The Healing Island

The Healing Island

I am a seeker. Long ago, I realized that my physical needs were met a thousand times over shelter, safety from the elements, clean water, clothes, and nutrition. Yet, I felt a longing for connection and belonging that I struggled to satisfy in my own home and in the city of Angels, Los Angeles. I yearned to contribute and be the change I wanted to see in the world: peace in oneself, peace in the world, as our teacher Thich Nhat Hanh’s teaching with his own life: My life is my teaching.

Of all the books, workshops, seminars, and meditation retreats I attended from various people and organizations, I found myself repeatedly returning to Deer Park Monastery on a mountain in Escondido near San Diego. There, I practiced Zen meditation with monks, nuns, and lay practitioners like myself. I was drawn to the comforting feeling of simply being—without judgment, without mistakes. This wonderful sense of acceptance and belonging at Deer Park or Plum Village mindfulness events allowed me to easily connect with so-called strangers, some of whom organically and gradually became my lifelong friends, even now that I’ve moved across the ocean to Bali, the healing island of the gods.

In Los Angeles, I happily joined different organizing teams for sanghas and Plum Village events quite often, on and off, during my 13 years of practicing mindfulness. Working with mindful friends towards a common mission of serving others and bringing the pure teaching and life-changing path to those in need brought me great joy and happiness. My needs for connection and contribution were beautifully and meaningfully met. I also had opportunities to learn and grow, gaining insights from great mindful teachers (both monastics and lay practitioners) and practicing mindful breathing, deep looking, and loving speech, especially in challenging situations involving less mindful individuals, including myself 

Moving to Bali last year, I noticed that the Plum Village tradition here is not as established as in Southern California. Initially, I felt sad and missed the wonderful communities I had in the past. But, as with everything in life, it is not about the outer circumstances but how we perceive them—whether as a victim or as a learner eager to grow. So, I decided to step up and bring more mindfulness events to the expat community here, where I see a huge need despite the seemingly perpetual vacation lifestyle many of us lead.

I’m thankful for the chance to step up as the main organizer of two beautiful Days of Mindfulness so far. Each event brought a wonderful co-organizer (who hopefully will become a lifelong friend) and obstacles that were overcome beautifully, resulting in beneficial experiences for many friends, some of whom had never heard of Thay or knew how to walk mindfully before.

For the first Day of Mindfulness, monastics contacted my co-organizing friend out of the blue, announcing their visit to Bali (which doesn’t yet have a Plum Village monastery, though one is coming soon, much to my joy) just five days before the planned event. We quickly coordinated with Green School, changed the date, and had four beautiful nuns lead the entire event.

Reflecting on how mindfulness and the Plum Village tradition have shaped my last 15 years, I feel thankful and happy. The practice is extremely simple—just returning to our breath, which even a child can do naturally and unconsciously. Yet, consistency is key and makes all the difference. As adults, we are now learning to breathe, walk, eat, listen, and talk all over again.

I love the pure teaching of Buddha as a philosophy of life. We measure our practice progress not by rigid, shallow, and egoic parameters like how often we sit, how much we know about Buddhist concepts, how little meat we eat, or how much charity work we do but by how compassionate we become towards ourselves and others, and how our lives harmonize with outer circumstances and those around us.

When I first encountered the practice in 2010, I was going through the toughest time of my life. Despite deep postpartum depression and years of physical, emotional, and relationship struggles, occasional visits to Deer Park recharged me every time, bringing me hope and much-needed self-belief. However, I lacked the consistency to bring mindfulness into my daily life.

Now, 15 years later, I realize the ultimate power of giving. To me, GIVING means:

  • Bring mindfulness to those ready to learn and practice it consistently,
  • Offering discounts and accepting full refunds in my mental health practice,
  • I deeply listen to my wounded inner child, my partner, and my daughter, understand the emotions and needs behind our words and actions, and respond with acceptance and clarity.

