Kota New York memasang papan tanda jalan untuk menghormati biksu berpengaruh, Thích Nhất Hạnh

NEW YORK (RNS) — Puluhan biksu dan umat awam berkumpul bersama di sudut jalan Upper West Side yang ramai pada hari yang dingin dan hujan untuk menyaksikan pemasangan papan tanda jalan baru yang bersejarah untuk menghormati pemimpin spiritual mereka, Jumat (11 April).
Thích Nhất Hạnh Way, yang terletak di sudut jalan Broadway dan West 109th, secara simbolis diberi nama untuk menghormati biksu Vietnam yang berpengaruh, yang meninggal pada usia 95 tahun pada tahun 2022.
“Warga New York tidak selalu dikenal sebagai orang yang cinta damai,” kata Anggota Dewan Kota New York Shaun Abreu kepada kerumunan biksu berjubah dan penduduk kota berjaket. “Kita hidup dalam kebisingan dan tekanan. Namun, Thích Nhất Hạnh menyampaikan pesan untuk orang-orang seperti kita. Beliau tahu bahwa kita tidak dapat membangun dunia yang lebih baik jika kita terus-menerus marah, atau jika kita melupakan kemanusiaan satu sama lain. Dengan mencantumkan namanya di sini, kita menciptakan momen jeda dan napas.”
Guru Zen, yang dianggap sebagai bapak mindfulness, tinggal di blok yang sama pada awal tahun 1960-an, saat ia mempelajari agama komparatif (comparative religion) dan mengajar agama Buddha di Union Theological Seminary dan Universitas Columbia di dekatnya.
Hạnh diasingkan dari negara asalnya karena penentangannya terhadap Perang Vietnam dan penolakannya untuk memihak. Pada tahun 1967, setelah bertemu dengan aktivis perdamaian, Martin Luther King Jr. menominasikan Hạnh untuk mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian. Hạnh juga menerbitkan buku, meditasi, dan puisi yang ditujukan kepada orang-orang dari segala usia dan latar belakang.
Penamaan jalan, kata para pengikutnya, adalah salah satu cara untuk menghormati pengaruh Hạnh, yang biasa dipanggil Thay, pada komunitas mindfulness di Timur dan Barat.

Kerumunan orang, yang sebagian besar merupakan komunitas Plum Village, menciptakan keheningan yang tenteram di acara tersebut — kontras dengan alarm mobil dan sirene polisi di pagi hari yang biasa — dengan menggunakan isyarat bertepuk tangan versi American Sign Language yang mereka sebut “mempersembahkan bunga mereka.” Para biksu dari beberapa biara Thay, termasuk Deer Park di California dan biara Blue Cliff di utara New York, melakukan perjalanan untuk merayakan penamaan jalan tersebut, membacakan puisinya setelah mengambil beberapa napas mendalam bersama-sama.
Mengikuti jejak Thay, kelompok tersebut juga melakukan meditasi berjalan dari 109th Street ke biara Buddhis di 121st Street.
“Ajaran Thay mendorong (kita) untuk kembali pada napas kita, menemukan ketenangan di tengah kekacauan, dan menumbuhkan welas asih di hati kita,” kata Brother Pháp Không, seorang biksu dari Blue Cliff. “Praktik meditasi berjalan ini, di mana setiap langkah diambil dengan penuh kesadaran dan setiap napas adalah sama, mengingatkan kita bahwa kedamaian bukanlah tujuan yang jauh. Beliau menunjukkan kepada kita bahwa kedamaian dimulai dari diri kita sendiri.”
Brother Phap Luu, biksu non-Vietnam Amerika tertua dalam tradisi Plum Village, ditahbiskan sebagai samanera oleh Thay pada tahun 2003. Luu mengatakan bahwa ia menganggap dirinya termasuk generasi yang beruntung, bepergian sebagai seorang calon biksu muda bersama Thay ke seluruh dunia.

