Freedom of the Heart

Freedom of the Heart

Unduh MP3 klik sini

I am a cloud, I am the blue sky
I am a bird spreading out its wings
I am a flower, I am the sunshine
I am the earth receiving a seed

#And I am free when my heart is open
Yes I am free when my mind is clear

Oh dear brothers, oh dear sisters
Let’s walk together, mindfully (joyfully)

Bahagia Itu Kini

Bahagia Itu Kini

Unduh MP3 klik sini

Bahagia itu kini
Kulepas cemasku
Tiada pergi, tiada kerja
Tak lagi tergesa

Bahagia itu kini
Kulepas cemasku
Jika pergi, jika kerja
Aku tak tergesa

Happiness is here and now,
I have dropped my worries,
nowhere to go, nothing to do,
no longer in a hurry.

Happiness is here and now,
I have dropped my worries,
somewhere to go, something to do,
but I don’t need to hurry.

Please call me by my true name

Please call me by my true name

Unduh MP3 klik sini

My joy’s like spring so warm,
it makes flowers bloom
all over the Earth.
My pain’s like a river of tears,
so vast it fills the four oceans.

#Please call me by my true names,
so I can hear
all my cries and laughters at once,
so I can hear
that my joy and pain are one.
Please call me by my true names,
so I can wake up
and the door of my heart
could be left open
(the door of compassion)

Apa Itu Meditasi?

Apa Itu Meditasi?

Pusat Meditasi Kayagata Sati, Cibodas Jawa Barat
Minggu, 28 Mei 2017 YM. Bhiksu Phap Kham mengupas tentang meditasi. Beliau adalah bhiksu senior yang ada dalam pelatihan meditasi yang terkemas dalam Mindfulness Retreat yang diadakan oleh Pusdiklat Buddhis Bodhidharma Jakarta dan Plum Village Perancis pada tanggal 24-28 Mei 2017. Ketika dalam sesi terakhir dari Retreat yang sangat bermanfaat ini YM. Bhiksu Phap Kham menyampikan Ceramah Dhamma tentang Meditasi. Beliau mengatakan “ Meditasi dapat diibaratkan seperti mengkoneksikan kedalam diri sendiri, Hidup Bersama dan Harmonis, dan hal ini merupakan Pedoman dalam tradisi Buddhis”.

Meditasi dapat mengubah Derita dan Rasa Sakit menjadi sebuah pencerahan menuju kebahagiaan. Kemudian beliau menerangkan cerita Kisah Wanita Murid Sang Buddha yang kaya raya yang hingga akhirnya tidak memiliki apa-apa, namun beruntung bertemu dengan Sang Buddha sehingga pada akhirnya mencapai ketenangan dan kesucian batin. Wanita itu adalah Pattacara. Ketika Pattacara sudah kehilangan kedua anaknya, suaminya, ayah dan ibunya, seluruh keluarganya, seluruh harta bendanya, dengan kalimat “BAWALAH PIKIRANMU KEMBALI” yang di ungkapkan oleh Sang Buddha, kemudian Pattacara sadar dan kemudian memohon kepada Sang Buddha untuk diangkat menjadi muridnya, Sang Buddha pun mengangkat beliau menjadi muridnya. Kemudian dengan latihan praktek Dhamma dan meditasi Bhikkhuni Pattacara mencapai pencerahan.

Meditasi dapat dikatakan melihat mendalam dan melihat hakikat asli fenomena di sekeliling kita. Fenomena dapat digambarkan seperti kejadian di kehidupan kita ada perasaan, persepsi, suara, bunga mekar, tempat kerja, keadaan ,dll.

Dua Tahap Meditasi menurut YM. Bhiksu Phap Kham adalah:

  1. Samatha Bhavana adalah meditasi ketenangan batin, dapat dikatakan juga berhenti yang dapat menjadikan ketenangan dan keheningan. Dalam aplikasinya kita tidak perlu tergesa-gesa dalam melakukan tindakan. Pikirannya tenang dan damai
  2. Vippasana Bhavana adalah meditasi Pandangan Terang atau Melihat mendalam. Merenungkan dari segala fenomena di sekitar kita secara mendalam, jika hal ini sukses maka akan tumbuh kebijaksanaan.

Fenomena yang paling dekat dengan kita adalah napas. Dengan memperhatikan napas masuk dan keluar dapat mengendalikan diri ini lebih dalam, dan paham napas masuk dan keluar dengan pengamatan.
Dengan melihat hakikat sesuatu lebih mendalam bahwa fenomena itu Tidak Kekal (anicca), tanpa Aku (anatta) dan Nirvana adalah non dualitas atau kebahagiaan sejati. Itulah yang harus dikembangkan ketika kita melatih meditasi.

Begitu juga pikiran untuk mencintai tanpa syarat dalam meditasi juga harus dikembangkan, sehingga pikiran tidak terdiskriminasi. Dengan Sadar Penuh kita dapat melihat kebahagiaan. Dalam meditasi kita dapat melihat sesuatu lebih jernih tidak berwarna. Emosi adalah sebab dari pandangan kita menjadi berwarna dan tidak jernih. Maka itu dengan melatih meditasi kejernihan pikiran akan kita raih dan kebahagiaan akan segera datang dalam diri kita.

