Master Zen Thich Nhat Hanh: Hanya Cinta yang Dapat Menyelamatkan Kita dari Perubahan Iklim

Master Zen Thich Nhat Hanh: Hanya Cinta yang Dapat Menyelamatkan Kita dari Perubahan Iklim

oleh Jo Confino

Cat: Wawancara ini dipublikasikan oleh The Guardian pada Tanggal 21 Januari 2013

Guru spiritual kondang mengingatkan, apabila manusia belum bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari penderitaan, bagaimana bisa mengharapkan mereka cemas atas urusan penting Bumi Pertiwi.

Thich Nhat Hanh: kita mesti melampaui diri kita sendiri untuk menyelamatkan Ibu Pertiwi dari perubahan iklim. Sumber: AP

Master Zen, Thich Nhat Hanh merupakan salah satu dari guru spiritual kondang, sosok yang sangat damai walaupun dia bahkan memprediksi kemungkinan runtuhnya peradaban dalam kurun waktu 100 tahun ke depan akibat perubahan iklim yang tak terkendali.

Biksu berdarah Vietnam ini memiliki ratusan ribu pengikut di seluruh dunia. Dia yakin, alasan kebanyakan orang tidak menanggapi ancaman pemanasan global meskipun ada banyak bukti ilmiah adalah karena meraka tak mampu menyelamatkan dirinya sendiri dari penderitaan, apalagi mengkhawatirkan mengenai keadaan Ibu Pertiwi.

Thay, sapaan akrabnya, ia mengatakan menjadi damai itu bisa diwujudkan apabila Anda menembus realitas palsu kita yang didasari pada gagasan hidup dan mati, untuk menyentuh dimensi tertinggi sebagaimana sudut pandang Agama Buddha bahwa energi tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan.

Dengan menyadari sepenuhnya akan kondisi saling keterhubungan dari semua kehidupan, kita dapat melampaui gagasan bahwa kita memiliki elemen pembentuk tunggal, kemudian memperluas welas asih dan cinta kita sedemikian rupa sehingga kita aktif melindungi Bumi.

Melihat Melampaui Ketakutan

Pada buku Thay yang berjudul Fear, beliau menuliskan tentang bagaimana masyarakat menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mengkhawatirkan sakit, menua dan kehilangan hal-hal yang paling berharga, walaupun semua itu fakta, tidak bisa dihindari bahwa suatu hari mereka harus melepas itu semua.

Ketika kita menyadari bahwa keberadaan manusia bukanlah sekadar tubuh fisik saja, bahwa kita bukan berasal dari ketiadaan dan tidak akan menghilang tanpa bekas, dengan demikian kita bisa terbebaskan dari rasa takut. Beliau mengatakan bahwa ‘tiada rasa takut’ (fearless) tak hanya mungkinkan, tetapi merupakan suka cita tertinggi.

“Cara kita mempersepsikan waktu tampaknya bisa menjadi celahnya,” Thay memberitahu saya saat kami di rumah sederhananya di Biara Plum Village dekat Bordeaux. “Bagi kami, ini sangat mengkhawatirkan dan mendesak, lalu bagi Bumi Pertiwi, jika dia menderita, dia tahu bahwa dia memiliki kekuatan untuk memulihkan dirinya sendiri, walaupun membutuhkan 100 juta tahun. Kita berpikir waktu kita di bumi hanya 100 tahun, oleh karena itu kita menjadi sangat tak sabar. Karma kolektif dan ketidaktahuan dari ras kita, kemarahan dan kekerasan kolektif akan mengarah pada kehancuran, dan kita harus belajar untuk menerima kenyataan ini.”

“Dan mungkin Ibu Pertiwi akan menghasilkan makhluk yang hebat pada dekade berikutnya. Kita tidak tahu dan juga tidak dapat memprediksinya. Bumi Perwiti sangat berbakat. Dia telah melahirkan para Buddha, bodhisatwa, makhluk-makhluk hebat.

Jadi berlindunglah pada Bumi Pertiwi dan pasrah kepadanya, serta memohon padanya untuk menyembuhkan dan membantu kita. Dan kita harus menerima bahwa hal terburuk bisa saja terjadi; bahwa sebagian dari kita akan mati sebagai suatu spesies dan banyak spesies lain juga akan mati, serta Bumi Pertiwi akan mampu menghadirkan kita kembali, kita yang lebih bijaksana; mungkin beberapa juta tahun lagi.”

Menghadapi Kebenaran

Thay secara tidak langsung menyatakan bahwa kita mengejar ketenaran, kemakmuran, kekuasaan, dan kenikmatan seksual bisa menjadi perlindungan sempurna bagi masyarakat untuk bersembunyi di balik kebenaran atas tantangan yang sedang dihadapi oleh dunia ini. Lebih parah lagi, ketergantungan manusia atas barang-barang material dan gaya hidup sibuk yang hanya menyediakan tambal sulam sementara bagi celah emosional dan luka spiritual, semua itu justru memicu kesepian makin dalam dan ketidakbahagiaan.

Thay yang baru saja merayakan masa kebiksuannya yang ke-70 tahun, ia merefleksikan kurangnya tindakan untuk menanggulangi kerusakan ekosistem dan kepunahan hayati yang begitu cepat: “Ketika mereka melihat kenyataannya, maka sudah terlambat untuk bertindak… tetapi mereka tidak ingin menyadarinya karena kemungkinan akan membuat mereka menderita. Mereka tidak sanggup menghadapi kenyataannya. Bukan karena mereka tidak tahu apa yang akan terjadi. Mereka hanya tidak ingin mengurusnya”.

“Mereka sengaja menyibukkan diri agar bisa melupakannya. Kita tidak seharusnya membicarakan hal apa yang perlu mereka lakukan, apa yang seharusnya tak dilakukan demi melindungi masa depan. Kita perlu berbicara kepada mereka melalui cara yang bisa menyentuh hatinya, cara yang bisa membantu mereka terlibat dalam upaya yang bisa memberikan kebahagiaan sejati untuk mereka, jalur cinta dan pemahaman, keberanian untuk melepas. Ketika mereka telah merasakan sedikit kedamaian dan cinta, kemungkinan mereka akan bangkit.”

Thay menciptakan gerakan Umat Buddha yang Terjun Aktif (Engaged Buddhism), yang mempromosikan peran aktif suatu individu untuk menciptakan perubahan, dan latihan kewawasan – suatu jejak biru etis – menyerukan agar para praktisi untuk memboikot produk-produk yang merusak lingkungan dan untuk menghadapi ketidakadilan sosial.

