The Heart of the Matter

The Heart of the Matter

Thich Nhat Hanh menjawab tiga pertanyaan tentang emosi kita
Thich Nhat Hanh | Musim Dingin 2009

Keinginan saya untuk mencapai suatu keberhasilan telah menyebabkan banyak penderitaan. Apa pun yang saya lakukan, rasanya tidak pernah cukup. Bagaimana saya bisa berdamai dengan diri saya sendiri?
Kualitas tindakan Anda tergantung pada kualitas diri Anda. Misalkan Anda ingin menawarkan kebahagiaan, untuk membuat seseorang bahagia. Itu hal yang baik untuk dilakukan. Tetapi jika Anda tidak bahagia, maka Anda tidak bisa melakukannya. Untuk membuat orang lain bahagia, diri Anda harus bahagia terlebih dahulu. Jadi ada keterkaitan antara melakukan (doing) dan menjadi (being). Jika Anda tidak berhasil menjadi yang diinginkan, Anda tidak dapat berhasil melakukan apa yang Anda inginkan. Jika Anda tidak merasa bahwa Anda berada di jalan yang benar, kebahagiaan adalah tidak mungkin. Ini berlaku untuk semua orang; jika Anda tidak tahu ke mana Anda pergi, Anda menderita. Sangat penting untuk menyadari jalan Anda dan melihat jalan sejati Anda.

Kebahagiaan berarti Anda merasa berada di jalan yang benar setiap saat. Anda tidak perlu tiba di ujung jalan agar bahagia. Jalan yang benar mengacu pada cara-cara yang sangat konkret bagaimana Anda melakoni hidup di setiap saat. Dalam Agama Buddha, kita berbicara tentang Jalan Mulia Berunsur Delapan: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, tindakan benar, penghidupan benar, upaya benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Memungkinkan bagi kita untuk menjalani Jalan Mulia Berunsur Delapan setiap saat dalam kehidupan kita sehari-hari. Itu tidak hanya membuat kita bahagia, ia juga membuat orang di sekitar kita bahagia. Jika Anda mempraktikkan jalan tersebut, Anda menjadi sangat menyenangkan, sangat segar, dan sangat berwelas asih.

Lihatlah pohon di halaman depan. Tampaknya pohon itu tidak melakukan apa-apa. Ia berdiri di sana, kuat, segar, dan indah, dan semua orang mendapat manfaat darinya. Itulah keajaiban dari keberadaan. Jika sebatang pohon tidak seperti sebatang pohon, kita semua akan berada dalam kesulitan. Tetapi jika sebatang pohon adalah pohon yang sebenar-benarnya dan apa adanya, maka ada harapan dan kegembiraan di sana. Itu sebabnya jika Anda bisa menjadi diri sendiri, itu sudah merupakan tindakan. Tindakan berdasarkan pada non-aksi; tindakan adalah wujud dari keberadaan.

Saya sibuk dari pagi hingga larut malam. Saya jarang sendirian. Bagaimana saya bisa menemukan tempat dan waktu untuk berkontemplasi dalam keheningan?
Diam adalah sesuatu yang datang dari hatimu, bukan dari luar. Diam tidak berarti tidak berbicara dan tidak melakukan sesuatu; diam berarti bahwa Anda tidak terganggu di dalam. Jika Anda benar-benar hening, maka apa pun situasi yang Anda alami, Anda dapat menikmati keheningan. Ada saat-saat ketika Anda berpikir bahwa Anda hening dan semua di sekitar tidak bersuara, tetapi pembicaraan terus terjadi di dalam kepala Anda. Itu bukan keheningan. Praktiknya adalah bagaimana menemukan keheningan dalam semua kegiatan yang Anda lakukan.

Mari kita ubah cara berpikir dan cara memandang kita. Kita harus menyadari bahwa keheningan datang dari hati kita dan bukan dari ketiadaan berbicara. Duduk untuk makan siang mungkin merupakan kesempatan bagi Anda untuk menikmati keheningan; meskipun orang lain berbicara, tetap memungkinkan bagi Anda untuk hening di dalam. Buddha dikelilingi oleh ribuan biksu. Meskipun beliau berjalan, bersila, dan menyantap makanan di antara para biksu dan biksuni, beliau selalu berdiam dalam keheningan-Nya. Buddha menjelaskan bahwa untuk menyendiri, untuk diam, tidak berarti Anda harus pergi ke hutan. Anda dapat hidup di Sangha (komunitas), Anda bisa berada di pasar, namun Anda masih menikmati keheningan dan kesunyian. Sendiri tidak berarti tidak ada orang di sekitar Anda.

