Thich Nhat Hanh’s Way

Thich Nhat Hanh’s Way

Kota New York memasang papan tanda jalan untuk menghormati biksu berpengaruh, Thích Nhất Hạnh

People attend the unveiling ceremony of the new Thich Nhat Hanh Way street sign in New York City, Friday, April 11, 2025. (RNS photo/Richa Karmarkar)

NEW YORK (RNS) — Puluhan biksu dan umat awam berkumpul bersama di sudut jalan Upper West Side yang ramai pada hari yang dingin dan hujan untuk menyaksikan pemasangan papan tanda jalan baru yang bersejarah untuk menghormati pemimpin spiritual mereka, Jumat (11 April). 

Thích Nhất Hạnh Way, yang terletak di sudut jalan Broadway dan West 109th, secara simbolis diberi nama untuk menghormati biksu Vietnam yang berpengaruh, yang meninggal pada usia 95 tahun pada tahun 2022.

“Warga New York tidak selalu dikenal sebagai orang yang cinta damai,” kata Anggota Dewan Kota New York Shaun Abreu kepada kerumunan biksu berjubah dan penduduk kota berjaket. “Kita hidup dalam kebisingan dan tekanan. Namun, Thích Nhất Hạnh menyampaikan pesan untuk orang-orang seperti kita. Beliau tahu bahwa kita tidak dapat membangun dunia yang lebih baik jika kita terus-menerus marah, atau jika kita melupakan kemanusiaan satu sama lain. Dengan mencantumkan namanya di sini, kita menciptakan momen jeda dan napas.”

Guru Zen, yang dianggap sebagai bapak mindfulness, tinggal di blok yang sama pada awal tahun 1960-an, saat ia mempelajari agama komparatif (comparative religion) dan mengajar agama Buddha di Union Theological Seminary dan Universitas Columbia di dekatnya.

Hạnh diasingkan dari negara asalnya karena penentangannya terhadap Perang Vietnam dan penolakannya untuk memihak. Pada tahun 1967, setelah bertemu dengan aktivis perdamaian, Martin Luther King Jr. menominasikan Hạnh untuk mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian. Hạnh juga menerbitkan buku, meditasi, dan puisi yang ditujukan kepada orang-orang dari segala usia dan latar belakang.

Penamaan jalan, kata para pengikutnya, adalah salah satu cara untuk menghormati pengaruh Hạnh, yang biasa dipanggil Thay, pada komunitas mindfulness di Timur dan Barat. 

New York City Council member Shaun Abreu, left, poses with monks and nuns from the Plum Village tradition, from Deer Park and Blue Cliff monasteries, during an unveiling ceremony of Thích Nhất Hạnh Way in New York City, Friday, April 11, 2025. (RNS photo/Richa Karmarkar)

Kerumunan orang, yang sebagian besar merupakan komunitas Plum Village, menciptakan keheningan yang tenteram di acara tersebut — kontras dengan alarm mobil dan sirene polisi di pagi hari yang biasa — dengan menggunakan isyarat bertepuk tangan versi American Sign Language yang mereka sebut “mempersembahkan bunga mereka.” Para biksu dari beberapa biara Thay, termasuk Deer Park di California dan biara Blue Cliff di utara New York, melakukan perjalanan untuk merayakan penamaan jalan tersebut, membacakan puisinya setelah mengambil beberapa napas mendalam bersama-sama.

Mengikuti jejak Thay, kelompok tersebut juga melakukan meditasi berjalan dari 109th Street ke biara Buddhis di 121st Street.

“Ajaran Thay mendorong (kita) untuk kembali pada napas kita, menemukan ketenangan di tengah kekacauan, dan menumbuhkan welas asih di hati kita,” kata Brother Pháp Không, seorang biksu dari Blue Cliff. “Praktik meditasi berjalan ini, di mana setiap langkah diambil dengan penuh kesadaran dan setiap napas adalah sama, mengingatkan kita bahwa kedamaian bukanlah tujuan yang jauh. Beliau menunjukkan kepada kita bahwa kedamaian dimulai dari diri kita sendiri.”

Brother Phap Luu, biksu non-Vietnam Amerika tertua dalam tradisi Plum Village, ditahbiskan sebagai samanera oleh Thay pada tahun 2003. Luu mengatakan bahwa ia menganggap dirinya termasuk generasi yang beruntung, bepergian sebagai seorang calon biksu muda bersama Thay ke seluruh dunia.

FILE – Vietnamese Zen master Thích Nhất Hạnh , center, in Ho Chi Minh City, Vietnam on March 16, 2007. (AP Photo, File)

“Hampir bisa dikatakan kami terlahir kembali dari mulut guru,” ungkapnya kepada RNS.

Luu, yang pertama kali menemukan Plum Village ketika masih sebagai mahasiswa bahasa Inggris di Dartmouth College pada akhir tahun 1990-an, mengingat bagaimana rasanya saat dia melihat Thay untuk pertama kalinya pada tahun 2002.

“Kami berada di luar di amfiteater terbuka, dan tiba-tiba, Thay muncul begitu saja di tengah kerumunan biksu dan biksuni,” kata Luu. “Saya tidak melihat dari mana dia berasal. Sepertinya dia muncul begitu saja.”

“Kehadiran Thay di tengah sangha monastik itulah hakikat Thay. Anda tidak dapat melihatnya sebagai seorang individu, sebagai pribadi yang terpisah, melainkan sebagai kumpulan praktik kesadaran penuh kolektif yang telah ia hasilkan dari komunitas Buddhis di Vietnam, lalu diasingkan dan menciptakan kembali komunitas itu di sini, di Barat,” katanya. 

Luu menghabiskan waktu bersama Thay dan murid-murid lainnya di Biara Deer Park pada tahun-tahun menjelang kematian pemimpin tersebut. Sesuai dengan tradisi Buddhis, kata Luu, Thay tidak menunjuk seorang penerus. Ia malah “melatih kami cara menggunakan tutur kata yang penuh kasih dan mendengarkan dengan saksama untuk memahami satu sama lain ketika terjadi kesalahpahaman, untuk membuka hati kami agar selalu bersedia berdamai, daripada menyimpan dendam di hati kami.”

The newly placed Thích Nhất Hạnh Way street sign in New York City, Friday, April 11, 2025. (RNS photo/Richa Karmarkar)

Ajaran ini, kata pengikut lainnya, terutama relevan pada saat-saat perhitungan sosial dan perselisihan politik yang intens, seperti Perang Vietnam atau gerakan yang sedang berlangsung terkait perang di Gaza.