Mengingat betapa sulitnya menyadarkan mereka, sementara mereka tidak berniat mengubah perilakunya. Thay mengatakan bahwa kita membutuhkan gerakan akar rumput, mengikuti taktik yang digunakan oleh Gandhi, tetapi menegaskan bahwa ini bisa efektif hanya jika aktivis terlebih dahulu mengatasi kemarahan dan ketakutan dirinya sendiri, ketimbang memproyeksikannya pada orang-orang yang dianggap mereka salah.

Konsumen yang sadar sepenuhnya dapat mempengaruhi cara perusahaan bertindak

Berkenaan dengan perusahaan yang memproduksi barang-barang berbahaya, beliau mengatakan,”Mereka seharusnya tidak terus memproduksi barang-barang ini. Kita tak membutuhkannya. Kita membutuhkan produk jenis lain yang membantu kita menjadi lebih sehat. Jika ada penyadaran di tingkat konsumen, maka produsen akan harus berubah. Kita bisa memaksa mereka untuk berubah dengan tidak membeli.

“Gandhi mampu mendesak bangsanya sendiri untuk memboikot sejumlah komoditi. Dia tahu cara untuk menjaga dirinya sendiri selama aksi tanpa kekerasan. Dia tahu cara untuk menghemat energi karena perjuangannya panjang, jadi praktik spiritual sangat dibutuhkan demi membantu perubahan masyarakat.”

Thay telah menulis lebih dari 100 buku, termasuk buku laris “Miracle of Mindfulness”. Beliau mengatakan bahwa memang sulit bagi pemegang kekuasaan untuk berterus terang atas sifat merusak dari sistem ekonomi saat ini, karena takut dikucilkan dan dicemooh, kita membutuhkan lebih banyak pemimpin yang memiliki keberanian untuk menantang status quo tersebut.

“Para pemimpin bisnis dan politik perlu memupuk welas asih demi merangkul dan mengurangi ego agar bisa melakukan hal tersebut,” ucap Thay.

“Anda memiliki keberanian untuk melakukannya karena Anda memiliki welas asih. Welas asih adalah energi yang kuat,” ucapnya. “Dengan welas asih Anda mengorbankan diri untuk orang lain, seperti seorang ibu rela mati demi anaknya. Anda memiliki keberanian untuk mengeksposnya karena Anda tidak takut kehilangan apa pun, karena Anda mengetahui bahwa pengertian dan cinta kasih merupakan dasar dari kebahagiaan. Apabila Anda takut kehilangan status, jabatan, maka Anda tidak akan berani melakukannya.”

Suatu momen perenungan

Sementara banyak orang merasa kehilangan arah yang disebabkan oleh kerumitan kehidupannya dan begitu banyaknya pilihan yang ditawarkan oleh masyarakat konsumtif ini, retret Thay menawarkan alternatif yang sangat sederhana.

Selamat retret musim dingin tiga bulan di Plum Village, Thay berulang kali menginstruksikan ratusan biksu, biksuni dan praktisi awam tentang menghentikan keributan tanpa ujung di kepalanya dan fokus pada inti kewawasan, sukacita dari bernapas, berjalan, perenungan di momen kekinian.

Ketimbang mencari jawaban soal hidup dalam pembelajaran filosofi atau mencari pengalaman puncak yang dipicu adrenalin, Thay menyarankan bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan dengan menyentuh hal-hal yang bermakna pada setiap pengalaman hidup yang sangat sederhana, yang sebagian besar telah kita abaikan.

Contohnya adalah seberapa sering kita menghargai sepenuhnya kerja keras jantung setiap siang dan malam untuk mempertahankan kita agar tetap hidup. Beliau menyarankan bahwa memungkinkan untuk menemukan kebenaran mendalam melalui konsentrasi pada sesuatu yang mendasar seperti memakan wortel, sebagaimana Anda akan memperoleh wawasan bahwa sayuran tidak bisa ada tanpa dukungan seluruh alam semesta.

“Jika Anda sepenuhnya bersentuhan dengan sepotong wortel, Anda bersentuhan dengan tanah, hujan, sinar matahari,” ucap beliau. “Anda bersentuhan dengan Bumi Pertiwi dan memakannya sedemikian rupa, Anda merasakan bersentuhan dengan kehidupan sejati, akar Anda, dan inilah meditasi. Jika kita mengunyah setiap bagian makanan dengan cara demikian, kita menjadi bersyukur dan ketika kita bersyukur, Anda bahagia.”

Walaupun sudah bermeditasi setiap hari selama tujuh dekade terakhir, Thay yakin masih ada banyak hal yang perlu dipelajari. “Dalam ajaran Buddha, kita membicarakan cinta kasih sebagai sesuatu yang tak terbatas,” ucapnya.

“Empat unsur cinta yang mencakup cinta kasih, welas asih, sukacita dan ekuanimitas, tidak ada batasnya.”

Itulah cara berpikir Buddha. Dengan rasa hormat para pengikut Buddha menyebutnya sebagai ‘dia yang telah sempurna’, sesungguhnya Anda tak perlu menjadi sempurna. Perlu untuk diketahui. Jika Anda mendapatkan sedikit kemajuan setiap hari, sedikit kemajuan sehingga lebih berbahagia dan merasakan kedamaian, ini sudah cukup baik, sehingga Anda terus berlatih, lalu wawasan akan terus tumbuh setiap hari.

“Pratik itu tiada batasnya. Dan saya pikir ini berlaku untuk semua umat manusia. Kita bisa terus belajar dari generasi ke generasi dan kini saatnya untuk memulai belajar bagaimana cara mencintai dengan tanpa diskriminasi karena kita cukup cerdas, tetapi sebagai makluk hidup, kita tidak memiliki kandungan cinta seukupnya.”

Thich Nhat Hanh: kehidupan yang jauh dari mata publik

Thay sering dibandingkan dengan Dalai lama tetapi sering luput dari pandangan publik karena ia memutuskan untuk menjalankan hidup sebagai biksu sederhana. Beliau telah menghindari jebakan dikelilingi para pesohor dan Thay hanya mau diwawancarai oleh jurnalis yang telah bermeditasi bersamanya karena kewawasan perlu dialami ketimbang dijelaskan.

Tetapi Thay bukan orang kesepian, ia telah menjalani kehidupan yang luar biasa, termasuk penominasian Thay untuk menerima penghargaan Nobel perdamaian oleh Martin Luther King pada tahun 1967 atas usahanya mencari cara untuk meredakan perang Vietnam. Dalam penominasiannya, King mengatakan “Saya secara pribadi tidak menemukan ada orang lain yang lebih layak mendapatkan penghargaan ini dibandingkan biksu yang lembut dari Vietnam ini. Gagasannya atas perdamaian jika diterapkan akan membangun suatu monumen ekumenisme, untuk persaudaraan dunia, untuk kemanusiaan.”