Menjadi sendiri berarti Anda kokoh di sini dan saat ini dan Anda menjadi sadar akan apa yang terjadi di saat ini. Anda menggunakan perhatian Anda untuk menyadari setiap perasaan, setiap persepsi yang Anda miliki. Anda menyadari apa yang terjadi di sekitar Anda dalam Sangha, tetapi Anda selalu bersama diri sendiri, Anda tidak kehilangan diri sendiri. Itulah definisi Buddha tentang praktik keheningan yang ideal: tidak terjebak di masa lalu atau terbawa oleh masa depan, tetapi selalu berada di sini, tubuh dan pikiran bersatu, menyadari apa yang terjadi di saat ini. Itu adalah keheningan yang nyata.

Saya masih takut kehilangan ibu saya atau orang yang saya kasihi lainnya. Bagaimana saya bisa mengubah rasa takut ini?
Kita dapat melihat secara mendalam bahwa ibu kita tidak hanya ada di luar sana, tetapi juga di sini. Ibu dan ayah kita sepenuhnya hadir di setiap sel tubuh. Kita membawa mereka ke masa depan. Kita dapat belajar berbicara dengan ayah dan ibu di dalam diri kita. Saya sering berbicara dengan ibu, ayah, dan semua leluhur di dalam diri saya. Saya tahu bahwa saya hanyalah kelanjutan dari mereka. Dengan wawasan seperti itu, Anda tahu bahwa bahkan dengan hilangnya tubuh ibumu, ibumu masih berlanjut di dalam dirimu, terutama dalam energi yang telah ia ciptakan dalam hal pemikiran, ucapan, dan tindakan. Dalam Agama Buddha kita menyebutnya energi karma. Karma berarti tindakan, tiga tindakan dari berpikir, berbicara, dan melakukan.

Jika Anda melihat lebih dalam, Anda akan melihat kelanjutan ibu Anda di dalam dirimu dan di luar dirimu. Setiap pikiran, setiap ucapan, setiap tindakannya sekarang berlanjut dengan atau tanpa kehadiran tubuhnya. Kita harus melihatnya lebih dalam. Ia tidak terbatas pada tubuhnya, dan Anda tidak terbatas pada tubuhmu. Sangat penting untuk melihat hal ini. Ini adalah keajaiban meditasi Buddhis — dengan praktik melihat secara mendalam Anda dapat menyentuh hakikat tanpa kelahiran dan tanpa kematian Anda sendiri. Anda menyentuh sifat tidak-lahir dan tidak-mati dari ayah, ibu, anak Anda, dari semua yang ada dalam diri Anda dan di sekitar Anda. Hanya wawasan inilah yang dapat mengurangi dan mengubah rasa takut. (Alih bahasa: Rumini)

Sumber: The Heart of the Matter

Sutra Untaian Bunga: Sepuluh Maha Aspirasi Bodhisattwa Samantabhadra

Sutra Untaian Bunga: Sepuluh Maha Aspirasi Bodhisattwa Samantabhadra

Badan, ucapan, batin, jernih dalam kesatupaduan,
Aku bersujud sepenuh hati kepada semua Buddha tak terhitung
Dari masa lalu, masa sekarang, dan masa akan datang
melalui seluruh alam semesta di sepuluh penjuru

Kekuatan dari aspirasi Samantabhadra
memungkinkan aku hadir di setiap sudut.
Di situ hadir Buddha, aku juga hadir.
Jumlah Buddha tak terhitung, aku juga demikian.

Dalam setiap partikel debu terdapat Buddha,
Semuanya hadir bersama rombongan pesamuhannya.
Kekuatan dari keyakinanku menembus ke dalam
setiap atom dari semua Dharmadhatu.

Aku bertekad untuk menggunakan maha suara samudera,
mengumandangkan suara gema luar biasa
memuja para Buddha bagaikan lautan kebajikan,
Dari masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.

Aku membawakan persembahan indah ini:
Untaian dari bunga yang sangat ingah,
dupa, musik, parfum, dan panji-panji,
Semua ini untuk menghiasi Tathagata dan tanah suci.

Membawakan makanan, jubah, bunga harum,
pelita, cendana, alas untuk duduk,
perhiasan terbaik semuanya tersedia di sini–
semua ini merupakan persembahan kepada Tathagata.

Terinpirasi oleh aspirasi Samantabhadra,
Dengan sepenuh hati, menyertakan pemahaman terdalam,
Dengan kasih sayang penuh keyakinan kepada Buddha tiga masa,
memberikan persembahan kepada Tathagata di setiap sudut.

Dari waktu yang tiada awal saya telah berbuat tidak terampil
karena kemelekatan, kebencian, dan ketidaktahuan
Melalui berbagai aksi badan jasmani, ucapan, dan pikiran.
Saat ini aku bertekad untuk memulai lembaran baru, aku bertobat.

Aku bermuditacita atas semua aksi kebajikan
yang dilakukan oleh siapa pun di segala penjuru,
Oleh siswa dan mereka yang tidak perlu belajar lagi,
Para Buddha dan para Bodhisattwa.