Intinya dengan meditasi menyadari Napas, apabila pernafasan stabil maka napas Anda bisa menjadi tempat berlindung. Bagaimana pun suasana dalam pikiran-pikiran, perasaan, dan persepsi, pernapasan selalu ada seperti seorang teman setia. Kapan pun merasa terhanyut , atau tenggelam ke dalam rencana, atau pikiran acak tersebar berantakan dalam kekhawatiran dan gelisah, Anda dengan lembut menarik lagi perhatian pada pernapasan untuk menenangkan dan melabuhkan pikiran. Anda merasakan aliran udara yang masuk dan keluar melalui hidung. Merasakan betapa ringan dan alami, napas demikian memberi ketenangan dan kedamaian. Kapan pun Anda berada dalam aktivitas. Barangkali Anda ingin mengucapkan dalam hati :

“ Napas Masuk Aku Tahu ini Napas Masuk…..
Napas Keluar Aku Tahu ini Napas Keluar…”

Anda tidak perlu mengendalikan pernapasan. Rasakan pernapasan natural sebagaimana adanya. Bisa jadi panjang atau pendek, dalam atau dangkal. Dengan demikian napas menjadi lebih perlahan dan mendalam.
Napas sadar penuh merupakan kunci untuk menyatukan tubuh dan pikiran serta membawa energi sadar penuh setiap saat dari kehidupan. (Jurnalistik : Roch Aksiadi)

Semoga Semua Makhluk Berbahagia….
Sadhu….

Sumber: http://tisarana.net/ceramah/apa-itu-meditasi-by-ym-bhiksu-phap-kham/

Napas Masuk Napas Keluar

Napas Masuk Napas Keluar

Unduh MP3 klik sini

Napas masuk, napas keluar
Aku mekar bagai bunga
Aku segar bagai embun
Aku solid bagai gunung
Aku kokoh bagai bumi
Aku bebas

Napas masuk, napas keluar
Napas masuk, napas keluar
Aku air memantulkan
Yang nyata dan benar
Aku rasa ada ruang
di dalam diriku
Bebaslah, bebaslah, bebaslah

Breathing in, breathing out
Breathing in, breathing out
I am blooming as a flower
I am fresh as the dew
I am solid as a mountain
I am firm as the earth
I am free
Breathing in, breathing out
Breathing in, breathing out
I am water reflecting
what is real what is true
and I feel there is space
deep inside of me
I am free, I am free, I am free

Plum Village

Plum Village
Plum Village
Plum Village

Plum Village (Làng Mai) merupakan pusat meditasi buddhis yang berada di Dordogne, daerah selatan Perancis. Didirikan oleh Biksu Zen Thich Nhat Hanh bersama Biksuni Chan Khong pada tahun 1982.

Sejarah
Thich Nhat Hanh dicabut haknya untuk kembali ke Vietnam, setelah itu beliau membentuk komunitas kecil yang bernama “Sweet Potato” [Kentang Manis] berlatih hidup berkesadaran sekitar 100 mil Barat Daya Paris, kentang manis merupakan makanan bagi rakyat miskin di Vietnam. sekarang beliau bermukim di Perancis dan memulai retret hidup berkesadaran.

Pada tahun 1981, Komunitas Kentang Manis mengadakan retret musim panas untuk pertama kali, ternyata retret ini mengundang sangat banyak orang sehingga tidak ada tempat untuk mengakomodasi sekian banyak orang. Thay Nhat Hanh keliling menyusuri daerah selatan Perancis bersama Biksuni Chan Khong untuk mencari daerah yang lebih luas, mereka menemukan tanah di daerah Thenac yang tampaknya cukup ideal buat mereka. Pemilik Tanah itu bernama Dezon tidak ingin menjual tanah itu, oleh karena itu mereka mencari lokasi lain.

Beberapa hari kemudian pada tanggal 28 september 1982, Thay Nhat Hanh menandatangani perjanjian pembelian tanah seluas 6 KM, sekarang ini dikenal sebagai Lower Hamlet (Xom Ha). Di tahun yang sama, hujan es menghancurkan kebun anggur Dezon dan akhirnya dia memutuskan untuk melelang tanahnya itu. Thay Nhat Hanh membeli tanah itu dan memberikan nama Upper Hamlet (Xom Theung). Pada awalnya dua tempat ini diberi nama Persimoon Village, namun tampaknya cukup jelas bahwa pohon-pohon plam tumbuh lebih bagus di tanah berbatuan, kemudian namanya berubah menjadi Plum Village (Pedesaan Plam) atau (Làng Mai).

Setiap tahun komunitas ini menjadi tuan rumah retret musim panas selama 4 minggu, setiap tahun berkembang pesat kepopulerannya. Para peserta retret pada tahun 1983 hanya 232 orang dan sekarang sudah melebihi 2000 orang pada tahun 2004.