Thay mendirikan Plum Village 30 tahun lalu setelah diasingkan dari tanah kelahirannya. Sejak itu biara di Thailand, Hong Kong dan Amerika Serikat, dan juga Institut Agama Buddha Terapan di Jerman mulai bermekaran. Beliau melanjutkan usahanya demi solusi perdamaian pada konflik di seluruh dunia, termasuk menyelenggarakan beberapa retret untuk masyarakat Israel dan Palestina.

Pada tahun 2009 dia menghadapi konflik dalam hidupnya. Ketika pihak yang berwenang di Vietnam menggunakan kekerasan dan pemaksaan untuk menutup Biara Bhat Nha yang baru diresmikan. Thay yakin tindakan tidak bertanggung jawab itu didalangi oleh Tiongkok sebab Thay menyatakan dukungannya secara publik kepada Tibet. Masyarakat Uni Eropa dan negara-negara lain menyuarakan protes. Sekitar 400an biksu dan biksuni tersebar ke berbagai tempat, namun secara diam-diam masih beroperasi di Vietnam.

The Guardian mengeluarkan pesan kedutaan Amerika Serikat yang menyoroti kekhawatiran mengenai tindakan keras tersebut. Salah satu pesan rahasia mengatakan, “penanganan yang buruk dari Vietnam terhadap situasi di komunitas Plum Village di Biara Bat Nha dan paroki Katolik Dong Chiem minggu lalu – khususnya pengunaan kekerasan yang berlebihan – merupakan masalah dan menandakan tindakan kekerasan GVN yang lebih luas pada hak asasi manusia mejelang Kongres Partai pada Januari 2011.”

Terlepas dari seluruh penghargaannya, termasuk tugas baru-baru ini sebagai penyunting tamu di Times of India, Thay adalah orang yang sederhana ketika dia melihat kembali hidupnya.

“Tidak banyak yang kita capai selain kedamaian, beberapa kepuasan di dalam. Ini sudah cukup banyak,” ucapnya. “Momen paling bahagia adalah ketika kita duduk dan saling mensyukuri kehadiran saudara-saudari, umat awam dan monastik yang berlatih meditasi jalan dan duduk. Ini adalah pencapaian utama dan hal-hal lain seperti mempublikasikan buku dan menyiapkan lembaga seperti di Jerman menjadi tidak begitu penting.”

“Hal yang penting adalah kita memiliki sangha (komunitas) dan wawasan karena Buddha di masa kita kemungkinan bukan seorang individu tetapi kemungkinan adalah sebuah sangha. Jika setiap hari Anda berlatih meditasi jalan dan duduk, serta membangkitkan energi kewawasan, konsentrasi, dan kedamaian, Anda adalah suatu sel dalam tubuh Buddha yang baru. Ini bukan mimpi, tetapi kemungkinan hari ini dan esok. Buddha bukan sesuatu yang jauh, tetapi di sini dan saat ini.”

Sementara Thay masih dalam kondisi sehat dan tajam seperti jarum, dia tidak makin muda dan kemungkinan akan mulai menarik diri dari jadwal berat yang membuatnya terlihat berulang kali melintasi dunia, memimpin retret dan meneruskan ajarannya. Tahun ini dia berkelana melintasi Amerika Serikat dan Asia, kemungkinan ini adalah perjalanan luar negeri utama terakhirnya.”

Dengan keyakinannya pada tidak ada kelahiran dan tidak ada kematian, bagaimana dia merasakan mengenai kematiannya sendiri?

“Sangat jelas bahwa Thay tidak akan mati, tetapi akan terus berlanjut hadir dalam setiap orang,” ucapnya. “Jadi tidak ada kehilangan dan kita bahagia karena kita mampu membantu Buddha untuk memperbarui ajarannya. Dia sering disalahpahami oleh banyak pihak, oleh karena itulah kita mencoba mengondisikan agar ajaran Buddha bisa dipraktikkan dengan mudah dan sederhana sehingga semua orang dapat memanfaatkan dengan baik ajaran dan latihannya.”

Sambil mengangkat segelas teh untuk diminum, beliau menambahkan: “Saya sudah mati beberapa kali dan Anda mati setiap momen dan Anda lahir kembali dalam setiap momen sehingga ini adalah cara kita melatih diri sendiri. Ini seperti teh. Ketika Anda menuangkan air panas dalam teh, Anda meminumnya untuk pertama kali, dan kemudian Anda menuangkan lagi sejumlah air panas dan Anda minum lagi, daun-daun teh masih ada dalam teko itu tetapi rasanya telah berpindah ke dalam teh dan jika Anda mengatakan mereka telah mati, maka itu tidak benar, karena mereka terus hidup dalam teh, jadi tubuh ini hanya residu.”

“Daun ini masih dapat menyediakan sejumlah rasa teh, tetapi suatu hari tidak ada rasa teh yang tersisa dan ini bukanlah kematian. Dan bahkan daun-daun teh dapat Anda masukkan ke dalam pot bunga dan mereka melanjutkan peranannya, jadi kita perlu melihat hidup dan mati seperti demikian. Jadi ketika Saya melihat monastik muda dan umat awam berlatih, saya melihat itulah kelanjutan dari Buddha, kelanjutan dari saya.”

Sepucut surat pemberitahuan kepada Thay bahwa ada seseorang telah membangun wihara di Hanoi untuk Thay demi mengenang hidupnya, Thay baru-baru ini mengirimkan surat ke wihara Tu Hieu di pusat Vietnam tempat dia berlatih sebagai samanera, menjelaskan bahwa dia tidak ingin wihara dibangun untuk menghormatinya ketika dia mati: “Saya mengatakan jangan menyia-nyiakan tanah wihara untuk membangun stupa untuk saya. Jangan masukkan saya ke dalam pot kecil itu dan meletakkan saya di sana. Saya tidak ingin berlanjut seperti demikian. Lebih baik menaburkan abu di luar untuk membantu pohon tumbuh. Inilah meditasi.”

Dia menambahkan: “Saya meminta mereka membuat pernyataan tertulis bahwa ‘Saya tidak di sini'” dan jika ada orang yang tidak mengerti, Anda menambahkan kalimat kedua ‘Saya juga tidak ada di luar sana’ dan jika mereka masih tidak mengerti, pada kalimat ketiga dan terakhir tambahkan ‘Saya bisa ditemukan dalam cara Anda berjalan atau bernapas.”

