Mendengarkan Secara Seksama dan Simpatik

Mendengarkan Secara Seksama dan Simpatik

Mendengarkan dengan seksama adalah suatu praktik meditasi yang dapat membuahkan banyak keajaiban penyembuhan. Bayangkanlah seorang dengan berbagai kesulitan dan penderitaan di hatinya yang tak punya seorang pun untuk mendengarkannya. Kita bisa menjadi bodisattwa, orang yang dipenuhi oleh kasih melimpah bagi seluruh makhluk, yang duduk dan mendengarkan secara seksama supaya dapat meringankan penderitaan orang itu. Kita mesti menggunakan keadaan sadar-penuh kita untuk mengingatkan diri kita bahwa ketika menawarkan diri untuk mendengarkan seseorang secara seksama, kita melakukannya dengan tujuan sepenuhnya untuk membantu mereka mengosongkan hati dan mengeluarkan apa pun yang membuat mereka menderita. Bila kita bisa tetap fokus pada tujuan itu, kita dapat melanjutkan mendengarkan secara seksama, meski pembicaraan orang itu mungkin memuat banyak persepsi keliru, kegetiran, sarkasme, penghakiman, serta tuduhan.

Mendengarkan dengan seksama dengan sepenuh hati, dengan segenap cinta kasih dan sikap welas-asih, kita tidak akan terganggu oleh apa pun yang disampaikan orang itu. Kita katakan pada diri sendiri: Kasihan dia, dia begitu banyak persepsi keliru; dia sedang terbakar oleh rasa marah dan sakit hati.” Kita terus mendengarkan; dan kemudian, bila ada peluang tepat, kita dapat memberinya informasi yang lebih akurat untuk membantunya melihat kenyataan dengan lebih jelas. Kemarahan dan penderitaan lahir dari persepsi-persepsi keliru; bila kita mendapatkan gambaran realitas yang lebih akurat, awan hitam marah dan penderitaan pun sirna. Dengan mengetahui hal itu, kita dapat duduk dengan tenang dan terus mendengarkan dengan penuh perhatian.

Kita biarkan orang itu menyampaikan apa pun yang ada di dalam pikirannya; kita mendorongnya untuk menumpahkan seluruh uneg-unegnya, dan kita tidak menginterupsinya atau mencoba mengoreksinya pada saat itu. Sejam mendengarkan secara seksama begini dapat mengurangi penderitaan orang itu dan membuatnya merasa jauh lebih ringan. Kesabaran adalah salah satu pertanda cinta sejati. Kita harus menunggu dan menemukan waktu yang tepat setelahnya untuk memulai informasi yang akan membantu orang itu mengoreksi persepsi-persepsinya yang keliru. Jangan memberikan informasi itu sekaligus, karena dia mungkin tak mampu mencerna semuanya sekaligus, dan bisa-bisa dia tidak percaya atas informasi kita sama sekali. Kita harus memberikan informasi itu dalam dosis secukupnya, sedikit saja yang dapat diterimanya dan akhirnya ia pun dapat melepaskan cengkeramannya pada persepsi-persepsi yang keliru itu. Mendengarkan dengan tanpa penghakiman juga dapat memberi kita kesempatan untuk menemukan dan mengoreksi persepsi-persepsi keliru kita sendiri dan bila itu dilakukan, kita dapat meminta maaf kepada orang itu secara langsung.

Dalam ajaran Buddha, bodisattwa Awalokiteshwara (juga dikenal sebagai Dewi Quan Yin di China, Kannon di Jepang, atau Quan The Am di Vietnam) adalah spesialis dalam mendengarkan dengan cinta kasih dan welas-asih. Inilah bacaan untuk latihan ini, dari Kitab Kidung Harian yang kami gunakan di Plum Village:

Kami menyeru namamu, Awalokiteshwara
Kami berharap dapat belajar caramu mendengarkan untuk membantu meringankan penderitaan di dunia. Engkau tahu cara mendengarkan supaya mengerti. Kami akan duduk dan mendengarkan tanpa prasangka.
Kami akan duduk dan mendengarkan tanpa menghakimi atau bereaksi. Kami duduk dan mendengarkan sepenuh perhatian supaya dapat mendengarkan apa yang disampaikan dan apa yang tak terkatakan. Kami tahu bahwa hanya dengan mendengarkan secara seksama, engkau sudah dapat meringankan begitu banyak duka dan penderitaan orang lain.

