Ular, Tali, dan Kekosongan Sejati

Ular, Tali, dan Kekosongan Sejati

Pertemuan dengan Biksuni Chan Khong dimulai dengan makan pagi di sebuah rumah di kawasan Tanjung Duren, Jakarta, F-22 sebutannya. Kami dipenuhi rasa syukur akan karunia kosmos yang muncul dalam bentuk sarapan. Nasi tim dan sop menjadi lebih nikmat ketika kami mengunyah dan menelan dengan berkesadaran (mindfulness), Sekitar setengah jam kami mencurahkan segala indera kami untuk menikmati sarapan, diselingi satu-dua kalimat.

Oleh: Brigitta Isworo Laksmi (11 Mei 2009)

Sr. Chan Khong

Biksuni Chan Khong—berarti “Kekosongan Sejati”–pada kamis (7/5) pagi itu bertutur panjang tentang misperception, diawali dengan cerita tentang perang tiga dekade di negeri leluhurnya, Vietnam, yang berawal pertengahan 1940-an. Pengalaman semasa Perang Vietnam mengisi 2/3 bagian dari bukunya, Learning True Love, Pengamalan Ajaran Buddha di Masa Tersulit, yang kamis itu diluncurkan.

Dia menuturkan momen ketika dia didera keputusasaan dan dikuasai kemarahan. Saat itulah dia mencoba bertahan, bertahan tetap mengarahkan diri pada keindahan, keluhuran, dan pengertian. Momen itu muncul ketika ratusan orang berkumpul dan granat diledakkan di situ. Sebanyak 24 temannya langsung tewas, sementara 24 orang di bawah ke rumah sakit, luka parah.

“Sulit memang, namun ingat apa yang ditawarkan Buddha, bahwa setiap orang, tidak harus pengikut ajaran Siddharta Buddha, memiliki perasaan damai, iba, cinta, dan memiliki terang di dalam diri mereka yang terdalam,” katanya.

“Ketika perang berkecamuk, saya menyaksikan teman saya melepas ajal. Pada saat seperti itu, kita bisa menyentuh kedamaian dalam diri, melalui pernapasan. Saya menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan. Berkali-kali, satu…dua… Itu untuk memutus hubungan kita dengan perasan marah,” ungkapnya.

Bernapas, benar-benar menghayati proses pernapasan, amatlah penting. “Kita tidak bicara, tidak bertindak, dan tidak berpikir. Bernapas adalah jalan keluar dari kemarahan, kebencian, keputusasaan, dan rasa takut. Pernapasan adalah penghubung antara pikiran dan tubuh. Solusi hadir ketika kita bernapas,” ujarnya.

Di bukunya dia menulis: suatu kali dia dilarang mendampingi 566 manusia perahu ke Australia. Dia menangis dan menangis. “Kalau saja ketika itu saya bernapas, mungkin saya bisa berpikir dan bisa mencarikan donatur agar mereka bisa diangkut dengan kapal yang lebih layak,” kenangnya kemudian.

Pernapasan adalah cara baik untuk menyentuh realitas perdamaian, pengertian, dan cinta kasih—sebut sebagai Buddha Nature, God in You, Allah in You, atau perasaan akan kebaikan, pengertian, dan rasa cinta. Dalam diri setiap manusia ada bibit-bibit perdamaian, cinta, dan rasa kasih.

“Ketika sampai ke titik itu, saya bisa menyatakan kepada pembunuh itu, ‘Kami tidak membenci kalian. Ini hanyalah akibat pemahaman yang keliru (misperception) terhadap kami.’ Salah satu pembunuh itu lalu mengelus kepala temannya dan bertanya, ‘Engkau benar dari sekolah itu?’ Ketika diiyakan, pembunuh itu berkata, ‘Maafkan, tetapi saya diperintahkan membunuh kamu.’ Dan pistol pun meledak. Pembunuh itu meminta maaf. Di dalam hatinya yang terdalam dia punya kasih,” ujar Chan Khong.

Misperception telah menyingkirkan perdamaian dan membawa penderitaan. Dalam ajaran Buddha disebutkan, saat memandang sesuatu sesungguhnya kita hanya bisa menangkap 20 persen dari apa yang kita lihat. Meski demikian, kita selalu berkeyakinan mampu menangkap keseluruhannya. Bahkan suami-istri pun demikian. Selalu merasa tahu semua tentang pasangannya, padahal hanya tahu 40-50 persen. Sisanya terpengaruh latar belakang sosial dan pendidikan. Ketika pasangan bertindak berbeda dari yang dia pikir, mereka pun bertengkar. Menurut Chan Khong, yang harus dilakukan hanya bertanya dengan penuh rasa cinta tentang apa sebenarnya maksud pasangan.