Sumber: The Guardian, 21 Januari 2013

Alih bahasa: Endah

Kisah Hidup Thich Nhat Hanh

Kisah Hidup Thich Nhat Hanh

ditulis oleh Lindsay Kyte

Master Zen, aktivis perdamaian, dan guru dari kehidupan berkewawasan (mindful living) – Beliau merupakan satu dari sekian pemimpin spiritual berpengaruh pada masa kini. Ajarannya jelas, mendalam, dan orisinal. Ia menjawab tantangan pribadi dan global yang hadapi semua orang saat ini. Beliau telah membawa Dharma ke jutaan orang dan membantu mendefinisikan agama Buddha untuk dunia modern. Lindsay Kyte menceritakan kisah tentang apa yang barangkali menjadi ajaranya yang palin berpengaruh – Keberaniannya dalam kehidupan.

Thich Nhat Hanh. Foto oleh Dana Gluckstein

Kelahiran Engaged Buddhism:1926-1959

Pada tahun 1926, seorang anak laki-laki bernama Nguyen Xuan Bao lahir di ibukota kekaisaran kuno Hué, Vietnam. Ia tertarik pada ajaran Buddha sejak usia dini. Salah satu kenangan masa kecilnya yang pertama adalah melihat lukisan Buddha yang tersenyum dan damai. Suatu kali, dalam trip perjalanan sekolah, dia kecewa karena tidak bertemu dengan pertapa Buddhis bijaksana, namun ketika ia meneguk air dari sumur alami, dia merasa sangat segar. Ia kemudian menggambarkan pengalaman itu sebagai pengalaman religius pertamanya.

Sebagai seorang anak lelaki muda, Thich Nhat Hanh terpesona oleh potret Buddha yang tersenyum dan damai. Foto milik Parallax Press.

Bertentangan dengan keinginan orang tuanya yang merasa kehidupan seorang biksu akan terlalu sulit, Nguyen Xuan Bao tetap bergabung dengan kehidupan monastik Buddhis ketika berusia enam belas tahun. Pada usia 23 tahun, dia ditahbiskan menjadi biksu. Ia diberi nama Thich Nhat Hanh.

Biksu muda ini dikirim untuk mengikuti pelatihan di institut Buddhis tradisional, namun dia merasa tidak puas dengan kurikulumnya yang terbatas. Ia lalu pergi ke Universitas Saigon, tempat dia bisa mempelajari sastra dunia, filsafat, psikologi, dan sains selain agama Buddha.

Pada pertengahan usia dua puluhan, Thich Nhat Hanh sudah memiliki daftar prestasi yang mengesankan. Dia telah mendirikan wihara, memiliki beberapa buku yang diterbitkan, dan dikenal karena pandangan reformisnya tentang agama Buddha. Ketika pendirian Buddhis Vietnam kala itu sangat apolitis, ia percaya umat Buddha harus terlibat langsung dalam penderitaan banyak orang – dan itu berarti terlibat dalam kehidupan politik bangsa.

Ini terjadi pada saat perang delapan tahun antara Prancis dan perjuangan nasionalis Viet Minh untuk mengakhiri pemerintahan kolonial. “Dinding wihara kami di Hué dipenuhi dengan lubang peluru,” Thich Nhat Hanh mengingatnya dalam buku terbarunya, Inside the Now. “Prajurit Prancis menyerang wihara kami, mencari para pejuang yang melawan ataupun makanan, menuntut kami menyerahkan satu-satunya karung beras yang tersisa. Para biksu terbunuh, meskipun mereka tidak bersenjata.”

Namun baik keyakinan maupun keberaniannya tidak goyah: “Kami tahu bahwa semangat dari inspirasi puitis, hati spiritualitas, dan pikiran cinta kasih tidak bisa dipadamkan oleh kematian.”

Engaged Buddhism lahir sebagai tanggapan terhadap perang antara Viet Minh yang nasionalis, dipimpin oleh kaum komunis, dengan tentara Prancis. Perang berakhir dengan kekalahan Prancis di Dien Bien Phu pada tahun 1954.

Sebagai tanggapan terhadap perang yang makin besar, Nhat Hanh mendirikan gerakan Engaged Buddhism. Misinya adalah menerapkan ajaran dan praktik Buddhis pada penderitaan dunia nyata yang disebabkan oleh perang, ketidakadilan sosial, dan penindasan politik. “Kami ingin menawarkan pandangan yang baru – suatu agama Buddha yang dapat bertindak sebagai rakit, untuk menyelamatkan seluruh negara dari kondisi keputusasaan terhadap konflik, perpecahan, dan perang,” kenangnya.

Istilah Engaged Buddhism untuk perdamaian bergema dalam diri para pemuda Buddhis Vietnam. Nhat Hanh diangkat sebagai pemimpin redaksi majalah Vietnamese Buddhism, memimpin pertemuan yang dihadiri oleh ratusan orang, dan merintis suatu majalah untuk para monastik muda bernama The New Lotus Season.

“Kami belajar, dan berlatih bersama dengan bahagia. Kami semua mencintai agama Buddha dan kami semua mencintai negara kami.” Foto milik Parallax Press.

Selama waktu ini, Nhat Hanh bertemu Cao Ngoc Phuong, seorang mahasiswi biologi yang khawatir bahwa umat Buddha tidak cukup peduli tentang orang miskin. Dia kemudian menjadi Sister Chan Khong, murid terdekatnya dan salah satu dari “tiga belas pohon aras,” sekelompok aktivis muda yang bersemangat untuk belajar bersama dan mendukungnya.

Tidak mengherankan, makin populernya gerakan Engaged Buddhism menarik pertentangan dari para pendiri Buddhis konservatif. Nhat Hanh dituduh menyebarkan benih perbedaan pendapat dan jurnalnya kemudian dihentikan.

“Itu masih terlalu radikal untuk mayoritas para tetua dalam pengembangan Buddhisme,” kenangnya. “Mereka menepis gagasan-gagasan kami, dan mulai membungkam suara kami dengan mantap.”

Nhat Hanh dan para pengikutnya membutuhkan tempat untuk perlindungan spiritual, dan pada tahun 1957 mereka mendirikan Phuong Boi – Fragrant Palm Leaves Hermitage – di dataran tinggi Vietnam. Beliau mengatakan bahwa itu adalah “tempat untuk memulihkan luka kita dan melihat secara mendalam apa yang terjadi pada kita.” Sampai hari ini, beliau menganggap itu sebagai rumahnya yang sejati.

