melakukan sesuatu, saya memberikan dedikasi diri saya 100%. Saya hanya ingin yang terbaik dari yang terbaik, tidak ada yang lain selain yang terbaik. Jika tidak, saya tidak akan melakukannya. Dan ketika saya melakukannya, itu selalu terbayarkan. Jika saya tidak mendapatkan hasil yang saya proyeksikan, setidaknya saya mendapat pelajaran yang bagus dan itu membantu saya untuk melompat.” Dalam satu tahun, mereka tumbuh dari 4 anggota pendiri menjadi tim yang terdiri dari 20 orang, dan dari 0 restoran menjadi 150 gerai restoran. Puas namun ingin lebih, dia mengerjakan sesuatu yang bagi setiap pengusaha yang memiliki misi tahu dengan baik: “Bagaimana saya mempertahankan diri saya secara efisien dan efektif untuk jangka pendek, menengah, dan panjang sehingga saya dapat melayani dan mengangkat orang lain?” Bekerja 80 jam seminggu, ini adalah tantangan utama yang harus dihadapinya. Dalam jangka panjang, dia terutama ingin melihat orang-orang lebih menghargai, penuh perhatian, dan sadar penuh dengan pilihan makanan mereka. “Saya ingin memastikan bahwa anak-anak saya, anak-anak kita, dan anak cicit kita dapat mengakses makanan berkualitas baik dengan harga paling terjangkau di masa depan.”

Astrid adalah salah satu Food Heroes untuk tahun 2022. Lihat lebih banyak kisah inspiratif dan mengubah dunia dari Food Heroes di website https://www.v-label.eu/food-heroes-20.

Pameran Kaligrafi dan Buku: Aroma Wangi Ibu Pertiwi

Pameran Kaligrafi dan Buku: Aroma Wangi Ibu Pertiwi
Para monastik melantunkan mantra “Namo Avalokitesvaraya” pada sesi pembukaan pameran “Aroma Wangi Ibu Pertiwi”

Koleksi kaligrafi dan buku karya Master Zen Thich Nhat Hanh bertajuk “Aroma Wangi Ibu Pertiwi” baru pertama kali dipamerkan di Kota Ho Chi Minh, Vietnam

Pameran Kaligrafi & Buku “Aroma Wangi Ibu Pertiwi”

Pameran ini dibuka pada tanggal 27 Maret 2021 di Toko Buku Hai An (2B Nguyen THi Minh Khai, Distrik 1, Kota Ho Chi Minh). Selamat seminggu, public bisa menikmati ratusan goresan kaligrafi dari Master Zen Thich Nhat Hanh.

Selain kaligfrafi, pameran ini juga menampilkan ratusan judul buku berbahasa Vietnam oleh sang Master Zen. Semua kaligrafi dan buku tertata rapi, didekorasi dengan nuansa kesederhanaan Zen, meditatif, elegan, dan menyejukkan.

Salah satu sudut pameran kaligrafi dan buku

Aroma Wangi Ibu Pertiwi mempersembahkan wewangian kepada tanah kelahiran sang master zen yaitu Vietnam. Energi cinta kasih juga dikirimkan kepada Ibunda Bumi kita, sang planet Bumi yang hijau ini.

Pameran ini memili banyak raung aktivitas buat para pengunjung untuk menikmati meditasi teh (tea meditation), mendengarkan ajaran Zen, berpartisipasi dalam praktik meditasi yang dipandu oleh Guru Dharma (Dharma Teachers) dari tradisi Zen Plum Village.

Pengunjung menikmati kaligrafi

Master Zen Thich Nhat Hanh pernah menyampaikan, “Dalam kaligrafi saya ada tinta, ada teh, ada napas, ada perhatian, dan juga konsentrasi. Menulis kaligrafi juga suatu praktik meditasi. Saya menulis kata-kata atau kalimat yang dapat membantu setiap orang untuk mengingat praktik hidup berkesadaran (Mindful living).”

Tampaknya kekuatan meditasi dan perhatian penuh kesadaranlah yang membuat kaligrafi karya Master Zen Thich Nhat Hanh menarik perhatian khususnya dunia seniman, peneliti, aktivis, dan praktisi meditasi.

