Menyentuh Bumi

Menyentuh Bumi
Hands protect green earth globe. Save Earth Planet World Concept.

Judul dalam bahasa Vietnam: Địa xúc
Judul dalam bahasa Inggris: Earth Touching

Oleh Thich Nhat Hanh

Di sini ada kaki pohon.
Di sini sunyi dan sepi.
Di sini ada bantal.
Saudaraku, mengapa engkau tidak duduk?

Duduklah dengan tegak.
Duduklah dengan solid.
Duduklah dengan damai.
Jangan biarkan pikiran menyeretmu ke angkasa.
Duduklah sehingga engkau benar-benar dapat menyentuh Bumi
dan menyatu dengannya.

Engkau boleh tersenyum, saudaraku.
Bumi akan mentransmisikan keadaan soliditas,
Kedamaian, dan kebahagiaannya untukmu.
Dengan bernapas sadar sepenuhnya,
bersama senyummu yang damai,
engkau tetap teguh dalam mudra Menyentuh Bumi.

Ada saatnya engkau tidak melakukannya dengan baik.
Duduk di Bumi, tapi rasanya seperti melayang di angkasa,
engkau sudah terbiasa berputar-putar di tiga dunia
dan tenggelam dalam samudra ilusi.
Namun, Bumi selalu sabar
dan satu hati.
Bumi masih menunggumu
karena bumi sudah menunggumu
selama triliunan kehidupan terakhir.
Itulah sebabnya Dia sanggup menunggumu sampai kapan pun.
Dia tahu pada akhirnya engkau akan kembali kepadanya suatu hari nanti.
Dia akan menyambutmu
selalu segar dan hijau, persis seperti pertama kali,
karena cinta kasih tidak pernah bilang, “Inilah kali terakhir”;
karena Bumi adalah seorang ibu yang penyayang.
Dia tidak akan pernah berhenti menunggumu.

Kembalilah kepadanya, wahai saudaraku.
Engkau akan seperti pohon itu.
Daun, ranting, dan bunga jiwamu
akan segar dan hijau
setelah engkau memasuki mudra Menyentuh Bumi.

Jalan kosong menyambutmu, wahai saudariku,
harum oleh rerumputan dan bunga-bunga kecil,
jalan setapak yang dilapisi oleh pepadian
yang masih menyandang jejak masa kecilmu
dan harumnya tangan ibunda.
Berjalanlah dengan hati lega dan damai.
Kakimu akan menyentuh Bumi dengan mendalam.
Jangan biarkan pikiran menyeretmu ke angkasa, wahai saudariku.
Kembalilah ke jalan ini setiap momen.
Jalan ini adalah sahabat karibmu.
Ia akan mentransmisikan padamu
kekokohannya,
kedamaiannya.

Bersama napasmu yang dalam,
engkau tetap teguh dalam mudra Menyentuh Bumi.
Berjalanlah seakan-akan engkau mengecup Bumi dengan kakimu,
seolah-olah engkau sedang memijat Bumi.
Jejak yang ditinggalkan oleh kakimu
akan seperti segel kaisar
menyerukan Kini untuk kembali ke Sini;
agar kehidupan hadir;
sehingga darah akan menghadirkan warna cinta ke wajahmu;
agar keajaiban hidup dapat terwujud,
dan semua sengsara akan diubah menjadi
kedamaian dan sukacita.

Ada saatnya engkau tidak berhasil, wahai saudariku.
Berjalan di jalan yang kosong, tapi engkau melayang di udara,
karena engkau terbiasa tersesat dalam samsara
dan tersedot ke dalam dunia ilusi.
Namun jalan yang indah itu selalu sabar.
Ia selalu menunggumu untuk kembali,
jalan itu sangat familier bagimu,
jalan yang begitu setia.
Ia tahu betul bahwa engkau akan kembali suatu hari nanti.
Dia dengan senang hati menyambut engkau kembali.
Dia akan terasa segar dan indah seperti pertama kali.
Cinta tidak pernah bilang, “Inilah yang terakhir.”

Jalan itu adalah engkau, wahai saudariku.
Itu sebabnya dia tidak akan pernah lelah menunggu.
Meskipun sekarang tertutupi oleh debu merah
atau oleh daun musim gugur
atau salju es—
kembalilah ke jalanmu, wahai saudariku,
karena aku tahu
engkau akan seperti pohon itu,
daun, batang, dahan,
dan bunga jiwamu
akan segar dan cantik,
setelah engkau memasuki mudra Menyentuh Bumi.

Diterjemahkan oleh Rumini
(Diterbitkan oleh Parallax Press dengan judul “Call Me by My True Names” – Thich Nhat Hanh (1993))

Bertemu Musim Semi

Bertemu Musim Semi

Bertemu Musim Semi (Vn. Đi gặp mùa xuân) adalah buku yang menceritakan secara rinci tentang kehidupan Master Zen Thích Nhất Hạnh yang akrab disapa Thầy dalam bahasa Vietnam, artinya guru. Melalui buku ini, kita dapat melihat bahwa sejak kecil sudah ada aspirasi sangat besar dalam dalam hati Thầy untuk untuk belajar, berlatih, dan mengabdi untuk masyarakat. Melalui banyak pasang surut politik Vietnam dan Dharma, aspirasi tersebut tetap teguh dan telah membantu banyak orang mentransformasi penderitaan mereka dan menemukan kebahagiaan di saat ini.

Buku “Bertemu Musim Semi” (Đi Gặp Mùa Xuân), sementara ini hanya tersedia dalam bahasa Vietnam

Buku ini merupakan materi yang sangat berharga, tidak hanya untuk penelitian tetapi juga untuk praktik. Kita dapat membaca dan mengikuti jejak Thầy, lebih menghargai tanah air kita dan membuka hati kita, pikiran kasih (bodhicitta) memiliki kesempatan untuk tumbuh setiap hari dari jejak langkah guru spiritual kita. Thầy juga telah menjalani kehidupan sebagaimana manusia biasa layaknya banyak orang.

“Sebagian besar dedikasinya untuk berbagi dengan orang lain menunjukkan bagaimana hidup dengan penuh kesadaran (mindfulness) dan kasih sayang tidak hanya berkontribusi terhadap kedamaian batin, tetapi juga mencerminkan bagaimana setiap orang dapat menggunakan kesadaran penuh untuk membangun perdamaian di dunia. Master Zen Thích Nhất Hạnh menjalani kehidupan yang komplet dan bermakna. (Yang Mulia Dalai Lama).

Melalui buku ini, kita yakin bahwa kita akan memiliki kemampuan untuk menjadi penerus yang indah dari para leluhur pendahulu, sama seperti Thầy merupakan kelanjutan yang indah dari banyak generasi leluhur sebelumnya. (Diterjemahkan oleh Br. Pháp Tử dari Sách “Đi gặp mùa xuân”)

The Healing Island

The Healing Island

I am a seeker. Long ago, I realized that my physical needs were met a thousand times over shelter, safety from the elements, clean water, clothes, and nutrition. Yet, I felt a longing for connection and belonging that I struggled to satisfy in my own home and in the city of Angels, Los Angeles. I yearned to contribute and be the change I wanted to see in the world: peace in oneself, peace in the world, as our teacher Thich Nhat Hanh’s teaching with his own life: My life is my teaching.

Of all the books, workshops, seminars, and meditation retreats I attended from various people and organizations, I found myself repeatedly returning to Deer Park Monastery on a mountain in Escondido near San Diego. There, I practiced Zen meditation with monks, nuns, and lay practitioners like myself. I was drawn to the comforting feeling of simply being—without judgment, without mistakes. This wonderful sense of acceptance and belonging at Deer Park or Plum Village mindfulness events allowed me to easily connect with so-called strangers, some of whom organically and gradually became my lifelong friends, even now that I’ve moved across the ocean to Bali, the healing island of the gods.