Semua makhluk merupakan pelita bagi dunia ini
dan juga mereka yang baru saja mencapai pencerahan,
Aku memohon engkau menatap kami dengan penuh kasih,
mohon putarkanlah Roda Dharma untuk kami semua.

Dengan sepenuh hati, segala kerendahan aku memohon
kepada semua Buddha dan mereka yang hampir memasuki nirwana:
Mohon tetap bersama kami, sepanjang tiga masa,
demi memberikan manfaat dan kebaikan untuk semua.

Dengan rendah hati persembahan ini untuk mengundang Buddha
mohon tinggal bersama kami dan bimbinglah kami ke pantai seberang.
Semua kebajikan dari puji-pujian beserta pertobatan tulus ini
Aku persembahkan untuk pencapaian pencerahan sempurna.

Kebajikan ini dilimpahkan kepada Tiga Permata,
kepada hakikat dan bentuk Dharmadhatu.
Dua kebenaran saling bersinggungan dengan sempurna
ke dalam segel Samadhi.

Samudera kebajikan sungguh tak terukur.
Aku bertekad untuk melimpahkannya dan tidak untuk diri sendiri.
Jika ada manusia, dengan tidak sengaja mendiskriminasi dan menuduh,
mencoba untuk melakukan suatu yang tidak baik pada ajaran ini
dengan menguncarkan kata-kata dan aksi-aksi yang tidak baik,
semoga halangan mereka bisa sepenuhnya tersingkirkan.

Dalam setiap momen, kearifan telah meliputi Dharmadhatu,
menyambut semua makhluk tiba pada kondisi tidak-mundur-lagi.
Ruang dan semua makhluk sungguh tak terhitung jumlahnya,
demikian juga gangguan batin dan akibat dari aksi sebelumnya.
Keempat hal ini sungguh banyak dan sungguh tak terukur.
Demikian juga persembahan kebajikan ini.

Diterjemahkan oleh Thich Nhat Hanh dari
Avatamsaka Sutra 36
Taisho Revised Tripitaka 279

Rekomendasi & Sendiri Lagi

Rekomendasi & Sendiri Lagi

Naskah ini merupakan terjemahan dari plumvillage.org, Anda bisa baca versi Inggris lewat pranala ini.


Puisi ini digubah oleh Thich Nhat Hanh (Thay) sewaktu perang vietnam. Setiap hari, nyawa dirinya dan muridnya terancam. Sementara puisi ini memberi dukungan agar setiap insan menumbuhkan wawasan mendalam, welas asih, dan sikap memaafkan. Kemudian puisi ini juga telah dijadikan lagu. Selamat menikmati.

Rekomendasi

Thich Nhat Hanh

Berjanjilah padaku,
berjanjilah padaku hari ini,
berjanjilah padaku sekarang juga,
selama matahari masih di atas kepala
tepat di zenit,

Berjanjilah padaku:
walaupun mereka
menyerang kamu
dengan kebencian dan kekerasan sebesar gunung;
walaupun mereka menginjak-injak dirimu
menghancurkanmu bagaikan ulat,
walaupun mereka memotong dan
merobek dirimu,
ingatlah saudaraku, ingatlah:
manusia bukanlah musuh kita.

Satu-satunya hal yang layak engkau tumbuhkan adalah welas asih
terkuat, tanpa batas, dan tanpa syarat.
Kebencian tidak akan membiarkanmu
menghadapi sifat buas manusia.

Suatu hari nanti, ketika engkau menghadapi kebuasanmu
dengan keberanianmu utuh, matamu penuh kasih, tidak terusik
senyumanmu akan memekarkan bunga.

Mereka yang engkau cintai
akan menemanimu
berjalan melalui sepuluh ribu
dunia kelahiran dan kematian.

Sendiri lagi,
aku akan terus berjalan
dengan kepala tertunduk,
aku tahu bahwa cinta kasih akan langgeng.
Di perjalanan panjang dan penuh tantangan ini
matahari dan bulan akan terus bersinar.


“Manusia bukanlah musuh. Sang musuh kita sesungguhnya adalah kebencian, kemarahan, ketidaktahuan, dan ketakutan”

Thich Nhat Hanh

Thich Nhat Hanh mengisahkan cerita dibalik puisi itu

Saya menulis puisi itu pada tahun 1965 untuk anak-anak mudah School of Youth for Social Service, nyawa mereka terancam setiap hari pada masa perang. Saya memberikan rekomendasi kepada mereka, jika memang harus gugur dalam misi perdamaian, maka gugurlah dengan tidak membawa kebencian. Ada beberapa kawan kami telah dibunuh dengan kejam, dan saya menegaskan kepada mereka agar tidak terhanyut dalam kebencian.