“Hampir bisa dikatakan kami terlahir kembali dari mulut guru,” ungkapnya kepada RNS.
Luu, yang pertama kali menemukan Plum Village ketika masih sebagai mahasiswa bahasa Inggris di Dartmouth College pada akhir tahun 1990-an, mengingat bagaimana rasanya saat dia melihat Thay untuk pertama kalinya pada tahun 2002.
“Kami berada di luar di amfiteater terbuka, dan tiba-tiba, Thay muncul begitu saja di tengah kerumunan biksu dan biksuni,” kata Luu. “Saya tidak melihat dari mana dia berasal. Sepertinya dia muncul begitu saja.”
“Kehadiran Thay di tengah sangha monastik itulah hakikat Thay. Anda tidak dapat melihatnya sebagai seorang individu, sebagai pribadi yang terpisah, melainkan sebagai kumpulan praktik kesadaran penuh kolektif yang telah ia hasilkan dari komunitas Buddhis di Vietnam, lalu diasingkan dan menciptakan kembali komunitas itu di sini, di Barat,” katanya.
Luu menghabiskan waktu bersama Thay dan murid-murid lainnya di Biara Deer Park pada tahun-tahun menjelang kematian pemimpin tersebut. Sesuai dengan tradisi Buddhis, kata Luu, Thay tidak menunjuk seorang penerus. Ia malah “melatih kami cara menggunakan tutur kata yang penuh kasih dan mendengarkan dengan saksama untuk memahami satu sama lain ketika terjadi kesalahpahaman, untuk membuka hati kami agar selalu bersedia berdamai, daripada menyimpan dendam di hati kami.”

Ajaran ini, kata pengikut lainnya, terutama relevan pada saat-saat perhitungan sosial dan perselisihan politik yang intens, seperti Perang Vietnam atau gerakan yang sedang berlangsung terkait perang di Gaza.
Jonathan Gold, seorang mahasiswa magister berusia 24 tahun di Manhattan School of Music di dekat sana, mengatakan bahwa ia menjadi “sangat tertarik” dengan ajaran Thay selama setahun terakhir. Dibesarkan sebagai penganut agama Yahudi, ia mempelajari ajaran Buddhis Zen mulai dari mempelajari musik sakral dan membaca buku-buku Thay. Gold mengatakan melalui buku-buku tersebut, ia menemukan “gerbang menuju kehidupan yang lebih penuh mengenai perubahan sosial.”
“Saya pikir inti dari segalanya adalah melalui setiap hari, setiap percakapan, setiap tindakan yang Anda ambil, yang berakar pada antikekerasan radikal, antikejahatan radikal,” kata Gold. “Setiap kali kita berdiskusi dengan orang lain atau berbicara dengan orang tua kita — itu hal yang penting — ubahlah bahasa yang kita gunakan sehingga kita melakukan pendekatan terhadap berbagai hal dengan welas asih dan pengertian, bukan dengan agresi atau permusuhan. Bahkan orang-orang yang kita pikir membenci kita, atau bahkan yang kita rasa benci, kapan kita dapat mengubahnya? Maka setiap masalah menjadi, ‘Bagaimana kita mendekati ini dengan damai dan penuh kasih sayang sebisa mungkin?’”
Dan sementara kaum muda mungkin secara umum menjauh dari agama institusional , bagi Fiona Falco yang berusia 15 tahun, ajaran Buddha membantu mengatasi tekanan sehari-hari sebagai remaja Amerika, mulai dari pertandingan bola voli hingga ujian besar.
“Ini menenangkan, dan menyenangkan melakukannya bersama ibu saya,” kata Falco, putri Elaina Cardo, seorang guru di Green Island Sangha Plum Village, Long Island, New York.
“Ajarannya sederhana,” kata Cardo, yang juga bekerja sama dengan program Wake Up Schools Plum Village, sebuah inisiatif untuk membawa praktik mindfulness ke sekolah dasar melalui para pendidik. “Tidak ada batasan waktu tertentu untuk mempraktikkannya, tetapi dalam segala hal yang Anda lakukan — baik saat makan maupun berjalan.”
Jean Aronstein, 76 tahun, menemukan ajaran meditasi Thay pada awal pandemi COVID-19. Aronstein mengatakan ajarannya sesuai dengan keyakinan Yahudinya — terutama “spiritualitas, ritual, konsistensi, dan cinta kasih kepada seluruh umat manusia.”
Aronstein, warga lama Upper West Side, mengatakan dia ingin sekali melihat papan tanda Thích Nhất Hạnh Way saat dia berjalan-jalan di lingkungannya. Sebuah ajaran yang paling dekat di hatinya, katanya, adalah: “Tanpa lumpur, tidak ada teratai. Ada penderitaan, tetapi ada keindahan, dan kita semua harus bersatu, (untuk) saling menjaga.” (Richa Karmarkar)
Diterjemahkan oleh Rumini dari sumber: https://religionnews.com/2025/04/11/new-york-city-unveils-thich-nhat-hanh-way/