Sutra Untaian Bunga: Sepuluh Maha Aspirasi Bodhisattwa Samantabhadra

Sutra Untaian Bunga: Sepuluh Maha Aspirasi Bodhisattwa Samantabhadra

Badan, ucapan, batin, jernih dalam kesatupaduan,
Aku bersujud sepenuh hati kepada semua Buddha tak terhitung
Dari masa lalu, masa sekarang, dan masa akan datang
melalui seluruh alam semesta di sepuluh penjuru

Kekuatan dari aspirasi Samantabhadra
memungkinkan aku hadir di setiap sudut.
Di situ hadir Buddha, aku juga hadir.
Jumlah Buddha tak terhitung, aku juga demikian.

Dalam setiap partikel debu terdapat Buddha,
Semuanya hadir bersama rombongan pesamuhannya.
Kekuatan dari keyakinanku menembus ke dalam
setiap atom dari semua Dharmadhatu.

Aku bertekad untuk menggunakan maha suara samudera,
mengumandangkan suara gema luar biasa
memuja para Buddha bagaikan lautan kebajikan,
Dari masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.

Aku membawakan persembahan indah ini:
Untaian dari bunga yang sangat ingah,
dupa, musik, parfum, dan panji-panji,
Semua ini untuk menghiasi Tathagata dan tanah suci.

Membawakan makanan, jubah, bunga harum,
pelita, cendana, alas untuk duduk,
perhiasan terbaik semuanya tersedia di sini–
semua ini merupakan persembahan kepada Tathagata.

Terinpirasi oleh aspirasi Samantabhadra,
Dengan sepenuh hati, menyertakan pemahaman terdalam,
Dengan kasih sayang penuh keyakinan kepada Buddha tiga masa,
memberikan persembahan kepada Tathagata di setiap sudut.

Dari waktu yang tiada awal saya telah berbuat tidak terampil
karena kemelekatan, kebencian, dan ketidaktahuan
Melalui berbagai aksi badan jasmani, ucapan, dan pikiran.
Saat ini aku bertekad untuk memulai lembaran baru, aku bertobat.

Aku bermuditacita atas semua aksi kebajikan
yang dilakukan oleh siapa pun di segala penjuru,
Oleh siswa dan mereka yang tidak perlu belajar lagi,
Para Buddha dan para Bodhisattwa.

Semua makhluk merupakan pelita bagi dunia ini
dan juga mereka yang baru saja mencapai pencerahan,
Aku memohon engkau menatap kami dengan penuh kasih,
mohon putarkanlah Roda Dharma untuk kami semua.

Dengan sepenuh hati, segala kerendahan aku memohon
kepada semua Buddha dan mereka yang hampir memasuki nirwana:
Mohon tetap bersama kami, sepanjang tiga masa,
demi memberikan manfaat dan kebaikan untuk semua.

Dengan rendah hati persembahan ini untuk mengundang Buddha
mohon tinggal bersama kami dan bimbinglah kami ke pantai seberang.
Semua kebajikan dari puji-pujian beserta pertobatan tulus ini
Aku persembahkan untuk pencapaian pencerahan sempurna.

Kebajikan ini dilimpahkan kepada Tiga Permata,
kepada hakikat dan bentuk Dharmadhatu.
Dua kebenaran saling bersinggungan dengan sempurna
ke dalam segel Samadhi.

Samudera kebajikan sungguh tak terukur.
Aku bertekad untuk melimpahkannya dan tidak untuk diri sendiri.
Jika ada manusia, dengan tidak sengaja mendiskriminasi dan menuduh,
mencoba untuk melakukan suatu yang tidak baik pada ajaran ini
dengan menguncarkan kata-kata dan aksi-aksi yang tidak baik,
semoga halangan mereka bisa sepenuhnya tersingkirkan.

Dalam setiap momen, kearifan telah meliputi Dharmadhatu,
menyambut semua makhluk tiba pada kondisi tidak-mundur-lagi.
Ruang dan semua makhluk sungguh tak terhitung jumlahnya,
demikian juga gangguan batin dan akibat dari aksi sebelumnya.
Keempat hal ini sungguh banyak dan sungguh tak terukur.
Demikian juga persembahan kebajikan ini.

Diterjemahkan oleh Thich Nhat Hanh dari
Avatamsaka Sutra 36
Taisho Revised Tripitaka 279

Sutra tentang Delapan Realisasi Para Makhluk Agung

Sutra tentang Delapan Realisasi Para Makhluk Agung

Dengan sepenuh hati, siang dan malam, para siswa-siswi Buddha seharusnya melafalkan dan memeditasikan delapan realisasi yang telah ditemukan oleh para makhluk agung.