In Los Angeles, I happily joined different organizing teams for sanghas and Plum Village events quite often, on and off, during my 13 years of practicing mindfulness. Working with mindful friends towards a common mission of serving others and bringing the pure teaching and life-changing path to those in need brought me great joy and happiness. My needs for connection and contribution were beautifully and meaningfully met. I also had opportunities to learn and grow, gaining insights from great mindful teachers (both monastics and lay practitioners) and practicing mindful breathing, deep looking, and loving speech, especially in challenging situations involving less mindful individuals, including myself 

Moving to Bali last year, I noticed that the Plum Village tradition here is not as established as in Southern California. Initially, I felt sad and missed the wonderful communities I had in the past. But, as with everything in life, it is not about the outer circumstances but how we perceive them—whether as a victim or as a learner eager to grow. So, I decided to step up and bring more mindfulness events to the expat community here, where I see a huge need despite the seemingly perpetual vacation lifestyle many of us lead.

I’m thankful for the chance to step up as the main organizer of two beautiful Days of Mindfulness so far. Each event brought a wonderful co-organizer (who hopefully will become a lifelong friend) and obstacles that were overcome beautifully, resulting in beneficial experiences for many friends, some of whom had never heard of Thay or knew how to walk mindfully before.

For the first Day of Mindfulness, monastics contacted my co-organizing friend out of the blue, announcing their visit to Bali (which doesn’t yet have a Plum Village monastery, though one is coming soon, much to my joy) just five days before the planned event. We quickly coordinated with Green School, changed the date, and had four beautiful nuns lead the entire event.

Reflecting on how mindfulness and the Plum Village tradition have shaped my last 15 years, I feel thankful and happy. The practice is extremely simple—just returning to our breath, which even a child can do naturally and unconsciously. Yet, consistency is key and makes all the difference. As adults, we are now learning to breathe, walk, eat, listen, and talk all over again.

I love the pure teaching of Buddha as a philosophy of life. We measure our practice progress not by rigid, shallow, and egoic parameters like how often we sit, how much we know about Buddhist concepts, how little meat we eat, or how much charity work we do but by how compassionate we become towards ourselves and others, and how our lives harmonize with outer circumstances and those around us.

When I first encountered the practice in 2010, I was going through the toughest time of my life. Despite deep postpartum depression and years of physical, emotional, and relationship struggles, occasional visits to Deer Park recharged me every time, bringing me hope and much-needed self-belief. However, I lacked the consistency to bring mindfulness into my daily life.

Now, 15 years later, I realize the ultimate power of giving. To me, GIVING means:

  • Bring mindfulness to those ready to learn and practice it consistently,
  • Offering discounts and accepting full refunds in my mental health practice,
  • I deeply listen to my wounded inner child, my partner, and my daughter, understand the emotions and needs behind our words and actions, and respond with acceptance and clarity.

We cannot give without receiving. It is a universal law, like breathing out and in. Since intentionally centering myself on giving, I have received more and more in beautiful natural ways—physically, emotionally, financially, and in my relationships. Living my dream healer life in Bali is another manifestation of this giving philosophy that I am slowly bringing into reality in my daily life.

Living this intentional life of giving and the three right livelihoods I chose, mindfulness is invaluable. It is the energy we cultivate consistently in our daily lives through rituals of mindful teeth brushing, walking, dishwashing, sitting meditation, and even arguing or any other daily rituals that speak to oneself). So, when triggering moments arise, we have the light of mindfulness and awareness to illuminate the darkest corners of our unpresent, autopilot states of being.

Stay tuned for more Days of Mindfulness events! The next one is on August 10 from 9 AM to 1 PM in Canggu, Bali. And another one at the end of August at Green School Bali. (Kim Dang)

Penahbisan Novis Aprikot Putih

Penahbisan Novis Aprikot Putih

Plum Village Thailand mengadakan Seremoni Penahbisan Novis (sramanera & sramaneri) pada tanggal 14 Juli 2024 dengan nama keluarga penahbisan, Bunga Aprikot Putih (En. White Apricot Blossom, Vn. Cây Hoa Mai Trắng).

Keluarga penahbisan ini terdiri 11 orang, terdiri dari 8 sramanera

  1. Chân Nhất Hội, 
  2. Chân Nhất Hậu,
  3. Chân Nhất Hoà,
  4. Chân Nhất Ngôn, 
  5. Chân Nhất Minh,
  6. Chân Nhất Ngộ,
  7. Chân Nhất Phương, 
  8. Chân Nhất Bảo,

dan 3 sramaneri:

  1. Chân Sắc Hạnh, 
  2. Chân Sinh Hạnh,
  3. Chân Sách Hạnh.

 

Berkesadaran Penuh untuk Pendidik

Berkesadaran Penuh untuk Pendidik

Yayasan Pendidikan Panca Dharma mengadakan Retret Mindfulness untuk guru dan staf pendidikan di SMA Dharma Loka Pekan Baru dari 24 s.d. 27 Juni 2024. Retret ini dibimbing oleh B. Nyanabhadra (Br. Pháp Tử) yang merupakan Dharma Acharya dari tradisi Zen Plum Village.

Inti dari mindfulness terletak pada kesadaran penuh (mindful) di setiap momen, menghargai kehidupan yang terjadi, dan memupuk hubungan cinta dengan diri sendiri dan orang lain. Inilah cara kita melatih perhatian dalam dunia yang sibuk.

Di dunia yang serba cepat dan sibuk saat ini, konsep mindfulness telah mendapat perhatian yang sangat signifikan karena kemampuannya mengurangi stres, meningkatkan fokus, dan juga meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh.

Mempraktikkan mindfulness di dunia yang sibuk memerlukan niat dan komitmen, namun manfaatnya sangat besar. Dengan mempraktikkan latihan mindfulness secara teratur, mulai dari hal kecil, konsisten, dan terapkan mindfulness sebagai alat yang ampuh untuk menjalani hidup yang lebih seimbang dan memuaskan.

Retret ini diikuti oleh guru dan staf dengan latar belakang agama yang berbeda-beda. Memang meditasi ada kaitannya dengan agama Buddha. Namun, meditasi juga merupakan teknik universal yang bisa dipraktikkan oleh semua orang.

Metodenya sederhana untuk mengembangkan kebiasaan berhenti sejenak sepanjang hari. Saat merasa kewalahan atau stres, ambillah jeda sejenak. Pejamkan mata, tarik napas dan hembuskan, alihkan perhatian pada momen saat ini. Meditasi dapat membantu merespons tantangan dengan lebih jelas dan tenang

Praktik utama dalam retret adalah mindful breathing (bernapas dengan penuh kesadaran). Mulailah latihan mindfulness dengan latihan pernapasan sederhana. Pilihlah tempat yang tenang, duduk dengan nyaman, dan fokus pada pernapasan. Rasakan sensasi setiap tarikan dan hembusan napas yang keluar. Ini membantu memusatkan perhatian pada momen saat ini dan menenangkan pikiran.

Menyantap makanan juga bisa menjadi sebuah meditasi yang ampuh. Ubah aktivitas sehari-hari menjadi pengalaman yang penuh perhatian. Saat makan, fokuslah pada rasa, tekstur, dan sensasi setiap gigitan dan kunyahan makanan. Dalam kesadaran penuh saat makan, nikmati setiap momen tanpa gangguan dari HP atau tugas lainnya.

Salah satu teknik meditasi bisa dilakukan lewat postur berbaring. Dalam retret ini disebut relaksasi total. Teknik ini menyarankan untuk selalu dapat fokus pada pernapasan, juga berguna untuk fokus pada sensasi fisik, seperti hangat dan lembutnya selimut, juga dapat merasakan dan merelakskan anggota tubuh dan pikiran.