Musuh kita sesungguhnya adalah kemarahan, kebencian, keserakahan, kefanatikan, diskriminasi sesama manusia. Jika engkau harus gugur karena kekerasan, maka engkau wajib memeditasikan welas asih agar bisa memaafkan mereka yang membunuhmu. Ketika engkau berhasil mewujudkan welas asih secara nyata, engkau sungguh adalah anak sejati dari Buddha. Walaupun engkau harus gugur karena penindasan, dihina, dan kekerasan, jika engkau bisa tersenyum dengan sikap memaafkan, ini berarti engkau telah memiliki kekuatan besar.

Ketika membaca ulang puisi ini sebaris demi sebaris, saya tiba-tiba mengerti bahwa ada bagian dalam Sutra Intan yang menjelaskan tentang Kshanti (kesabaran), kekuatan untuk menanggung derita dan toleransi: “Keberanianmu utuh, matamu penuh kasih, tidak terusik, melalui senyumanmu akan memekarkan bunga. Dan mereka yang engkau cintai akan menemanimu berjalan melalui sepuluh ribu dunia kelahiran dan kematian”.

Jika engkau gugur dengan pikiran welas asih, engkau menjadi pelita penerang jalan. Nhat Chi Mai adalah seorang anggota Ordo Interbeing paling awal, sebelum dia membakar dirinya, dia membacakan puisi ini dan direkam sebagai pesan kepada kedua orangtuanya.

Sendiri lagi, aku akan terus berjalan dengan kepala tertunduk” demi melihatmu, mengetahui tentangmu, mengingatmu. Cinta kasihmu telah menjadi langgeng. “Di perjalanan panjang dan penuh tantangan ini matahari dan bulan akan terus bersinar”. Jika ada relasi antara mereka yang telah matang, maka selalu ada welas asih dan sikap memaafkan.

Dalam hidup manusia, kita butuh orang lain melihat dan mengetahui bahwa kita mendapat dukungan. Kita juga ingin Buddha mengetahuinya! Perjalanan melayani semua makhluk, ada momen-momen merasakan kepedihan dan kesepian, namun kita tahu Buddha selalu menemani kita, Buddha melihat dan mengetahuinya, sehingga kita memiliki kekuatan dan tekad untuk terus melanjutkan pelayanan.

Weston Priory telah mengubah puisi ini menjadi musik yang indah.

Alone Again (Sendiri Lagi) – Weston Priory

Unduh lagu (mp3) klik sini


Recommendation by Thich Nhat Hanh

Promise me,
promise me this day,
promise me now,
while the sun is overhead
exactly at the zenith,

promise me:
Even as they
strike you down
with a mountain of hatred and violence;
even as they step on you and crush you
like a worm,
even as they dismember and disembowel you,
remember brother, remember:
man is not our enemy.

The only thing worthy of you is compassion –
invincible, limitless, unconditional.
Hatred will never let you face
the beast in man.

One day, when you face this beast alonewith your courage intact, your eyes kind,
untroubled
(even as no one sees them),
out of your smile
will bloom a flower.

And those who love you
will behold you
across ten thousand worlds of birth and dying.

Alone again,
I will go on with bent head,
knowing that love has become eternal.
On the long, rough road
the sun and moon will continue to shine.

Awakening the Heart of Compassion

Awakening the Heart of Compassion

Meditation and music with Brother Spirit (Phap Linh) during his two week quarantine in Plum Village. Watch live streams from the Plum Village monastery on https://PlumVillage.org and download the free Plum Village mindfulness app from https://plumvillage.app

The music is a new instrumental arrangement of the Plum Village chant “De La Vision Profonde” — which is a poetic translation by Thich Nhat Hanh, of a traditional classical Chinese invocation — see below for text in English and French.

Mengubah Endemik COVID-19 Menjadi Kekuatan Baru

Mengubah Endemik COVID-19 Menjadi Kekuatan Baru

Di akhir tahun 2019, dunia diguncang berita bahwa Wuhan membatasi mobilitas warganya terkait merebaknya novel corona jenis baru. Virus baru ini memiliki tingkat penyebaran cukup besar dan ada risiko kematian.

Kepanikan, kebingungan dan ketakutan warga Wuhan tampak pada rekamn video yang dibagikan melalui whatsapp, medsos atau televisi. Penyebaran itu menyentuh bibit belas kasih dalam diri saya, sehingga begitu ada ajakan untuk membantu langsung saya sanggupi.

Sejuta masker

Perjuangan mencari satu juta masker dimulai, pada saat itu tidak ada sebersit pun pemikiran virus tersebut akan menyebar ke seluruh dunia. Berkat hati baik para sahabat, dalam waktu satu hari terkumpul sejumlah dana untuk membeli masker.