Sekolah Pemuda untuk Layanan Sosial: 1960-1965

Pada tahun 1960, ketenteraman Phuong Boi hancur ketika agen pemerintah Vietnam Selatan memasuki pertapaan itu. Mereka menangkap salah satu anggota dan memaksa yang lain agar masuk ke suatu dusun strategis untuk “perlindungan.” Thich Nhat Hanh lalu melarikan diri ke Saigon.

Di sana, ia memutuskan untuk menerima beasiswa studi perbandingan agama di Universitas Princeton. Masa tiga tahun pemimpin muda Buddhis ini di Amerika nantinya akan menjadi transformatif – secara politis dan spiritual.

Sangat ironis sebenarnya bahwa salah satu guru agama Buddha terbesar di Asia memiliki pengalaman spiritual transformatifnya di Barat- di perpustakaan Universitas Columbia, tepatnya.

Kantor pusat SYSS di Saigon. Lebih dari seribu generasi muda Buddhis mendaftar ke tiga ratus posisi dalam program tersebut. Foto milik Parallax Press.

Setelah menyelesaikan studinya di Princeton, ia ditunjuk sebagai dosen agama Buddha di Columbia. Suatu hari di perpustakaan, dia menemukan sebuah buku yang diambil hanya dua kali sebelumnya – sekali pada tahun 1915 dan sekali lagi pada tahun 1932. Memutuskan untuk menjadi peminjam ketiga, dia memiliki keinginan yang kuat untuk bertemu dengan dua peminjam lainnya. Namun mereka telah lenyap – dan begitu pula dengan dirinya. Ia memiliki pengalaman kekosongan yang mendalam, yang dia jelaskan dalam jurnalnya: “Segala sesuatu yang dianggap ‘saya’ akan hancur. Lalu apa yang sebenarnya di sana mulai menampakkan dirinya…. Seperti belalang, saya tidak mempunyai pemikiran tentang yang bersifat ketuhanan.”

Thich Nhat Hanh nantinya akan menulis bahwa ketika Beliau menjadi seorang biksu di Vietnam, ia menyadari mengenai suatu perjalanan di Barat.

Sementara itu, perang di tanah airnya makin membesar secara dramatis, dengan keterlibatan Amerika Serikat (AS) yang makin banyak dan rezim presiden Katolik Roma, Ngo Dinh Diem, yang menekan umat Buddha (mayoritas) di negara itu. Pada tahun 1963, biksu Thich Quang Duc membakar dirinya hingga meninggal dunia sebagai bentuk protes, dan aksi bakar diri lainnya pun menyusul.

Di AS, Thich Nhat Hanh menjadi pelopor gerakan antiperang. Berbicara dari pengalamannya tentang kehidupan masyarakat Vietnam, ia melakukan puasa selama lima hari yang dipublikasikan dengan baik dan dilaporkan ke PBB tentang pelanggaran hak asasi manusia di Vietnam Selatan.

Pada pertengahan tahun enam puluhan, Thich Nhat Hanh menjadi editor bacaan mingguan Buddhis paling populer di negara itu, pendiri Sekolah Pemuda untuk Layanan Sosial yang terkenal, dan promotor penting untuk perdamaian yang kemudian dikecam oleh kedua belah pihak dalam perang. Foto milik Parallax Press.

Ketika suatu kudeta militer yang didukung AS menggulingkan rezim Diem pada tahun 1963, Nhat Hanh kembali ke Vietnam dan mengajukan ajakan perdamaian ke Unified Buddhist Church (UBC), yang telah dibentuk untuk menyatukan berbagai sekte agama Buddha Vietnam. Dia menyerukan penghentian permusuhan, pendirian suatu lembaga Buddhis untuk para pemimpin negara, dan pembentukan lembaga untuk mempromosikan suatu perubahan sosial tanpa kekerasan.

UBC mendukung lembaga tersebut, yang dibuka pada tahun 1964 sebagai Institute for Higher Buddhist Studies, tetapi dua usulan lainnya ditolak karena dianggap merupakan mimpi yang tidak realistis. Tanpa gentar, Nhat Hanh menanggapinya dengan membangun desa-desa perintis untuk melatih penduduk dalam swasembada dan perubahan sosial.

Anggota SYSS yang terdiri dari para aktivis muda, termasuk Sister Chan Khong (kedua dari kanan). Foto milik Parallax Press.

Pada tahun 1964, Nhat Hanh menjadi kepala editor The Sound of the Rising Tide, yang menjadi bacaan mingguan Buddhis paling populer di Vietnam. Puisinya digunakan sebagai lagu protes oleh penduduk Vietnam yang menginginkan perdamaian – dan tentunya dikecam oleh kedua belah pihak dalam perang tersebut.

Menyadari bahwa pendidikan diperlukan agar dapat menjadi tindakan nyata, Nhat Hanh mendirikan Sekolah Pemuda untuk Layanan Sosial (Schoolof Youth for Social Service/SYSS) yang terkenal. Para anggota perdamaian SYSS mempertaruhkan hidup mereka pergi ke daerah pedesaan untuk mendirikan sekolah, membangun klinik kesehatan, dan membangun kembali desa-desa yang hancur akibat perang.

Pada tahun 1964, banjir besar melanda Vietnam Selatan, menewaskan 4.000 orang dan menghancurkan ribuan rumah. Nhat Hanh memimpin anggota SYSS untuk membawa bantuan ke daerah-daerah terpencil. Risiko tembakan peluru, tidur di kapal dalam badai yang dingin, membantu warga sipil dan tentara yang terluka dari kedua pihak, mereka melihat penderitaan mereka sebagai ekspresi solidaritas dengan orang-orang yang mereka coba bantu. Sebagai isyarat simbolis, Nhat Hanh melukai jarinya dan membiarkan darahnya menetes ke sungai.

“Ini,” katanya, “adalah doa untuk semua korban yang tewas dalam perang dan banjir.”

The Order of Interbeing: 1966

Pada tahun 1966, Thich Nhat Hanh menahbiskan enam pemimpin SYSS dan menjadikannya The Order of Interbeing, komunitas yang didedikasikan untuk membawa agama Buddha langsung ke arena politik dan sosial. Anggotanya berkomitmen untuk melayani sesama dan mempraktikkan Empat Belas Latihan Kesadaran.

Sister Chan Khong adalah salah satu dari enam anggota asli, dan begitu juga teman terdekat Dharma-nya, seorang wanita muda bernama Nhat Chi Mai. Sister Chan Khong menulis dalam memoarnya, Learning True Love, bahwa suatu hari suara Sister Mai dengan anehnya menjadi lembut saat dia membaca latihan kesadaran kedua belas, Penghormatan untuk Hidup: “Jangan membunuh. Jangan biarkan orang lain membunuh. Temukan apa pun yang mungkin berarti untuk melindungi kehidupan dan membangun kedamaian.”