Barangkali banyak yang berpikir bahwa meditasi itu selalu dilakukan dalam kondisi diam. Namun, meditasi juga bisa dalam wujud pergerakan yang disebut sebagai mindful movements. Dalam retret tersebut kami belajar mengombinasikan napas masuk dan keluar dengan gerakan tongkat. Teknik ini bertujuan untuk membawa perhatian penuh pada momen saat ini untuk mengalami saat ini dan di sini. Mindfulness pada gerakan dan fokus pada napas atau perasaan tubuh saat bergerak.

Semua manusia berjalan setiap hari. Kita berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk mencapai tujuan. Kegiatan hari ini juga bisa menjadi rutinitas untuk membangkitkan kesadaran penuh. Proses berjalan bisa menggabungkan napas berkesadaran sehingga kegiatan berjalan tidak hanya untuk mencapai tujuan, tapi juga membangkitkan energi kesadaran. Baik dalam berjalan ke temapat kerja, ke rapat, atau bahkan di sekitar rumah, dan perhatikan setiap langkah yang diambil. Perhatikan sensasi di kaki, gerakan tubuh, serta pemandangan dan suara di sekitar yang didengar.

Kesadaran penuh juga bisa dibangkitkan lewat menyanyi. Dalam retret ada sesi menyanyi lagu-lagu mindfulness. Bernyanyi membutuhkan pernapasan dalam, dan perhatian penuh melatih pikiran untuk fokus pada napas. Bernyanyi membutuhkan kemampuan untuk melemaskan beberapa otot sambil melatih otot lainnya, dan perhatian penuh mendorong relaksasi fisik dan kesadaran tubuh.

Kegiatan melukis bisa menjadi salah satu latihan mindfulness. Ini semua tentang ekspresi diri dan perhatian yang membantu terhubung dengan momen saat ini.Gambar meditasi dapat memiliki banyak bentuk. Beberapa orang mungkin menemukan kedamaian dalam menggambar bentuk atau pola sederhana, sementara yang lain mungkin menikmati pekerjaan lebih detail seperti membuat gambar pemandangan alam atau merancang pola yang rumit.

Di plum village ada latihan yang namanya Tea Meditation. Kami mempraktikkan minumlah dari cangkir teh. Cobalah fokus pada kehangatan dan rasa cangkir teh. Pikirkan tentang sensasi bau dan rasa saat menikmati teh. Sadari pikiran saat menjauh dari teh, tetapi kembalilah fokus pada sensasi memegang cangkir dan menikmati rasa teh.

Mindfulness membutuhkan latihan dan usaha. Saat pertama kali memulai, pikiran mungkin melayang, tetapi dengan latihan dan kesabaran, hal itu akan menjadi lebih mudah. Pada akhirnya, kita menyadari bahwa kita menjalani kehidupan yang lebih sadar-dan berada di jalur untuk menikmati manfaat seperti berkurangnya stres, kesehatan mental yang lebih baik, hubungan yang lebih baik, dan kebahagian yang lebih besar secara keseluruhan.

Semoga para pendidik yang berada di lingkungan Yayasan Pendidikan Panca Dharma dapat menerapkan rangkaian Mindfulness pada diri sendiri dan juga kepada peserta didik mulai dari tingkat usia dini hingga sekolah lanjutan atas. Agar lebih berperhatian penuh, fokus, dan hidup menjadi seimbang dan sejahtera.

Flora, guru sekolah Dharma Loka, Pekan Baru

Simple Things

Simple Things
picture courtesy of Simple Things Vectors by Vecteezy
A version of the Plum Village song.
Words and music from Deer Park Monastery.
With additional words by Monica Max West
Performed by monastics of Thai Plum Village during the Wake Up Retreat 2024

I get my joy from the simple things,
Coming from the earth.

I get my joy from the sun that shines,
And the water speaks to me.

Listen to the rain and listen to the water, Hear what they say:

Singing “Hay Yah! Hay Yah! Hay Yah! Hey Yah!

Hey Yah! Hey Yah! Hey!”

Singing “Hay Yah! Hay Yah! Hay Yah! Hey Yah!

Hey Yah! Hey Yah! Hey!”

Seremoni Memulai Pembangunan Ruang Kelas

Seremoni Memulai Pembangunan Ruang Kelas
Seremoni memulai pembangunan ruang kelas

Hari Minggu, 24 Maret 2024 pagi, di Sentra Latihan Internasional, Plum Village Thailand telah mengadakan seremoni untuk memulai pembangunan ruang kelas sebagai fasilitas penunjang program edukasi monastik.

Seremoni ini dipimpin oleh Kepala Wihara, Biksu Pháp Anh, dan diikuti oleh beberapa monastik dan perwakilan dari kepala proyek pembangunan. Seremoni ini didaraskan dalam bahasa Vietnam dengan pembacaan syair pembukaan dan Sutra Hati. Setelah itu pemercikan nektar oleh kepala wihara diringi dengan pujian kepada Bodhisattwa Avalokitesvara.

Seremoni ini dilanjutkan dengan pembacaan Metta Sutta dalam Bahasa Thailand, sebagai bentuk penghormatan kepada semua makhluk yang bersemayam disekitar untuk membangkitkan cinta kasih, dan mendukung kelancaran pembangunan ini.

Rancangan ruang kelas
Tampak 3D

Pembangunan ruang kelas ini telah direncakan sejak lama, namun karena ada beberapa kendala teknis sehingga pembangunannya tertunda hampir dua. Ada banyak anggota komunitas ikut berdana dalam proyek ini, semoga dukungan ini ikut melestarikan ajaran Buddha, memperluas penyebaran Dharma dan menjadi bagian dari keberlanjutan dari membangung empat lapis Sangha yang hidup harmonis.

Melebur Menjadi Satu Rasa

Melebur Menjadi Satu Rasa
Foto bersama di Sungai Gangga

Keinginan untuk datang ke tanah suci Buddha di India, sebenarnya sudah ada sejak 17 tahun yang lalu, saat saya pertama kali belajar mengenal Buddhadharma di bangku sekolah. Dipenghujung bulan Oktober 2023, di saat tengah makan siang, saya mendapatkan sebuah pesan singkat dari Br. Phap Tu, yang seakan-akan menjadi “lonceng kesadaran” untuk mengingatkan saya makan penuh kesadaran. Brother mengirim pesan, menawarkan perjalanan ke India untuk menelusuri jejak langkah Buddha. Dan, betapa beruntungnya saya mendapatkan sponsor dari seorang donatur yang baik hatinya, Ci Susan. Terimakasih Ci Susan akhirnya, salah satu mimpi saya dapat terwujud di tahun ini.

Pada akhir bulan Februari 2024, saya dan ke-4 teman baru dari Medan (Sumiko), Jambi (Ci Marnis) dan Jakarta (Aunty Mira & Nuan), terbang dari Indonesia ke India, untuk bergabung dengan teman-teman dari Vietnam, Hongkong, Amerika dan Australia untuk memulai perjalanan Dharmayatra. Perjalanan kali ini berbeda daripada perjalanan biasanya, karena kami tidak hanya sekedar mengunjungi situs-situs Buddhis yang ada di sana, melainkan juga mempraktikkan seni hidup sadar, seperti yang Buddha praktikkan dahulu, bersama komunitas Plum Village.

