Makan dengan Rasa Syukur

Makan dengan Rasa Syukur

Begawan Buddha, setiap kali aku duduk untuk makan, aku bertekad untuk selalu membangkitkan rasa syukur. Aku tahu bahwa waktu untuk makan juga merupakan waktu untuk bermeditasi. Ketika aku menyantap makanan, aku bukan hanya menutrisi secara fisik, tetapi aku juga menutrisi batinku. Ketika aku menangkupkan kedua telapak tangan sebelum makan, aku mengikuti napasku untuk menyatukan batin dan tubuhku. Dan dalam keadaan murni dan waspada, aku akan melihat makanan yang ada di atas meja atau di dalam mangkokku kemudian aku akan merenungkan Lima Perenungan Sebelum Makan:

  1. Makanan ini adalah anugerah dari bumi, langit, berbagai makhluk hidup, dan dari berbagai hasil kerja keras.
  2. Semoga kami makan dengan penuh kesadaran dan rasa terima kasih, agar kami layak untuk menerimanya
  3. Semoga kami dapat mengenali dan mengubah bentuk-bentuk pikiran tidak bajik, terutama keserakahan.
  4. Semoga kami hanya menyantap makanan yang menutrisi dan menjaga kami agar tetap sehat.
  5. Kami terima makanan ini agar kami dapat merawat hubungan persaudaraan kakak dan adik, memperkuat Sanggha, dan memupuk tujuan luhur dalam melayani semua makhluk.

Buddha terkasih, sebagai seorang umat awam, aku berangkat kerja setiap hari untuk menghasilkan uang agar dapat membeli makanan bagi diriku dan keluargaku. Namun, aku tidak berpikir bahwa makanan itu adalah makananku, atau makanan yang dihasilkan olehku. Melihat mangkok yang berisi nasi, aku melihat dengan jelas bahwa makanan ini adalah anugerah dari bumi dan langit. Aku melihat sawah, kebun sayuran, matahari, hujan, pupuk, dan kerja keras dari para petani. Aku melihat ladang gandum keemasan yang indah, orang yang menuai panen, mereka yang menggiling gandum, yang membuat roti. Aku melihat kacang-kacangan yang ditanam dalam tanah; tumbuh menjadi pohon kacang. Aku melihat kebun apel, kebun plum, kebun tomat, dan para pekerja yang merawat tanaman-tanaman ini. Aku melihat lebah dan kupu-kupu berterbangan dari satu bunga ke bunga lainnya untuk mengumpulkan serbuk sari dan membuat madu yang manis untuk aku minum. Aku melihat bahwa setiap elemen dari kosmos telah berkontribusi menghasilkan apel atau plum yang sedang kupegang di tanganku atau daun dari sayuran yang direbus ini sedang aku celupkan ke dalam kecap asin. Hatiku penuh dengan rasa terima kasih dan kebahagiaan. Ketika aku sedang mengunyah makanan, aku menutrisi kesadaranku dan kebahagiaanku dan aku tidak akan membiarkan pikiranku dipenuhi oleh masa lalu, masa depan, atau pemikiran yang tidak berarti di masa sekarang. Setiap suap makanan menutrisi aku, leluhurku, dan semua keturunanku yang hadir dalam diriku. Saat aku mengunyah, aku menggunakan syair ini:

Aku sedang menyantap makanan di dimensi tertinggi

Aku sedang menutrisi semua leluhurku,

Aku sedang membuka jalan bagi semua keturunanku.

Aku menutrisi diriku sendiri dengan makanan lewat mulut dan dengan makanan kesan indra. Makanan yang bisa disantap lewat mulut dapat menutrisi fisikku. Makanan kesan indra dapat membawa sukacita dan welas asih saat aku makan. Ketika aku makan dengan berkesadaran penuh, aku menghasilkan welas asih, kebebasan, dan sukacita, menutrisi Sanggha-ku dan keluargaku dengan elemen-elemen ini.

Aku tidak akan membiarkan diriku untuk makan atau minum lebih dari yang aku butuhkan, karena itu berbahaya bagi diriku dan latihanku. Ketika aku antri untuk mengambil makanan atau ketika aku menaruh makanan di mangkokku, aku bertekad untuk mengingat berlatih hanya mengambil sejumlah yang aku butuhkan dan yang akan menjaga kedamaian dan keringanan dalam tubuhku. Sebagai seorang biksu atau biksuni, aku tahu bahwa mangkokku disebut sebagai wadah yang berukuran tepat, dan aku berlatih hanya mengambil makanan secukupnya.

Begawan Buddha, ketika aku melihat makanan yang sedang aku makan, aku juga melihat bahwa makanan itu merupakan anugerah dari bumi dan langit. Itu adalah hasil dari kerja keras. Sebagai seorang biksu atau biksuni, aku tahu makanan adalah anugerah yang dipersembahkan untukku oleh umat awam dan juga makanan yang diberikan oleh Buddha untukku. Ketika aku menjadi seorang biksu atau biksuni, Engkau memberiku sebuah mangkok makanan, dan Engkau mengajarkan bahwa selama aku memiliki mangkok ini, aku tidak perlu takut akan kelaparan jika aku berlatih sepenuh hati. Buddha, setiap aku selesai makan, aku memegang mangkokku dan mempersembahkan rasa syukur  kepada-Mu: “Terima kasih, Buddha, telah memberiku sesuatu untuk dimakan.” Ketika aku mengucapkan kalimat ini, hatiku penuh dengan rasa terima kasih. Mengekspresikan terima kasih kepada Buddha adalah sama halnya dengan mengekspresikan terima kasih kepada bumi, langit, semua makhluk, dan kerja keras dari banyak orang, termasuk saudara atau saudariku yang memasak makanan ini.

Menyentuh Bumi

Begawan Buddha, aku menyentuh bumi tiga kali di hadapan-Mu, yang layak diberi penghormatan dan persembahan, untuk menyatakan rasa terima kasihku kepada bumi, langit, semua spesies makhluk hidup, dan juga demi memupuk kebahagiaanku. [Genta]