Upper Hamlet – Plum Village

Kawasan Tempat Tinggal
Sekarang ini, Plum Village (Làng Mai) terdiri dari empat kawasan tempat tinggal (Hamlet). Kawasan Upper Hamlet (Xom Theung) yang bisa menampung sekitar 65 orang biksu dan umat awam pria, demikian juga ini merupakan tempat tinggal Thay Nhat Hanh. Kawasan Lower Hamlet (Xom Ha) merupakan tempat tinggal para biksuni dan umat awam wanita. Kawasan Sonha merupakan tempat yang bisa menampung sekitar 20 biksu, dan kawasan New Hamlet (Xóm Moi) yang bisa menampung sekitar 40 biksuni dan umat awam wanita.

Plum Village juga memiliki beberapa cabang seperti di Amerika Serikat, Wihara Blue Cliff di Pine Bush – New York, dan Wihara Deer Park di Ecsondido California.

Kunjungi situs utama Plum Village

Sister Chan Khong

Sister Chan Khong
Sister Chan Khong

Biksuni Chan Khong yang memiliki nama kecil “Cao Ngoc Phuong” lahir pada tahun 1938 di Ben Tre, Vietnam. Anak ke-8 dari 9 bersaudara, hidup dalam keluarga yang termasuk serba berkecukupan, ayahandanya mengajarkan semua anak-anaknya tentang betapa pentingnya nilai sebuah usaha dan kerendahan hati. Ia selalu mengutip kata-kata ayahnya: “…jangan pernah tawar menawar dengan petani miskin karena beberapa dong (mata uang Vietnam) tidak begitu berarti bagimu, namun itu saja sudah cukup menghidupi anak-anak mereka”.

Pada tahun 1958, ia diterima di Universitas Saigon di bidang studi Biologi, kemudian ia juga ikut terjun aktif dalam aksi politik, menjadi pemimpin di Universitas Saigon, menghabiskan banyak waktu untuk membantu rakyat miskin dan mereka yang sakit di area kumuh di pinggir perkotaan.

Keep reading →

Thich Nhat Hanh

Thich Nhat Hanh
Thich Nhat Hanh
Thich Nhat Hanh, foto oleh Paul Davis

Thich Nhat (Vietnam: Nhất Hạnh) lahir pada bulan 11 Oktober 1926 di Sentral Vietnam, beliau yang akrab di sapa Thay yang berarti guru; merupakan biksu zen yang berasal dari Vietnam, penulis, penyair, dan aktivis hak azasi manusia, ia yang sudah berusia 98 tahun sekarang ini juga merupakan sosok yang sangat dikagumi oleh masyarakat dunia dewasa ini.

Thay bergabung dengan Biara Zen pada umur 16 tahun, mulai belajar ajaran Buddha sejak samanera, kemudian menerima penahbisan penuh sebagai biksu pada tahun 1949. Nama lengkap Thay adalah Thich Nhat Hanh (Vietnam: Thích Nhất Hạnh), nama keluarga Thích diberikan kepada semua biksu maupun bhiksuni di Vietnam, yang berarti bagian dari suku Shakya (Buddha Shakyamuni).

Di awal tahun 1960an, pada masa perang Vietnam, Thay mendirikan organisasi sosial School of Youth for Social Service (SYSS) di Saigon yang terdiri dari lapisan masyarakat akar-rumput untuk membantu meringankan penderitaan korban perang dan membangun kembali desa-desa yang hancur akibat bom, membangun sekolah dan pusat perawatan kesehatan, mencari cara untuk melakukan penempatan ulang masyarakat yang kehilangan rumahnya.

Thay menempuh perjalanan ke Amerika Serikat dan belajar di Universitas Princeton, dan kemudian menjadi dosen di Universitas Cornell dan Universitas Columbia.

Tujuan utama kunjungannya ke Amerika adalah untuk mendesak pemerintah Amerika untuk menarik diri dari kancah perang Vietnam, Thay sungguh tidak ingin melihat saudara membunuh saudara di Vietnam, Dr. Martin Luther King, Jr tersentuh oleh pembawaan eling, damai dan tenang Thay ikut mendukung untuk segera mengakhiri perang Vietnam melalui gerakan non kekerasan, Thay juga berbicara di hadapan berbagai kelompok perdamaian. Thay juga memimpin delegasi Buddhis berpartisipasi dalam Perbincangan Perdamaian di Paris.

Pada tanggal 25 January 1967 Institut Nobel di Norwegia melayangkan sebuah surat untuknya, Martin Luther King menominasi Thay sebagai penerima Hadiah Perdamaian Nobel.

Seorang guru yang sangat dikagumi oleh dunia barat, Thay termasuk tokoh yang berjasa dalam membawa Ajaran Buddha ke dunia barat, melalui latihan hidup sadar ternyata berbagai kalangan yang berasal dari latar belakang relijius, spiritual dan pandangan politik berbeda-beda bisa menerimanya dengan begitu alami. Latihan hidup sadar dengan perhatian penuh (mindfulness) merupakan adaptasi dari sensibilitas nuansa Barat. Pada tahun 1966 Thay mendirikan Order of Interbeing, secara alami berbagai pusat latihan monastik dan pusat latihan lainnya juga bermunculan di berbagai belahan dunia.