Jonathan Gold, seorang mahasiswa magister berusia 24 tahun di Manhattan School of Music di dekat sana, mengatakan bahwa ia menjadi “sangat tertarik” dengan ajaran Thay selama setahun terakhir. Dibesarkan sebagai penganut agama Yahudi, ia mempelajari ajaran Buddhis Zen mulai dari mempelajari musik sakral dan membaca buku-buku Thay. Gold mengatakan melalui buku-buku tersebut, ia menemukan “gerbang menuju kehidupan yang lebih penuh mengenai perubahan sosial.”

“Saya pikir inti dari segalanya adalah melalui setiap hari, setiap percakapan, setiap tindakan yang Anda ambil, yang berakar pada antikekerasan radikal, antikejahatan radikal,” kata Gold. “Setiap kali kita berdiskusi dengan orang lain atau berbicara dengan orang tua kita — itu hal yang penting — ubahlah bahasa yang kita gunakan sehingga kita melakukan pendekatan terhadap berbagai hal dengan welas asih dan pengertian, bukan dengan agresi atau permusuhan. Bahkan orang-orang yang kita pikir membenci kita, atau bahkan yang kita rasa benci, kapan kita dapat mengubahnya? Maka setiap masalah menjadi, ‘Bagaimana kita mendekati ini dengan damai dan penuh kasih sayang sebisa mungkin?’”

Dan sementara kaum muda mungkin secara umum menjauh dari agama institusional , bagi Fiona Falco yang berusia 15 tahun, ajaran Buddha membantu mengatasi tekanan sehari-hari sebagai remaja Amerika, mulai dari pertandingan bola voli hingga ujian besar.

“Ini menenangkan, dan menyenangkan melakukannya bersama ibu saya,” kata Falco, putri Elaina Cardo, seorang guru di Green Island Sangha Plum Village, Long Island, New York. 

“Ajarannya sederhana,” kata Cardo, yang juga bekerja sama dengan program Wake Up Schools Plum Village, sebuah inisiatif untuk membawa praktik mindfulness ke sekolah dasar melalui para pendidik. “Tidak ada batasan waktu tertentu untuk mempraktikkannya, tetapi dalam segala hal yang Anda lakukan — baik saat makan maupun berjalan.”

Jean Aronstein, 76 tahun, menemukan ajaran meditasi Thay pada awal pandemi COVID-19. Aronstein mengatakan ajarannya sesuai dengan keyakinan Yahudinya — terutama “spiritualitas, ritual, konsistensi, dan cinta kasih kepada seluruh umat manusia.”

Aronstein, warga lama Upper West Side, mengatakan dia ingin sekali melihat papan tanda Thích Nhất Hạnh Way saat dia berjalan-jalan di lingkungannya. Sebuah ajaran yang paling dekat di hatinya, katanya, adalah: “Tanpa lumpur, tidak ada teratai. Ada penderitaan, tetapi ada keindahan, dan kita semua harus bersatu, (untuk) saling menjaga.” (Richa Karmarkar)

Diterjemahkan oleh Rumini dari sumber: https://religionnews.com/2025/04/11/new-york-city-unveils-thich-nhat-hanh-way/

Hidup Mendalam Penuh Makna

Hidup Mendalam Penuh Makna

Begawan Buddha, sejak wawasan mendalam tentang impermanen semakin mendalam, aku semakin mengerti, ternyata Lima Peringatan Kehidupan selalu mendorongku untuk selalu rajin berlatih meditasi setiap hari.

  1. Menjadi tua adalah suatu kewajaran, tak mungkin aku bisa menghindari penuaan
  2. Jatuh sakit adalah suatu kewajaran, tak mungkin aku bisa menghindari penyakit
  3. Mati adalah suatu kewajaran, tak mungkin aku bisa menghindari kematian
  4. Apa pun yang aku hargai dan junjung tinggi pada hari ini, nanti di masa depan, semua itu akan berpisah jua
  5. Warisan satu-satunya yang kumiliki adalah hasil dari perbuatan tubuh, ucapan, dan pikiran. Perbuatanku menjadi landasan pijakanku.

Aku bersyukur karena memperkuat pemahaman tentang impermanen, sehingga aku bisa menghargai setiap hari dengan penuh makna. Buddha yang telah tercerahkan, Engkau bijak dalam menggunakan waktu, kesehatan, usia muda untuk berkarir dalam jalur pembebasan dan keterjagaan. Aku bertekad menjadikaMu sebagai panutanku, tidak mengejar kekuasaan, jabatan, ketenaran, dan profit. Aku tidak ingin memboroskan waktu lagi. Aku bertekad menggunakan waktu dan energi untuk berlatih agar mendapatkan transformasi berbagai gangguan mental sehingga memperoleh pengertian dan cinta kasih. Wahai Buddha, aku sebagai generasi penerus dan kelanjutanMu, aku sepenuh hati bertekad untuk berlatih sehingga karir pengertian dan cinta kasihMu bisa terus bergelora dalam hati para praktisi generasi berikutnya.

Melalui latihan memperdalam pemahaman terhadap impermanen, aku melihat kehadiran semua orang yang aku cintai begitulah bermakna: orangtuaku, guru-guruku, para sahabat, dan para sahabat seperjuangan dalam spiritual. Aku mengerti sepenuhnya bahwa, semua orang yang aku cintai juga tidak kekal begitu juga diriku. Ada waktu ketika aku berada dalam kealpaan sehingga aku berkesimpulan bahwa mereka yang aku cintai akan hidup selama-lamanya, sepanjang hayatku. Aku selalu berpikir bahwa mereka tidak menjadi tua, mereka tidak akan sakit, dan mereka tidak akan pernah absen dari hidupku.

Aku tidak menghargai kehadiran mereka. Aku tidak bersukacita dan juga tidak bergembira bersama mereka. Malahan, aku menguncarkan kata-kata kasar kepada mereka. Bahkan ada suatu ketika, diam-diam aku ingin mengusir mereka dari hidupku saat aku merasa kesal. Aku telah membuat mereka menderita, aku telah membuat mereka sedih dan marah, karena aku tidak tahu cara menghargai mereka.

Aku menyadari ada suatu ketika aku bertindak kasar terhadap ayahku, ibuku, kakak, adik, guru, sahabat Dharma, pasangan, aku memperlakukan mereka dengan buruk, tanpa berpikir panjang, mengabaikan mereka, dan tidak tahu berterima kasih.

Buddha yang mulia, dengan sepenuh hati aku menyatakan penyesalan atas kesalahan-kesalahan itu. Aku akan belajar mengatakan, “Ayahku, kita masih bersama, aku sangat bahagia.” “Kakak, engkaulah wujud kehadiran solid bagiku. Dirimu menjadi sumber sukacita dalam hidupku.” “Kakak, kamu tahu bagaimana membuat aku segar kembali dan membuat hidupku semakin indah.”

Aku bertekad untuk berlatih menggunakan bahas kasih, pertama-tama kepada mereka yang kucintai kemudian kepada semua orang.