Kaligrafi karya Master Zen Thich Nhat Hanh merupakan perpaduan dari seni, budaya, dan gaya hidup berkesaran (mindful living)

Pameran demikian juga pernah diadakan di beberapa negara yang juga mendapat sambutan hangat. Masyarakat setempat sangat menikmati karya-karya master zen yang sarat dengan nuasa zen.

Menyaksikan karya kaligrafi Master Zen dipamerkan di Vietnam untuk pertama kalinya, Nguyen Xuan Hong sangat terkesima, “Saya sangat senang bahwa karya Master Zen Thich Nhat Hanh diperkenalkan kepada publik melalui pameran ini.

Bagi saya, setiap kaligrafi adalah kitab suci, seolah-olah sedang membaca kitab suci yang menumbuhkan cinta kasih, welas asih, kesabaran, perhatian kesadaran pada saat bersamaan menuju kehidupan lebih damai dan tenteram”, pungkas Nguyen Xuan Hong.

Bagi banyak pengunjung, karya kaligrafi sang master zen bagaikan kitab suci yang memberikan makna sangat mendalam

Vo Thi Kim Phuong yang merupakan murid awam Master Zen sejak lama menyatakan, “Kata-kata dalam kaligrafi sudah pernah saya baca, namun ketika saya membaca ulang kata-kata kaligrafi dalam pameran ini, saya terkejut, ada pencerahan baru, ada kedamaian luar biasa lahir dalam hatiku. Apalagi ditunjang dengan penataan dan dekorasi yang sangat menawan.

Berbeda lagi dengan Nguyen Quang Tiep, salah satu pengunjung pameran, “Saya juga mulai belajar gaya hidup berkesadaran ala Master Zen Thich Nhat Hanh. Melihat satu demi satu kaligrafinya membuat saya sangat menghargai setiap upaya dalam menulis kaligrafi itu. Senang rasanya bisa meluangkan waktu menikmati kaligrafi apalagi dalam kehidupan modern yang sangat hektik ini. Saya menemukan makna hidup baru melalui menyaksikan kaligrafi dengan penuh perhatian.

Kiri: “Kebahagiaan putra-putri merupakan persembahan paling berharga bagi kedua orangtua”
kanan: “Kebahagiaan kedua orang tua merupakan warisan paling berharga bagi putra-putrinya”

Dua kaligrafi dalam Bahasa Vietnam ini sangat disukai oleh Nguyen Quang Tiep, “Kebahagiaan putra-putri merupakan persembahan paling berharga bagi kedua orangtua”, kemudian “Kebahagiaan kedua orang tua merupakan warisan paling berharga bagi putra-putrinya.”


Sumber berita: tuoitre.vn foto oleh HỮU HẠNH
Sumber foto lainnya: giacngo.vn

Apakah Kebetulan itu Benar-benar Ada?

Apakah Kebetulan itu Benar-benar Ada?
Meditasi Jalan di Plum Village Thailand

Praktisi Zen pasti pernah mendengar tentang “Khotbah Bunga”. Kisah ini juga diangap sebagai sebuah legenda alias cerita rakyat. Jika Anda belum tahu, jangan berkecil hati, berikut ini adalah cuplikan dari buku “The Koan: Texts and Contets in Zen Buddhism”.

Dikisahkan pada Legenda ini, pada suatu hari saat Buddha sedang menyampaikan “Khotbah Bunga” di Puncak Burung Hering, Beliau menaiki takhtanya lalu memetik setangkai bunga untuk ditunjukkan kepada seluruh hadirin.

Tidak ada seorang pun yang memahami maknanya, kecuali Mahakassapa yang membalasnya dengan senyum. Buddha memilihnya sebagai murid yang mengerti sepenuhnya ajaran itu dan seseorang yang pantas menjadi penerusnya. Legenda ini kemudian dianggap sebagai awal muasal Zen (Chan).

Apa makna di balik legenda itu, sungguh tidak mudah dimengerti. Entah mengapa Buddha mengangkat bunga itu lalu mengapa Mahakassapa tersenyum? Mungkin karena saya yang belum memiliki pemahaman mendalam Dharma sehingga sulit mengerti makna di balik itu, tak masuk kualifikasi praktisi Zen.