Sejak perjalanannya ke dunia barat dan aktivitas menyerukan perdamaian, Thay harus mengasingkan diri di dunia eropa, ia tidak bisa pulang kembali ke kampung halamanya lagi yaitu Vietnam, kejadian ini melahirkan pusat retret seni hidup berkesadaran yang bertempat di daerah Dordogne Perancis Selatan, bernama Plum Village, telah menjadi rumahnya, sejak itu beliau berkunjung ke komunitas internasional untuk memberikan ceramah dan retret. Thay juga yang merupakan inisiator istilah Engaged Buddhism (Ajaran Buddha yang aktif terjun ke berbagai aspek kehidupan) dalam bukunya yang berbahasa Vietnam dengan judul: Lotus in a Sea of Fire.

Karena menolak berpihak pada salah satu blok (komunis maupun anti komunis), beliau diasingkan oleh pemerintah Vietnam sejak lama. Thay baru diizinkan pulang ke Vietnam pada tahun 2005 dan 2007. Thay telah menulis lebih dari 100 judul buku, mencakup lebih dari 40 judul yang berbahasa Inggris. Beliau juga menerbitkan Ceramah Dharma per kuarter dalam Jurnal Order of Interbeing, The Mindfulness Bell. Thay terus aktif berkarya dalam pergerakan perdamaian, memberi sponsor retret untuk peserta dari Israel dan Palestina, mendukung kedua pihak untuk mendengar secara mendalam dan saling belajar dari sesamanya. Beliau berulang kali memberi pidato untuk mendesak negara-negara yang terlibat dalam pertikaian untuk berhenti berperang dan jadikan non-kekerasan sebagai solusi bagi berbagai sengketa; Pada tahun 2005 dan 2007, beliau meminpin “perjalanan perdamaian” di Los Angeles, dihadiri oleh ribuan orang demi untuk memberi dukungan kepada para biksu yang sedang melakukan demonstrasi di Myanmar. Beliau juga dianugerahkan “Courage of Conscience” pada 16 Juni 1991. Selain memberi bimbingan retret, ia juga tur ke berbagai negara Eropa, Amerika, dan Asia untuk berbagi seni hidup berkesadaran bersama 4 lapisan sangha (monastik dan sahabat awam).

Selamat Datang OI Baru

Selamat Datang OI Baru

Tepatnya sehari sebelum natal, 24 Desember 2016, grup sukarelawan (volunteers) dari Jakarta, Bogor, dan Medan berangkat ke Plum Village Thailand untuk mengikuti Core Sangha Retreat yang berlangsung dari 25 Desember 2016 sampai dengan 1 Januari 2017.

Ditengah hiruk-pikuk di luar, justru banyak orang asia yang berdatangan dari Singapura, Malaysia, Filipina, Korea, Taiwan, Tiongkok, Jepang, Vietnam, dan masih banyak lagi. Mereka datang untuk mengikuti retret tahunan untuk para sukarelawan yang merupakan praktisi dan sekaligus aktivis yang membantu dalam menyelenggarakan retret dan kegiatan di masing-masing negara.

Desember 2016. Zen Master Thich Nhat Hanh di Plum Village Thailand

Retret kali ini merupakan berkah tersendiri, karena Zen Master Thich Nhat Hanh sedang berada di Plum Village Thailand, semua orang sempat terkesima dan merasa takjub karena beliau masih begitu “jernih” dalam berbagai hal. Beliau ditemanin Sr. Chan Khong beserta asisten lainnya yang berjumlah puluhan yang terbang dari Perancis ke Thailand.

Delegasi Indonesia berfoto bersama Sr. Chan Khong

Suasana retret memberi siraman energi sadar, damai, ketenangan, dan kebahagiaan buat semua. Sebanyak 2 orang dari Medan menerima penahbisan Ordo Interbeing dengan berkomitmen menjalankan 14 Latihan Sadar Penuh, mereka adalah Wati yang akrab di sapa Sis Wenjuan dan satu lagi Erly.

Dari Kiri, Anita, Wati (OI Baru), Liana, Br. Phap Thuyen, Br.Phap Tu, Finny, Erly (OI Baru), Ellyana, Ongraini

Di penghujung retret, masing-masing negara juga berkesempatan memperkenalkan makanan daerahnya masing-masing. Teman-teman dari Indonesia sama-sama menyediakan pecel. Makanan diletakkan di meja untuk dinikmati dalam bentuk buffet. Sore itu indah dan sejuk, semua peserta mencicipi masakan dan makanan dari berbagai negara sambil duduk lesehan di tikar yang sudah disediakan, suasana kekeluargaan sungguh menyejukkan.

Buffet Internasional, Pecel Indonesia

Retret berakhir tanggal 1 Januari, dan delegasi Indonesia menyempatkan diri bermain-main 2 hari di Bangkok dan sekitarnya, mengakhiri perjalanan menyenangkan retret akhir tahun di Plum Village Thailand.