Perjalanan ini megusung tema “Old Path, White Clouds” dan memang tidak mengunjungi semua situs yang ada, dikarenakan keterbatasan waktu dan tak ingin terburu-buru dalam mengunjungi suatu tempat. Situs yang kami kunjungi hanya berfokus di seputaran tempat petapa Gotama berjuang merealisasikan pencerahan, menjadi Buddha, dan tempat Buddha mengajar saja. Lebih tepatnya di Varanasi, Bodhgaya dan Rajgir. Dari semua situs tersebut, semuanya sangat indah dan memiliki kesan tersendiri.

Day of Mindfulness @Varanasi

Seperti di Sarnath (Varanasi) tempat Buddha pertamakali membabarkan Dharma kepada 5 petapa, dan di Veluvana (Rajgir) tempat Buddha sering berkunjung dan mengajar, kami memulai kegiatan Day of Mindfulness (DOM) dengan kegiatan meditasi jalan bersama, sungguh damai dan tenang di setiap langkah. Dilanjutkan dengan chanting pagi, meditasi duduk dan ceramah Dharma yang disampaikan Thay Phap Kham, Guru kami dalam perjalanan kali ini, beliau bagaikan Buddha yang tengah mengajar di tengah-tengah muridnya. Pesan yang disampaikan sangat teduh dan cerita mengenai kehidupan Buddha sangat mengalir dan memberi inspirasi pada kami semua. Dharma Sharing dalam grup kecil “Bamboo Forest” yang diselingi meditasi minum teh juga membuat suasana kebersamaan menjadi tambah hangat.

Meditasi jalan @Varanasi
Dharma Sharing @SitusNalanda

Yang tak terlupakan, saat menikmati pemandangan matahari terbit dan terbenam dari Puncak Burung Nasar, Griddhrakūta, dengan berdiam dalam keheningan di tengah keasrian alam, sangat indah sejauh mata memandang. Rasa lelah menaiki ratusan anak tangga rasanya terbayarkan lunas saat itu juga. Tak salah, jika tempat ini di pilih Buddha menjadi salah satu tempat berdiam favoritnya kala itu. Kebebasan dan kebahagiaan melebur menjadi satu rasa, damai.

Berbicara tentang perjalanan di India memang semuanya indah, namun dibalik keindahannya ada pemandangan yang tak dapat kita tutupi, yaitu kemiskinan warganya. Dari anak-anak, wanita dan orangtua yang meminta-minta dapat kita temui disetiap sudut kota. Rasa iba, kasihan dan ingin  membantu tentu saja ada. Namun, dikarenakan jumlah mereka yang sangat banyak, terlepas dari isu mereka sengaja di rekrut, rasanya tak mungkin dapat membantu semuanya.

Berkunjung ke Siddhartha Compassion School

Satu-satunya cara bijak yang dapat kami lakukan adalah dengan memberikan donasi ke salah satu sekolah di sana, namanya Siddhartha Compassion School, yang didirikan dengan misi memberikan pendidikan gratis bagi ratusan anak India, khususnya di Bodhgaya. Lewat pendidikan, di masa mendatang mereka diharapkan bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, dan bisa mengangkat derajat orangtua agar dapat keluar dari jerat kemiskinan yang menyandera keluarga mereka bertahun-tahun.

Adapun donasi yang kami berikan berupa seragam baru, buku tulis dan aneka snack jajanan kecil. Raut kebahagiaan terpancar dari wajah mungil mereka. Sangking senangnya, seorang bocah berlarian dan tak sengaja menjatuhkan permen dan coklat yang ia dapatkan, dengan penuh kasih seorang nenek dari Vietnam, anggota kami dalam perjalanan, membantu dia memasukkan permen dan coklat ke saku kantong celananya. Perasaan haru dan pikiran saya terkenang kembali ke masa kecil, ingat ketika nenek melakukan hal yang sama, memberikan permen dan membantu memasukkannya ke saku celana. Hangatnya kasih sayang seorang nenek membawa keceriaan bagi seorang anak kecil, demikian juga yang saya rasakan.

Terus berjalan tiba di setiap momen

14 hari perjalanan dharmayatra di Tanah Suci Buddha tak terasa telah berakhir, Kini kami telah pulang ke rumah masing-masing dengan segudang kenangan dan pengalaman yang berbaur dengan rasa syukur dan keyakinan terhadap Buddhadharma yang semakin mantap. Semangat praktik hidup sadar pun masih terjaga. Semoga benih baik ini dapat terus bertumbuh menjadi kebahagiaan bagi banyak makhluk. (Ferry Setiawan)

Satu Kesatuan Yang Saling Terhubungkan

Satu Kesatuan Yang Saling Terhubungkan
Retret Nyepi Maret 2024, di Pondok Sadhana Suddhi Bhavana, Cimahi

Saya awalnya ragu untuk ikut retreat Nyepi Maret 2024. Alasannya karena mengingat Desember tahun lalu, lama perjalanan Jakarta – Bandung 5 jam, kemudian Bandung ke Jakarta sekitar 4 jam. Tapi mulai berpikir cari pembelaan, sepertinya akan lancar long weekend ini karena biasanya saat mulai atau selama bulan puasa, jalanan Jakarta – Bandung – Jakarta lebih sepi #harapan.

Setelah pulang retreat Desember, kebetulan ada kumpul keluarga lalu ditanya, kegiatannya apa saja dan apa yg didapat selama retreat. Dan tentu saja semua pengalaman dan pelajaran yang baik ataupun kurang baik (menurut pendapatku) aku ceritain, dan ternyata berhasil sepupuku Indira mau ikut retreat. Jadi lebih yakin mau ke Bandung karena ada navigator yg bisa diajak ngobrol, curhat, nyanyi bareng sepanjang perjalanan walau kena macet.

Saya telat sampai di Pondok Sadhana Suddhi Bhavana (PSSB), ikut briefing sebentar langsung meditasi jalan di hutan. Selama meditasi jalan, yang menjadi perhatian saya bukan menyadari napas atau menyadari langkah kaki, tapi sandal yang menginjak tanah, kaki yang kena tanah, celana yang kena cipratan tanah. Sepanjang meditasi jalan saya sibuk dengan mengangkat-angkat celana supaya tidak kotor, pikiran sibuk ke belakang – harusnya tadi di jalan lebih cepat jadi tidak terlambat dan bisa ganti celana duluan, lalu sibuk ke depan – habis ini cuci kaki, bersihkan sandal, ganti celana, bersihkan celana, ke Gedung Serba Guna (GSG) menaruh tas, pilih tempat tidur, pindahkan mobil dst.

Meditasi jalan walaupun hujan
Meditasi jalan menikmati pemandangan

Selama sibuk sendiri dengan langkah dan pikiran, lalu saya melihat Bhante dan teman-teman melangkahkan kaki dan jalan dengan tenang, menikmati udara sekitar. Melihat itu semua seperti reminder bagi saya untuk kembali ke momen ini, coba menyadari napas masuk keluar, menyadari langkah kaki kanan kiri, mengabaikan tanah yang menempel di sandal, kaki, celana, merasakan cuaca saat itu, dan dari sini baru menyadari peranan dan pentingnya komunitas dalam berlatih.

Di malam hari saat pembabaran Sutra Lima Cara Memadamkan Api Kemarahan, saya terkesan dengan cara keempat. Selama ini kalau saya dihadapkan dengan orang yang perbuatan, ucapan, niatnya buruk, maka saya anggap orang itu sebagai orang yang jahat, kejam, tidak berperikemanusiaan dsb. Jika kemarahan saya sudah muncul, dan pada akhirnya saya berpikir, biarkan saja dia buruk seperti itu toh nanti dia sendiri yang akan terima akibatnya (sekarang saya pikir ini lebih seperti menyumpahi).