Segala merek masker mulai dari harga wajar hingga menjadi sepuluh kali lipat dalam waktu empat minggu kami beli dan kumpulkan. Kami mengalami banyak benturan demi benturan, seperti kendala pengiriman dari luar kota, tertipu pedagang online bodong, sampai pembelian ala mafia, semuanya berpacu dengan waktu untuk membantu mengatasi krisis masker yang dialami oleh masyarakat Tiongkok.

Begitu masker bisa sampai di lembaga charity setempat, kebahagiaan muncul begitu saja. Kegiatan amal ini pun kami hentikan begitu kelangkaan masker merebak. Harga masker juga sudah sangat tidak wajar dipicu oleh kebutuhan masker di dalam negeri. Janji kami pun untuk membantu mengirimkan masker hanya terpenuhi separuhnya.

Benih Keserakahan

Belajar dari pengalaman ini lalu melihat ke dalam diri, saya ingat nasihat dari Thay, benih-benih yang tersimpan di gudang kesadaran terutama benih negatif mudah sekali tersirami kemudian benih itu muncul dalam kesadaran pikiran kita.

Berkali-kali saya mendapati diri saya tergoda untuk menumbuh-suburkan keserakahan dalam godaan keuntungan materi untuk menjual kembali masker dengan harga lebih tinggi dengan berlindung di balik kalimat “membantu sahabat yang membutuhkan”. Beruntung berkali-kali pula saya bisa menetralkan keinginan itu untuk kembali kepada tujuan semula. Saya merasa lega diiringi sedikit rasa menyesal tidak mendapatkan keuntungan materi.

Dalam kesendirian, dalam upaya mencoba mengali lebih dalam ke dalam diri, banyak pertanyaan muncul. Untuk apa saya melakukan kegiatan semi “kurang waras” ini? Kenapa saya melepas kesempatan mendapatkan keuntungan lebih? Kenapa saya membantu orang yang tidak saya kenal? Kenapa penjual bisa begitu saja menaikkan harga? Kenapa ada banyak orang seperti mati rasa dalam kondisi seperti ini?

Beruntungnya pula saya termasuk ahli untuk tidak mencampurkan pekerjaan satu dengan yang lain, sehingga walaupun pertanyaan banyak, tidak mengganggu pada pekerjaan lainnya, semua pertanyaan bisa diendapkan dengan harapan suatu hari nanti akan terjawab.

Benih Kewawasan

Malam itu, muncul dorongan untuk menonton ceramah Thay tahun 2004, Thay menerangkan hal-hal yang saya yakin sudah pernah saya dengar sebelumnya, namun rasanya ini betul-betul baru, rasanya seperti memecahkan telur, ohhhhhhh…. Ini toh yang namanya muncul pengertian baru.

Kajian dari mengulang mendengar psikologi Buddhis melalui Thay dengan peristiwa ini adalah sebagai berikut; mendengar dan menonton berita tentang Wuhan ternyata menjadi pemantik atau air yang menyirami benih belas kasih saya. Dari situlah muncul kekuatan yang mendorong saya melakukan kegiatan amal.

Latihan sadar penuh atau kewawasan (mindfulness) yang intens selama dua-tiga tahun terakhir, telah menanam benih-benih energi kewawasan yang tersimpan rapi dalam gudang kesadaran (store consciousness), menunggu untuk disirami dan muncul.

Begitu rasa serakah timbul, benih kewawasan juga bisa ditumbuhkan, mengenali dan kemudian merangkul rasa serakah itu. Ketika energi kewawasan bercampur dengan energi serakah, maka energi serakah secara alami akan melemah. Makin kuat rasa serakah timbul, aku akan makin semangat membangkitkan energi kewawasan untuk merangkul.

Sesederhana itu hukum ini berlaku, hanya perlu keyakinan diri untuk terus berlatih dengan tekun untuk selalu menyadari napas, berkonsentrasi pada setiap kegiatan saat ini hingga timbul pengertian mendalam, jika semuanya belum tumbuh teruslah berlatih dan biarkan semuanya lepas (letting go).

KSHANTICA anggota Ordo Interbeing Indonesia, sukarelawan retret mindfulness, dan aktif di MBI DKI Jakarta.

Finding A Home At Work

Finding A Home At Work
DOM untuk guru sekolah Ananda, Feb 2020

Di dalam dunia kerja, tak ada yang bisa mengelak urusan kerja sama dengan orang lain. Ada tim, rekan kerja divisi, proyek, supplier, ataupun klien. Di dunia sekolah, ada para guru, selain interaksi dengan sesama guru dan staf, juga berhubungan dengan murid dan orang tua murid. Jika kita datang ke tempat kerja dengan suasana hati yang siap, gembira, segar dan damai, kita dapat membantu rekan atau murid kita untuk melakukan hal yang sama.