Keenam anggota asli dari Order of Interbeing. Sister Chan Khong berada di paling kiri, Sister Mai ketiga dari kiri. Saat ini, sudah ada lebih dari seribu anggota. Foto milik Parallax Press.

Beberapa minggu kemudian, Sister Mai menempatkan patung Bunda Maria dan Avalokiteshvara di depannya, lalu membakar dirinya sendiri. Dalam puisi dan surat-suratnya, ia meminta kepada umat Buddha dan Katolik untuk bekerja sama demi perdamaian, dan untuk perdamaian itulah maka dia kemudian mengorbankan dirinya.

Percaya bahwa cara terbaik untuk membantu menghentikan perang adalah dengan berbicara langsung kepada orang Amerika tentang harapan bangsa Vietnam akan perdamaian, maka Thich Nhat Hanh menerima undangan dari Universitas Cornell untuk memulai tur ceramahnya di AS. Beliau meninggalkan Vietnam yang dipikir hanya beberapa minggu saja dan meninggalkan Sister Chan Khong yang bertanggung jawab atas gerakan-gerakannya selama ini.

Keberangkatannya memberikan peluang bagi masyarakat Vietnam Selatan yang sudah menunggu kesempatan itu. Universitas Van Hanh menghentikan hubungannya dengan SYSS dan menuduh Sister Chan Khong sebagai seorang komunis. Meskipun anggota SYSS diserang, mereka tetap berjuang mengumpulkan dana dan dengan berani bertahan dalam pekerjaan mereka untuk meringankan penderitaan sesama tanpa memihak manapun.

Martin Luther King, Jr. berkata tentang Thich Nhat Hanh: “Saya pribadi tidak tahu siapa yang lebih layak lagi akan Hadiah Nobel Perdamaian selain biksu baik hati asal Vietnam ini.” Foto milik Parallax Press.

Di AS, Nhat Hanh bertemu dengan tokoh-tokoh penting dari kedua sisi perang, termasuk Menteri Pertahanan Robert McNamara, senator anti-perang William Fulbright, dan seorang Kristen kontemplatif terkenal Thomas Merton.

Thich Nhat Hanh membangun hubungan yang erat dengan promotor perdamaian besar lain pada masanya – pemimpin hak sipil Martin Luther King, Jr. Dalam suatu surat kepada King, Nhat Hanh mendesaknya untuk secara terbuka menentang Perang Vietnam, ia menulis, “Saya percaya dengan sepenuh hati bahwa para biksu yang membakar diri itu bukan berharap kematian dari para penindas, tetapi hanya pada perubahan dalam kebijakan mereka. … Saya juga yakin demi semua keberadaan saya bahwa perjuangan untuk kesetaraan dan kebebasan yang Anda pimpin di Birmingham, Alabama, bukan untuk menyerang orang-orang kulit putih, melainkan pada intoleransi, kebencian, dan diskriminasi. Merekalah musuh sejati manusia – bukan manusia itu sendiri.”

Ketika Nhat Hanh bertemu dengan King secara pribadi, ia mengatakan kepadanya bahwa umat Buddha Vietnam menganggap King sebagai bodhisattva. Ketika King kemudian menominasi Thich Nhat Hanh untuk menerima Hadiah Nobel Perdamaian, dia mengatakan kehormatan itu akan “mengingatkan seluruh bangsa bahwa orang-orang baik akan selalu siap untuk memimpin elemen-elemen yang berseteru keluar dari jurang kebencian dan kehancuran. Itu akan membawa kembali (mereka) pada ajaran keindahan dan cinta yang ditemukan dalam kedamaian.”

Pada hari yang sama ketika Thich Nhat Hanh mempresentasikan proposal perdamaiannya di Washington, pemerintah Vietnam Selatan menyatakan dia sebagai pengkhianat dan melarangnya kembali ke rumah. Foto milik Parallax Press.

Pada bulan Juni 1966, Thich Nhat Hanh mempresentasikan proposal perdamaian di Washington yang mendesak Amerika untuk menghentikan pengeboman dan menawarkan bantuan rekonstruksi yang bebas dari syarat politik atau ideologi. Beliau menekankan bahwa dia dan para pengikutnya tidak menyukai sisi manapun dalam perang dan hanya menginginkan perdamaian.

Sebagai tanggapan, pemerintah Vietnam Selatan langsung melarangnya kembali ke rumah. Perjalanan damai yang seharusnya berlangsung beberapa minggu menjadi empat puluh tahun di tempat pengasingan.

Pengasingan: 1966-2004

Thich Nhat Hanh mengatakan bahwa pengasingan dari Vietnam terasa seperti sel yang terpisah dari tubuhnya. Terlepas dari penderitaan pribadinya, pengasingan memungkinkannya bekerja untuk perdamaian dengan lebih bebas, dan, seperti yang dilakukan oleh Yang Mulia Dalai Lama, ini merupakan dasar baginya untuk menjadi guru spiritual yang terkenal di dunia seperti sekarang ini.

Thich Nhat Hanh di Paris, 1974.
Foto oleh Jim Forest.

Dengan suaka yang diberikan di Prancis, Nhat Hanh lalu menjadi ketua Delegasi Perdamaian Buddha Vietnam. Selama beberapa tahun berikutnya, kegiatannya termasuk mendirikan Gereja Buddhis Terpadu di Prancis, memberi ceramah di Sorbonne, dan sebagai delegasi untuk perundingan perdamaian Paris. Ketika Sister Chan Khong juga akhirnya bergabung dengannya di Prancis, pemerintah Vietnam Selatan juga mengasingkannya.

Ketika perang di Vietnam berakhir pada tahun 1975 dengan kemenangan Vietnam Utara, masyarakat Vietnam non-komunis – kurang lebih sebanyak dua juta – mulai mengungsi dari negara itu. Ratusan ribu orang mempertaruhkan perjalanan yang berbahaya melalui laut. Mereka kemudian dikenal sebagai orang-orang kapal.

Pada 1978–1979, nasib orang-orang kapal menjadi krisis kemanusiaan yang besar. Mereka menjadi korban dari kapal yang penuh sesak, badai laut, dan pembunuhan serta perkosaan oleh para bajak laut. Kalau pun mereka berhasil sampai ke negara lain, mereka tertahan di kamp-kamp pengungsi. Terkadang kapal-kapal mereka dibuang kembali ke laut.