Lalu di cara keempat dalam Sutra tersebut disebutkan bahwa sesungguhnya dia adalah orang yang benar benar menderita, jika kita bisa membuka pintu hati dengan cinta dan belas kasih, maka kita bisa memadamkan bara api kemarahan dan menolong orang tersebut untuk bertransformasi dan merealisasikan kebahagiaan. Selama ini saya berpikir bahwa orang tersebut yang membuat orang lain menderita, tapi setelah mendengar cara keempat ini, saya akan coba belajar untuk mempraktikkan dengan berpikir sebaliknya bahwa sebenarnya orang tersebutlah yang paling menderita.

Saya pernah lihat judul buku “No Mud, No Lotus” oleh Thich Nhat Hanh. Saya belum baca buku itu, hanya sinopsisnya dan sejauh yang saya mengerti adalah tanpa penderitaan (ibarat : lumpur), kamu tidak bisa menemukan kebahagiaan (ibarat : bunga teratai). Penderitaan dan kebahagiaan seperti satu kesatuan yang saling terhubungkan. Di sinopsis buku itu ditulis cara mendapatkan kebahagiaan adalah dengan mengakui atau merangkul (bukan lari menghindar) penderitaan dan mengubahnya. Ceramah dari Bhante mengenai transformasi ini juga yang menjadi salah satu pelajaran dan PR buat saya praktikkan. Sekarang saya berpikir “No Mud, No Lotus” apakah pengertiannya sama dengan proverb yang lebih sering didengar “No Pain, No Gain” ?

No Mud No Lotus, Thich Nhat Hanh @ParallaxPress

Terima kasih kepada Bhante Nyanayasha atas pembacaan Sutra, sharing dan ceramah Dharma yang diberikan. Semoga apa yang saya dapatkan dari retreat ini, dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Terima kasih kepada pengurus PSSB, para volunteer, panitia, peserta retreat, yang sudah merencanakan, melaksanakan, mendukung, berbagi pelajaran dan pengalaman selama retreat. Datang ke retreat ini rasanya seperti datang ke konser musik; selain bisa melupakan stress dan merasakan ambience yg nyata, batin juga mendapatkan nutrisi.

Terima kasih kepada tim security, tim dapur, dan khususnya Pak Asep yang sudah membantu mengatasi kesalahan saya.

Saya minta maaf juga karena kekepoan saya kemarin jadinya salah satu fasilitas di PSSB rusak.

Semoga bisa bertemu lagi di kesempatan lainnya. (Clarissa)

Ajaran Buddha Tetaplah Satu

Ajaran Buddha Tetaplah Satu
Foto bersama di Stupa Dhamek, @Varanasi

Perjalanan ke India sangat berkesan dan tidak akan pernah terlupakan. Menjadi suatu pengalaman yang luar biasa karena dapat berjodoh untuk pilgrim ke tempat bersejarah agama Buddha bersama dengan Plum Village Asia dengan tema “Old Path White Clouds”.

Tur ini memiliki 3 destinasi kota yaitu Varanasi, Bodhgaya, dan Rajgir. Masing- masing destinasi memiliki kesan yang bersejarah bagi saya. Kami bersama-sama berangkat menuju Varanasi menggunakan pesawat terbang domestik dengan jarak tempuh selama 1,5 jam.

Menurut saya, sesi yang paling berkesan di Varanasi adalah saat mengunjungi Taman Rusa Isipatana (Deer Park) tempat Buddha membabarkan khotbah Dharma pertama kali kepada 5 petapa. Day Of Mindfulness yang diadakan di Taman Rusa Isipatana yang menurut saya sangat berbeda suasananya karena saya dapat menginjakkan kaki dan merasakan energi positif secara langsung di tempat Buddha membabarkan Dharma. Selama ini hanya mengetahui dalam lagu Sutra Dhammacakapavatana, dan sekarang bisa melihat peninggalan dalam bentuk stupa secara nyata. Sungguh tidak terbayangkan sebelumnya.

Stupa Dhamek
Foto bersama di Stupa Dhamek

Destinasi berikutnya adalah Bodhgaya yang ditempuh dari Varanasi selama 6 jam menggunakan bus. Bodhgaya adalah Kota tempat Siddharta mencapai penerangan sempurna. Keesokan harinya, kami mengunjungi Mahabodhi Temple pukul 05.00 pagi hari. Saat sesi meditasi duduk, objek meditasi saya kala itu adalah burung-burung yang berterbangan dan hinggap di sekitaran Mahabodhi Stupa.

Meditasi duduk tidak hanya duduk memejamkan mata, tetapi bisa juga saat memfokuskan diri pada suatu objek tertentu. Saya membayangkan dan mengamati burung yang berterbangan di sekitar stupa Mahabodhi. Saya membayangkan menjadi seperti burung yang sangat beruntung dapat melihat bagian dalam stupa. Saya juga mengamati burung-burung dan bertanya-tanya pada diri sendiri, “Mengapa tidak ada burung yang dapat mencapai puncak stupa? Terlihat beberapa burung yang berusaha untuk terbang ke puncak stupa, tetapi mereka jatuh ke tingkat bawah stupa tersebut, apa mungkin karena keajaiban atau sebuah gravitasi?” Hingga sekarang masih menjadi pertanyaan bagiku.

Saat ada waktu untuk free time, saya bersama dengan teman-teman pergi untuk mengunjungi Japanese Temple dan Butanese Temple yang ada di sekitar hotel. Dari temple ini, saya menjadi tahu bahwa agama Buddha memiliki berbagai tradisi yang berbeda-beda, Namun, ajaran Buddha tetap satu yaitu “Dharma”.

Setelah mengunjungi temple, saya kembali ke hotel karena sesi selanjutnya terdapat jadwal untuk mengunjungi Siddharta Compassion Trust yaitu sekolah gratis yang membuat anak dari keluarga kurang mampu dapat menuntut ilmu. Anak-anak dari sekolah ini menyadarkan saya untuk bersyukur karena memiliki orang tua yang menyokong saya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Selama ini, saya difasilitasi dengan kebutuhan yang cukup dan serba tidak kekurangan, tetapi terkadang saya “tidak sopan” terhadap orang tua saya. Saya tahu bahwa orang tua selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya, tetapi saya yang kurang menyadari akan hal itu. Mulai sekarang, saya akan berlatih untuk mendengar secara mendalam agar dapat menjadi yang lebih baik lagi.

Setelah mengunjungi sekolah, saya bersama dengan rombongan pulang ke hotel untuk menyantap makan malam yang telah disediakan oleh pihak hotel. Dari hari pertama sampai hari kedelapan, saya sering menemukan brokoli yang dihidangkan. Tetapi, saya selalu tidak ingin mengambil sayur tersebut karena saya sangat tidak menyukainya.

Menjadi sebuah tantangan dalam diri saya untuk mencoba memakan brokoli karena brokoli tersebut sering dihidangkan oleh pihak hotel. Akhirnya, saya bisa merubah rasa benci dan tidak suka terhadap sebuah makanan. Seketika saya sadar bahwa brokoli adalah sebuah makanan yang tak bersalah. Jangan hanya karena tidak suka menjadi menghindar dari makanan tersebut. Dari sini, saya belajar untuk lebih menghargai makanan dan belajar untuk makan makanan yang saya tidak sukai.

Destinasi ke-3 adalah Rajgir. Pada saat sesi Day of Mindfulness yang diadakan di Bamboo Forest, tempat yang sangat nyaman dan cocok untuk bermeditasi di bawah pohon yang rindang dan teduh. Sesi Dharma Talk ini sangat dinantikan oleh saya karena yang mengisi sesi Dharma Talk adalah Thay Phap Kham, Seketika, saya merasakan seperti Buddha yang sedang membabarkan Dharma di bawah pohon Bodhi.