Sutra Mengetahui Cara Lebih Baik Untuk Menangkap Ular

Sutra Mengetahui Cara Lebih Baik Untuk Menangkap Ular

Demikianlah yang telah saya dengar, suatu ketika Buddha berdiam di Wihara Anathapindika dekat Hutan Jeta, Kota Shrawasti. Pada saat itu, Bhante Arittha, sebelum ditahbiskan menjadi biksu ia adalah seorang pelatih burung heriang. Berdasarkan ajaran Buddha, ternyata Bhante Arittha memiliki pandangan keliru, ia menganggap bahwa kenikmatan sensual bukanlah penghalang latihan. Setelah mendengar pendapat demikian, beberapa biksu lain bertanya kepada Bhante Arittha, “Bhante Arittha, apakah Anda benar-benar yakin bahwa Buddha mengajarkan tentang kenikmatan sensual bukanlah penghalang latihan?”

Bhante Arittha menjawab, “Sahabatku, benar apa adanya, saya yakin Buddha tidak menganggap bahwa kenikmatan sensual merupakan penghalang latihan.”

Para biksu menyampaikan dengan tegas, “Bhante Arittha, Anda telah keliru dalam menginterpretasikan ajaran Buddha, bahkan telah menghina beliau. Buddha tidak pernah mengajarkan bahwa kenikmatan sensual bukanlah penghalang latihan. Justru, Buddha banyak menggunakan contoh-contoh untuk menerangkan bahwa kenikmatan sensual merupakan penghalang latihan. Anda seharusnya meninggalkan pandangan keliru itu.” Walaupun para biksu telah menyampaikan dengan tegas kepada Bhante Arittha, dia tetap tidak mau mengubah pandangannya. Para biksu mengulang sebanyak tiga kali, dan sebanyak tiga kali juga Bhante Arittha menolak, bahkan terus menyatakan bahwa pandangannya benar, justru pandangan para biksu yang keliru.

Setelah memberikan nasihat demikian dan tidak berhasil, para biksu meninggalkannya. Mereka datang menghadap Buddha dan menceritakan seluruh kejadian yang mereka lihat dan dengar.

Buddha kemudian memanggil Bhante Arittha, menegurnya dengan halus, dan kemudian mengajarkan kepada semua biksu, “Para sahabat, penting sekali untuk mengerti ajaran saya secara menyeluruh sebelum Anda mempraktikkannya. Jika Anda belum mengerti makna dari ajaran yang telah saya babarkan, mohon datang bertanya kepada saya atau kakak senior dalam Dharma atau siapa saja yang telah mengerti dengan baik dalam latihan. Ketahuilah bahwa selalu ada orang yang tidak mengerti secara harfiah maupun semangat inti dari sebuah ajaran, pada kenyataannya, justru Anda-lah yang perlu mengerti secara menyeluruh, apakah ajaran itu disampaikan dalam bentuk syair atau prosa, prediksi, syair rangkuman, kondisi saling berkaitan, perumpamaan, ucapan spontan, kutipan, kisah dari kehidupan sebelumnya, kejadian luar biasa, komentar secara detail, klarifikasi definisi. Ketahuilah bahwa selalu ada di antara mereka yang belajar suatu ajaran hanya demi memuaskan rasa ingin tahunya saja atau untuk memenangkan suatu argumen, bukan demi pembebasan sepenuhnya. Dilandasi dengan niat demikian, maka dia telah melenceng dari semangat orisinal ajaran. Mereka bisa saja berupaya keras, menghadapi berbagai kesulitan yang alih-alih tidak memberikan banyak manfaat, dan hanya membuat dirinya lelah.

“Para biksu, seseorang yang belajar seperti itu bisa diumpamakan sebagai orang yang mencoba menangkap ular berbisa di dalam hutan belantara. Jika dia menjulurkan tangannya, maka ular itu akan berbalik mematuk tangan, kaki, atau bagian lain dari badannya. Mencoba menangkap ular dengan cara demikian tidak akan memberi manfaat dan hanya akan mengakibatkan banyak penderitaan.

“Para biksu, belajar mengerti Dharma dari sudut pandang keliru juga demikian. Jika Anda tidak praktik Dharma dengan tepat, maka sudut pandang pemahaman Dharma Anda akan terbalik yaitu tidak sebagaimana mestinya. Namun, apabila Anda praktik Dharma dengan rajin, Anda bisa mengerti secara harfiah maupun semangat inti dari ajaran itu dan juga bisa menjelaskannya dengan tepat. Janganlah mempraktikkan Dharma demi pamer kepintaran atau memenangkan argumen. Praktikkanlah ajaran ini demi pembebasan, jika demikian yang Anda lakukan, maka tidak akan menyebabkan terlalu banyak penderitaan dan tidak melelahkan.