Menyentuh Bumi

Begawan Buddha, guru dari para dewa dan manusia, mohon menjadi saksi atas tekad ini. [Genta]

Meditasi Cinta Kasih

Meditasi Cinta Kasih
Courtesy of Doodle Vectors by Vecteezy

(Kita mulai berlatih meditasi cinta kasih ini dengan berfokus pada diri sendiri (“aku”). Kemudian kita dapat berlatih berfokus pada orang lain (ganti dengan “kamu”), pertama terhadap orang yang kita sukai, kemudian terhadap orang yang netral pada kita, dan yang terakhir terhadap orang yang membuat kita menderita.)

Semoga aku damai, bahagia, dan merasa ringan dalam tubuh dan batin.
Semoga aku dalan keadaan aman dan bebas dari cedera.
Semoga aku bebas dari kemarahan, ketakutan dan kecemasan.

Semoga aku belajar melihat ke dalam diriku dengan mata penuh pengertian dan welas asih.
Semoga aku mengenali dan menyentuh benih-benih sukacita dan kebahagiaan yang ada dalam diriku.
Semoga aku belajar mengenali dan melihat sumber-sumber kemarahan, keserakahan, dan delusi dalam diriku.

Semoga aku tahu bagaimana cara merawat benih-benih sukacita dalam diriku setiap hari.
Semoga aku menjalani hidup dengan semangat baru, solid dan bebas.
Semoga aku bebas dari kemelekatan dan kebencian, tetapi bukan acuh tak acuh.

Semoga kamu damai, bahagia, dan merasa ringan dalam tubuh dan batin.
Semoga kamu dalam keadaan aman dan bebas dari cedera.
Semoga kamu bebas dari kemarahan, ketakutan dan kecemasan.

Semoga kamu belajar melihat ke dalam dirimu dengan mata penuh pengertian dan welas asih.
Semoga kamu mengenali dan menyentuh benih-benih sukacita dan kebahagiaan dalam dirimu.
Semoga kamu belajar mengenali dan melihat sumber-sumber kemarahan, keserakahan, dan delusi dalam dirimu.

Semoga kamu tahu bagaimana cara merawat benih-benih sukacita dalam dirimu setiap hari.
Semoga kamu menjalani hidup dengan semangat baru, solid dan bebas.
Semoga kamu bebas dari kemelekatan dan kebencian, tetapi bukan acuh tak acuh.

Take Less Than Needed

Take Less Than Needed
Sarapan formal di Plum Village Thailand

Kehidupan sehari-hari sebagai seorang ibu yang bekerja penuh waktu sangat menguras waktu dan tenaga menjadi tantangan untuk berlatih dan membina batin. Kita perlu mencari cara agar bisa terus berlatih didalam setiap kegiatan kehidupan sehari hari.

Salah satu kegiatan yang pasti kita lakukan adalah makan. Sering kali kita makan begitu saja seakan akan hanya mencekoki mulut agar merasa kenyang ataupun kita makan untuk mengejar nikmat senikmatnya makanan itu. Jadi, makan bisa menjadi satu kesempatan latihan dalam membina, memantau, dan refleksi diri.

Latihan dalam proses makan dapat berbagai cara tergantung kondisi dan kebutuhan batin masing masing. Latihan makan yang saya lakukan berupa pola makan vegetarian, makan seperlunya hanya dua kali yaitu sarapan dan makan siang (makan malam hanya bila benar merasa lapar), tidak memilih makanan yang dihidangkan (hanya memakan apa yang disajikan tanpa memilih), tidak memakan camilan dan tentunya makan yang berkesadaran.

Praktik makan berkesadaran yang saya lakukan membawa manfaat dalam batin saya. Pola makan vegetarian memupuk benih metta dalam batin karena hanya makan makanan bukan dari hasil penderitaan mahluk lain yg dibunuh, dan tidak mengambil kebahagiaan mahluk lain untuk kebahagiaan kita.

Pola makan yang hanya dua kali berupa makan pagi dan siang, makan malam hanya bila badan benar merasa lapar, membantu latihan dalam meningkatkan kesadaran akan tanda-tanda kebutuhan. Apakah memang badan yang butuh atau pikiran yang merasa butuh.

Melatih untuk merasakan kecukupan sesuatu, apakah makan siang sudah cukup untuk hari menyediakan tenaga hingga malam hari. Proses makan saya juga berupa makan apa apa adanya sesuai yang dihidangkan, hal ini meningkatkan rasa penerimaan terhadap sesuatu apa adanya, meningkatkan rasa bersyukur karena ada makanan yang bisa mengenyangkan dan menutrisi diri.

Makan yang berkesadaran adalah proses makan tanpa distraksi. Saya merasa ini salah satu bentuk meditasi karena objeknya adalah makanan dan proses makannya. Pada proses makannya saya memantau gerak gerik pikiran saya ketika makan. Saya menyadari betapa pikiran akan selalu berusaha untuk melarikan diri dari objek makanan bila makanan rasanya terlalu kuat atau aneh atau teksturnya kurang disukai.

Ketika lapar, pikiran menjadi obsesif dengan makanannya dan bermanifestasi sebagai impuls untuk makan dengan lebih terburu-buru. Saya juga melihat perbedaan bila mengunyah dan memegang sendok bersamaan; dengan mengunyah tapi sendok diletak. Bila sendok dipegang, ada muncul impuls dan keterburu-buruan untuk mengambil makanan berikutnya dan juga bila tangan ada sendok makan fokus ke objek makanan di mulut menjadi melemah. Sebaliknya bila sendok diletakkan maka akan lebih mudah fokus dan juga terasa relaks.

Di saat makan, saya mengingatkan diri bahwa makan adalah untuk menutrisi diri dan melanjutkan kehidupan; makan bukan sebagai pemuasan kesenangan diri. Hal ini membantu diri untuk mengurangi rasa rakus akan makanan. Tentunya hal ini juga akan memberi bonus kepada berat badan yang terjaga.

Disaat saya berkesempatan mengikuti retret di Plum Village Thailand, ada yang saya pelajari dan pahami di saat mengantri mengambil makanan. Pada saat masuk ke ruang penyajian makanan, dan mengantri, saya belajar merasakan berapa banyak kebutuhan badan, sebanyak apa makanan yang saya perlukan untuk beberapa jam kedepan sebelum jam makan berikutnya.

Kemudian disaat mengambil makanan, saya mengingat bahwa ada banyak orang yang sama sama butuh makan, jadi sebaiknya mengambil lebih sedikit dari yang saya rasa saya butuh (take less than needed), agar makanan bisa cukup untuk semua. Sedikit lapar tidak apa apa. Hal ini bukan hanya melatih rasa sadar akan kebutuhan diri, namun juga melatih rasa empati kepada yang lain dan melatih kesabaran diri dan kerelaan sedikit menderita (bila lapar karena makan terlalu sedikit) demi bisa berbahagia bersama.