Di Kota Rajgir, terdapat sesi pemotongan rambut yang diadakan di Puncak Burung Nasar (Vulture Peak). Vulture Peak adalah tempat Buddha banyak membabarkan Dharma. Saat saya menaiki puncak tersebut, yang ada di dalam benak saya itu, betapa luar biasanya Buddha yang menjadikan Vulture Peak sebagai tempat kediaman untuk bertapa karena saya mungkin tidak sanggup jika harus rutin untuk naik dan turun Vulture Peak.

Selama perjalanan ini, kami dikelompokkan dalam Bamboo Family. Jadi, setiap sesi Dharma Sharing, kami selalu berbagi pengalaman apa saja yang di alami selama berziarah ini. Berkat Bamboo Family ini, saya bisa meng-improve skill saya karena saya berbagi pengalaman dengan orang Internasional yang pastinya tidak mengerti bahasa Indonesia.

Meskipun Inggris saya tidak lancar, mereka tetap mengerti apa yang saya katakan. Dari Dharma Sharing ini, saya juga menjadi belajar berdasarkan dari pengalaman orang lain karena terdapat pepatah bahwa pengalaman orang lain adalah guru kita. Saya merasa sangat beruntung karena selama sekolah hanya bisa mempelajari sejarah saja dan tahun ini bisa merasakan dan melihat sendiri betapa indah dan fantastic sekali Kota India yang kaya akan sejarah agama Buddha.

Foto di Puncak Burung Nasar (Vulture Peak)
Dharma Sharing @SitusNalanda

Saya sangat berterimakasih kepada Ci Susan yang telah memberikan sponsor sehingga meringankan pengeluaran untuk terbang ke India, kepada Br. Phap Tu yang telah mengajak saya sehingga saya bisa ikut merasakan berada di tempat bersejarah agama Buddha ini dan menjadi translator selama acara berlangsung.

Saya juga berterimakasih kepada Aunty Yuyu, Aunty Marnis, Ko Ferry, Ci Sumiko yang menemani saya selama di India dan berpraktik Mindfulness Shopping untuk membeli souvenir kepada mama papa saya karena telah mengizinkan saya untuk terbang ke India dan mengikuti acara ini hingga selesai. Semoga saya dapat mengikuti Next Trip jika diadakan lagi.

Terimakasih kepada Plum Village Hong Kong dan Plum Village Thailand yang telah mengatur acara ini sehingga acara dapat terealisasi dan berjalan dengan lancar. (Phinawati Tjajaindra)

Dunia yang Kita Miliki

Dunia yang Kita Miliki

Hanya ketika kita bersama-sama menaruh perhatian dan praktik spiritual kepada bumi ini, saat itulah kita akan memiliki sarana perubahan yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis lingkungan.

Thich Nhat Hanh
Hanya ketika kita mempersatukan kepedulian kita terhadap planet ini disertai dengan latihan spiritual, kita akan memiliki sarana untuk melakukan transformasi pribadi yang mendalam yang diperlukan untuk mengatasi krisis lingkungan yang akan datang. Thich Nhat Hanh memberikan kita prinsip-prinsip panduan untuk ekospiritualitas (ecospirituality) baru dalam hidup yang penuh kesadaran.

Kita seperti orang yang berjalan dalam tidur, tidak tahu apa yang sedang kita lakukan atau ke mana tujuan kita. Apakah kita bisa terjaga atau tidak, tergantung pada apakah kita bisa berjalan dengan penuh kesadaran di Bumi ini, Ibu Pertiwi. Masa depan semua kehidupan, termasuk kehidupan kita, bergantung pada langkah sadar kita. Kita harus mendengar lonceng kesadaran yang berbunyi di seluruh planet ini. Kita harus mulai belajar bagaimana hidup sedemikian rupa agar masa depan cerah untuk anak dan cucu kita bisa terwujud.

Saya telah lama duduk bersama Buddha dan berkonsultasi denganNya mengenai masalah pemanasan global, dan ajaran dari Buddha sangatlah jelas. Jika kita masih terus hidup seperti yang selama ini, mengonsumsi makanan tanpa mempertimbangkan masa depan, menghancurkan hutan dan ikut menjadi faktor terjadi emisi gas rumah kaca, maka perubahan iklim yang menghancurkan tidak dapat dihindari. Sebagian besar ekosistem kita akan hancur. Permukaan air laut akan naik dan kota-kota pesisir akan terendam banjir, memaksa ratusan juta pengungsi meninggalkan rumahnya, sehingga menimbulkan peperangan dan wabah penyakit menular.

Kita membutuhkan kebangkitan kolektif. Massa masih terlelap tidur. Mereka tidak mendengar suara bel.

Kita membutuhkan kebangkitan kolektif. Ada di antara kita, pria dan wanita yang telah tersadarkan, namun itu tidaklah cukup; massa masih belum tersadarkan. Mereka tidak mendengar suara bel ini. Kita telah membangun sistem yang tidak dapat kami kendalikan. Sistem ini menggiring diri kita, dan kita telah menjadi budak dan korbannya. Kebanyakan dari kita harus mengorbankan waktu dan nyawa kita sebagai gantinya, demi memiliki rumah, mobil, kulkas, TV, dan sebagainya. Kita terus-menerus berada di bawah tekanan waktu. Di masa lalu, kita mampu menghabiskan tiga jam untuk secangkir teh, menikmati kebersamaan dengan teman-teman kita dalam suasana yang tenang dan spiritual. Kita bisa mengadakan pesta untuk merayakan mekarnya salah satu bunga anggrek di taman. Namun, saat ini kita tidak mampu lagi membeli barang-barang tersebut.

Kita berkesimpulan bahwa waktu adalah uang. Kita telah menciptakan sebuah masyarakat dengan keadaan yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin, dan di dalamnya kita begitu terjebak dalam permasalahan-permasalahan yang ada pada diri kita sendiri sehingga kita tidak mampu untuk menyadari apa yang sedang terjadi dengan umat manusia  juga planet bumi ini. Dalam benak saya, saya melihat sekelompok ayam di dalam kandang sedang berebut benih padi-padian, tanpa sadar bahwa dalam beberapa jam mereka akan disembelih.

Masyarakat Tiongkok, India, dan Vietnam masih mendambakan “American Dream” (Impian Amerika), seolah-olah impian tersebut adalah tujuan utama semua umat manusia—setiap orang harus memiliki mobil sendiri, rekening bank, telepon seluler, pesawat televisi. Dalam 25 tahun, populasi Tiongkok akan mencapai 1,5 miliar orang, dan jika masing-masing dari mereka ingin mengendarai mobil pribadi, Tiongkok akan membutuhkan 99 juta barel minyak setiap hari. Namun produksi minyak dunia saat ini hanya 84 juta barel per hari, sehingga Impian Amerika tidak mungkin terwujud bagi Tiongkok, India, atau Vietnam. Impian Amerika tidak mungkin lagi terwujud bagi Amerika. Kita tidak bisa terus hidup seperti ini. Ini bukanlah perekonomian yang berkelanjutan (sustainable economy).

Kita harus mempunyai mimpi yang lain: mimpi tentang persaudaraan, cinta kasih, dan welas asih, bahwa mimpi itu mungkin terjadi persis di sini dan saat ini. Kita memiliki Dharma; kita mempunyai sarana; kita memiliki cukup kearifan untuk dapat mewujudkan impian ini. Hidup sadar penuh (Mindfulness) adalah inti dari keterjagaan, pencerahan. Kita berlatih menyadari pernapasan agar bisa hadir di sini pada saat ini, sehingga kita bisa mengenali apa yang terjadi di dalam diri dan di sekitar kita. Jika yang terjadi dalam diri kita adalah keputusasaan, kita harus menyadarinya dan segera bertindak. Kita mungkin tidak ingin menghadapi formasi mental tersebut, namun ini adalah kenyataan dan kita harus mengenalinya agar dapat mengubahnya.

