Thich Nhat Hanh, Pengajar Kewawasan Telah Pulang ke Vietnam

Thich Nhat Hanh, Pengajar Kewawasan Telah Pulang ke Vietnam

Setelah Setengah Abad, Guru Perdamaian Pulang ke Vietnam

Ditulis oleh Richard C. Paddock untuk New York Times pada 16 Mei 2019

Thich Nhat Hanh menerima pengunjung di Vihara Tu Hieu di Hue, Vietnam, pada bulan Maret. Sumber: Pham untuk The New York Times

HUE, Vietnam — Biksu Buddha, Thich Nhat Hanh telah lama ditolak haknya untuk kembali ke tanah kelahirannya di Vietnam. Beliau telah tinggal di luar negeri lebih dari lima dekade, mengkampanyekan melawan perang dan mengajar praktik kewawasan (mindfulness).

Pendeta Dr. Martin Luther King Jr. menyebut beliau sebagai teman dan merekomendasikan beliau untuk menerima Penghargaan Nobel Perdamaian 1967. Beberapa tahun kemudian, para pemimpin perusahaan teknologi utama merangkul ajaran master Zen tersebut. Oprah Winfrey pun mewawancarai beliau. Presiden Barack Obama mengutip beliau selama kunjungannya ke Vietnam pada tahun 2016.

Kini setelah berusia 92 tahun dan menderita dampak strok berat, Thich Nhat Hanh diam-diam pulang ke rumah, ke kota Hue di pusat Vietnam untuk menjalani hari-hari terakhirnya di biara tempat dia menjadi novis (samanera) di usia 16 tahun.

“Pemerintah Vietnam Selatan yang telah mengasingkannya,” ucap Sister True Dedication, seorang murid biara dari Thich Nhat Hanh dan mantan jurnalis BBC. “Beliau telah berharap sejak lama untuk pulang.”

Thich Nhat Hanh telah melakukan sebagai mana banyak orang pada beberapa dekade belakangan ini untuk menyebarkan konsep kewawasan ke seluruh dunia. Ajaran beliau telah diadopsi di wilayah yang tidak biasanya seperti Silicon Valley, Bank Dunia, Kongres dan Tentara Amerika Serikat.

Vihara Tu Hieu adalah tempat Thich Nhat Hanh menjadi samanera pada usia 16 tahun. Sumber: Linh Pham untuk The New York Times

Sejak dia kembali ke Wihara Tu Hieu pada akhir Oktober, kehadiran Thich Nhat Hanh telah menarik ratusan pengikutnya yang terkadang menanti selama berhari-hari sambil berharap dapat melihat beliau sekilas didorong di kursi rodanya di sekitar lapangan tersebut.

Thich Nhat Hanh pernah fasih menggunakan tujuh bahasa, tetapi strok yang dideritanya pada tahun 2014 membuatnya lumpuh sebagian dan tak mampu bicara.

Pemerintah komunis Vietnam tidak memberikan komentar kepada publik atas kepulangan beliau, tetapi beberapa pejabat tinggi datang untuk bertemu secara pribadi dan memberikan hormatnya. Duta besar Amerika Serikat untuk Vietnam, Daniel Kritenbrink telah berkunjung setelah kepulangan beliau dan merasa terhormat bisa bertemu langsung dengan beliau.

Bulan lalu, sembilan senator Amerika Serikat mengunjungi Thich Nhat Hanh. Kemudian beberapa dari mereka memaparkan bahwa itu adalah pertemuan yang sangat emosional.

“Ini jauh melampaui pengalaman politik,” ucap Senator Patrick Leahy dari partai Vermont Democrat yang memimpin delegasi tersebut melalui telepon. “Ini merupakan pengalaman yang sangat religius.”

Senator lain dalam grup tersebut, Tom Udall dari partai New Mexico Democrat mengatakan bahwa dia berpartisipasi dalam lokakarya dengan Thich Nhat Hanh pada tahun 2003 sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sejak berpartisipasi tersebut, dia pun mulai melakukan meditasi setiap hari.

Thich Nhat Hanh dengan anak dari salah satu pengikutnya. Sumber: Linh Pham dari The New York Times

Salah satu ajaran yang dia anut adalah yang disebut Thich Nhat Hanh sebagai meditasi jalan. “Sejak saya bertemu dengan Anda, ketika saya berjalan ke lantai Senat untuk memberikan suara, saya mengingat bahwa saya mencium bumi dengan kaki saya,” ucap Senator Udall pada biksu tersebut di Hue.

Pemerintah Vietnam mengizinkan Thich Nhat Hanh untuk mengunjungi negara tersebut pertama kali pada tahun 2005, 39 tahun setelah kepergiannya, tetapi izin untuk pulang kembali baru dikabulkan belakangan ini.

Secara internasional, beliau adalah salah satu tokoh Vietnam yang paling dikenal dan paling dihormati. Beliau dan Dalai Lama sering disebut bersama sebagai dua biksu Buddha yang paling berpengaruh di zaman modern.

Selama hidup di pengasingan, Thich Nhat Hanh telah mendirikan 10 biara dan pusat latihan di enam negara. Keenam negara tersebut termasuk Amerika Serikat, Perancis dan Thailand. Beliau telah menulis lebih dari 100 buku yang telah dijual jutaan kopi di Amerika Serikat saja. Jumlah pengikutnya ada ratusan ribu.