Jalan-jalan di Bangkok dan sekitarnya
Peserta termuda dari Indonesia; Feri dan Miliardi

Jalan Berkesadaran – Thich Nhat Hanh

Jalan Berkesadaran – Thich Nhat Hanh

Sosok tubuh seperti melayang menuju ke tengah panggung kosong. Setiap geraknya hening, seperti menghayati setiap tarikan dan embusan napas. Setelah duduk merapikan jubah, Thich Nhat Hanh (84) melalukan anjali. Ia membungkukkan tubuh, mengatupkan kedua tangan, membentuk kuncup bunga, seperti menyodorkan “sekuntum teratai untukmu”; simbol kedamaian dan kesadaran akan kesalingterkaitan.

Oleh: Maria Hartiningsih
Sumber: Kompas cetak tahun 2010

Zen Master Thich Nhat Hanh memberikan wejangan Dharma di tahun 2010 di Indonesia

Keheningan sekitar lima menit seperti ritual, membumikan kaligrafi “Practice from the heart” yang melatari panggung, sebelum Thay—sapaan akrab Bhante Thich Nhat Hanh di Plum Village, yang artinya Guru, dalam bahasa Vietnam—memulai ceramahnya di depan sekitar 900 peserta retret di Caringin, Sukabumi, pekan lalu.

Ia berbicara tanpa teks, sambil duduk, kadang berdiri, berjalan perlahan ke papan tulis, menjelaskan istilah-istilah dalam psikologi Buddhisme dengan contoh-contoh sederhana dari kehidupan riel. Humornya subtil. Ketika lonceng kesadaran bergema, dia berhenti, kembali pada keheningan sepanjang tiga kali embusan napas.

Keteduhan Thay memancarkan tatapan mata dan bibir yang selalu tersenyum, Namun, suara lembut di balik tubuh yang tampak ringkih itu mengandung energi ajaib yang menggedor kesadaran terdalam, menguakkan selubung demi selubung penderitaan di balik realitas yang ditangkap sepintas oleh lima indera.

Ceramah Dharma selama empat hari itu mengeluarkan orang dari gulungan hidup serba cepat, kompetisi ketat meraih lebih banyak dan lebih banyak lagi, mengejar batas tak terbatas; ilusi “kemajuan” dan “kesuksesan”.

Kejaran target membuat orang tak punya lagi kemampuan menghidupi momen demi momen berharga dalam kehidupan sehari-hari, seberapa pun besar kekayaan dan kemewahan material yang dimiliki. Kemampuan mendengar sirna. Komunikasi di dalam dan di luar rumah macet, tidak bisa saling mengerti, tidak bisa melihat penderitaan orang lain, terus menuduh dan menyalahkan pihak lain. Sikap itu menggelembungkan persepsi yang keliru, melahirkan kegelisahan, kemarahan, kebencian, ketakutan, kekerasan, kalau akarnya tidak dikenali.

Ia menceritakan kisah seorang suami yang menuduh istrinya berselingkuh selama beberapa tahun ia berada di medan perang. Persepsi itu keliru, tetapi tak pernah terkuak karena keduanya membisu, sang istri dikuasai kesedihan, sampai memutuskan bunuh diri. Suatu malam, di bawah lentera, si anak menunjuk bayangan di dinding, “Pak, Ibu bilang itu ayahku…”

Perang dan terorisme, menurut Thay, juga lahir dari persepsi keliru. Akarnya, kesalahpahaman, nir-toleransi, kebencian, ketiadaan harapan dan pembalasan, tak bisa disentuh apalagi dihancurkan oleh bom dan peluru kendali. “Persepsi keliru adalah sumber segala penderitaan,” tutur Thay.

Ajakan “Pulang”

Retret selama lima hari itu adalah ajakan “pulang ke rumah”; di sini, kini (in the here and now). Latihan meditasi adalah kembali kepada napas berkesadaran dan jalan berkesadaran. Napas adalah sahabat setia, seperti bumi solid tempat berlindung dari berbagai situasi mental, pikiran, emosi, dan persepsi.
“Bagi praktisi meditasi, kalau Anda sedang marah, Anda tidak akan melakukan apa pun kecuali kembali kepada napas untuk mengetahui apakah akar kemarahanmu berasal dari persepsi kekeliruan. Kalau Anda mengenalinya, Anda terbebaskan….”

Meditasi Jalan berkesadaran bersama di pagi hari

Menurut Thay, di dalam kesadaran terdapat sedikitnya dua lapisan. Di lapisan bawah, menurut tradisi Buddha, tersimpan 51 benih yang muncul sebagai mental positif dan negatif. Di lapisan atas adalah kesadaran pikiran atau bentuk-bentuk mental.
“Ketika benih kemarahan bermanifestasi menjadi bentuk mental, kita tak boleh membiarkannya terlalu lama sendirian di dalam kesadaran kita. Kita harus mengundang benih kebersadaran untuk menjaganya, menenangkannya.”

Thay melanjutkan, “Benih kebersadaran akan mengenali benih-benih negatif yang muncul. Tiada ada pertempuran di antara dua energi itu. Tugas benih kebersadaran adalah mengenali benih lain sebagaimana adanya, lalu memeluknya lembut, seperti ibu memeluk anaknya yang menangis. Prinsip meditasi Buddhis adalah nondualitas dan nonkekerasan. Nondualitas berarti engkau adalah kemarahan dan kebersadaran.”