Saya harus mengakui bahwa perjalanan latihan tidak selalu mulus dan tidak mungkin sempurna. Saya kadang-kadang mendapati diri kalah dengan impuls pikiran. Bagaimana membedakan suatu impuls benar dari badan atau dari pikiran adalah tidak mudah. Apalagi impuls demikian sudah sangat lama kita ikuti sebelumnya.

Rasa lapar, apakah itu lapar dari kebutuhan badan atau dari pikiran yang ingin makan. Bagaimana melihat dengan jernih terhadap apa yang sesungguhnya. Ini semua membutuhkan latihan. Latihan membutuhkan komitmen dan disiplin. Walaupun hal ini tidak mudah dan sulit untuk sempurna, namun saya selalu ingat nasihat bhante, “Don’t try to be perfect, just do your best. It is enough.”  (Dewi S)

Happy eating, happy practising.

Menyambut Keluarga Penahbisan Jeruk Bali

Menyambut Keluarga Penahbisan Jeruk Bali
Foto di gerbang Biara

Musim dingin di Hue, para murid-murid dari mendiang Master Zen Thích Nhất Hạnh yang akrab disapa Thầy, berduyun-duyun kembali ke Biara Từ Hiếu di Huế untuk menghadiri seremoni mengenang mendiang Master Zen yang ke-3. Tahun ini ada sekitar 258 monastik (biksu, biksuni, sramanera, dan sramaneri) berkumpul dalam kekeluargaan selama 10 hari untuk menghadirkan kekuatan kesadaran penuh kolektif bersama para sahabat awam.

Aroma wangi Bukit Dương Xuân menemani empat lapis komunias berkumpul di Aula Meditasi Hương Cau pada 12 Januari 2025, di Biara Diệu Trạm untuk memberikan dukungan kepada para anak muda yang akan menerima penahbisan novis (sramanera-sramaneri).

Nama Dharma mereka adalah Chân Hương Hạnh, Chân Nhất Tính, Chân Thiền Hạnh, Chân Nguyên Hạnh, Chân Nghiêm Hạnh, Chân Nhã Hạnh, Chân Đan Hạnh, Chân Lưu Hạnh, Chân Khai Hạnh, Chân Văn Hạnh, Chân Nhất Tạng, Chân Thư Hạnh, Chân Nhất Chí, Chân Nhất Bản, Chân Bổn Hạnh, Chân Giác Hạnh, Chân Nhất Đẳng, Chân Nhất Đế, Chân Mẫn Hạnh, Chân Khiết Hạnh và Chân Nhất Hoa.

Anggota monastik bagai taman bunga, dari waktu ke waktu bertunas dan tumbuh berkembang adalah kabar baik dan kado terbesar yang bisa dipersembahkan kepada mendiang Thầy, jika beliau melihat ini, kami yakin beliau akan tersenyum, karena ada generasi penerus monastik yang melanjutkan tugas mulia untuk menyemai, dan meneruskan Dharma sejati.

Benih-benih bodhi tersebut telah melewati banyak rintangan untuk dapat disemaikan dalam tanah spiritual. Setelah disirami dan dirawat oleh Sangha, kini mereka tumbuh dengan indah sebagai keluarga “Pohon Thanh Trà”.

Thanh Trà adalah nama buah jeruk khas dari Kota Huế, nama latinnya adalah Citrus Grandis, atau di Indonesia dikenal dengan nama Jeruk Bali. Pohon Thanh Trà tumbuh dalam kondisi cuaca yang keras, seperti kekeringan, hujan lebat, dan badai, tetapi berkat aliran air sejuk dari Sungai Hương, pohon-pohon ini mampu menghasilkan buah yang manis.

Setiap kali penahbisan di Plum Village selalu dalam jumlah banyak, oleh karena itu mereka dikelompokkan dalam satu keluarga penahbisan. Pada penahbisan kali ini, nama keluarga penahbisannya adalah Jeruk Bali.

Dalam momen sakral ini, ketika para aspiran (calon monastik) dengan penuh keyakinan berlindung kepada Triratna (Tiga Permata), kehidupan selibat pun telah dimulai. Air mata berlinang, dan semua kekhawatiran dilepaskan. Dengan Empat Sujud Syukur, bersyukur kepada orang tua yang telah melahirkan dan merawat kami, kepada para guru dan teman yang menemani perjalanan ini, serta kepada tumbuhan, batu, dan semua makhluk yang menopang kehidupan.

Sebelum upacara ini, dalam acara pengucapan syukur, para aspiran memiliki kesempatan untuk berbagi rasa dan bersujud di hadapan orang tua mereka, mengungkapkan terima kasih atas kasih sayang dan perlindungan yang telah diberikan. Pelukan hangat dari keluarga menjadi sumber kekuatan bagi para aspiran untuk melangkah mantap di jalan yang telah mereka pilih ini.

Dengan dukungan dari keluarga dan keyakinan atas komunitas spiritual, para aspiran dengan sukacita mempersembahkan bunga hati mereka dalam seremoni permohonan untuk ditahbiskan, bertekad untuk membawa pengertian mendalam dan cinta kasih guna memperindah dunia ini.

Semoga para monastik baru juga demikian. Ketika menghadapi kesulitan dan tantangan, ingatlah untuk selalu membuka hati agar aliran cinta kasih dapat masuk, menyembuhkan, dan memberi nutrisi. Pada waktunya, kedamaian dan pemahaman akan menjadi buah manis yang dapat mereka persembahkan kepada tanah air dan dunia.

Dalam pelukan Sangha, para monastik baru telah tiba di tempat yang damai. Senyum dan kebahagiaan terpancar di wajah mereka, ketika mereka berdiri di hadapan komunitas dan secara resmi menyapa komunitas dalam acara Be-in (Kegiatan duduk dalam bentuk lingkarang untuk berbagi).

Jalan baru telah terbuka, dan semangat bodhi para monastik pemula pun semakin terbuka. Tidak berharap kondisi selalu sempurna, tetapi semoga para monastik baru memiliki keteguhan hati untuk membangun Sangha setiap hari dan membawa kebahagiaan bagi dunia.

Jaket Coklat

Jaket Coklat

Pada retret musim panas di Plum Village, ada beberapa peserta retret komplen, “Ada umat awam yang telah menerima 14 Latihan Sadar Penuh mereka mengenakan jaket coklat sangat sombong memamerkan jaketnya. Mereka berlagak seolah-olah dirinya lebih tinggi derajatnya daripada praktisi biasa.”

Mereka melaporkan kepada saya (Thầy): “Kita semua adalah muridmu, kita berlatih bersama, kita berlatih saling mengasihi antara sesame. Lalu, mengapa ada orang yang mengenakan jaket coklat, mereka berlagak seolah-olah derajatnya lebih tinggi daripada kami yang tidak mengenakan jaket coklat. Mengapa mereka begitu sombong dan meremehkan kami?” Berlagak seperti itu artinya mengenakan jaket coklat justru membuat praktik mereka lebih rendah daripada sebelumnya.