Memberi yang Terbaik

Ada beberapa kali saat memfasilitasi praktik Sehari Hidup Berkewawasan (DOM: Day of Mindfulness) dengan metode praktik dari Zen Plum Village yang diajarkan oleh Master Zen Thich Nhat Hanh yang akrab disapa “Thay”, saya menemukan keserba-kebetulan yang menimbulkan rasa penasaran di hati, kenapa  bisa terjadi, apakah itu hanyalah suatu kebetulan semata?

Perlu diketahui bahwa setiap kali memfasilitasi DOM, tentu saja perlu ada persiapan bahan-bahan, bahkan membaca ulang buku panduan agar bisa membuat sequence (urutan dan bahan untuk rangkaian acara) yang baik.

Sungguh penting memiliki prinsip untuk memberikan yang terbaik bagi peserta, tentu saja dengan harapan mereka bersemangat dan ingin terus berlatih. Apabila tidak ada persiapan matang, maka peserta juga bisa merasakannya alih-alih bisa membuat dampak negatif seperti antipati dan malas berlatih di kemudian hari.

Rasa syukur

Suatu ketika dalam sesi Berbagi Dharma (Dharma Sharing) yang dirangkai dalam Meditasi Teh; Berbagi Dharma merupakan praktik mendengar mendalam dan berbicara penuh kasih. Semua peserta duduk melingkar untuk berbagi pengalaman latihan yang dilaluinya sepanjang hari.

Ada seorang wanita jelita menyampaikan betapa bahagianya saat mengikuti praktik menyentuh bumi yang dipandu oleh Sister Chan Khong pada tahun 2009, momen menyentuh bumi tersebut dirasakan momen yang paling berkesan dan membangkitkan rasa syukur sangat besar.

Dia tidak tahu mengapa ada rasa syukur begitu dalam. Entah karena isi teks atau karena cara sister membawakan sesi itu sangat baik. Saat ini, ia tidak pernah lagi menemukan momen menyentuh bumi dengan rasa bahagia yang sama lagi. Ketika mendengar cerita tentang pengalamannya, saya merasa heran, ada penasaran bercampur kebahagiaan.

Pada hari tersebut saya juga telah mempersiapkan teks panjang menyentuh bumi sebagai penutupan DOM di wihara itu tanpa memberitahu kepada panitia sebelumnya, jadi ini termasuk agenda dadakan. Apakah ini bisa dianggap sebagai kebetulan?

Kebetulan bahwa ada peserta yang ingin mencari kebahagiaan melalui menyentuh bumi yang bertepatan dengan naskah menyentuh bumi yang sudah saya persiapkan itu? Apakah dia mendapatkan kebahagiaan sebagaimana pada tahun 2009? Biarlah itu menjadi rahasia alam yang akan terjawab suatu hari nanti.

Kejadian Spontan

Pada kesempatan lain di DOM tempat yang lain, saya memimpin sesi relaksasi total. Persiapan naskah standar relaksasi total saya padukan dengan Yin Yoga untuk menyusun rangkaian sesi tersebut. Saat sesi berlangsung dan melihat peserta berbaring santai setelah sesi yoga, tiba-tiba timbul rasa syukur terhadap badan yang masih sehat dan bisa mendukung pelaksanaan praktik meditasi.

Seketika itu, saya berhenti menggunakan teks standar, kemudian saya memandu sesi itu melalui improvisasi. Saya memandu peserta untuk mengucapkan terima kasih kepada seluruh tubuh dan organ internal. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut saya juga spontan apa adanya.

Rasa syukur memberikan efek relaksasi buat saya sendiri, ada suatu dorongan ingin mempersembahkan lagu melalui nyanyian padahal biasanya saya tidak percaya diri untuk bernyanyi karena menganggap suara saya kurang merdu.

Pada sesi Berbagi Dharma, seorang kakak Pembina sekolah minggu mengungkapkan bahwa praktik yang dilakukan selama tiga jam tadi bukan hal baru. Kendati demikian, sesi tadi membuat dia merasa syukur mendalam, tidak bosan. Dia merasa beruntung bisa hadir dalam latihan dan bertekad untuk ikut DOM lagi di kemudian hari.

Cara Unik

Kembali ke kisah Kotbah Bunga, walau saya tetap tidak mengerti, namun ada makna yang bisa saya tangkap dari beberapa pengalaman memfasilitasi DOM. Jika kita terus berlatih maka rasa empati dan waspada akan terus terasah. Kondisi demikian bisa membantu para fasilitator mengenali kebutuhan peserta tanpa perlu diminta para peserta, karena akan timbul interkoneksi antara fasilitator dan peserta.