Latihan berkesadaran melalui bernapas dan berjalan membuat benih kebersadaran menjadi bentuk mental dan meningkatkan energi kebersadaran.

“Sebagai praktisi meditasi, Anda harus mengawasi hakikat pikiran yang berasal dari salah satu dari 51 bentuk mental. Kalau yang diproduksi adalah pikiran welas asih, maka yang muncul adalah sikap saling pengertian, welas asih dan non-diskriminasi. Inilah yang disebut berpikir benar oleh Buddha.”

Latihan kebersadaran juga mencakup berpikir benar, pandangan benar, berbicara benar, dan bertindak benar. “Berpandangan benar yang didapat dari latihan meditasi, kebersadaran, dan konsentrasi membantu kita menyentuh kebenaran interbeing (saling menjadikan), kesalingterkaitan, kebenaran kesementaraan dan non-diri..”

Dalam bahasa yang lebih sederhana, latihan hidup berkesadaran adalah latihan eling (dan wasapada), dengan menemukan “maitri” di dalam diri. Kualitasnya disimbolkan sebagai bunga merekah, embun segar, kesolidan gunung, dan kekokohan bumi, ketenangan dan kejernihan air, dan ruang tak bersekat di angkasa luas.
“Maitri tak bisa dibeli dengan uang berapa pun banyaknya,” ujar Thay.

Sang Guru

Thich Nhat Hanh dikenal sebagai salah satu Guru Zen terkemuka, intelektual, sekaligus penyair, penulis (menulis lebih dari 100 buku, diterjemahkan dalam berbagai bahasa, yang terbaru adalah The World We Have: A Buddhist Approach to Peace and Ecology), tokoh perdamaian internasional. Menurut Sister Chan Khong dalam bukunya Learning True Love: Pengamalan Ajaran Buddha di Masa Tersulit (1933, terjemahan 2009), Thay suka berkebun dan ahli dalam pekerjaan manual.

Sister Chan Khong, asisten dan murid tertua Bhante Thich Nhat Hanh

Dilahirkan di Vietnam Tengah, 11 Oktober 1926, ia menjalani hidup yang luar biasa. Ia mengalamai tiga perang, bertahan hidup dari penyiksaan, dan lebih dari 30 tahun di pengasingan. Lulusan Universitas Princeton, Amerika Serikat dan pernah mengajar di Universitas Cornell dan Universitas Colombia di AS itu juga mendirikan organisasi pelayanan sosial, menyelamatkan manusia perahu, dan memimpin Delegasi Buddhis Vietnam pada Perundingan Perdamaian Paris. Martin Luther King menominasikannya sebagai penerima Penghargaan Nobel Perdamaian tahun 1967.

Sejak usia 16 tahun, ia telah menjadi samanera (calon biksu), aktivis perdamaian, dan pencari jalan. Dia adalah kepala sebuah wihara di Vietnam yang silsilahnya dapat ditelusuri sampai lebih dari 2.000 tahun ke belakang.

Ia mendirikan Universitas Buddhis Van Hanh dan Ordo Interbeing, dan membangun jalan untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai “Engaged Buddhism”; praktik penghayatan nilai-nilai spiritual dalam tindakan sehari-hari.

Thay mendapat suaka dari pemerintah Perancis dan kemudian membangun dan memimpin komunitas Plum Village di Selatan Perancis, wihara Buddha dan pusat pelatihan hidup berkesadaran bagi orang awam.

Biksuni Chan Khong Kembali Datang Ke Indonesia

Biksuni Chan Khong Kembali Datang Ke Indonesia
Sister Chan Khong bersama asisten

Kesempatan untuk dapat belajar langsung dan merasakan aura kedamaian dari para guru Dharma internasional yang berkualitas tidaklah mudah didapat, dibutuhkan adanya akar kebajikan yang cukup pada diri kita. Sebagian dari guru Dharma tersebut kini sudah wafat, sebagian lagi juga sudah lanjut usia. Kadang kita berkejaran dengan waktu untuk dapat berjumpa dengan mereka.

Biksuni Thich Nu Chan Khong, atau biasa disapa Sister Chan Khong, adalah murid paling senior dari Zen Master Thich Nhat Hanh, beliau memiliki kemampuan untuk mengajarkan Dharma dengan cara yang menyentuh hati. Retret yang diadakan di Kinasih Resort pada tanggal 7-10 Mei 2009 ternyata begitu menarik perhatian umat Buddha di Indonesia sehingga jumlah pendaftar mencapai 400 orang.

Retret tahun 2009 bersama Sister Chan Khong, yang memberikan manfaat dan sangat berkesan bagi para peserta, ternyata telah membuka jalan bagi kehadiran Zen Master Thich Nhat Hanh di Indonesia setahun kemudian. Retret yang berlangsung di Kinasih Resort pada tanggal 29 September – 4 Oktober 2010 yang semula ditargetkan untuk 700 peserta akhirnya diikuti oleh 900 peserta dengan 68 monastik Plum Village dan 30 monastik Indonesia.