Pada hari itu, waktu wejangan Dharma, di hadapan 500an peserta retret saya menyampaikan, “Ketika seseorang mengenakan jaket coklat, maka Anda wajib membangkitkan welas asih. Praktik paling penting adalah rendah hati (tidak sombong), setiap kali mengenakan jaket coklat artinya adalah setiap kali berlatih rendah hati semakin dalam.

Namun, apabila ada orang yang belum benar-benar praktik rendah hati denga baik, itu artinya latihannya masih kurang bagus, berarti dia harus lebih rajin lagi. Oleh karena itu, kita butuh dukungan dari sanggha (komunitas latihan), agar kita bisa menguasai latihan rendah hati lebih baik lagi sebagai makna warna coklat adalah warna rendah hati.

Warna coklat dalam budaya Vietnam adalah warna “miskin” yang dikenakan oleh para petani. Jika para monastik mengenakan jubah berwarna coklat, ketika jubahnya menjadi kotor maka tidak terlalu kelihatan. Kotoran di atas jubah warna coklat tidak mudah terlihat, jadi Anda tidak perlu menggunakan terlalu banyak sabun untuk mencucinya.

Seorang monastik mengenakan jubah coklat karena ingin mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang monastik yang rendah hati. Oleh karena itu, dalam tradisi ini, mereka yang mengenakan jubah atau jaket coklat, apakah itu monastik atau praktisi awam, mereka semua wajib berlatih rendah hati.

Lalu mengapa ada kalanya mereka tidak begitu rendah hati? Karena latihan mereka masih lemah, mereka butuh waktu untuk berlatih lagi, komunitas perlu merangkul, memaafkan, kemudian mendukung latihan mereka agar lebih baik lagi.”

Setelah saya menyampaikan nasihat demikian, para praktisi awam yang jengkel dengan mereka yang mengenakan jaket coklat menjadi lebih tenang dan bisa menerima. Mereka yang mengenakan jaket coklat, para anggota Ordo Interbeing juga mendapatkan kesempatan untuk mengerti lebih dalam bahwa jaket coklat adalah kesempatan bagi dirinya untuk berlatih semakin rendah hati lebih sering lagi.

Dikutip dari buku “The Admonitions and Encouraging Words of Master Guishan” oleh Master Zen Thich Nhat Hanh

Kata Hati

Kata Hati

Dalam perjalanan hidup, kita sering kali dihadapkan pada situasi yang membingungkan. Pada situasi itu kita harus memutuskan dan memilih, apakah itu mengadapi tantangan, mengambil kesempatan ataupun menentukan sikap. Dalam kebimbangan seperti itu, kita sering mendengar nasihat: Ikuti kata hatimu.

Menurut pendapat saya, kata hati adalah intuisi—kemampuan untuk mengambil keputusan atau menentukan sikap berdasarkan pengalaman, pengetahuan, pemahaman, atau informasi yang pernah diterima, serta perasaan dominan yang ada di dalam diri kita.

Apakah KATA HATI selalu menuntun kita pada sebuah keputusan atau sikap yang benar dan bermanfaat ?

Saya tidak sepenuhnya mengandalkan kata hati dalam pengambilan keputusan atau sikap tanpa menimbang, menganalisis, serta mengenali perasaan dominan yang meliputi cinta, benci, dendam, iri hati, emosi, ketakutan, kecemasan, prasangka, asumsi, atau pengalaman buruk.

Untuk memutuskan sebuah tindakan maupun bersikap, baik dalam mengambil atau melepaskan kesempatan saat menghadapi tantangan—saya memberi waktu pada diri sendiri untuk tenang dan tidak terburu-buru. Kondisi batin yang tenang dan jernih, yang terbebas dari lobha, dosa, dan moha dan penuh kesadaran akan memungkinkan saya menggabungkan pengalaman dan pengetahuan dengan logika, kepekaan emosional, serta evaluasi yang matang. Kenali perasaan diri, pikirkan dampaknya, dan evaluasi setiap pilihan dengan bijak sebelum bertindak.

Semua orang mempunyai kemampuan untuk memutuskan segala sesuatu dengan kata hati, akan tetapi tidak semua orang dapat melakukannya.

Ada waktunya, saya menjalani hidup dengan mengambil keputusan atau sikap yang sering berlawanan dengan kata hati. Mengapa demikian? Karena adanya keraguan dan ketakutan, serta pengaruh eksternal seperti bisikan orang lain, perbedaan logika rasional, norma sosial, tekanan lingkungan, dan etika yang harus dijaga dalam kehidupan bermasyarakat.

Apakah keputusan yang berlawanan dengan kata hati selalu membawa dampak buruk? Ataukah justru mengikuti kata hati memberikan manfaat yang lebih baik bagi saya dan lingkungan sekitar?

Yang terpenting dalam mengambil keputusan, sikap, dan tindakan adalah menjaga keseimbangan. Saya sendiri perlu menjernihkan pikiran dan menenangkan hati agar kata hati dapat terdengar dan di sisi lainnya juga melakukan analisis, menimbang dengan logika serta fakta dengan tetap berpedoman pada prinsip menjaga norma sosial dan etika di masyarakat agar tidak merugikan orang lain atau masyarakat di sekitar.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda lebih sering mengikuti kata hati, atau justru sering mengabaikannya? (Oleh: svd)

Relaksasi Mendalam

Relaksasi Mendalam

Berbaringlah dengan nyaman di atas matras atau lantai. Anda boleh menggunakan selimut untuk menjaga kehangatan tubuh. Tutuplah mata. Izinkan kedua tangan dan kaki relaks.

Sambil bernapas masuk dan keluar, Anda bisa merasakan kontak badan dengan lantai, dari tumit, bagian kaki, bokong, punggung, tangan dan lengan, dan bagian belakang kepala.

Setiap napas membuat Anda bersatu dengan lantai, lepaskanlah semua keteganggan, letakkan semua kekhawatiran, tidak perlu melekat pada apa pun.

Bernapas masuk, Anda bisa merasakan perut Anda mengembang, bernapas keluar Anda bisa merasakan perut Anda mengempis, rasakan kembang dan kempis perut. Untuk beberapa napas berikutnya, Anda memperhatikan kembang dan kempis perut.

[Hening sejenak]

[Kaki]

Bernapas masuk, saya menyadari kaki,
Bernapas keluar, saya izinkan kaki relaks.

Bernapas masuk, saya kirimkan cinta kasih kepada kaki,
Bernapas keluar, saya tersenyum kepada kaki.