Ketika muncul misperception, yang tampak adalah ular. Ular yang harus dipukul. Padahal sebenarnya adalah tali (rope). “Kalau itu tali, yang dia pukul hanya tali. Namun ketika misperception terhadap orang lain, dia bisa melukai orang.” ujarnya. “Terorisme lahir dari bagian itu,” tambahnya.

Kematian Seorang Sahabat

Thich Nhat Hanh dan Sr. Chan Khong di Vietnam

Chan Khong terlahir sebagai Cao Ngoc Phuong. Dibesarkan oleh orangtua yang murah hati kepada kaum miskin dan butuh pertolongan. Dia pun tumbuh sebagai remaja putri yang murah hati dan penuh belas kasih. Dia sebut ayah ibunya sebagai pohon ek yang menaungi 22 “anak mereka”–13 diantaranya adalah anak angkat.

Di usia belasan tahun, anak kedelapan dari sembilan bersaudara ini telah menyaksikan kekejian manusia. Pada akhir tahun 1940-an, Vietnam menjadi ajang perebutan kekuasaan antara Partai Komunis dan Perancis. Tetangganya dan suami guru SD-nya tewas.

Dia aktif di School of Youth for Social Service (SYSS) bentukan Thich Nhat Hanh—Master Zen yang menggalang gerakan perdamaian. Pada suatu selasa pagi, sahabat terdekatnya, Nhat Chi Mai dari SYSS, membakar diri demi perdamaian. Ngoc Phuong amat terpukul.

Dia terus aktif membantu para korban perang dengan makanan dan obat-obatan bagi penduduk sekitar Saigon. Tahun 1968 dia bergabung dengan Thich Nhat Hanh di Hongkong. Tahun 1970-an Thich Nhat Hanh menjadi kandidat peraih Nobel Perdamaian karena gerakan perdamaian Vietnam. Ngoc Phuong lalu menjadi Biksuni Chan Khong dan menjadi tangan kanan Thich Nhat Hanh. Dalam pengasingan, mereka mendirikan komunitas Plum Village di Bordeaux, Perancis. Ajaran perdamaian mereka dinilai berbahaya oleh Vietnam. Mereka juga membantu ribuan manusia perahu dengan berbagai cara.

Di Plum Village, Chan Khong mengajarkan perdamaian, meditasi laku, pernapasan, dan “to smile (tindakan tersenyum).” Tutur katanya pelan, halus, tegas, namun penuh kegembiraan, membawa nuansa meditatif.

Kini, di tengah tantangan ekonomi global yang menggurita dan perasaan permusuhan yang merebak di mana-mana, Chan Khong mengajarkan Global Ethics (Etika Global). “Ketika semua orang, baik Muslim, Kristiani, orang Amerika, orang Arab, orang Palestina, Indonesia, bisa berujar, ‘ya..ya.. itu etika saya’, maka itulah Etika Global,” jelasnya.

Ada lima panduan Etika Global, yaitu, pertama, jangan membunuh karena membunuh akan memunculkan penderitaan—termasuk membunuh binatang untuk konsumsi. Kedua, jangan mencuri karena membawa ketidakadilan.

Ketiga, jangan mempraktikkan hubungan seksual secara keliru karena akan tidak ada lagi kebahagiaan mendalam pada relasi antaramanusia. Dia memberi contoh, “Banyak orang di Perancis tak mau menikah. Angka bunuh diri pun meningkat, 40-50 per hari. Hidup tak lagi ada tujuan,” ujarnya prihatin.

Yang keempat adalah berhati-hati dengan kata-kata. “Kata-kata bisa menghancurkan orang (membunuh). Kembangkan kemampuan mendengarkan,” tuturnya.

Pegangan kelima, mengonsumsi secara benar. “Indera harus diberi ‘makan’ terpilih yang sehat. Tontonan dan bacaan sehat untuk pikiran dan makanan sehat untuk tubuh,” ujarnya menutup pembicaraan.

Chan Khong percaya, ketika Etika Global terbentuk dan semua orang mempraktikkan, perdamaian telah tiba untuk mengetuk pintu kehidupan kita.