Ada waktunya kita merasa kurang nyaman di tempat kerja. Anda merasa takut dikucilkan. Anda mencoba untuk berprilaku yang membuat agar bisa diterima oleh mereka. Coba bayangkan Anda pergi ke taman dan menghabiskan waktu melihat pohon, bunga dan binatang. Anda merasa nyaman dan diterima oleh mereka. Anda tidak takut mereka menatapmu atau menghakimimu.

Bunga tidak memiliki rasa takut seperti itu. Ia tumbuh di taman bersama bunga dan tanaman lainnya, tapi ia tidak mencoba untuk menjadi bunga lain. Ia menerima dirinya apa adanya. Jangan mencoba menjadi orang lain atau sesuatu yang lain. Jika kita lahir seperti kita sekarang, kita tidak perlu mengubahnya menjadi sesuatu yang lain. Kita belajar menerima diri apa adanya. Semesta telah membantu kita menjadi versi kita yang sekarang ini, kita indah apa adanya.

“To be beautiful means to be yourself”

Thich Nhat Hanh

Mengatasi Emosi di Tempat Kerja

Sangat penting bagi kita untuk belajar bagaimana menghadapi emosi yang meluap di tempat kerja, hal ini demi menjaga hubungan baik dengan teman kerja, menjaga komunikasi tetap terbuka dan tidak menciptakan atmosfir kerja yang negatif atau penuh tekanan.

Pertama, sadarilah bahwa emosi apa pun pasti tidak bertahan lama. Mereka datang, menginap sebentar, kemudian pergi. Sangat penting untuk menghentikan semua pikiran kita ketika emosi yang kuat muncul, jangan menambah ‘api’ dengan pikiran-pikiran kita yang lain. Kita perlu berhenti sejenak dan kembali pada latihan bernapas.

Latihan kedua. Menyadari tubuh dan ikuti napas masuk dan napas keluar. Ikuti saja. Tidak perlu memaksa untuk mengubahnya. Bawa perhatian pada napas dan secara alami izinkan napas menjadi lebih tenang, lebih dalam, lebih pelan dengan secara alami. Jika kita bisa berlatih seperti ini, bukan hanya napas kita yang menjadi tenang, tapi tubuh dan pikiran kita juga dapat menjadi tenang.

Setelah berhasil kembali ke diri kita, kenali perasaan dalam diri kita. Di dalam mungkin ada rasa marah, kekhawatiran, ketakutan, keraguan, atau putus asa. Kenali dan terimalah semua perasaan itu dengan lembut. Bayangkan seorang ibu yang mendengar bayinya menangis. Hal pertama yang dia lakukan adalah segera menghentikan pekerjaannya, dan langsung menuju ke bayinya. Kemudian ia menggendongnya dengan lembut. Di dalam diri bayi pasti ada energi penderitaan sehingga menangis. Dalam diri ibu ada energi kelembutan, yang mulai mengalir ke bayi ketika digendong. Sama halnya dengan ini, emosi kuat kita adalah bayi kita, kemarahan kita adalah bayi kita. Rasa putus asa kita adalah bayi kita. Bayi kita memerlukan kita untuk pulang dan memberi perhatian padanya.

Memulihkan Komunikasi

Bagaimana jika kita tidak dapat mentransformasikan perasaan marah atau kecewa? Kita harus mendatangi orang tersebut dan meminta bantuan agar kita dapat mengoreksi persepsi keliru yang kita miliki. Tetapi ini hanya dilakukan jika kita kita telah berdamai dengan kemarahan diri sendiri.

Biasanya waktu yang tepat untuk mengkomunikasikan hal ini adalah dalam 24 jam, karena tidak baik untuk kesehatan jika kita menyimpan amarah terlalu lama. Biarkan orang tersebut tahu jika kita sedang marah, tahu bahwa kita menderita karenanya dan kita tidak tahu mengapa mereka mengatakan atau melakukan hal itu sehingga membuat kita marah. Minta bantuan dan penjelasan. Jika kita sangat marah dan tidak dapat mengatakannya secara langsung, ungkapkan dengan tulisan.

“Untuk temanku,
Aku sedang menderita.
Aku marah, dan aku ingin kamu mengetahuinya.
Bantulah aku. Aku tidak dapat menghadapi kemarahan ini sendirian.
Aku telah berlatih, tetapi hampir 24 jam berlalu dan aku belum merasa
sedikit pun lega. Aku tidak dapat mentransformasikan kemarahan ini sendirian. Bantulah aku.”

Thich Nhat Hanh

Aku membutuhkanmu. Aku sedang menderita. Bantulah aku” adalah tiga kalimat yang bisa membantu kita meredakan kemarahan. Kalimat ini bisa ditulis dan disimpan di dompet, sehingga ketika kita marah, sebelum kita berkata atau melakukan sesuatu, keluarkan tulisan itu dari dompet dan bacalah tiga kalimat itu.