Sambil bernapas masuk dan keluar, saya menyadari sungguh beruntung memiliki kaki yang sehat, bisa berjalan, berlari, berolah-raga, menari, mengendarai mobil, dan melakukan banyak kegiatan sepanjang hari. Marilah kita kirimkan rasa syukur kepada kaki yang selalu menemani kita selama ini.

Bernapas masuk, saya menyadari kaki kanan dan kaki kiri,
Bernapas keluar, saya mengizinkan semua sel-sel dalam kaki untuk relaks.

Bernapas masuk, saya tersenyum kepada kaki.
Bernapas keluar, saya kirimkan kasih sayang kepada kaki.

Mari kita mengapresiasi kesehatan kaki kita pada saat ini. Sambil bernapas masuk dan keluar, kita mengirimkan energi kelembutan dan perhatian kepada kaki. Izinkanlah kedua kaki untuk istirahat, bersatu sepenuhnya dengan lantai. Lepaskan semua tensi yang ada dalam kaki.

[Tangan]

Bernapas masuk, saya menyadari kedua belah tangan bersentuhan dengan lantai,
Bernapas keluar, saya merelakskan semua otot dan melepaskan semua tensi tangan sepenuhnya.

Sambil bernapas masuk dan keluar, kita mengapresiasi betapa beruntungnya punya dua tangan sehat. Sambil bernapas keluar, kirimkan senyum kasih saying kepada tangan.

Bernapas masuk dan keluar menyadari banyak hal yang bisa dilakukan oleh tangan, seperti: memasak, menulis, menyetir, menggandengan tangan seseorang, menggendong bayi, mandi, melukis, memainkan alat musik, memperbaiki dan membangun rumah, membelai binatang, memegang secangkir teh.

Ternyata tangan saya bisa melakukan begitu banyak hal. Marilah kita bersyukur bahwa tangan kita masih sehat, marilah kita mengizinkan semua sel-sel dalam tangan untuk istirahat.

[Lengan]

Bernapas masuk, saya menyadari kedua belah lengan,
Bernapas keluar, saya mengizinkan kedua belah lengan untuk relaks.

Bernapas masuk, saya mengirimkan kasih sayang kepada lengan,
Bernapas keluar, saya tersenyum kepada lengan.

Luangkan waktu untuk mengapresiasi lengan, menyadari bahwa lengan sedang dalam kondisi sehat dan kuat. Marilah kita mengirimkan rasa syukur karena lengan bisa merangkul seseorang, bermain ayunan, membantu dan melayani orang lain, bekerja membersihkan rumah, memotong rumput, lengan memungkinkan semua pekerjaan sepanjang hari.

Sambil bernapas masuk dan keluar, izinkan kedua lengan melepaskan tensi dan beristirahat sepenuhnya di atas lantai. Anda bisa merasakan tensi mulai mengalir keluar dari lengan. Mari kita peluk lengan dengan penuh kesadaran, rasakan sukacita dan kelegaan dalam setiap bagian lengan.

[Bahu]

Bernapas masuk, saya menyadari kedua bahu,
Bernapas keluar, saya mengizinkan semua tensi di bahu untuk mengalir ke lantai.

Bernapas masuk, saya mengirimkan kasih saying kepada kedua bahu,
Beernapas keluar, saya tersenyum dengan penuh rasa syukur kepada bahu.

Sambil bernapas masuk dan keluar, kita menyadari bahwa ada banyak tensi dan stress bertumpuk di kedua bahu. Melalui setiap embusan napas, saya izinkan tensi mengalir keluar dari bahu, merasakan bahu mulai menjadi relaks dan semakin relaks.

Marilah kita mengirimkan energi kelembutan dan perhatian, mengetahui bahwa sesungguhnya saya juga tidak ingin membebani kedua bahu, saya ingin hidup sedemikian rupa agar bahu saya bisa relaks dan merasa lega.

[Jantung]

Bernapas masuk, saya menyadari jantung,
Bernapas keluar, saya mengizinkan jantung untuk istirahat.

Bernapas masuk, saya mengirimkan kasih sayang kepada jantung,
Bernapas keluar, saya tersenyum kepada jantung.

Sambil bernapas masuk dan keluar, saya menyadari bahwa jantung yang berdetak adalah suatu keajaiban. Jantung yang berdetak membuat saya tetap bisa hidup, jantung terus berdetak, setiap detik dan menit, setiap jam, dan setiap hari. Jantung tidak pernah berhenti semenjak kita dalam kandungan ibunda. Berkat jantung yang berdetak selama 24 jam maka, kita bisa hidup dan bisa melakukan banyak kegiatan.

Bernapas masuk, saya berjanji akan mencari cara hidup baik agar bisa membuat jantung berfungs dengan baik.

Bernapas keluar, saya bisa merasakan jantung saya sedang relaks dan semakin relaks. Izinkan semua sel di dalam jantung tersenyum, merasa lega dan bersukacita.

[Perut]

Bernapas masuk, saya menyadari perut dan usus,
Bernapas keluar, saya izinkan perut dan usus untuk relaks.

Bernapas masuk, saya mengirimkan cinta dan syukur kepada perut dan usus,
Bernapas keluar, saya tersenyum lembut kepada perut dan usus.

Sambil bernapas masuk, saya tahu betapa pentingnya kesehatan perut dan usus. Berikanlah mereka kesempatan untuk istirahat sepenuhnya.

Setiap hari perut mencerna dan menyerap makanan, memberikan kita energi dan kekuatan. Kita perlu mengenali dan mengapresiasi perut. Sambil bernapas masuk, rasakan perut dan usus dalam kondisi relaks dan melepaskan semua keteganggan. Sambil bernapas keluar, senyum kepada perut dan usus.

[Mata]

Bernapas masuk, saya menyadari dua mata saya,
Bernapas keluar, saya mengizinkan mata beserta semua otot-otot disekitarnya untuk relaks.

Bernapas masuk, saya tersenyum kepada mata,
Bernapas keluar, saya mengirimkan kasih sayang kepada mata.

Izinkanlah mata Anda instirahat sepenuhnya, biarkan mata tenggelam ke dalam. Sambil bernapas masuk dan keluar, mari kita menyadari betapa pentingnya mata kita.

Mata kita bisa digunakan untuk menatap orang lain, melihat matahari terbenam, membaca dan menulis, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, melihat burung berterbangan di angkasa, menonton film, begitu banyak hal yang bisa dilakukan berkat mata.

Marilah kita menggunakan waktu ini untuk menghargai mata, bahwa mata adalah hadiah terindah, izinkanlah mata untuk istirahat sepenuhnya.

[Anda bisa melanjutkan ke organ-organ lain, gunakanlah pola-pola di atas]

Sekarang, jika ada bagian dari tubuh Anda yang sakit, pergunakanlah momen ini untuk menyadarinya, kirimkanlah energi kasih sayang ke bagian yang sakit itu.