Biodata Chan Khong:
Nama: Chan Khong berarti Kekosongan Sejati, terlahir Cao Ngoc Phuong

Lahir: Kota Ben Tre, Vietnam, 1938

Pencapaian: Mengajar meditasi, perdamaian dengan penapasan di Plum Village, Bordeaux, Perancis selatan, yang dipimpin oleh Thich Nhat Hanh.

Sumber: Sosok, Kompas, Senin, 11 Mei 2009

Sutra Mengetahui Cara Lebih Baik Untuk Menangkap Ular

Sutra Mengetahui Cara Lebih Baik Untuk Menangkap Ular

Demikianlah yang telah saya dengar, suatu ketika Buddha berdiam di Wihara Anathapindika dekat Hutan Jeta, Kota Shrawasti. Pada saat itu, Bhante Arittha, sebelum ditahbiskan menjadi biksu ia adalah seorang pelatih burung heriang. Berdasarkan ajaran Buddha, ternyata Bhante Arittha memiliki pandangan keliru, ia menganggap bahwa kenikmatan sensual bukanlah penghalang latihan. Setelah mendengar pendapat demikian, beberapa biksu lain bertanya kepada Bhante Arittha, “Bhante Arittha, apakah Anda benar-benar yakin bahwa Buddha mengajarkan tentang kenikmatan sensual bukanlah penghalang latihan?”

Bhante Arittha menjawab, “Sahabatku, benar apa adanya, saya yakin Buddha tidak menganggap bahwa kenikmatan sensual merupakan penghalang latihan.”

Para biksu menyampaikan dengan tegas, “Bhante Arittha, Anda telah keliru dalam menginterpretasikan ajaran Buddha, bahkan telah menghina beliau. Buddha tidak pernah mengajarkan bahwa kenikmatan sensual bukanlah penghalang latihan. Justru, Buddha banyak menggunakan contoh-contoh untuk menerangkan bahwa kenikmatan sensual merupakan penghalang latihan. Anda seharusnya meninggalkan pandangan keliru itu.” Walaupun para biksu telah menyampaikan dengan tegas kepada Bhante Arittha, dia tetap tidak mau mengubah pandangannya. Para biksu mengulang sebanyak tiga kali, dan sebanyak tiga kali juga Bhante Arittha menolak, bahkan terus menyatakan bahwa pandangannya benar, justru pandangan para biksu yang keliru.

Setelah memberikan nasihat demikian dan tidak berhasil, para biksu meninggalkannya. Mereka datang menghadap Buddha dan menceritakan seluruh kejadian yang mereka lihat dan dengar.

Buddha kemudian memanggil Bhante Arittha, menegurnya dengan halus, dan kemudian mengajarkan kepada semua biksu, “Para sahabat, penting sekali untuk mengerti ajaran saya secara menyeluruh sebelum Anda mempraktikkannya. Jika Anda belum mengerti makna dari ajaran yang telah saya babarkan, mohon datang bertanya kepada saya atau kakak senior dalam Dharma atau siapa saja yang telah mengerti dengan baik dalam latihan. Ketahuilah bahwa selalu ada orang yang tidak mengerti secara harfiah maupun semangat inti dari sebuah ajaran, pada kenyataannya, justru Anda-lah yang perlu mengerti secara menyeluruh, apakah ajaran itu disampaikan dalam bentuk syair atau prosa, prediksi, syair rangkuman, kondisi saling berkaitan, perumpamaan, ucapan spontan, kutipan, kisah dari kehidupan sebelumnya, kejadian luar biasa, komentar secara detail, klarifikasi definisi. Ketahuilah bahwa selalu ada di antara mereka yang belajar suatu ajaran hanya demi memuaskan rasa ingin tahunya saja atau untuk memenangkan suatu argumen, bukan demi pembebasan sepenuhnya. Dilandasi dengan niat demikian, maka dia telah melenceng dari semangat orisinal ajaran. Mereka bisa saja berupaya keras, menghadapi berbagai kesulitan yang alih-alih tidak memberikan banyak manfaat, dan hanya membuat dirinya lelah.

“Para biksu, seseorang yang belajar seperti itu bisa diumpamakan sebagai orang yang mencoba menangkap ular berbisa di dalam hutan belantara. Jika dia menjulurkan tangannya, maka ular itu akan berbalik mematuk tangan, kaki, atau bagian lain dari badannya. Mencoba menangkap ular dengan cara demikian tidak akan memberi manfaat dan hanya akan mengakibatkan banyak penderitaan.

