Betapa udara bersih sangat berharga, ini baru saya sadari ketika udara di sekitar bikin sesak napas. Tak hanya itu, bahkan rumah pun penuh asap, bernapas serasa begitu memberatkan, dada terasa sakit, dan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) melanda.
Di tengah-tengah musibah asap, saat saya berkesempatan keluar dari kota yang berasap ini. Saya pun bisa menghirup udara Jakarta sangat saya syukuri, padahal udara Jakarta sebenarnya juga sudah cukup terpolusi, tapi jauh lebih baik dibandingkan dengan udara di Jambi, pada saat ini.
Lupa Bersyukur
Hal ini menyadarkan saya bahwa saya sering lupa bersyukur dengan sesuatu yang biasa berada sangat dekat, memberiku hidup yang baik, semua itu adalah udara yang bersih, hujan, air bersih, sinar matahari dan masih banyak lagi.
Saat udara bersih (biasa) kita lupa mensyukuri untuk udara bersih yang kita hirup dengan bebas setiap saat. Saat hujan terlalu sering, kita mengeluh karena kehujanan, banjir. Memboroskan air bersih yang tinggal mengalir saat keran dibuka. Sinar matahari yang terik, menjadi keluhan. Padahal tanaman, sayur yang kita makan, bila tanpa sinar matahari tidak akan bisa berfotosintesis, tidak bisa tumbuh besar.
Saat bencana kebakaran hutan dan lahan melanda, bahkan untuk bernapas saja susah, bau asap yang menusuk hidung, menyesakkan paru-paru, membuat kerongkongan menjadi kering, mata perih, seperti ikan yang diangkat keluar dari air, megap-megap. Betapa udara bersih sangat berharga.
Berharap Awan dan Angin
Ketika berharap turun hujan, mengapa tidak ada yang mengusahakan hujan buatan? Untuk membuat hujan buatan juga tidak hanya serta merta cukup dengan menggunakan bahan-bahan kimia, tapi juga dibutuhkan faktor alam yang mendukung, yaitu adanya kumpulan awan yang cukup.
Ya awan, awan sangat dibutuhkan kala “musim” asap begini. Walau awan bisa datang dan pergi sesuka-sukanya, tapi di saat begini, semua orang berharap awan bisa berkumpul di tempat di mana sumber kebakaran terjadi, sehingga hujan buatan bisa diwujudkan. Syukur-syukur bisa hujan secara alami.
Kemana perginya air? Mengapa awan tidak terkumpul? Kumpulan titik-titik air ini yang terbentuk menjadi awan, sangat dinanti-nantikan kehadirannya. Kadang kala, angin meniupnya menjadi tersebar kemana-mana, usaha mewujudkan hujan buatan pun gagal.
Ya angin, udara, awan, sinar matahari, semua itu dibutuhkan pada saat yang tepat, untuk berdaya guna bagi kehidupan kita. Karena ketidakpedulian, Kita merusaknya, atau tidak peduli mau tercemar atau tidak, membakar lahan berimbas kebakaran hutan, buang sampah sembarangan menyebabkan selokan tersumbat dan banjir, dan lain sebagainya tindakan-tindakan yang dapat merusak alam.
Tapi setelah menghadapi udara yang berasap, sesak napas, sudahkah disadari bahwa masa depan yang akan datang, lingkungan tempat kita tinggal ini, akan menjadi seperti apa, bila kita tidak peduli, tidak menjaganya mulai dari sekarang.
Manusia Awan
Manusia juga ada yang seperti awan dan angin. Awan datang dan pergi, saatnya datang maka berkumpulah seperti layaknya orang yang telah berjanji, kumpul bersama lalu munculah ide dan kegiatan. Bagaimana dengan angin? Angin dibutuhkan untuk membawa awan berkumpul juga membawa awan menjadi buyar.
Sifat angin memang susah ditebak, kita tidak bisa memerintah angin untuk tidak datang dalam bentuk badai atau angin kencang yang bisa memporak-porandakan segala sesuatu. Kita hanya bisa mempersiapkan diri kita untuk menghadapi angin kencang dengan berlindung dalam bangunan yang kokoh atau menghindarinya.
Dengan belajar mindfulness saya jadi mengerti dan mensyukuri ada udara bersih yang saya hirup setiap saat. Ada awan yang bisa menurunkan hujan kala asap begitu pekat hingga menyesakkan dada, ada angin yang walau tak tentu arah, tapi berkat angin, awan bisa berkumpul.
Ada orang yang kita harapkan kehadirannya, namun orang tersebut masih seperti awan, terlalu sulit ditebak kehadirannya. Berharap ada orang yang seperti angin yang meniupkannya untuk hadir pada saat yang tepat. Namun angin (orang itu) juga sulit ditebak akan bertiup ke arah sini atau sana, atau malah menjauh.
Hanya perlu memahami, lalu ya sudah, demikianlah adanya. jengkel, gondok, atau marah mungkin di awal-awal ada, tapi berfokus pada tujuan sambil napas masuk napas keluar, akan mentranformasikan perasaan negatif tersebut menjadi bunga sukacita setelah semua kesulitan bisa dilalui.
ELYSANTY (True Peaceful Sound), anggota Ordo Interbeing dan sukarelawan praktik mindfulness dari Jambi