We cannot give without receiving. It is a universal law, like breathing out and in. Since intentionally centering myself on giving, I have received more and more in beautiful natural ways—physically, emotionally, financially, and in my relationships. Living my dream healer life in Bali is another manifestation of this giving philosophy that I am slowly bringing into reality in my daily life.

Living this intentional life of giving and the three right livelihoods I chose, mindfulness is invaluable. It is the energy we cultivate consistently in our daily lives through rituals of mindful teeth brushing, walking, dishwashing, sitting meditation, and even arguing or any other daily rituals that speak to oneself). So, when triggering moments arise, we have the light of mindfulness and awareness to illuminate the darkest corners of our unpresent, autopilot states of being.

Stay tuned for more Days of Mindfulness events! The next one is on August 10 from 9 AM to 1 PM in Canggu, Bali. And another one at the end of August at Green School Bali. (Kim Dang)

Di Atas Bumi Inilah Kita Menjadi Satu

Di Atas Bumi Inilah Kita Menjadi Satu
Hari Hidup Berkewawasan @Bali

Day of mindfulness (DOM) adalah program latihan hidup berkewawasan (mindfulness) sehari. Prinsip utamanya adalah hadir sepenuhnya di sini dan saat ini. Kewawasan menjadi energi dasar untuk mengenali dan memahami kondisi jiwa dan raga yang terjadi dalam diri.

Saya mengenal latihan ini sejak 2007. Saya berupaya agar latihan ini terus berlanjut kemudian menjadikannya sebagai pola hidup. Praktik ini membuat saya dekat dengan Master Zen Thich Nhat Hanh, bahkan saya bisa merasakan kehadirannya dalam setiap keheningan dan setiap napas.

Sehari Mencintai Diri

Pada hari Rabu, 3 April 2019, saya pertama kali berlatih hidup berkewawasan bersama Komunitas Swadhita Bali, lokasi latihan di Buddhayana Buddhist Centre, Denpasar, Bali.

Pada saat hari ini juga bertepatan dengan hari libur nasional yaitu memperingati Isra Mi’raj Nabi Muhamad. Salah satu dari peserta ada yang meyakini hari istimewa ini dan kami memberikan ucapan selamat kepadanya. Latihan hidup berkewawasan adalah kesempatan saya mengenali tubuh dan pikiran dengan latihan dasar melalui mengamati setiap napas masuk dan keluar.

Pada awal latihan, kami mengawali dengan menghadirkan suka cita (joy) melalui nyanyian berkewawasan (mindful singing) yaitu: “breathing in, breathing out”. Terlihat perasaan suka cita dalam diri mereka dan ini adalah praktik nyata dalam menghadirkan suka cita secara wawas (mindful). 

Saya memulai latihan ini dengan memberikan orientasi tentang “apa itu praktik berkewawasan”? Tentunya dalam komunitas ini, banyak yang lebih tahu dan sering mendengar istilah “kewawasan”, karena sebagian dari komunitas ini adalah para praktisi psikolog profesi.

Ada yang berprofesi sebagai psikolog klinis dan ada juga yang berprofesi sebagai konselor untuk para remaja di Bali. Mereka tertarik dengan praktik kewawasan, karena mereka adalah seorang praktisi untuk menyembuhkan mental orang-orang yang sedang gundah.

Menjadi seorang praktisi konseling dan psikolog klinis, mereka sadar bahwa berdamai dengan diri sendiri itu penting. Agar bisa demikian, maka ia perlu mulai dengan mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu. DOM adalah kesempatan untuk mengenali diri sendiri sehingga kita bisa lebih jauh mencintai diri sendiri melalui napas.

Beberapa dari peserta mengatakan praktik ini yang bisa membantu mereka mengenali diriya sendiri. Mereka bisa mengenali emosi, kemarahan dan masalah dalam pasangannya. Mereka akan menjadikan latihan ini sebagai latihan yang berkelanjutan dalam mendukung profesinya.