Bernapas masuk izinkan area yang sakit untuk istirahat,
Bernapas keluar tersenyum kepada area yang sakit itu dengan lembut dan kasih.

Sadarilah bahwa ada bagian-bagian lain dari tubuh kita yang masih kuat dan sehat. Izinkanlah area badan yang sehat ini mengirimkan energi penyembuhan kepada area tubuh yang sakit tersebut.

Anda merasakan bahwa mendapatkan dukungan, kiriman energi, dan kasih sayang yang diterima oleh bagian tubuh yang sakit itu.

Bernapas masuk, yakinkanlah bahwa dirimu memiliki kekuatan penyembuhan diri;
Bernapas keluar, lepaskan semua kekhawatiran, rasa takut yang menghalangi dirimu.

Bernapas masuk dan keluar, tersenym dengan penuh kasih sayang dan tegar kepada area tubuh yang sakit tersebut.

Bernapas masuk, saya menyadari seluruh tubuh yang sedang berbaring,
Bernapas keluar, saya menikmati sensasi seluruh tubuh yang sedang berbaring, sungguh relaks dan tenang.

Tersenyum kepada seluruh tubuh sembari bernapas masuk, dan kirimkan kasih sayang dan welas asih kepada seluruh tubuh sembari bernapas keluar.

Rasakan semua sel-sel dalam tubuh juga ikut berbahagia dan bersukacita bersamamu.

Rasakan Syukur kepada seluruh sel dalam tubuh.
Sekarang, Anda boleh mengembalikan perhatian kepada naik dan turun perut.

[Jika Anda sedang memandu orang lain, jika Anda merasa nyaman, maka boleh menyanyikan beberapa lagu yang memberikan kesan menenangkan]

Ini adalah akhir dari sesi relaksasi, Anda boleh membuka maka. Anda tetap dalam posisi berbaring, tidak perlu terburu-buru. Silakan menggerakkan bagian tangan dan kaki, lakukan dengan pelan dan penuh perhatian.

Setelah itu Anda boleh pelan-pelan bangkit dan duduk menikmati kesegaran pikiran dan badan jasmani.

Menyentuh Bumi

Menyentuh Bumi
Hands protect green earth globe. Save Earth Planet World Concept.

Judul dalam bahasa Vietnam: Địa xúc
Judul dalam bahasa Inggris: Earth Touching

Oleh Thich Nhat Hanh

Di sini ada kaki pohon.
Di sini sunyi dan sepi.
Di sini ada bantal.
Saudaraku, mengapa engkau tidak duduk?

Duduklah dengan tegak.
Duduklah dengan solid.
Duduklah dengan damai.
Jangan biarkan pikiran menyeretmu ke angkasa.
Duduklah sehingga engkau benar-benar dapat menyentuh Bumi
dan menyatu dengannya.

Engkau boleh tersenyum, saudaraku.
Bumi akan mentransmisikan keadaan soliditas,
Kedamaian, dan kebahagiaannya untukmu.
Dengan bernapas sadar sepenuhnya,
bersama senyummu yang damai,
engkau tetap teguh dalam mudra Menyentuh Bumi.

Ada saatnya engkau tidak melakukannya dengan baik.
Duduk di Bumi, tapi rasanya seperti melayang di angkasa,
engkau sudah terbiasa berputar-putar di tiga dunia
dan tenggelam dalam samudra ilusi.
Namun, Bumi selalu sabar
dan satu hati.
Bumi masih menunggumu
karena bumi sudah menunggumu
selama triliunan kehidupan terakhir.
Itulah sebabnya Dia sanggup menunggumu sampai kapan pun.
Dia tahu pada akhirnya engkau akan kembali kepadanya suatu hari nanti.
Dia akan menyambutmu
selalu segar dan hijau, persis seperti pertama kali,
karena cinta kasih tidak pernah bilang, “Inilah kali terakhir”;
karena Bumi adalah seorang ibu yang penyayang.
Dia tidak akan pernah berhenti menunggumu.

Kembalilah kepadanya, wahai saudaraku.
Engkau akan seperti pohon itu.
Daun, ranting, dan bunga jiwamu
akan segar dan hijau
setelah engkau memasuki mudra Menyentuh Bumi.

Jalan kosong menyambutmu, wahai saudariku,
harum oleh rerumputan dan bunga-bunga kecil,
jalan setapak yang dilapisi oleh pepadian
yang masih menyandang jejak masa kecilmu
dan harumnya tangan ibunda.
Berjalanlah dengan hati lega dan damai.
Kakimu akan menyentuh Bumi dengan mendalam.
Jangan biarkan pikiran menyeretmu ke angkasa, wahai saudariku.
Kembalilah ke jalan ini setiap momen.
Jalan ini adalah sahabat karibmu.
Ia akan mentransmisikan padamu
kekokohannya,
kedamaiannya.

Bersama napasmu yang dalam,
engkau tetap teguh dalam mudra Menyentuh Bumi.
Berjalanlah seakan-akan engkau mengecup Bumi dengan kakimu,
seolah-olah engkau sedang memijat Bumi.
Jejak yang ditinggalkan oleh kakimu
akan seperti segel kaisar
menyerukan Kini untuk kembali ke Sini;
agar kehidupan hadir;
sehingga darah akan menghadirkan warna cinta ke wajahmu;
agar keajaiban hidup dapat terwujud,
dan semua sengsara akan diubah menjadi
kedamaian dan sukacita.

Ada saatnya engkau tidak berhasil, wahai saudariku.
Berjalan di jalan yang kosong, tapi engkau melayang di udara,
karena engkau terbiasa tersesat dalam samsara
dan tersedot ke dalam dunia ilusi.
Namun jalan yang indah itu selalu sabar.
Ia selalu menunggumu untuk kembali,
jalan itu sangat familier bagimu,
jalan yang begitu setia.
Ia tahu betul bahwa engkau akan kembali suatu hari nanti.
Dia dengan senang hati menyambut engkau kembali.
Dia akan terasa segar dan indah seperti pertama kali.
Cinta tidak pernah bilang, “Inilah yang terakhir.”

Jalan itu adalah engkau, wahai saudariku.
Itu sebabnya dia tidak akan pernah lelah menunggu.
Meskipun sekarang tertutupi oleh debu merah
atau oleh daun musim gugur
atau salju es—
kembalilah ke jalanmu, wahai saudariku,
karena aku tahu
engkau akan seperti pohon itu,
daun, batang, dahan,
dan bunga jiwamu
akan segar dan cantik,
setelah engkau memasuki mudra Menyentuh Bumi.