Thich Nhat Hanh di Indonesia 2010

Indonesia menanti 5 tahun untuk dapat kembali mengadakan retret yang jumlah pesertanya besar namun hasilnya menakjubkan ini. Metode Plum Village memang menekankan kekuatan dukungan komunitas yang bersama-sama berlatih hidup sadar (mindfulness). Zen Master Thich Nhat Hanh (89 tahun) saat ini masih dalam pemulihan dari kondisi sakit, namun melalui Sister Chan Khong (77 tahun) beserta 40 monastik Plum Village lainnya kehadiran Zen Master Thich Nhat Hanh akan dapat dirasakan oleh para peserta Retret Umum & Keluarga pada long weekend 14 – 18 Mei 2015 di Hotel Yasmin, Cipanas-Cianjur.

Ular, Tali, dan Kekosongan Sejati

Ular, Tali, dan Kekosongan Sejati

Pertemuan dengan Biksuni Chan Khong dimulai dengan makan pagi di sebuah rumah di kawasan Tanjung Duren, Jakarta, F-22 sebutannya. Kami dipenuhi rasa syukur akan karunia kosmos yang muncul dalam bentuk sarapan. Nasi tim dan sop menjadi lebih nikmat ketika kami mengunyah dan menelan dengan berkesadaran (mindfulness), Sekitar setengah jam kami mencurahkan segala indera kami untuk menikmati sarapan, diselingi satu-dua kalimat.

Oleh: Brigitta Isworo Laksmi (11 Mei 2009)

Sr. Chan Khong

Biksuni Chan Khong—berarti “Kekosongan Sejati”–pada kamis (7/5) pagi itu bertutur panjang tentang misperception, diawali dengan cerita tentang perang tiga dekade di negeri leluhurnya, Vietnam, yang berawal pertengahan 1940-an. Pengalaman semasa Perang Vietnam mengisi 2/3 bagian dari bukunya, Learning True Love, Pengamalan Ajaran Buddha di Masa Tersulit, yang kamis itu diluncurkan.

Dia menuturkan momen ketika dia didera keputusasaan dan dikuasai kemarahan. Saat itulah dia mencoba bertahan, bertahan tetap mengarahkan diri pada keindahan, keluhuran, dan pengertian. Momen itu muncul ketika ratusan orang berkumpul dan granat diledakkan di situ. Sebanyak 24 temannya langsung tewas, sementara 24 orang di bawah ke rumah sakit, luka parah.

“Sulit memang, namun ingat apa yang ditawarkan Buddha, bahwa setiap orang, tidak harus pengikut ajaran Siddharta Buddha, memiliki perasaan damai, iba, cinta, dan memiliki terang di dalam diri mereka yang terdalam,” katanya.

“Ketika perang berkecamuk, saya menyaksikan teman saya melepas ajal. Pada saat seperti itu, kita bisa menyentuh kedamaian dalam diri, melalui pernapasan. Saya menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan. Berkali-kali, satu…dua… Itu untuk memutus hubungan kita dengan perasan marah,” ungkapnya.

Bernapas, benar-benar menghayati proses pernapasan, amatlah penting. “Kita tidak bicara, tidak bertindak, dan tidak berpikir. Bernapas adalah jalan keluar dari kemarahan, kebencian, keputusasaan, dan rasa takut. Pernapasan adalah penghubung antara pikiran dan tubuh. Solusi hadir ketika kita bernapas,” ujarnya.

Di bukunya dia menulis: suatu kali dia dilarang mendampingi 566 manusia perahu ke Australia. Dia menangis dan menangis. “Kalau saja ketika itu saya bernapas, mungkin saya bisa berpikir dan bisa mencarikan donatur agar mereka bisa diangkut dengan kapal yang lebih layak,” kenangnya kemudian.

Pernapasan adalah cara baik untuk menyentuh realitas perdamaian, pengertian, dan cinta kasih—sebut sebagai Buddha Nature, God in You, Allah in You, atau perasaan akan kebaikan, pengertian, dan rasa cinta. Dalam diri setiap manusia ada bibit-bibit perdamaian, cinta, dan rasa kasih.

“Ketika sampai ke titik itu, saya bisa menyatakan kepada pembunuh itu, ‘Kami tidak membenci kalian. Ini hanyalah akibat pemahaman yang keliru (misperception) terhadap kami.’ Salah satu pembunuh itu lalu mengelus kepala temannya dan bertanya, ‘Engkau benar dari sekolah itu?’ Ketika diiyakan, pembunuh itu berkata, ‘Maafkan, tetapi saya diperintahkan membunuh kamu.’ Dan pistol pun meledak. Pembunuh itu meminta maaf. Di dalam hatinya yang terdalam dia punya kasih,” ujar Chan Khong.