Tanda Tanganmu

Ketika kita bekerja, ada yang melakukan service (pelayanan) pada orang lain ataupun memproduksi sesuatu barang. Tetapi ada hal lain selain itu yang kita hasilkan ketika bekerja, yakni pikiran, ucapan dan perbuatan. Ketika seorang pelukis atau komposer menghasilkan sebuah karya, mereka akan memberikan tanda tangan pada hasil karyanya.

Dalam kehidupan sehari, pikiran, ucapan dan perbuatan kita adalah tanda tangan kita. Jika pikiran kita adalah pikiran benar, mengandung pengertian, welas asih dan pencerahan, itu adalah hasil karya yang bagus, itu adalah warisan kita. Apapun yang kita katakan adalah hasil dari siapa kita dan apa yang kita pikirkan. Jika kata-kata kita kejam atau baik, itu adalah tanda tangan kita. Apa yang kita katakan mungkin dapat menyebabkan kemarahan, pesimis, rasa putus asa yang besar, dan itu adalah tanda tangan kita. Melalui kewawasan (mindfulness), kita dapat memproduksi ucapan yang mengandung pengertian, welas asih, dan sukacita..

Ketika kita memiliki kedamaian dan kebahagiaan yang cukup, maka apa pun yang kita katakan akan memancarkan elemen positif kepada orang lain, dan itu akan menumbuhkan benih baik dalam diri mereka, mengizinkan elemen positif dalam diri mereka untuk bertumbuh. Mereka juga akan mengetahui bagaimana menyiram hal-hal positif pada lawan bicara. Sebaliknya, jika pembicaraan hanya bertujuan untuk mengeluh tentang orang lain di tempat kerja, meluapkan kemarahan, frustasi, dan kekerasan, maka kita akan melukai diri sendiri dan orang lain. Begitu juga dengan perbuatan kita. (Sumber: Work oleh Thich Nhat Hanh)

Jadi mari kita ke tempat kerja sebagai seorang bodhisatwa yang memiliki aspirasi untuk menolong orang lain untuk bertransformasi dan melewati saat-saat sulit mereka dan membawa kedamaian serta kesejahteraan bagi lingkungan di tempat kerja.

RUMINI LIM guru sekolah Ananda di Bagan Batu

Ada Di Hatiku

Ada Di Hatiku

Sinar matahari
di wajah dan mataku
matahari bersi-nar terang (2x)

Sungai mengalir deras
dari gunung ke kakiku
sungai mengalir ke- hatiku (2x)

Chorus:
Dari gunung dan bunga
anak kecil dan rusa (rusa)
kasih sayang sesama
Ada ruang hatiku- untukmu

Pohon menari indah
menghasilkan oksigen
pohon menari di- hatiku (2x)

Burung berterbangan
ikan berenang bebas
semuanya ada di- hatiku (2x)

Dari gunung dan bunga
anak kecil dan rusa (rusa)
kasih sayang sesama
ada ruang hatiku (rumahku) untukmu (3x)

Wake Up

Wake Up

Generasi muda Buddhis dan Non-Buddhis demi masyarakat yang lebih sehat dan berwelas asih.

Thich Nhat Hanh

Wake Up merupakan komunitas global yang terdiri praktisi muda berusia dari 18 sampai dengan 35 tahun, komunitas ini terinspirasi oleh metode pengajaran Master Zen Thich Nhat Hanh. Kami berkumpul bersama mempraktikkan kewawasan (mindfulness) untuk merawat dirinya, memberikan kontribusi bagi terciptanya masyarakat yang lebih sehat dan berwelas asih.

Kami ingin membantu dunia ini yang telah dibanjiri oleh intoleransi, diskriminasi, loba, kemarahan, dan putus asa. Kami menyadari bahwa kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh masyarakat, dengan demikian kami memilih cara hidup agar bumi ini bisa bertahan lebih lama.

Mempraktikkan kewawasan, konsentrasi, dan keatifan (mindfulness, concentration, and insight) memungkinkan kita untuk menumbuhkan sikap toleransi, non diskriminasi, dan sikap welas asih di dalam diri sendiri dan dunia ini.

Praktik

Kami menjadikan 5 Latihan Sadar Penuh (Five Mindfulness Trainings) sebagai pedoman praktik konkrit tentang cinta sejati dan welas asih, dan jalan kehidupan harmonis dengan setiap orang dan bumi ini. Pedoman ini merupakan fondasi kehidupan dan mewakili pelayanan ideal kami.

Praktik yang kami lakukan berlandaskan upaya untuk membangkitkan kewaspadaan lewat napas dan hidup penuh kewawasan pada momen kekinian, menyadari apa yang sedang terjadi di dalam hati dan lingkungan sekitar. Praktik ini membantu kami menurunkan ketegangan (tension) dalam tubuh dan perasaan agar kami bisa hidup lebih bermakna dan bahagia, lalu menggunakan cara mendengar dengan penuh welas asih dan bahasa kasih untuk membangun kembali komunikasi dan rekonsiliasi dengan pihak lain.