Banyak orang Amerika mengenalnya sebagai pengajar utama tentang kewawasan, yaitu kondisi mental yang dicapai dengan memusatkan perhatian pada momen kini. Beliau menciptakan istilah “Agama Buddha yang terjun aktif” (Engaged Buddhism) dan mendorong umat Buddha bertindak meningkatkan kehidupan orang-orang yang kurang beruntung dan mempromosikan kedamaian.

“Gagasan mengenai Engaged Buddhism kini telah menyebar luas,” ucap John Powers, profesor peneliti dan pakar ajaran Buddha di Universitas Deakin, Australia.

Wisatawan di Vihara Tu Hieu. Sumber: Linh Pham untuk New York Times

Pada tahun 1960. Thich Nhat Hanh meninggalkan tempat yang nantinya menjadi Vietnam Selatan ke Amerika Serikat. Beliau mengajar agama di Universitas Princeton dan Universitas Columbia. Kemudian pada tahun 1963 beliau pulang untuk berperan memimpin pergerakan umat Buddha menentang perang di sana.

Beliau pergi lagi ke Amerika Serikat pada tahun 1966 dan berjumpa dengan Dr. King di Chicago dan tampil bersama. Selama beliau di sana, Vietnam Selatan melarang beliau kembali ke Vietnam.

Pertemanan beliau dengan Dr. King dimulai setahun sebelumnya ketika dia menulis untuk menjelaskan mengapa biksu Buddha dan biarawati yang merupakan teman dan rekan beliau telah membakar diri di Vietnam Selatan untuk memprotes perang.

“Saya katakan bahwa ini bukan bunuh diri,” ucap beliau kepada Oprah Winfrey pada wawancara mereka di tahun 2010. “Terkadang kami perlu membakar diri kami demi untuk didengarkan. Ini dilakukan karena welas asih. Ini merupakan tindakan cinta kasih dan bukan keputusasaan.”

Beliau mendorong Dr. King untuk mengambil sikap menentang perang, seperti yang beliau lakukan pada tahun 1967. Kemudian Dr. King mendesak Nobel Institute untuk memberikan penghargaan Perdamaian kepada Thich Nhat Hanh di tahun tersebut.

“Ini adalah Guru perdamaian dan anti kekerasan, yang secara kasar dipisahkan dari bangsanya sendiri ketika mereka ditindas oleh perang ganas yang telah bekembang mengancam kewarasan dan keamanan seluruh dunia,” tulis Dr. King.

Martin Luther King, Jr. berkata tentang Thich Nhat Hanh: “Saya pribadi tidak tahu siapa yang lebih layak lagi akan Hadiah Nobel Perdamaian selain biksu baik hati asal Vietnam ini.” Foto milik Parallax Press.

Di tahun-tahun berikutnya, Thich Nhat Hanh mengabdikan hidupnya untuk mengajar kewawasan dan engaged Buddhism.

Pada tahun 2013, di usia 87 tahun, beliau berkunjung ke Amerika Serikat dan mengadakan praktik kewawasan di kantor pusat Bank Dunia di Washington dan di perusahaan teknologi di San Francisco Bay Area.

Setelah beliau terserang strok setahun kemudian, beliau diundang kembali ke San Francisco oleh pengikut terkemuka, seorang milyader Marc Benioff yang mendirikan perusahaan komputasi awan Salesforce.

Benioff mengatur agar beliau dapat menjalani perawatan rehabilitasi di Pusat Medis UCSF yang dikenal dalam menangani korban strok. Beliau pun tinggal di rumah Benioff selama enam bulan bersama dengan rombongan 50 pengikut tambahan.

“Kami membuka rumah kami bagi mereka, dan mereka pindah ke dalam,” ucap Benioff dalam suatu wawancara. “Mendadak rumah kami berubah menjadi pusat spiritual.”

Terinspirasi dengan cara mereka memasukkan kewawasan dalam kehidupan keseharian, Benioff pun menjadikannya sebagai bagian dari budaya perusahaan dan membuat pusat meditasi di setiap lantai Menara Salesforce, bangunan tertinggi di San Francisco.

“Kita hidup dalam masyarakat yang mana kita menyala secara terus menerus, dan selalu menyala tidaklah alami,” ucapnya. Benioff mengatakan bahwa kewawasan melepas kita dari kecepatan dan kerumitan serta kebisingan kehidupan keseharian, kita pun bisa kembali dalam kedamaian.

Inti dari ajaran Thich Nhat Hanh adalah gagasan bahwa orang harus berusaha untuk “menjadi damai” dan melalui latihan, mengatasi kemarahan dan emosi negatif.

“Musuh kita bukanlah manusia, tetapi intoleransi, kefanatikan, kediktatoran, keserakahan, kebencian dan diskriminasi yang terbentang dalam hati manusia” tulisnya kepada Dr. King pada tahun 1966.

Jalan masuk ke Vihara Tu Hieu. Sumber Linh Pham untuk New York Times

Sumber: New York Times

Alih bahasa: Endah