Nhat Hanh dan sekelompok kecil pengikutnya di Prancis sadar bahwa mereka harus turut membantu. Sister Chan Khong menyewa suatu kapal nelayan di Thailand, berpakaian seperti seorang nelayan, dan pergi ke laut untuk membantu orang-orang kapal tersebut. Setiap kali dia dan timnya menemukan kapal pengungsi, mereka memberinya makanan, bahan bakar, dan petunjuk menuju ke kamp pengungsi terdekat.

Dalam suatu rencana yang lebih ambisius, Nhat Hanh mengumpulkan uang untuk menyewa dua kapal besar, Roland dan Leapdal. Baru beberapa minggu di laut, mereka sudah menyelamatkan lebih dari delapan ratus orang-orang kapal dan berencana untuk membawa mereka ke Guam dan Australia. Meskipun rencana itu dihalangi oleh Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi, Nhat Hanh dan para pengikutnya tetap terus menyoroti penderitaan orang-orang kapal tersebut agar menjadi perhatian dunia, meyakinkan banyak negara dengan tujuan supaya mereka mau menerima para pengungsi dari Vietnam ini.

Ratusan pengungsi menaiki Roland, kapal barang yang disewa oleh komunitas Thich Nhat Hanh untuk menyelamatkan orang-orang kapal yang mengungsi dari Vietnam setelah kemenangan komunis. Foto milik Parallax Press.

Pada tahun 1971, setelah mendapatkan ketenangan yang mereka dambakan selama ini di Phuong Boi, Nhat Hanh dan para pengikutnya membeli suatu properti negara dengan suatu rumah kecil kumuh di sebelah tenggara Paris. Mereka menyebutnya Sweet Potatoes, dan itu menjadi pusat latihan pertama Thich Nhat Hanh di negara Barat.

Sweet Potatoes awalnya dijadikan sebagai suatu tempat tinggal sepanjang tahun bagi sebelas orang yang selamat dari perang, tetapi pada tahun 1982 rumah itu terlalu kecil untuk menampung orang-orang yang ingin berlatih di sana. Masyarakat lalu membeli tanah di Prancis selatan yang akhirnya sekarang menjadi Plum Village, namanya diambil dari buah manis yang tumbuh di wilayah tersebut walau tanahnya berbatu. Salah satu hal pertama yang mereka lakukan ialah menanam kebun buah plum dan keuntungannya digunakan untuk membantu anak-anak di negara-negara berkembang.

Sister Chan Kong bekerja di kebun Sweet Potatoes. Foto milik Parallax Press.

Bagi Thich Nhat Hanh, Plum Village merupakan bentuk kelahiran kembali semangat Phuong Bio. Hidup berkewawasan dipraktikkan dalam kegiatan sehari-hari – makan, berjalan, bekerja, atau menikmati secangkir teh dengan orang lain – dan pada tahun 1983 ada 117 praktisi di Plum Village. Ini kemudian menjadi kediaman utama Nhat Hanh, pusat komunitasnya dari seluruh dunia, dan monastik Buddha terbesar dan paling aktif di negara Barat.

Pada tahun 1987, Thich Nhat Hanh mendirikan Parallax Press di California untuk menerbitkan tulisan-tulisannya dalam bahasa Inggris, ditambah dengan buku-buku lainnya tentang ajaran Buddha dan kedamaian. Pada tahun 2000, ia mendirikan pusat pelatihan pertamanya di Amerika — Deer Park Monastery di California Selatan — dan komunitas mahasiswanya di Amerika tumbuh pesat.

Pada pertengahan 2000-an, Thich Nhat Hanh dinyatakan sebagai seorang guru agama Buddha utama, pengarang buku terlaris, dan pengajar terkemuka kehidupan sadar. Sebagaimana yang beliau lakukan sejak awal, berliau bekerja untuk membuat agama Buddha menjadi relevan dan mudah dipraktikkan. Seperti yang ditulisnya dalam Being Peace, “Anda bukanlah seorang pengamat, Anda adalah pelaku.”

Kembali ke Vietnam: 2005-2008

Thich Nhat Hanh akhirnya melihat tanah kelahirannya lagi pada tanggal 11 Januari 2005. Seorang guru Buddhis yang terkenal di dunia, baru kemudian diizinkan untuk kembali pulang setelah dilakukan negosiasi yang panjang dengan pemerintah komunis Vietnam. Selama perjalanan, ia ditemani oleh para anggota The Order of Interbeing — yang didirikan 41 tahun sebelumnya di Saigon pada masa perang — dan juga bersama murid-murid lainnya.

Beliau fokus pada pembangunan agama Buddha yang relevan dengan generasi muda. Beliau menyerukan kesetaraan gender dalam kalangan Buddhis di Vietnam. Ia menerbitkan empat bukunya dalam bahasa Vietnam. Dua wihara dibangun kembali dengan Nhat Hanh sebagai kepala spiritualnya, dan ratusan anak muda memohon untuk menjadi murid-murid monastiknya. Prajna Monastery, tidak jauh dari Phuong Boi, menjadi pusat pelatihan mereka.

Namun itu adalah cerita yang sama seperti beberapa dekade sebelumnya di Vietnam Selatan – pemerintah komunis khawatir bahwa begitu banyak orang, terutama anak muda dan orang-orang yang berpendidikan tertarik pada ajaran Nhat Hanh. Sehingga beberapa umat Buddha khawatir pemerintah akan memanfaatkan kunjungan itu untuk memberikan kesan kebebasan beragama padahal pelanggaran terus berlanjut. The Unified Buddhist Church of Vietnam, yang secara teknis ilegal, meminta Nhat Hanh untuk mengkritik kurangnya kebebasan beragama di sana.

Di Saigon, Thich Nhat Hanh menyelenggarakan salah satu dari tiga Grand Requiem Masses untuk memulihkan luka yang diderita kedua belah pihak dalam Perang Vietnam. Puluhan ribu orang Vietnam menghadiri upacara tersebut. Foto oleh Kate Cummings.

Ketika Thich Nhat Hanh melakukan kunjungan kedua ke Vietnam selama tiga bulan untuk mengajar, retret, dan upacara-upacara pada tahun 2007, tujuannya ialah untuk memulihkan luka perang yang diderita oleh kedua belah pihak.

“Jika kita tidak mengubah penderitaan dan luka tersebut sekarang, maka itu akan diteruskan ke generasi berikutnya, “katanya kepada orang-orang Vietnam. “Mereka akan menderita dan mereka tidak mengerti mengapa. Lebih baik kita lakukan sesuatu untuk mengubah penderitaan itu.”