Kita harus mempunyai mimpi yang lain: mimpi tentang persaudaraan, cinta kasih, dan welas asih, bahwa mimpi itu mungkin terjadi persis di sini dan saat ini. Kita memiliki Dharma; kita mempunyai sarana; kita memiliki cukup kearifan untuk dapat mewujudkan impian ini.

Kita tidak perlu putus asa terhadap pemanasan global; kita bisa bertindak. Jika kita hanya menandatangani petisi dan melupakannya, jelas tidak akan ada perubahan. Tindakan mendesak harus diambil pada tingkat individu dan kolektif. Kita semua mempunyai keinginan yang besar untuk dapat hidup damai dan dalam lingkungan yang dilestarikan secara berkelanjutan. Hal yang belum dimiliki oleh sebagian besar dari kita adalah cara nyata untuk mewujudkan komitmen sehari-hari atas kehidupan berkelanjutan. Kita belum mengelola diri sendiri dengan baik. Kita tidak bisa menyalahkan para pemimpin yang menyebabkan bahan kimia mencemari air minum, kekerasan yang terjadi di lingkungan sekitar, peperangan yang menghancurkan begitu banyak nyawa. Inilah saatnya bagi setiap orang untuk bangun dan bertindak lebih nyata dalam lingkungan masing-masing.

Kekerasan, korupsi, penyelewengan kekuasaan, dan penghancuran diri sendiri terjadi di sekitar kita, bahkan di kalangan pemimpin, baik spiritual maupun sosial. Kita semua tahu bahwa hukum di negara kita tidak cukup kuat untuk menangani korupsi, takhayul, dan kekejaman. Hanya keyakinan, tekad, kebangkitan, dan mimpi besar yang dapat menciptakan energi yang cukup kuat untuk membantu masyarakat kita bangkit dan menuju pantai perdamaian dan harapan.

Agama Buddha adalah bentuk humanisme terkuat yang kita miliki. Hal ini terjadi agar kita dapat belajar hidup bertanggung jawab, welas asih, dan cinta kasih. Setiap praktisi Buddhis harus menjadi protektor lingkungan. Kita mempunyai kekuatan untuk menentukan nasib planet kita. Jika kita sadar akan situasi yang sebenarnya, akan terjadi perubahan kolektif dalam kesadaran kita. Kita harus melakukan sesuatu untuk membangunkan setiap orang. Kita harus membantu Buddha membangunkan mereka yang hidup sementara terlelap dalam mimpi.

Namun segalanya, termasuk Buddha, selalu berubah dan berkembang. Berkat latihan kita dalam melihat secara mendalam, kita menyadari bahwa penderitaan di masa kita berbeda dengan penderitaan di masa Siddhartha, dan karena itu metode latihannya juga harus berbeda. Itulah sebabnya Benih Buddha di dalam diri kita juga harus berkembang dalam berbagai cara, sehingga Buddha bisa relevan dengan zaman ini.

Buddha di zaman kita dapat menggunakan telepon, bahkan telepon seluler, namun Beliau bebas, tidak terikat pada telepon seluler itu. Buddha di zaman kita mengetahui bagaimana membantu mencegah kerusakan ekologi dan pemanasan global; dia tidak akan merusak keindahan planet ini atau memboroskan seluruh waktunya untuk bersaing satu sama lainnya. Buddha di zaman kita ingin menawarkan kepada dunia sebuah etika global, sehingga setiap orang dapat menyepakati jalan yang baik untuk diikuti. Ia ingin memulihkan keharmonisan, memupuk persaudaraan, melindungi seluruh spesies di planet ini, mencegah pembalakan hutan, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Ketika Anda mempraktikkan Lima Latihan Sadar Penuh, Anda menjadi seorang bodhisattwa yang membantu menciptakan keharmonisan, melestarikan lingkungan, menjaga perdamaian, dan memupuk persaudaraan.

Karena Anda adalah penerus Buddha, Anda harus membantunya menawarkan kepada dunia sebuah jalan yang dapat mencegah kerusakan ekosistem, jalan yang dapat mengurangi jumlah kekerasan dan keputusasaan. Anda akan sangat berbaik hati membantu Buddha untuk terus mewujudkan apa yang Beliau mulai sejak 2600 tahun yang lalu.

Planet Bumi kita mempunyai beragam kehidupan, dan setiap spesies bergantung pada spesies lain agar dapat bermanifestasi dan berlanjut. Kita tidak hanya berada di luar satu sama lain tetapi kita berada di dalam satu sama lainnya. Sangatlah penting untuk merangkul Bumi dalam pelukan, dalam hati kita, untuk melestarikan planet yang indah ini dan untuk melindungi semua spesies. Sutra Teratai (Lotus Sutra) menyebutkan nama bodhisattwa khusus: Dharanimdhara, atau Pemangku Bumi (Earth Holder), seseorang yang melestarikan dan melindungi bumi.

Pemangku Bumi adalah energi yang menyatukan kita sebagai suatu organisme. Dia adalah sejenis insinyur atau arsitek yang tugasnya menciptakan ruang untuk kita, membangun jembatan untuk kita lintasi dari satu sisi ke sisi lain, membangun jalan agar kita bisa menuju ke orang yang kita cintai. Tugasnya adalah meningkatkan komunikasi antara manusia dan spesies lain serta melindungi Bumi dan lingkungan. Dikatakan bahwa ketika Buddha mencoba mengunjungi ibunya, Mahamaya, Dharanimdhara-lah yang membangun jalan yang dilalui oleh Buddha. Meskipun bodhisattwa Pemangku Bumi disebutkan dalam Sutra Teratai, tidak ada satu bab pun yang dikhususkan sepenuhnya untuknya. Kita harus mengenali bodhisattwa ini agar dapat bekerja sama dengannya. Kita semua harus ikut membantu menciptakan babak baru baginya, karena Pemangku Bumi sangat amat dibutuhkan di era globalisasi ini.

Saat Anda merenungkan sebuah jeruk, Anda melihat bahwa segala sesuatu di dalam jeruk ikut serta dalam pembentukan jeruk tersebut. Tidak hanya bagian jeruk saja yang termasuk dalam jeruk; kulit dan biji jeruk juga merupakan bagian dari jeruk. Inilah yang kita sebut sebagai aspek universal dari jeruk. Segala sesuatu yang ada pada jeruk adalah jeruk, tetapi kulitnya tetaplah kulitnya, bijinya tetap bijinya, bagian dari jeruknya tetap bagian dari jeruknya. Hal yang sama juga terjadi pada bola bumi kita. Meskipun kita menjadi komunitas dunia, orang Perancis tetap menjadi orang Perancis, orang Jepang tetap menjadi orang Jepang, umat Buddha tetap menjadi umat Buddha, dan orang Kristen tetap menjadi orang Kristen. Kulit jeruk tetap menjadi kulitnya, dan bagian-bagian pada jeruk tetap menjadi bagian-bagiannya; bagian-bagiannya tidak harus disulap menjadi kulit agar tetap harmonis.

Namun, keharmonisan tidak mungkin terjadi jika kita tidak memiliki etika global, dan etika global yang dirancang oleh Buddha adalah Lima Latihan Sadar Penuh. Lima Latihan Sadar Penuh adalah jalan yang harus kita tempuh di era krisis global ini karena ini adalah praktik persaudaraan, pengertian dan cinta, praktik melindungi diri sendiri dan melindungi planet ini. Lima Latihan Sadar Penuh merupakan realisasi nyata dari mindfulness. Latihan iut  non-sektarian. Latihan itu tidak mengandung tanda-tanda dari agama, ras, atau ideologi tertentu. Sifat latihan itu adalah universal.