Buddha adalah fasilitator hebat dan luar biasa sehingga mampu menyentuh Mahakassapa dengan hanya mengangkat bunga. Tidak ada keajaiban yang dilakukan Buddha, namun menjadi ajaib karena Buddha dengan cara-Nya mampu mengenali semua kebutuhan mahluk hidup.

KSHANTICA anggota Ordo Interbeing Indonesia, sukarelawan retret mindfulness, dan aktif di MBI DKI Jakarta.

Patriak Zen Pertama dari Vietnam

Patriak Zen Pertama dari Vietnam

Khuong Tang Hoi: Patriak Pertama dari Vietnam

Plum Village memiliki patriak zen pertama bernama Khương Tăng Hội (康僧會, pinyin: Kāng Sēnghuì). Menurut catatan Vietnam, tanggal 1 November 2017 merupakan hari untuk mengenang kembali jasa-jasanya dalam menyebarkan ajaran Buddha.

Pagi itu, di Plum Village Thailand, empat lapisan sangha berkumpul di aula utama. Semuanya duduk dengan hening sekitar 20 menit, lalu dimulai dengan membacakan gatha pembukaan dan Sutra Hati dalam bahasa Vietnam, dilanjutkan dengan menyentuh bumi untuk menghormati Buddha Shakyamuni beserta sesepuh Zen dari Maha Kasyapa, Sariputra, Maha Moggalyana, Upali, Ananda, hingga Master Tang Hoi, dan beberapa sesepuh zen dari Tiong Kok hingga para guru besar kontemporer Vietnam.

Menyentuh bumi pagi itu menjadi sesuatu yang sangat luar biasa, bukan karena jumlahnya tapi makna dari setiap sentuhan bumi untuk mengingat kembali para guru-guru besar hingga Buddha Sakyamuni. Kegiatan dilanjutkan dengan membacakan biografi singkat Master Tang Hoi dan menyanyikan tembang yang memuji nama besarnya.

Sesepuh Zen Tang Hoi meninggal pada tahun 208M, beliau merupakan biksu yang banyak berkecimpung dalam menerjemahkan kitab suci Tripitaka pada zaman Tiga Kerajaan (三國, pinyin: Sānguó. Beliau lahir di Jiaozhi (交趾, pinyin: Jiāozhǐ) yang merupakan bagian dari Vietnam pada zaman sekarang ini. Ayahanda beliau berasal dari pedagang Sogdian dan ibundanya berasal dari Vietnam. Wilayah Sogdian merupakan kawasan yang saat ini merupakan bagian dari Tajikistan dan Uzbekistan.

Kisah mencatat bahwa beliau banyak memberikan kontribusi dalam penerjemahan Tripitaka ke dalam bahasa mandarin kuno. Suatu ketika beliau meditasi dan berdoa dengan sepenuh hati sehingga relik Buddha muncul di sebuah vas bunga. Seorang Raja bernama Wu Sun Quan mencoba untuk menghancurkan relik itu tapi tidak berhasil.

Thich Nhat Hanh

Thich Nhat Hanh

Thich Nhat Hanh
Thich Nhat Hanh, foto oleh Paul Davis

Thich Nhat (Vietnam: Nhất Hạnh) lahir pada bulan 11 Oktober 1926 di Sentral Vietnam, beliau yang akrab di sapa Thay yang berarti guru; merupakan biksu zen yang berasal dari Vietnam, penulis, penyair, dan aktivis hak azasi manusia, ia yang sudah berusia 98 tahun sekarang ini juga merupakan sosok yang sangat dikagumi oleh masyarakat dunia dewasa ini.

Thay bergabung dengan Biara Zen pada umur 16 tahun, mulai belajar ajaran Buddha sejak samanera, kemudian menerima penahbisan penuh sebagai biksu pada tahun 1949. Nama lengkap Thay adalah Thich Nhat Hanh (Vietnam: Thích Nhất Hạnh), nama keluarga Thích diberikan kepada semua biksu maupun bhiksuni di Vietnam, yang berarti bagian dari suku Shakya (Buddha Shakyamuni).