“Para biksu, seorang murid yang cerdas dalam Dharma seperti seseorang yang menggunakan stik bercabang untuk menangkap ular. Ketika dia melihat ular berbisa di dalam hutan belantara, dia menancapkan stik itu tepat di atas kepala ular itu lalu menggunakan tangan satu lagi untuk mencengkeram lehernya. Walaupun ular itu melilit tangan, kaki, atau bagian dari badan orang itu, ular itu tidak akan bisa mematuk orang tersebut. Inilah cara terbaik menangkap ular, dan cara demikian tidak akan menyebabkan terlalu banyak penderitaan dan tidak kelelahan.

“Para biksu, anak dari keluarga berbudi luhur, mereka belajar Dharma hendaknya dipraktikkan dengan melandasi dengan pengertian secara harafiah dan semangat inti dari ajaran itu. Dia hendaknya jangan menggunakan pembelajaran Dharma demi meyombongkan diri, berdebat atau beradu argumen dengan orang lain, tapi Dharma dipraktikkan hanya untuk pembebasan. Belajar Dharma dengan cara demikian, belajar dengan kecerdasan, maka tidak akan menyebabkan terlalu banyak pederitaan dan tidak melelahkan.

“Para biksu, saya sudah sering menyampaikan bahwa betapa pentingnya untuk mengetahui kapan waktunya untuk meletakkan rakit dan tidak menggotongnya tanpa kebutuhan jelas. Ketika air sungai dari gunung mengalir luber dan menjadi aliran deras banjir membawa segala jenis puing-puing, seseorang yang ingin menyeberangi sungai itu akan berpikir, ‘Cara baik seperti apa yang bisa digunakan untuk menyeberangi sungai deras ini?’ Dia memeriksa sekeliling, lalu dia mengumpulkan kayu dan rumput, kemudian membuat sebuah rakit yang ia gunakan untuk menyeberangi sungai itu. Tapi, setelah ia tiba di seberang sungai, dia berpikir, ‘Saya menghabiskan banyak waktu dan energi untuk membuat rakit ini. Sungguh rakit yang sangat berharga, saya akan menggotong rakit ini bersamaku sepanjang perjalanan ini.’ Jika dia menggotong, menenteng, atau meletakkan rakit itu di kepalanya sepanjang perjalanan di daratan, wahai biksu, menurut Anda, apakah orang tersebut bisa disebut cerdas?”

Para biksu menjawab, “Tidak, Yang Mulia.”

Buddha melanjutkan, “Bagaimana agar dia bisa bertindak lebih bijaksana? Dia bisa saja berpikir, ‘Rakit ini telah membantu saya menyeberangi sungai ini dengan selamat. Sekarang saya akan meletakkan rakit ini di pinggir sungai agar nanti ada orang lain juga bisa menggunakannya.’ Apakah pemikiran seperti ini lebih cerdas?”

Para biksu menjawab, “Iya, Yang Mulia.”

Buddha mengajarkan, “Saya telah sering mengajarkan tentang rakit ini untuk mengingatkanmu tentang betapa pentingnya untuk melepaskan bahkan semua ajaran yang benar, apalagi ajaran yang tidak benar.”


“Para biksu, ketahuilah bahwa ada enam landasan pandangan. Ini berarti terdapat enam dasar persepsi keliru yang perlu kita lepaskan. Apa saja keenam dasar itu?

“Pertama, adanya wujud. Apakah itu wujud masa lalu, masa depan, atau masa sekarang; apakah itu wujud diri sendiri atau wujud pihak lain; apakah itu wujud halus atau kasar; jelek atau indah; dekat atau jauh, wujud ini punya saya, bukan punya saya, bukanlah sang aku yang berdiri sendiri. Para biksu, mohon lihatlah lebih dalam agar Anda bisa mengerti kebenaran di balik wujud itu.

“Kedua, adanya perasaan.

“Ketiga, adanya persepsi.