Buatlah keputusan Anda, lalu bertindaklah untuk menyelamatkan planet Bumi kita yang indah ini. Mengubah cara hidup Anda akan secara langsung memberi Anda banyak sukacita.

Ketika Anda mempraktikkan Lima Latihan Sadar Penuh, Anda menjadi seorang bodhisattwa yang membantu menciptakan keharmonisan, melindungi lingkungan, menjaga perdamaian, dan memupuk persaudaraan. Anda tidak hanya menjaga keindahan budaya Anda sendiri, tetapi juga budaya lain, dan semua keindahan di Bumi. Dengan adanya Lima Latihan Sadar Penuh di hati Anda, Anda sudah berada di jalur transformasi dan penyembuhan.

Dalam latihan pertama, kita bertekad untuk menjunjung tinggi semua kehidupan di bumi dan tidak mendukung tindakan pembunuhan apa pun. Dalam latihan kedua, kita bertekad untuk mempraktikkan kemurahan hati dan tidak mendukung ketidakadilan dan penindasan sosial. Dalam latihan ketiga, kita berkomitmen untuk berperilaku bertanggung jawab dalam hubungan pasangan dan tidak melakukan pelecehan seksual. Latihan keempat mewajibkan kita untuk melatih ucapan penuh kasih dan mendengarkan secara mendalam untuk meringankan penderitaan orang lain.

Praktik konsumsi dan makan dengan penuh berkesadaran adalah tujuan dari latihan sadar penuh yang kelima.

Sadar akan penderitaan yang disebabkan oleh konsumsi tanpa berkesadaran penuh, aku bersedia menjaga kesehatan dengan baik, secara fisik maupun mental, bagi diriku sendiri, keluarga, dan masyarakat dengan cara berlatih makan, minum, dan mengonsumsi dengan penuh kesadaran. Aku akan berlatih menatap mendalam terhadap cara aku mengonsumsi Empat Jenis Makanan yaitu makanan lewat mulut, kesan impresi, niat, dan kesadaran. Aku bertekad untuk tidak menggunakan alkohol, obat-obat terlarang, terlibat dalam perjudian atau produk-produk seperti: situs internet, permainan elektronik, program televisi, film, majalah, buku, dan percakapan tertentu yang mengandung toksin. Aku akan berlatih untuk kembali pada momen kekinian untuk menyentuh elemen-elemen kesegaran, penyembuhan, dan nutrisi dalam diriku dan di sekitarku, tidak membiarkan penyesalan dan kemurungan menyeretku kembali ke masa lalu, juga tidak membiarkan kecemasan, ketakutan, dan kemelekatan menarik aku keluar dari momen kekinian. Aku bertekad untuk tidak menutupi kesepian, kecemasan, atau penderitaan jenis lainnya dengan cara tenggelam dalam mengonsumsi. Aku akan merenungkan sifat saling bergantungan dan mengonsumsi dengan sedemikian rupa agar aku bisa terus menumbuhkan kedamaian, suka cita, dan kesehatan badan jasmani serta kejernihan kesadaran sendiri maupun kolektif dalam keluarga, masyarakat, dan dunia ini.

Latihan sadar penuh yang kelima adalah jalan keluar dari situasi sulit yang dihadapi dunia kita. Ketika kita mempraktikkan latihan kelima, kita mengenali dengan tepat apa yang harus dikonsumsi dan apa yang harus ditolak untuk menjaga tubuh, pikiran kita, dan bumi agar tetap sehat, dan tidak menyebabkan penderitaan bagi diri sendiri dan orang lain. Konsumsi secara berkesadaran adalah cara untuk menyembuhkan diri dan dunia. Sebagai keluarga spiritual dan keluarga manusia, kita semua dapat membantu mencegah pemanasan global dengan mengikuti praktik ini. Kita harus menyadari kehadiran Bodhisattva Pemangku Bumi (Earth Holder) dalam diri kita masing-masing. Kita hendaknya menjadi tangan, lengan Pemangku Bumi agar mampu bertindak cepat.

Anda mungkin pernah mendengar bahwa Tuhan ada di dalam kita, Buddha ada di dalam kita. Namun kita masih memiliki gagasan yang samar-samar tentang apa yang dimaksud dengan Buddha di dalam diri kita dan Tuhan di dalam diri kita. Dalam tradisi Buddhis hal ini sangat jelas. Buddha bersemayam di dalam diri kita sebagai energi—energi perhatian, energi konsentrasi, dan energi wawasan—yang akan menghasilkan welas asih, cinta kasih, sukacita, kebersamaan, non-diskriminasi. Teman-teman kita dalam tradisi Kristen berbicara tentang Roh Kudus atau Roh Kudus sebagai energi Buddha. Di mana pun Roh Kudus hadir, di situ ada penyembuhan dan kasih. Kita dapat berbicara dengan cara yang sama yaitu kesadaran penuh, konsentrasi, dan pandangan terang. Energi kesadaran penuh, konsentrasi, dan wawasan memunculkan kasih sayang, pengampunan, kegembiraan, transformasi, dan penyembuhan. Itulah energi seorang Buddha. Jika Anda dipenuhi oleh energi itu, Anda adalah seorang Buddha. Dan energi itu dapat dipupuk dan termanifestasi sepenuhnya dalam diri Anda.

Sungguh luar biasa menyadari bahwa kita semua berada dalam satu keluarga, kita semua adalah anak-anak dari bumi ini. Kita hendaknya saling menjaga satu sama lainnya dan menjaga lingkungan semesta, dan hal ini menjadi mungkin dilakukan dengan mempraktikkan kebersamaan. Perubahan positif pada kesadaran individu akan membawa perubahan positif pada kesadaran kolektif. Melindungi planet ini harus menjadi prioritas utama. Saya berharap Anda akan meluangkan waktu untuk duduk bersama, minum teh bersama sahabat dan keluarga, dan mendiskusikan hal-hal ini. Undanglah bodhisattwa Pemangku Bumi untuk duduk dan berkolaborasi dengan Anda. Buatlah keputusan Anda, lalu bertindaklah untuk menyelamatkan planet Bumi kita yang indah. Mengubah cara hidup Anda akan segera memberi Anda banyak sukacita. Kemudian penyembuhan bisa dimulai. (Alih bahasa: Gracia Stephanie)

Adapted from The World We Have: A Buddhist Approach to Peace and Ecology, by Thich Nhat Hanh. © 2008 by Unified Buddhist Church. With permission from Parallax Press, www.parallax.org.

Sumber: https://www.lionsroar.com/the-world-we-have/

A moment to come back to my true home

A moment to come back to my true home
Walking Meditation @PondokSadhanaAmitayus

Taking my time to get away from the city lights, heavy traffic and fast-paced environment.

I arrived at Pondok Sadhana Amitayus,

I feel blue and liberated as I look up to the vast clear skies.
I feel green and nourished as I look down on the wild field of grass.
I feel yellow and accepted when the sun embraces my standing body.
I touch white and empty like the clouds painting the sky.

Several times, the vibrating sound of the bell as it penetrates through space has invited me to come back home to myself.

I sense transparency and arriving as I attend to my steps.
I sense clear and present as I notice my breath.
I am one with the cosmos as my knees and naked forehead touch the earth.

A sensation of being alive in my heart and a smile on my face appeared as I watched a living, happy community sitting, eating and singing harmoniously. A circle that is present for one another.

Practicing mindfulness and chanting the sutras for several days here transforms a feeling of restlessness into calmness. A chaotic mind turns quiet. The fast beating heart begins to slow down. Enmity gently turns into compassion.

Arriving here is an invitation to come back and be present to my true home. A home of true peace and harmony.

Composed by Astrid Padmanita K