Realisasi pertama adalah menyadari sepenuhnya bahwa dunia itu tidak kekal. Semua rezim politik suatu hari nanti akan jatuh jua; segala sesuatu yang terbentuk dari empat elemen (padat, cair, gas, dan panas) adalah ‘kosong’ dan mengandung benih-benih penderitaan.  Manusia terbentuk dari lima agregat (skandha) dan tanpa diri tunggal yang terpisah.  Semua itu selalu dalam proses berubah—secara terus menerus lahir dan mati. Semua itu kosong akan diri tunggal sejati, tidak bisa eksis secara mandiri. Batin adalah sumber dari semua kebingungan, dan badan jasmani merupakan hutan belantara dari semua tindakan tidak murni. Apabila kita memeditasikan fakta-fakta ini, kita bisa secara pelan-pelan terlepas dari samsara, lingkaran kelahiran dan kematian.

Realisasi kedua adalah menyadari sepenuhnya bahwa makin banyak nafsu keinginan mendatangkan makin banyak penderitaan. Semua kesukaran di dalam kehidupan sehari-hari muncul dari keserakahan dan nafsu keinginan. Mereka yang memiliki sedikit keinginan dan sedikit ambisi bisa relaks, badan jasmani dan batin mereka terbebas dari jebakan duniawi.

Realisasi ketiga adalah menyadari sepenuhnya bahwa batin manusia selalu mencari sesuatu untuk dimiliki dan tidak pernah merasa puas. Ini menyebabkan makin banyak tindakan-tindakan tidak murni. Akan tetapi, para bodhisatwa selalu mengingat akan prinsip memiliki sedikit keinginan . Mereka melakoni kehidupan sederhana dengan damai untuk berlatih dalam sang Jalan, dan menjadikan realisasi atas pemahaman sempurna sebagai satu-satunya karir mereka.

Realisasi keempat adalah menyadari sepenuhnya akan dampak kemalasan yang bisa menjadi rintangan latihan (kenikmatan sensual, kemelekatan, kemalasan, kecemasan, dan keragu-raguan). Berdasarkan alasan inilah, kita harus berlatih dengan rajin untuk mengurangi faktor-faktor mental tidak sehat yang melilit kita, dan menaklukkan keempat jenis Mara, guna membebaskan diri kita dari penjara kelima agregat (skandha) dan ketiga alam .

Realisasi kelima adalah menyadari sepenuhnya bahwa ketidaktahuan adalah penyebab dari lingkaran kelahiran dan kematian yang tiada akhir. Oleh karena itu, para bodhisatwa selalu ingat untuk mendengar dan belajar guna mengembangkan pemahaman dan upaya mahir. Ini memungkinkan mereka untuk mendidik para makhluk hidup dan membawa mereka ke alam yang penuh sukacita.

Realisasi keenam adalah menyadari sepenuhnya bahwa kemiskinan menciptakan kebencian dan kemurkaan, menciptakan siklus keji atas pikiran dan aktivitas negatif. Ketika mempraktikkan kedermawanan, para bodhisatwa menganggap semua orang setara, apakah itu teman maupun musuh. Mereka tidak mengutuk kesalahan masa lalu siapapun, demikian juga tidak membenci mereka yang sekarang sedang melakukan kejahatan.

Realisasi ketujuh adalah menyadari sepenuhnya bahwa kelima jenis nafsu (harta kekayaan, kecantikan, ambisi, makanan enak, dan tidur) menjerumuskan kita ke dalam kesulitan. Walaupun kita hidup di dunia ini, kita mencoba untuk tidak terjebak dalam hal-hal keduniawian. Seorang biksu, contohnya, hanya memiliki tiga set jubah dan satu mangkuk. Dia hidup sederhana guna mempraktikkan sang Jalan. Sila membebaskan dia dari kemelekatan terhadap hal-hal duniawi, dan dia memperlakukan semua orang dengan welas asih dan tanpa diskriminasi.

Realisasi kedelapan adalah menyadari sepenuhnya bahwa api kelahiran dan kematian sedang membara, menyebabkan penderitaan tiada akhir di mana-mana. Hendaknya kita membangkitkan ikrar mulia untuk membantu semua makhluk, memikul beban mereka, dan membimbing semua makhluk merealisasi kebahagiaan tertinggi.

Kedelapan realisasi ini adalah penemuan para makhluk agung, para Buddha dan bodhisatwa, dengan semangat tiada Lelah mereka telah mempraktikkan jalan welas kasih dan pemahaman. Mereka telah mengarungi perahu Dharmakaya  ke pantai nirwana, namun demikian mereka kembali lagi ke dunia ini, setelah melepaskan kelima nafsu itu, dengan pikiran dan hati tertuju pada jalan agung, mendandalkan kedelapan realisasi ini untuk menolong semua makhluk mengenali penderitaan di dalam dunia  ini.

Apabila para siswa-siswi Buddha mendaraskan kedelapan realisasi ini dan memeditasikannya, mereka akan mengakhiri kesalahpahaman dan kesulitan-kesulitan yang tak terhitung dan merealisasi pencerahan, meninggalkan dunia kelahiran dan kematian, berdiam dalam kedamaian sejati.


Sumber: Taisho Revised Tripitaka, No. 779


Diterjemahkan oleh Thích Nhất Hạnh dari bahasa Mandarin ke bahasa Inggris, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Chân Pháp Tử.