Di awal tahun 1960an, pada masa perang Vietnam, Thay mendirikan organisasi sosial School of Youth for Social Service (SYSS) di Saigon yang terdiri dari lapisan masyarakat akar-rumput untuk membantu meringankan penderitaan korban perang dan membangun kembali desa-desa yang hancur akibat bom, membangun sekolah dan pusat perawatan kesehatan, mencari cara untuk melakukan penempatan ulang masyarakat yang kehilangan rumahnya.

Thay menempuh perjalanan ke Amerika Serikat dan belajar di Universitas Princeton, dan kemudian menjadi dosen di Universitas Cornell dan Universitas Columbia.

Tujuan utama kunjungannya ke Amerika adalah untuk mendesak pemerintah Amerika untuk menarik diri dari kancah perang Vietnam, Thay sungguh tidak ingin melihat saudara membunuh saudara di Vietnam, Dr. Martin Luther King, Jr tersentuh oleh pembawaan eling, damai dan tenang Thay ikut mendukung untuk segera mengakhiri perang Vietnam melalui gerakan non kekerasan, Thay juga berbicara di hadapan berbagai kelompok perdamaian. Thay juga memimpin delegasi Buddhis berpartisipasi dalam Perbincangan Perdamaian di Paris.

Pada tanggal 25 January 1967 Institut Nobel di Norwegia melayangkan sebuah surat untuknya, Martin Luther King menominasi Thay sebagai penerima Hadiah Perdamaian Nobel.

Seorang guru yang sangat dikagumi oleh dunia barat, Thay termasuk tokoh yang berjasa dalam membawa Ajaran Buddha ke dunia barat, melalui latihan hidup sadar ternyata berbagai kalangan yang berasal dari latar belakang relijius, spiritual dan pandangan politik berbeda-beda bisa menerimanya dengan begitu alami. Latihan hidup sadar dengan perhatian penuh (mindfulness) merupakan adaptasi dari sensibilitas nuansa Barat. Pada tahun 1966 Thay mendirikan Order of Interbeing, secara alami berbagai pusat latihan monastik dan pusat latihan lainnya juga bermunculan di berbagai belahan dunia.

Sejak perjalanannya ke dunia barat dan aktivitas menyerukan perdamaian, Thay harus mengasingkan diri di dunia eropa, ia tidak bisa pulang kembali ke kampung halamanya lagi yaitu Vietnam, kejadian ini melahirkan pusat retret seni hidup berkesadaran yang bertempat di daerah Dordogne Perancis Selatan, bernama Plum Village, telah menjadi rumahnya, sejak itu beliau berkunjung ke komunitas internasional untuk memberikan ceramah dan retret. Thay juga yang merupakan inisiator istilah Engaged Buddhism (Ajaran Buddha yang aktif terjun ke berbagai aspek kehidupan) dalam bukunya yang berbahasa Vietnam dengan judul: Lotus in a Sea of Fire.

Karena menolak berpihak pada salah satu blok (komunis maupun anti komunis), beliau diasingkan oleh pemerintah Vietnam sejak lama. Thay baru diizinkan pulang ke Vietnam pada tahun 2005 dan 2007. Thay telah menulis lebih dari 100 judul buku, mencakup lebih dari 40 judul yang berbahasa Inggris. Beliau juga menerbitkan Ceramah Dharma per kuarter dalam Jurnal Order of Interbeing, The Mindfulness Bell. Thay terus aktif berkarya dalam pergerakan perdamaian, memberi sponsor retret untuk peserta dari Israel dan Palestina, mendukung kedua pihak untuk mendengar secara mendalam dan saling belajar dari sesamanya. Beliau berulang kali memberi pidato untuk mendesak negara-negara yang terlibat dalam pertikaian untuk berhenti berperang dan jadikan non-kekerasan sebagai solusi bagi berbagai sengketa; Pada tahun 2005 dan 2007, beliau meminpin “perjalanan perdamaian” di Los Angeles, dihadiri oleh ribuan orang demi untuk memberi dukungan kepada para biksu yang sedang melakukan demonstrasi di Myanmar. Beliau juga dianugerahkan “Courage of Conscience” pada 16 Juni 1991. Selain memberi bimbingan retret, ia juga tur ke berbagai negara Eropa, Amerika, dan Asia untuk berbagi seni hidup berkesadaran bersama 4 lapisan sangha (monastik dan sahabat awam).