“Para biksu, belajar mengerti Dharma dari sudut pandang keliru juga demikian. Jika Anda tidak praktik Dharma dengan tepat, maka sudut pandang pemahaman Dharma Anda akan terbalik yaitu tidak sebagaimana mestinya. Namun, apabila Anda praktik Dharma dengan rajin, Anda bisa mengerti secara harfiah maupun semangat inti dari ajaran itu dan juga bisa menjelaskannya dengan tepat. Janganlah mempraktikkan Dharma demi pamer kepintaran atau memenangkan argumen. Praktikkanlah ajaran ini demi pembebasan, jika demikian yang Anda lakukan, maka tidak akan menyebabkan terlalu banyak penderitaan dan tidak melelahkan.

“Para biksu, seorang murid yang cerdas dalam Dharma seperti seseorang yang menggunakan stik bercabang untuk menangkap ular. Ketika dia melihat ular berbisa di dalam hutan belantara, dia menancapkan stik itu tepat di atas kepala ular itu lalu menggunakan tangan satu lagi untuk mencengkeram lehernya. Walaupun ular itu melilit tangan, kaki, atau bagian dari badan orang itu, ular itu tidak akan bisa mematuk orang tersebut. Inilah cara terbaik menangkap ular, dan cara demikian tidak akan menyebabkan terlalu banyak penderitaan dan tidak kelelahan.

“Para biksu, anak dari keluarga berbudi luhur, mereka belajar Dharma hendaknya dipraktikkan dengan melandasi dengan pengertian secara harafiah dan semangat inti dari ajaran itu. Dia hendaknya jangan menggunakan pembelajaran Dharma demi meyombongkan diri, berdebat atau beradu argumen dengan orang lain, tapi Dharma dipraktikkan hanya untuk pembebasan. Belajar Dharma dengan cara demikian, belajar dengan kecerdasan, maka tidak akan menyebabkan terlalu banyak pederitaan dan tidak melelahkan.

“Para biksu, saya sudah sering menyampaikan bahwa betapa pentingnya untuk mengetahui kapan waktunya untuk meletakkan rakit dan tidak menggotongnya tanpa kebutuhan jelas. Ketika air sungai dari gunung mengalir luber dan menjadi aliran deras banjir membawa segala jenis puing-puing, seseorang yang ingin menyeberangi sungai itu akan berpikir, ‘Cara baik seperti apa yang bisa digunakan untuk menyeberangi sungai deras ini?’ Dia memeriksa sekeliling, lalu dia mengumpulkan kayu dan rumput, kemudian membuat sebuah rakit yang ia gunakan untuk menyeberangi sungai itu. Tapi, setelah ia tiba di seberang sungai, dia berpikir, ‘Saya menghabiskan banyak waktu dan energi untuk membuat rakit ini. Sungguh rakit yang sangat berharga, saya akan menggotong rakit ini bersamaku sepanjang perjalanan ini.’ Jika dia menggotong, menenteng, atau meletakkan rakit itu di kepalanya sepanjang perjalanan di daratan, wahai biksu, menurut Anda, apakah orang tersebut bisa disebut cerdas?”

Para biksu menjawab, “Tidak, Yang Mulia.”

Buddha melanjutkan, “Bagaimana agar dia bisa bertindak lebih bijaksana? Dia bisa saja berpikir, ‘Rakit ini telah membantu saya menyeberangi sungai ini dengan selamat. Sekarang saya akan meletakkan rakit ini di pinggir sungai agar nanti ada orang lain juga bisa menggunakannya.’ Apakah pemikiran seperti ini lebih cerdas?”

Para biksu menjawab, “Iya, Yang Mulia.”

Buddha mengajarkan, “Saya telah sering mengajarkan tentang rakit ini untuk mengingatkanmu tentang betapa pentingnya untuk melepaskan bahkan semua ajaran yang benar, apalagi ajaran yang tidak benar.”


“Para biksu, ketahuilah bahwa ada enam landasan pandangan. Ini berarti terdapat enam dasar persepsi keliru yang perlu kita lepaskan. Apa saja keenam dasar itu?

“Pertama, adanya wujud. Apakah itu wujud masa lalu, masa depan, atau masa sekarang; apakah itu wujud diri sendiri atau wujud pihak lain; apakah itu wujud halus atau kasar; jelek atau indah; dekat atau jauh, wujud ini punya saya, bukan punya saya, bukanlah sang aku yang berdiri sendiri. Para biksu, mohon lihatlah lebih dalam agar Anda bisa mengerti kebenaran di balik wujud itu.