Anak Muda Memilih Jalur Monastik

Anak Muda Memilih Jalur Monastik

Bulan Desember 2019 menjadi bulan penting bagi 14 anak muda yang berkomitmen untuk menempuh jalur monastik. Mereka menerima penahbisan sebagai sramanera dan sramaneri. Penahbisan di Plum Village selalu dalam jumlah besar sehingga diberikan nama keluarga. Penahbisan barusan mendapat nama Ngọc Am yang berarti Mourning-cypress.

Penahbisan ini dihadiri oleh biksu dan biksuni senior dari Vietnam. Seremoni penahbisan ini juga dihadiri oleh Master Zen Thich Nhat Hanh yang akrab disapa Thay. Seperti yang telah diberitakan bahwa Thay kembali ke Vietnam sejak setahun terakhir. Saat ini beliau sedang berada di Thailand untuk melakukan check up kesehatan, beliau dalam kondisi prima hingga saat ini.

A Spiritual Journey

A Spiritual Journey
Buddhist students of Pelita Harapan University

Here I am, a year later, sitting on the same exact spot writing about the same event and yet a whole different experience. KMVB UPH hosted another event called ‘Fun with Dhamma’ with the emphasis on ‘Finding Peace within You.’ Because I attended the last event, consciously I have made some expectations and was hoping that this time will be as good as last year’s. Fortunately, the event was as expected and yet, another eye-opening experience for me.

It was the same routine of meditation but, somehow the experience was different. As if there will always be something new to discover and explore. Be it with the practice, or within yourself. So, the fact that I attended the last event does not really matter because I experienced a whole another experience.

In one of the Dhamma Sharing session, a friend asked about sitting meditation and how to deal with the cries of our legs and feet. With enthusiasm and a bit of humor, Bhante Kirya answered, “Feel it, feel the pain, feel where the pain comes from. The pain will always be there but it is always up to you whether you want to suffer or not.” It opened a whole new perspective regarding my aching legs and feet. What he said makes total sense, pain and suffering are two different objects and we can separate one from the other.

With that new, interesting knowledge in my mind, I set a resolution that I will try to sit thirty minutes without moving at all. Interestingly enough, I did it. Despite the constant struggle and battle inside my mind, I managed to persevere through the pain and decided not to suffer. During the thirty minutes, I kept thinking if my blood stopped flowing and my legs cant feel anything, does my legs need to be amputated? Those thoughts constantly tested my resolution but now I can finally say that indeed, there can be pain and no suffering.

In another session of Questions and Answers with the monastics, my other friend asked a question that piqued the interest of Bhante Nyanabhadra; the question was so long that in one question there were four questions. It was regarding self-love, hopelessness, self-hate, and ways to overcome them. In the case of self-love, he simply answered, “Taking enough sleep is loving yourself, taking care of your body is loving yourself, eating the right food is loving yourself. These are the things that you are currently doing in this camp and these are the ways to love yourself.” So simple yet so profound.

In regards to hopelessness and self-hate, he told my friend that it is both a blessing and a curse that you were feeling this way at that point. A curse because you hate yourself but also a blessing because you admitted and acknowledged that there is self-hate. He continued, “Just like the Four Noble Truth, first, the acknowledgement of hating yourself. Second, find the reasons why you hate yourself. Thirdly, knowing the reasons will help you in overcoming your self-hate. Lastly, find the ways to overcome that suffering.”

His answer did not stop there, he began explaining, “Consistent practice of meditation and application of mindfulness can help and guide you, but of course to a certain extent. Eventually the that feeling will come back again and knock your door. But this time, you are more prepared in facing it. It is also impossible to avoid the problem and please do not try to avoid the problem because it will make you suffer more. Instead, acknowledge that feeling and embrace it and know that this will pass.”

When he finished talking, my friend started to tear up and Bhante Nyanabhadra was clueless on what he said wrong. I spontaneously said, “Its tears of happiness” and I hope it was.

Another perspective that amazes me was when Bhante Nyanabhadra was speaking about the shape and content of Buddhist teachings. He elucidated that there are many shapes of traditions of Buddhist teachings but essentially, the most important aspect is its content rather than the shape. Many people put significance on the shape but lose sight of the essence. As long as the content reflects the core of Buddhism principles, the shape is of secondary importance.

Previously, I said I gained a drop of enlightenment in the boundless ocean of Buddhist teachings and this time I can say I gained another priceless drop of enlightenment through this event. Although there are challenges and difficulties ahead of me, I am sure that with practicing these mindfulness methods will help me reach equanimity. Credits to the committees that made this whole thing happened and to my new Dharma friends. I hope we will cross each other’s paths again in the future.

Oleh: Hendy, Keluarga Mahasiswa Vidya Buddhis, Universitas Pelita Harapan.