Penyembuhan Atas Trauma

Satu peserta berasal dari Palu. Dia adalah seorang psikolog klinis. Rasa takut dan trauma yang masih terngiang dalam dirinya dan juga duka mendalam. Kota Palu membuat dirinya mengingat peristiwa duka itu, sehingga dia tidak ingin tinggal di Palu untuk sementara ini sebelum rasa traumanya terobati.

Kota ke kota, provinsi ke provinsi yang dia tuju untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penyembuhan jiwa. Walaupun seorang psikolog tetapi “saya adalah manusia biasa juga yang bisa merasakan penderitaan batin” ini yang dikatakan oleh peserta itu sewaktu berbagi rasa kepada kelompok berlatih.

Dalam sesi berbagi dia mengatakan, “Hari ini saya merasakan suka cita dan bahagia melalui latihan wawas napas dan saya cocok dengan metode ini dalam rangka mencari penyembuhan jiwa atas trauma bencana yang menimpa keluarga saya di Palu.

Berbeda Menjadi Satu

Peserta DOM ada 18 orang. Kami berasal dari berbagai daerah, suku, agama dan etnis berbeda. Hal ini yang menjadi menarik dan membuat warna komunitas berlatih ini menjadi indah. Latihan kewawasan ini membuat kami menjadi satu rasa yaitu rasa hening dan rasa damai. Rasa damai ada dalam napas, ada dalam langkah hening dan ada dalam setiap aktivitas.

Kita menjadi berbeda karena memiliki asal usul, budaya, agama dan leluhur darah masing-masing. Di saat kita berada di dalam rahim ibu, kita hanya berada di dalam tubuh ibu selama sembilan bulan, namun di saat kita sudah lahir kita akan berada di rahim yang sesungguhnya yaitu rahim ibu pertiwi.

Kita berbeda asal usul namun kita sekarang sedang berada di dalam rahim ibu pertiwi, rahim yang sejati dan rahim yang besar. Di atas bumi inilah kita menjadi satu. Kita menjadi satu, satu keluarga tidaklah cukup namun kita butuh keluarga spiritual yang dapat menyatukan kita semua. Semua menjadi satu, satu menjadi semua.

Istirahat Total

Latihan kami tidak hanya duduk hening saja, tapi juga ada jalan hening, mendengarkan Dharma Sharing (Berbagi Dharma). Sesi setelah makan siang dengan hening yaitu sesi relaksasi total (total relaxation). Latihan yang tidak kalah penting dan saya bilang sesi ini menjadi sesi yang sangat favorit untuk peserta.

Sesi ini menjadi sangat berkesan waktu disampaikan dalam sesi berbagi. Tubuh dan pikiran istirahat secara total, tubuh dan pikiran relaks selamat 45 menit. Kami diberikan panduan untuk mengenali bagian-bagian tubuh dan organ yang selama ini tidak memiliki waktu untuk mengunjungi mereka.

Ketika tubuh terasa capek, relaksasikanlah tubuhmu. Kami berbaring dan pikiran pun diistirahatkan. Setelah sesi ini selesai, kami dapat merasakan kesegaran kembali dalam tubuh. Ternyata tubuh ini butuh istirahat toh.

Latihan bersama di Buddhayana Buddhis Centre telah selesai dan kami pun berpamitan untuk kembali membawa energi kebahagiaan ini kedalam kehidupan sehari-hari. Sesampai tempat istirahat, saya memberikan tubuh dan pikiran untuk istirahat juga. Setelah memberikan bimbingan dan berbagi kepada komunitas berlatih, saya juga memberikan nutrisi kepada diri saya dengan santai sejenak di tempat yang sangat hening dan sejuk.

          “After charging others, we need to go to recharge ourselves too”.


WANDI BHADRAGUNA, aspiran Ordo Interbeing, dosen, praktisi hidup berkewawasan, sukarelawan retret dan DOM, aktif di kepanditaan Majelis Buddhayana Indonesia.