“Kedua, adanya perasaan.

“Ketiga, adanya persepsi.

“Keempat, adanya bentuk-bentuk mental. Apakah fenomena ini merupakan bagian dari masa lalu, masa depan, atau juga masa sekarang, apakah itu milik kita atau orang lain, apakah itu halus atau kasar, jelek atau indah, dekat atau jauh, fenomena demikian bukan milik saya, bukanlah saya, dan bukanlah sang aku yang berdiri sendiri.

“Kelima, adanya pencerapan indra. Apa pun yang kita lihat, dengar, cerap, ketahui, dicerap secara mental, pantau, atau dipikirkan pada waktu ini atau waktu lain bukanlah milik kita, bukanlah sang aku yang berdiri sendiri.

“Keenam, adanya dunia. Ada di antara mereka berpikir, ‘Dunia ini adalah sang aku yang berdiri sendiri. Sang aku yang berdiri sendiri adalah dunia ini. Dunia ini milikku. Aku akan terus berlanjut eksis tanpa berubah bahkan setelah mati sekalipun. Aku kekal. Aku tidak akan menghilang.’ Mohon meditasikan hal demikian agar Anda bisa melihat bahwa dunia ini bukan milik saya, bukan saya, bukan sang aku yang berdiri sendiri. Mohon lihat lebih dalam agar Anda bisa melihat kebenaran berkenaan dengan dunia ini.”


Setelah mendengar pembabaran itu, seorang biksu berdiri, membuka bahu sebelah kanan, beranjali dengan penuh hormat bertanya kepada Buddha, “Yang Mulia, apakah ketakutan dan kecemasan bisa berasal dari sumber internal?”

Buddha menjawab, “Iya, ketakutan dan kecemasan bisa berasal dari sumber internal. Jika Anda berpikir, ‘Segala sesuatu yang yang tidak eksis di masa lalu telah eksis, tetapi saat ini sudah tidak eksis lagi,’ Anda akan merasa sedih atau menjadi binggung dan putus asa. Demikianlah ketakutan dan kecemasan bisa berasal dari sumber internal.”

Biksu yang sama melanjutkan, “Yang Mulia, apakah ketakutan dan kecemasan yang berasal dari sumber internal bisa dicegah kemunculannya?”

Buddha menjawab, “Ketakutan dan kecemasan yang berasal dari sumber internal bisa dicegah kemunculannya. Jika Anda tidak berpikir, ‘Segala sesuatu yang tidak eksis di masa lalu telah eksis, tetapi saat ini sudah tidak eksis lagi,’ Anda tidak akan merasa sedih atau menjadi binggung dan putus asa. Demikianlah ketakutan dan kecemasan yang berasal dari sumber internal bisa dicegah kemunculannya.”

“Yang Mulia, apakah ketakutan dan kecemasan bisa berasal dari sumber eksternal?”

Buddha menyampaikan, “Ketakutan dan kecemasan bisa berasal dari sumber eksternal. Anda bisa saja berpikir demikian, ‘Inilah aku yang berdiri sendiri. Inilah dunia. Inilah diriku sendiri. Aku akan eksis selamanya.’ Lalu, jika Anda bertemu dengan Buddha atau murid Buddha yang telah mengerti sepenuhnya dan cerdas, dia yang bisa mengajarkanmu bagaimana cara melepaskan semua pandangan yang berkenaan dengan kemelekatan terhadap badan, aku yang berdiri sendiri, dan objek sang aku yang bisa berdiri sendiri, dengan cara melepaskan kesombongan, simpul internal (samyojana), dan kebocoran energi, dan Anda berpikir, ‘Inilah berakhirnya dunia. Aku harus melepaskan semuanya. Aku bukanlah dunia ini. Aku bukanlah saya. Aku bukanlah aku yang bisa berdiri sendiri. Aku tidak akan eksis selamanya. Ketika aku mati, maka aku akan hilang total. Tidak ada harapan lagi, tidak ada yang perlu digembirakan lagi, tidak ada lagi yang perlu dikenang,’ Anda akan merasa sedih dan menjadi binggung dan putus asa. Demikianlah ketakutan dan kecemasan bisa berasal dari sumber eksternal.”


