Kecambah Ketumbar Penggugah Kesadaran, Suka Tidak Suka Aku Terima
Retreat di Plum Village Thailand (PVT) merupakan sebuah tekad yang tertanam satu tahun lamanya. Karena dari tahun lalu sudah diajak untuk ikut, tapi berhubung waktunya sudah terlalu mepet dan cuti sudah habis, jadi saya tekadkan tahun depan saja.
Penantian satu tahun diproses dengan tidak mulus begitu saja. Dari harga tiket yang awalnya Rp 1,5 juta (pada saat teman-teman yang lain sibuk koordinasi dan membeli tiket), saya yang masih belum mengajukan izin cuti belum berani membeli tiket, kemudian harga tiket pun naik menjadi Rp 2,2 juta. Sesaat setelah peristiwa lion air jatuh, harga tiket pun jatuh lagi ke harga Rp 1,5 juta, di sinilah saya buru-buru membeli tiket.
Jelang keberangkatan, saya kehilangan data tiket teman yang pembelian tiketnya melalui saya. Cek dan ricek, ternyata tiket domestiknya belum terbayar pada saat proses pembelian, sehingga tiket tersebut batal secara otomatis. Saya membeli ulang tiket tersebut pada H-2, tentunya dengan harga yang lebih tinggi hampir sepadan dengan harga tiket Jakarta – Bangkok.
Dalam perjalanan ke bandara, mobil yang kami tumpangi mengalami kecelakaan, beruntung kami berlima termasuk sopir selamat. Hanya bagian depan mobil yang ringsek dan kami terbentur. Ada yang terbentur di kening, dada, lutut, kepala dan lengan. Namun demikian kami tetap bisa melanjutkan perjalanan ke PVT dengan bahagia dan selamat.
Damai Setiap Langkah
Hari pertama retret harus bangun pukul 4 pagi (hari biasa saya bangun pukul 5 pagi kadang pukul 6 pagi). Ini kondisi yang tidak disukai ditambah sudah dua malam kurang tidur, tapi demi meditasi pagi mau tidak mau harus bangun.
Sitting meditation pagi pertama dilalui dengan baik dan dilanjutkan dengan meditasi jalan. Saat itu langit masih gelap, di tengah kegelapan kami melakukan walking meditation hingga langit terang.
Hal yang disayangkan adalah karena gelap, kami tidak bisa melihat keindahan lingkungan yang kami lalui. Suka tidak suka harus diterima. Damai dalam setiap langkah walau tidak bisa melihat keindahan lingkungan yang kami lalui.
Setelah walking meditation, dilanjutkan dengan sarapan. Sarapannya berupa oatmeal dan kacang-kacangan, serta susu. Ini juga bukan kebiasaan saya, suka tidak suka harus diterima, daripada kelaparan. Tapi ternyata Ok jugalah oatmeal + kacang merah + susu + kismis. Pikiran menolak sesuatu yang tidak biasa, tapi sesuatu yang tidak biasa belum tentu tidak baik atau tidak enak.
Kecambah Ketumbar
Saat makan siang, saat saya menyadari ada sesuatu yang tidak saya sukai di dalam makanan saya, yaitu daun kecambah ketumbar. Karena sudah dipotong halus-halus jadi berserakan di makanan saya, sehingga tidak bisa dipisahkan. Jika ada yang sempat terlihat langsung saya singkirkan di pinggir mangkok, tapi banyak yang tidak terlihat karena teraduk-aduk bersama makanan lainnya. Makan dengan sadar penuh, membuat saya sadar bahwa ini ada sesuatu yang tidak saya sukai, tapi suka tidak suka harus diterima, dikunyah dan ditelan.
Begitu juga di kehidupan kita, banyak hal yang tidak kita sukai atau tidak kita inginkan yang terjadi. Contoh, saya tidak suka saat ada yang memberikan pandangannya tentang sesuatu yang saya lakukan yang menurutnya tidak tepat. Saya hanya menginginkan teman tersebut berkata hal-hal yang menyejukkan hati saya dan sesuai dengan yang saya pikirkan atau lakukan.
Sekali pun pendapat teman tersebut mungkin benar adanya, tapi ketidaksukaan saya membuat saya menolaknya. Di sini saya menyadari bahwa, ada kondisi-kondisi yang harus diterima dan dilewati terlepas dari suka tidak sukanya saya terhadap kondisi-kondisi tersebut, suka tidak suka harus diterima.
Kecenderungan kita adalah menolak sesuatu yang tidak biasa atau tidak disukai sebelum kita mencoba mengkaji manfaatnya, mengkaji kebenarannya lebih jauh dan mencoba menerimanya.
Saat teman bersikap tidak sesuai dengan yang saya pikirkan dan saya inginkan, maka saya melabeli teman tersebut sebagai teman yang susah, bahkan terkadang diposisikan sebagai musuh. Lalu kemudian saya akan menjaga jarak dengannya, karena berpikir dia adalah sandungan untuk saya.
Makin dijauhi, maka makin membentang jarak yang menyebabkan komunikasi macet. Ketika komunikasi macet, segala hal menjadi terhambat. Begitulah hal-hal ini berlangsung, berawal dan bermula dari pikiran dan respon saya.
Kembali ke kesadaran akan si kecambah ketumbar tadi, seharusnya saya mencoba menerima teman tersebut sebagaimana adanya dia, karena persepsi saya tentang dia tidak sepenuhnya benar, bisa jadi itu hanya persepsi keliru saya tentangnya.
Begitu pula dengan kondisi-kondisi lainnya yang muncul, tidak selalu harus sesuai keinginan namun ketika tidak sesuai, suka tidak suka tetap harus diterima dan dijalani dengan kesadaran penuh, dengan kesadaran bahwa tidak saya sukai, belum tentu tidak baik. Ada kalanya malah itu sesuatu yang baik dan bisa memberi manfaat bagi orang banyak, hanya saja saya harus berlapang hati untuk belajar menerimanya.
Naik Ke Bukit
Di sela-sela waktu latihan, kami menyempatkan diri untuk naik ke suatu bukit yang cukup terjal. Sampai di satu bagian, saya tidak yakin bisa naik lagi karena bagian tersebut cukup terjal dan tidak berbatu sehingga licin. Takut tergelincir, padahal untuk sampai di puncaknya tinggal beberapa meter lagi. Saya memilih berhenti di sana, duduk melihat keadaan, rasanya sungguh tidak mungkin, terlalu terjal dan licin.
Tapi kemudian saya melihat sisi lain yang berbatu yang lebih aman, kemudian perlahan saya pun pindah ke sisi itu dan mulai melanjutkan perjalanan hingga ke puncaknya. Di sini saya menyadari bahwa hidup kita terkadang seperti menaiki bukit itu. Ada kondisi di mana kita merasa keadaan sangat tidak mungkin untuk kita lanjutkan atau kerjakan, namun bila kita mengambil waktu istirahat sejenak, maka kita akan menemukan cara-cara yang lebih tepat untuk menyelesaikannya.
Namun apabila kita memaksakan diri untuk tetap melanjutkan dengan gegabah, bisa jadi kita akan terjatuh meluncur ke bawah. Bila dalam suatu komunitas kita adalah yang di belakang, kita hanya akan jatuh sendirian, namun bila kita adalah yang di depan maka kita dapat mencelakai teman yang berada di belakang kita, kita bisa membawa mereka jatuh bersama kita.
Dharma ada dimana-mana, ada di dalam mangkok nasiku, juga ada di sepanjang jalan menuju puncak bukit. Hanya perlu menemukannya dengan kesadaran penuh. (Plum Village Thailand, 22-24 Desember 2018)