Nhat Hanh memimpin beberapa kelompok yang anggotanya hingga 10.000 orang di retret meditasi dan memberi ceramah di wihara-wihara yang penuh dengan orang-orang yang menentang ketidaksetujuan pemerintah terhadap tampilan keagamaan. Intinya adalah “Upacara Penyembuhan Besar-Besaran,” disebut juga “Grand Requiem Masses.” Nhat Hanh memimpin upacara penyembuhan selama tiga hari di tiga kota – satu di utara, satu di wilayah tengah, dan satu di selatan – dan ribuan orang Vietnam ikut berpartisipasi. Orang-orang dari seluruh dunia juga diundang agar mengetahui bahwa ada jutaan orang yang tewas selama perang, dan bahkan komunis dipersilakan untuk membaca teks-teks yang menonjolkan sisi kemanusiaan.

Thich Nhat Hanh kembali ke Pagoda Tu Hieu, wihara pertamanya di Huế.
Foto oleh Paul Davis.

Selama kunjungan ini, Nhat Hanh bertemu dengan presiden Vietnam dan mengajukan proposal khusus tentang kebebasan beragama, termasuk membubarkan polisi agama yang korup. Beliau menerbitkan proposal ini dan kembali ke Vietnam untuk ketiga kalinya sebagai pembicara utama pada Perayaan Waisak PBB 2008 yang diadakan di Hanoi.

Kali ini di sana ada reaksi. Dalam beberapa minggu, pemerintah mulai mengambil langkah-langkah untuk melawan Prajna Monastery, yang telah berkembang menjadi lebih dari lima ratus monastik muda dalam kurun waktu empat tahun sejak kunjungan pertama Nhat Hanh.

Selama bulan-bulan berikutnya, pemerintah memutus aliran air, listrik, dan saluran telepon ke wihara, menjadikan monastik sebagai korban pelecehan fisik dan seksual, serta mengirim orang-orang bayaran untuk melemparkan tinja ke para biksu. Pada Desember 2009, semua biksu dan biksuni dipaksa bubar dari Prajna Monastery. Saat ini, tidak ada lagi pusat latihan dalam tradisi Plum Village di Vietnam.

Thich Nhat Hanh disebut sebagai ayah dari kesadaran, pendiri Engaged Buddhism, dan “guru Zen yang memenuhi stadion.” Beliau telah mengubah cara pandang kita memahami ajaran Buddha dan perannya di dunia ini. Foto oleh Don Farber.

Guru Dunia

Pada umurnya yang ke 92 tahun, Thich Nhat Hanh diakui sebagai salah satu guru spiritual paling berpengaruh di dunia. Buku-buku terlarisnya telah mengajarkan dharma dan kesadaran kepada jutaan orang. Beliau telah menginspirasi para aktivis perdamaian dan lingkungan. Beliau telah mengumpulkan komunitas yang memiliki dedikasi tinggi untuk melanjutkan ajarannya ke masa depan. Beliau telah membantu membawa Buddhisme keluar dari wihara-wihara ke dalam setiap aspek kehidupan kita saat ini. Beliau telah membawa manfaat yang sangat besar bagi kita semua.

“Hidup kita sendiri harus menjadi pesan yang ingin kita sampaikan.”

Thich Nhat Hanh

Bersama Yang Mulia Dalai Lama, Thich Nhat Hanh merupakan penggerak utama agama Buddha di Barat. Beliau telah menjual lebih dari tiga juta buku di Amerika saja, termasuk buku-buku klasik seperti Being Peace, The World We Have, The Miracle of Mindfulness, dan The Heart of the Buddha’s Teachings. Diterjemahkan ke dalam tiga puluh lima bahasa, lebih dari seratus judulnya berkisar dari ajaran tentang kesadaran dalam kehidupan sehari-hari hingga karya ilmiah tentang Zen, sutra, dan psikologi Buddhis, ditambah lagi dengan buku anak-anak dan puisi.

Thich Nhat Hanh bersama Yang Mulia Dalai Lama.

Dalam buku-buku dan pengajarannya, Thich Nhat Hanh telah menerapkan filsafat dan praktik Buddhis dalam hubungan, politik, komunitas, lingkungan, ketertiban, dan hubungan internasional. Beliau meluncurkan Wake Up, suatu gerakan mendunia bagi generasi muda untuk berlatih dalam kehidupan yang berkewawasan dan menciptakan program Etika Terapan internasional untuk melatih para guru agar mengajarkan kewawasan sepenuhnya di sekolah-sekolah.

Thich Nhat Hanh telah menciptakan komunitas yang tersebar di seluruh dunia dengan lebih dari enam ratus monastik dan puluhan ribu umat awam. Plum Village di Prancis tetap menjadi pusat pelatihan dan wihara yang terpenting bagi komunitas. Sementara itu di AS, beliau telah mendirikan Deer Park Monastery di Escondido, California; Blue Cliff Monastery di Pine Bush, New York; dan Magnolia Grove Monastery di Batesville, Mississippi. Umat awam dapat bergabung dengan lebih dari seribu komunitas di kota-kota di seluruh Amerika Utara dan Eropa.

Visi Thich Nhat Hanh tentang agama Buddha yang terlibat secara sosial dan politik telah berkembang menjadi gerakan di seluruh dunia yang menginspirasi umat Buddha dari berbagai sekolah untuk berkomitmen demi perdamaian, keadilan sosial, dan melindungi lingkungan. Nhat Hanh sendiri telah memimpin pawai perdamaian, berpidato di Kongres AS, dan membawa orang Israel dan Palestina bermeditasi bersama-sama. Ketika ia berusia delapan puluh tahun, ia menyampaikan pidato kepada UNESCO yang menyerukan penyudahan siklus kekerasan, peperangan, dan perubahan iklim.

Thich Nhat Hanh setelah menderita stroke pada bulan November 2014. Foto milik Plum Village.

Pada November 2014, Thich Nhat Hanh menderita stroke serius. Membutuhkan waktu sepuluh bulan sampai akhirnya dia dapat berbicara lagi, dan hanya beberapa kata. Meskipun dia tidak diharapkan untuk melanjutkan peran publiknya, ajarannya akan terus berlanjut. Suatu perbendaharaan tulisan-tulisan yang mendalam, sangha yang hidup, dan puluhan ribu praktisi yang terinspirasi akan membawa pesannya kepada generasi mendatang. Di atas segalanya, seperti yang ditulisnya dalam The World We Have, “Hidup kita sendiri harus menjadi pesan yang ingin kitasampaikan.” Demikianlah, kehidupannya sendiri yang penuh keberanian, kasih sayang, dan pencerahan merupakan ajaran terbesarnya.

Sumber: Lion’s Roar

Naskah diterjemahkan oleh: Mira, disunting kembali oleh: Endah & Br. Phap Tu