Buddha bertanya, “Para biksu, bagaimana menurut pendapatmu tentang 5 skandha beserta aku adalah permanen, tidak berubah, dan tidak pernah hancur?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Apakah ada sesuatu yang bisa Anda pegang dengan kemelekatan yang akan menyebabkan kecemasan, kelelahan, kesedihan, penderitaan, dan keputus-asaan?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Apakah ada pandangan tentang aku yang berdiri sendiri yang mana bisa Anda jadikan tempat berlindung yang tidak akan menyebabkan kecemasan, kelelahan, kesedihan, penderitaan, dan keputus-asaan?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Para biksu, Anda hampir benar. Kapanpun ada gagasan tentang aku yang bisa berdiri sendiri, maka juga ada gagasan tentang sesuatu milik sang aku yang berdiri sendiri. Ketika tidak ada gagasan tentang sang aku yang berdiri sendiri, tidak ada gagasan sesuatu milik sang aku yang berdiri sendiri. Sang aku yang berdiri sendiri dan apa pun milik sang aku yang berdiri sendiri merupakan dua pandangan yang berlandaskan cara untuk mencoba mengenggam sesuatu yang tidak bisa digenggam dan membentuk sesuatu yang tidak bisa dibentuk.” Persepsi keliru demikian menyebabkan kita terikat pada simpul internal yang muncul dari momen ketika kita terjebak dalam gagasan yakni sesuatu yang tidak bisa digenggam atau sesuatu yang tidak bisa dibentuk dan tiada basis dalam realitas. Apakah Anda melihat ada persepsi keliru? Apakah Anda melihat konsekuensi dari persepsi keliru dalam kasus Bhante Arittha?”


Buddha melanjutkan, “Jika, seseorang menganggap enam landasan yang mengakibatkan munculnya pandangan keliru, seorang biksu tidak memunculkan gagasan tentang “Aku” atau “milikku”, dia tidak terjebak dalam rantai kehidupan. Sejak dia tidak terjebak dalam rantai kehidupan, maka tiada ketakutan dalam dirinya. Tiada ketakutan adalah ketibaan di nirwana. Orang demikian tidak lagi gelisah atas urusan lahir dan mati; kehidupan suci telah dijalani; apa pun yang perlu dilakukan telah selesai; tiada lagi kelahiran kembali, tiada lagi kematian; dan kebenaran dari segala sesuatu terlihat apa adanya. Biksu demikian telah menutupi parit yang mengelilingi benteng, dia sudah menyeberanginya, menghancurkan benteng kota, melepaskan sekrup pintu, ia mampu melihat secara langsung pada cermin pengertian tertinggi.

“Para biksu, inilah jalan para Tathagata dan mereka yang telah mencapai pembebasan. Indra, Prajapati, Brahma, dan dewa lainya beserta pesamuhannya, seberapa besar pun upaya yang mereka kerahkan untuk melihat jejak atau basis kesadaran Tathagata, mereka tidak bisa menemukannya. Tathagata merupakan sumber luhur dari kesegaran dan kesejukan. Tiada kepanasan dan kesedihan pada kondisi itu. Jika para petapa dan brahmana mendengar kata-kata ini, mereka bisa saja mencerca bahwa saya berbohong, Petapa Gotama dengan sengaja mengajarkan teori nihilisme dan mengajarkan teori non eksistensi absolut, sementara faktanya adalah makhluk hidup itu eksis. Para biksu, Tathagata tidak pernah mengajarkan apa yang barusan mereka katakan. Pada kenyataanya, Tathagata mengajarkan bagaimana penderitaan bisa berakhir agar bisa mencapai keadaan tiada ketakutan. Jika Tathagata disalahkan, dikritik, dijelek-jelekkan, atau dipukul, dia sudah tidak tergoyahkan lagi. Tathagata tidak marah, atau pergi dengan penuh kebencian, atau melakukan sesuatu untuk balas dendam. Jika ada orang yang menyalahkan, mengkritik, memukul Tathagata, bagaimana reaksinya? Tathagata akan berpikir, ‘Jika ada orang yang menghormati, menyanjung, memberikan persembahan kepada Tathagata, maka Tathagata tidak akan merasa nikmat. Dia hanya akan berpikir bahwa orang itu melakukan kebaikan seperti itu karena Tathagata telah mencapai pencerahan penuh dan transformasi.’”

Setelah mendengar pembabaran dari Buddha, para biksu berkenan mempraktikannya dengan penuh sukacita.

Arittha Sutra, Madhyama Agama 220
Alagaddupama Sutta, Majjima Nikaya 22