Diterjemahkan oleh Rumini
(Diterbitkan oleh Parallax Press dengan judul “Call Me by My True Names” – Thich Nhat Hanh (1993))

Bertemu Musim Semi

Bertemu Musim Semi

Bertemu Musim Semi (Vn. Đi gặp mùa xuân) adalah buku yang menceritakan secara rinci tentang kehidupan Master Zen Thích Nhất Hạnh yang akrab disapa Thầy dalam bahasa Vietnam, artinya guru. Melalui buku ini, kita dapat melihat bahwa sejak kecil sudah ada aspirasi sangat besar dalam dalam hati Thầy untuk untuk belajar, berlatih, dan mengabdi untuk masyarakat. Melalui banyak pasang surut politik Vietnam dan Dharma, aspirasi tersebut tetap teguh dan telah membantu banyak orang mentransformasi penderitaan mereka dan menemukan kebahagiaan di saat ini.

Buku “Bertemu Musim Semi” (Đi Gặp Mùa Xuân), sementara ini hanya tersedia dalam bahasa Vietnam

Buku ini merupakan materi yang sangat berharga, tidak hanya untuk penelitian tetapi juga untuk praktik. Kita dapat membaca dan mengikuti jejak Thầy, lebih menghargai tanah air kita dan membuka hati kita, pikiran kasih (bodhicitta) memiliki kesempatan untuk tumbuh setiap hari dari jejak langkah guru spiritual kita. Thầy juga telah menjalani kehidupan sebagaimana manusia biasa layaknya banyak orang.

“Sebagian besar dedikasinya untuk berbagi dengan orang lain menunjukkan bagaimana hidup dengan penuh kesadaran (mindfulness) dan kasih sayang tidak hanya berkontribusi terhadap kedamaian batin, tetapi juga mencerminkan bagaimana setiap orang dapat menggunakan kesadaran penuh untuk membangun perdamaian di dunia. Master Zen Thích Nhất Hạnh menjalani kehidupan yang komplet dan bermakna. (Yang Mulia Dalai Lama).

Melalui buku ini, kita yakin bahwa kita akan memiliki kemampuan untuk menjadi penerus yang indah dari para leluhur pendahulu, sama seperti Thầy merupakan kelanjutan yang indah dari banyak generasi leluhur sebelumnya. (Diterjemahkan oleh Br. Pháp Tử dari Sách “Đi gặp mùa xuân”)

The Healing Island

The Healing Island

I am a seeker. Long ago, I realized that my physical needs were met a thousand times over shelter, safety from the elements, clean water, clothes, and nutrition. Yet, I felt a longing for connection and belonging that I struggled to satisfy in my own home and in the city of Angels, Los Angeles. I yearned to contribute and be the change I wanted to see in the world: peace in oneself, peace in the world, as our teacher Thich Nhat Hanh’s teaching with his own life: My life is my teaching.

Of all the books, workshops, seminars, and meditation retreats I attended from various people and organizations, I found myself repeatedly returning to Deer Park Monastery on a mountain in Escondido near San Diego. There, I practiced Zen meditation with monks, nuns, and lay practitioners like myself. I was drawn to the comforting feeling of simply being—without judgment, without mistakes. This wonderful sense of acceptance and belonging at Deer Park or Plum Village mindfulness events allowed me to easily connect with so-called strangers, some of whom organically and gradually became my lifelong friends, even now that I’ve moved across the ocean to Bali, the healing island of the gods.

In Los Angeles, I happily joined different organizing teams for sanghas and Plum Village events quite often, on and off, during my 13 years of practicing mindfulness. Working with mindful friends towards a common mission of serving others and bringing the pure teaching and life-changing path to those in need brought me great joy and happiness. My needs for connection and contribution were beautifully and meaningfully met. I also had opportunities to learn and grow, gaining insights from great mindful teachers (both monastics and lay practitioners) and practicing mindful breathing, deep looking, and loving speech, especially in challenging situations involving less mindful individuals, including myself 

Moving to Bali last year, I noticed that the Plum Village tradition here is not as established as in Southern California. Initially, I felt sad and missed the wonderful communities I had in the past. But, as with everything in life, it is not about the outer circumstances but how we perceive them—whether as a victim or as a learner eager to grow. So, I decided to step up and bring more mindfulness events to the expat community here, where I see a huge need despite the seemingly perpetual vacation lifestyle many of us lead.

I’m thankful for the chance to step up as the main organizer of two beautiful Days of Mindfulness so far. Each event brought a wonderful co-organizer (who hopefully will become a lifelong friend) and obstacles that were overcome beautifully, resulting in beneficial experiences for many friends, some of whom had never heard of Thay or knew how to walk mindfully before.

For the first Day of Mindfulness, monastics contacted my co-organizing friend out of the blue, announcing their visit to Bali (which doesn’t yet have a Plum Village monastery, though one is coming soon, much to my joy) just five days before the planned event. We quickly coordinated with Green School, changed the date, and had four beautiful nuns lead the entire event.

Reflecting on how mindfulness and the Plum Village tradition have shaped my last 15 years, I feel thankful and happy. The practice is extremely simple—just returning to our breath, which even a child can do naturally and unconsciously. Yet, consistency is key and makes all the difference. As adults, we are now learning to breathe, walk, eat, listen, and talk all over again.

I love the pure teaching of Buddha as a philosophy of life. We measure our practice progress not by rigid, shallow, and egoic parameters like how often we sit, how much we know about Buddhist concepts, how little meat we eat, or how much charity work we do but by how compassionate we become towards ourselves and others, and how our lives harmonize with outer circumstances and those around us.

When I first encountered the practice in 2010, I was going through the toughest time of my life. Despite deep postpartum depression and years of physical, emotional, and relationship struggles, occasional visits to Deer Park recharged me every time, bringing me hope and much-needed self-belief. However, I lacked the consistency to bring mindfulness into my daily life.

Now, 15 years later, I realize the ultimate power of giving. To me, GIVING means:

  • Bring mindfulness to those ready to learn and practice it consistently,
  • Offering discounts and accepting full refunds in my mental health practice,
  • I deeply listen to my wounded inner child, my partner, and my daughter, understand the emotions and needs behind our words and actions, and respond with acceptance and clarity.

We cannot give without receiving. It is a universal law, like breathing out and in. Since intentionally centering myself on giving, I have received more and more in beautiful natural ways—physically, emotionally, financially, and in my relationships. Living my dream healer life in Bali is another manifestation of this giving philosophy that I am slowly bringing into reality in my daily life.

Living this intentional life of giving and the three right livelihoods I chose, mindfulness is invaluable. It is the energy we cultivate consistently in our daily lives through rituals of mindful teeth brushing, walking, dishwashing, sitting meditation, and even arguing or any other daily rituals that speak to oneself). So, when triggering moments arise, we have the light of mindfulness and awareness to illuminate the darkest corners of our unpresent, autopilot states of being.

Stay tuned for more Days of Mindfulness events! The next one is on August 10 from 9 AM to 1 PM in Canggu, Bali. And another one at the end of August at Green School Bali. (Kim Dang)