Misperception telah menyingkirkan perdamaian dan membawa penderitaan. Dalam ajaran Buddha disebutkan, saat memandang sesuatu sesungguhnya kita hanya bisa menangkap 20 persen dari apa yang kita lihat. Meski demikian, kita selalu berkeyakinan mampu menangkap keseluruhannya. Bahkan suami-istri pun demikian. Selalu merasa tahu semua tentang pasangannya, padahal hanya tahu 40-50 persen. Sisanya terpengaruh latar belakang sosial dan pendidikan. Ketika pasangan bertindak berbeda dari yang dia pikir, mereka pun bertengkar. Menurut Chan Khong, yang harus dilakukan hanya bertanya dengan penuh rasa cinta tentang apa sebenarnya maksud pasangan.

Ketika muncul misperception, yang tampak adalah ular. Ular yang harus dipukul. Padahal sebenarnya adalah tali (rope). “Kalau itu tali, yang dia pukul hanya tali. Namun ketika misperception terhadap orang lain, dia bisa melukai orang.” ujarnya. “Terorisme lahir dari bagian itu,” tambahnya.

Kematian Seorang Sahabat

Thich Nhat Hanh dan Sr. Chan Khong di Vietnam

Chan Khong terlahir sebagai Cao Ngoc Phuong. Dibesarkan oleh orangtua yang murah hati kepada kaum miskin dan butuh pertolongan. Dia pun tumbuh sebagai remaja putri yang murah hati dan penuh belas kasih. Dia sebut ayah ibunya sebagai pohon ek yang menaungi 22 “anak mereka”–13 diantaranya adalah anak angkat.

Di usia belasan tahun, anak kedelapan dari sembilan bersaudara ini telah menyaksikan kekejian manusia. Pada akhir tahun 1940-an, Vietnam menjadi ajang perebutan kekuasaan antara Partai Komunis dan Perancis. Tetangganya dan suami guru SD-nya tewas.

Dia aktif di School of Youth for Social Service (SYSS) bentukan Thich Nhat Hanh—Master Zen yang menggalang gerakan perdamaian. Pada suatu selasa pagi, sahabat terdekatnya, Nhat Chi Mai dari SYSS, membakar diri demi perdamaian. Ngoc Phuong amat terpukul.

Dia terus aktif membantu para korban perang dengan makanan dan obat-obatan bagi penduduk sekitar Saigon. Tahun 1968 dia bergabung dengan Thich Nhat Hanh di Hongkong. Tahun 1970-an Thich Nhat Hanh menjadi kandidat peraih Nobel Perdamaian karena gerakan perdamaian Vietnam. Ngoc Phuong lalu menjadi Biksuni Chan Khong dan menjadi tangan kanan Thich Nhat Hanh. Dalam pengasingan, mereka mendirikan komunitas Plum Village di Bordeaux, Perancis. Ajaran perdamaian mereka dinilai berbahaya oleh Vietnam. Mereka juga membantu ribuan manusia perahu dengan berbagai cara.

Di Plum Village, Chan Khong mengajarkan perdamaian, meditasi laku, pernapasan, dan “to smile (tindakan tersenyum).” Tutur katanya pelan, halus, tegas, namun penuh kegembiraan, membawa nuansa meditatif.

Kini, di tengah tantangan ekonomi global yang menggurita dan perasaan permusuhan yang merebak di mana-mana, Chan Khong mengajarkan Global Ethics (Etika Global). “Ketika semua orang, baik Muslim, Kristiani, orang Amerika, orang Arab, orang Palestina, Indonesia, bisa berujar, ‘ya..ya.. itu etika saya’, maka itulah Etika Global,” jelasnya.

Ada lima panduan Etika Global, yaitu, pertama, jangan membunuh karena membunuh akan memunculkan penderitaan—termasuk membunuh binatang untuk konsumsi. Kedua, jangan mencuri karena membawa ketidakadilan.

Ketiga, jangan mempraktikkan hubungan seksual secara keliru karena akan tidak ada lagi kebahagiaan mendalam pada relasi antaramanusia. Dia memberi contoh, “Banyak orang di Perancis tak mau menikah. Angka bunuh diri pun meningkat, 40-50 per hari. Hidup tak lagi ada tujuan,” ujarnya prihatin.

Yang keempat adalah berhati-hati dengan kata-kata. “Kata-kata bisa menghancurkan orang (membunuh). Kembangkan kemampuan mendengarkan,” tuturnya.

Pegangan kelima, mengonsumsi secara benar. “Indera harus diberi ‘makan’ terpilih yang sehat. Tontonan dan bacaan sehat untuk pikiran dan makanan sehat untuk tubuh,” ujarnya menutup pembicaraan.

Chan Khong percaya, ketika Etika Global terbentuk dan semua orang mempraktikkan, perdamaian telah tiba untuk mengetuk pintu kehidupan kita.

Biodata Chan Khong:
Nama: Chan Khong berarti Kekosongan Sejati, terlahir Cao Ngoc Phuong

Lahir: Kota Ben Tre, Vietnam, 1938

Pencapaian: Mengajar meditasi, perdamaian dengan penapasan di Plum Village, Bordeaux, Perancis selatan, yang dipimpin oleh Thich Nhat Hanh.

Sumber: Sosok, Kompas, Senin, 11 Mei 2009