Lahir Dengan Sendok Emas di Mulut

Lahir Dengan Sendok Emas di Mulut
@TeaHouse Plum Village Thailand (Nakorn Ratchasima)

Saya mulai menyadari kemampuan saya menangkap isi pembicaraan mulai menurun. Telinga saya kadang mendengarkan tapi seolah-olah tidak menangkap intinya. Reflek tubuh saya juga tampaknya mulai agak tumpul. Beberapa hal berikut ini mungkin mewakili apa yang saya rasakan.

Paling Bontot
Suatu kali dalam suatu seminar panjang. Demi membuat suasana semangat kembali maka ada sesi ice breaking, pemateri mengadakan tes bahan-bahan yang telah diajarkan melalui kahoot (games interaktif menggunakan gawai atau gadget).

Saya kesampingkan semua faktor seperti luas sudut pandang membaca layar, halangan kepala peserta yang ada di depan, jaringan internet yang lelet untuk memproses jawaban. Ternyata banyak pertanyaan yang tidak bisa saya jawab.

Sialnya, karena berbagai faktor-faktor eksternal dan faktor tambahan, saya berada di posisi paling bawah, tapi syukur bukang paling bontot, karena saya nomor dua dari bontot. Anda boleh senyum, bahkan ketawa juga boleh.

Pikiran Berkeliaran
Kasus tidak mendengarkan orang berbicara, di tengah diskusi seru. Saya sering mendapati diri saya tidak mendengarkan sehingga saat orang tersebut bertanya atau meminta konfirmasi, saya akan meminta orang tersebut mengulang pertanyaan dan memaksa pikiran saya fokus pada apa yang menjadi pertanyaannya. Ini tidak hanya terjadi satu kali.

Kondisi ini jauh dari ideal ketika di-counter balik dengan latihan berkesadaran yang secara periodik saya ikuti. Tidak menangkap isi pembicaraan artinya mungkin kecerdasan saya menurun karena pikun. Tidak mendengarkan orang lain berbicara artinya saya membiarkan pikiran berkeliaran kemana-mana.

Kabar baiknya adalah dengan akumulasi latihan, saya menyadari kemerosotan tersebut. Sebersit pengertian mendalam menyelinap, tubuh yang merapuh ini melapuk dengan sendirinya sekuat apa pun mencegah dan menghindari kelapukan tetap datang menghampiri. Tak bisa ditolak.

Jangan Menunggu
Sering kita mendengar kebanyakan orang mengatakan belajar agama dan berlatih menunggu masa-masa pensiun, saat waktu mengejar materi sudah terlampaui, ketika tabungan materi sudah terkumpul dengan segala usaha terbesar dan terbaik kita.

Pernahkan terpikirkan, saat tubuh hanya ditunjang oleh tulang yang keropos, saat otot-otot sudah tidak bisa kenyal walau dilatih dengan olah raga sekeras apa pun, bahkan hanya duduk saja, perlu ditunjang banyak bantalan?

Itu hanya duduk lho, bagaimana dengan pikiran? Seperti contoh di atas, untuk mendengar saja dibutuhkan usaha ekstra keras, bagaimana mungkin dengan mulus dia bisa diajak menghitung napas ketika dalam sesi meditasi duduk?

Perahu Tubuh
Beberapa waktu lalu, saya tergila-gila dengan beberapa jenis olah tubuh seperti qi gong, yoga dan taichi. Lalu tiba-tiba pergelangan tangan saya mendapat anamnesi terkena artritis hingga memerlukan suntikan steroid untuk menghilangkan sakit tanpa menyembuhkannya 100%,

Tangan ini perlu dirawat dengan kehati-hatian, kontan saja yoga saya hentikan sama sekali. Kerapuhan ini tentu saja menyedihkan, tidak terbayangkan berapa lama lagi tubuh ini mampu berperan sebagai perahu untuk saya menyebrang.

Berlatih adalah pilihan, tidak berlatih juga pilihan. Tanpa pencetus tidak ada orang yang akan datang sukarela berlatih. Seseorang yang terlahir dengan sendok emas di mulutnya, lahir seperti dewa dimana dengan hanya berkata (menyuruh) semua keinginannya hadir di hadapannya, kehidupannya bagai kehidupan para dewa yang selalu diundang ke pesta yang besar, meriah dan mewah.

Dorongan Latihan
Pencetus untuk berlatih diperlukan seperti halnya para makhluk-makhluk yang terlahir di alam dewa. Para dewa ini pada kehidupan sebelumnya banyak melaksanakan dana, sila dan perbuatan karma baik, sehingga bisa terlahir ke alam dewa.

Alam dewa juga tidak kekal. Suatu ketika mereka mengetahui karma baik mereka hampir habis maka para dewa akan menemui ajal dan terlahir kembali ke alam lebih rendah, mereka akan sangat menderita.

Kalaupun mereka terlahir ke alam manusia, kemungkinan besar tidak mendapat kondisi yang baik, karena mereka terlalu menikmati kemewahan, mereka tidak sempat mengembangkan batin dengan belajar dan melaksanakan Dharma. Saya yakin itu terjadi karena tidak adanya pencetus/dorongan untuk berlatih.

Akhir kata, kondisi tubuh yang merapuh ini adalah pencetus yang saya miliki saat ini, kesedihan yang menghampiri adalah perasaan yang sia-sia dan tidak perlu dipikirkan sehingga tidak bisa tidur, dinikmati saja, siapa tahu seiring latihan perkembangan batin menguat seperti halnya banyak guru besar.

*CHÂN MINH TUYỀN (真明泉) anggota Ordo Interbeing Indonesia, volunteer retret mindfulness, wanita karir, sekaligus adalah apoteker yang juga meraih gelar master di bidang manajemen pendidikan