“Keempat, adanya bentuk-bentuk mental. Apakah fenomena ini merupakan bagian dari masa lalu, masa depan, atau juga masa sekarang, apakah itu milik kita atau orang lain, apakah itu halus atau kasar, jelek atau indah, dekat atau jauh, fenomena demikian bukan milik saya, bukanlah saya, dan bukanlah sang aku yang berdiri sendiri.

“Kelima, adanya pencerapan indra. Apa pun yang kita lihat, dengar, cerap, ketahui, dicerap secara mental, pantau, atau dipikirkan pada waktu ini atau waktu lain bukanlah milik kita, bukanlah sang aku yang berdiri sendiri.

“Keenam, adanya dunia. Ada di antara mereka berpikir, ‘Dunia ini adalah sang aku yang berdiri sendiri. Sang aku yang berdiri sendiri adalah dunia ini. Dunia ini milikku. Aku akan terus berlanjut eksis tanpa berubah bahkan setelah mati sekalipun. Aku kekal. Aku tidak akan menghilang.’ Mohon meditasikan hal demikian agar Anda bisa melihat bahwa dunia ini bukan milik saya, bukan saya, bukan sang aku yang berdiri sendiri. Mohon lihat lebih dalam agar Anda bisa melihat kebenaran berkenaan dengan dunia ini.”


Setelah mendengar pembabaran itu, seorang biksu berdiri, membuka bahu sebelah kanan, beranjali dengan penuh hormat bertanya kepada Buddha, “Yang Mulia, apakah ketakutan dan kecemasan bisa berasal dari sumber internal?”

Buddha menjawab, “Iya, ketakutan dan kecemasan bisa berasal dari sumber internal. Jika Anda berpikir, ‘Segala sesuatu yang yang tidak eksis di masa lalu telah eksis, tetapi saat ini sudah tidak eksis lagi,’ Anda akan merasa sedih atau menjadi binggung dan putus asa. Demikianlah ketakutan dan kecemasan bisa berasal dari sumber internal.”

Biksu yang sama melanjutkan, “Yang Mulia, apakah ketakutan dan kecemasan yang berasal dari sumber internal bisa dicegah kemunculannya?”

Buddha menjawab, “Ketakutan dan kecemasan yang berasal dari sumber internal bisa dicegah kemunculannya. Jika Anda tidak berpikir, ‘Segala sesuatu yang tidak eksis di masa lalu telah eksis, tetapi saat ini sudah tidak eksis lagi,’ Anda tidak akan merasa sedih atau menjadi binggung dan putus asa. Demikianlah ketakutan dan kecemasan yang berasal dari sumber internal bisa dicegah kemunculannya.”

“Yang Mulia, apakah ketakutan dan kecemasan bisa berasal dari sumber eksternal?”

Buddha menyampaikan, “Ketakutan dan kecemasan bisa berasal dari sumber eksternal. Anda bisa saja berpikir demikian, ‘Inilah aku yang berdiri sendiri. Inilah dunia. Inilah diriku sendiri. Aku akan eksis selamanya.’ Lalu, jika Anda bertemu dengan Buddha atau murid Buddha yang telah mengerti sepenuhnya dan cerdas, dia yang bisa mengajarkanmu bagaimana cara melepaskan semua pandangan yang berkenaan dengan kemelekatan terhadap badan, aku yang berdiri sendiri, dan objek sang aku yang bisa berdiri sendiri, dengan cara melepaskan kesombongan, simpul internal (samyojana), dan kebocoran energi, dan Anda berpikir, ‘Inilah berakhirnya dunia. Aku harus melepaskan semuanya. Aku bukanlah dunia ini. Aku bukanlah saya. Aku bukanlah aku yang bisa berdiri sendiri. Aku tidak akan eksis selamanya. Ketika aku mati, maka aku akan hilang total. Tidak ada harapan lagi, tidak ada yang perlu digembirakan lagi, tidak ada lagi yang perlu dikenang,’ Anda akan merasa sedih dan menjadi binggung dan putus asa. Demikianlah ketakutan dan kecemasan bisa berasal dari sumber eksternal.”


Buddha bertanya, “Para biksu, bagaimana menurut pendapatmu tentang 5 skandha beserta aku adalah permanen, tidak berubah, dan tidak pernah hancur?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Apakah ada sesuatu yang bisa Anda pegang dengan kemelekatan yang akan menyebabkan kecemasan, kelelahan, kesedihan, penderitaan, dan keputus-asaan?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Apakah ada pandangan tentang aku yang berdiri sendiri yang mana bisa Anda jadikan tempat berlindung yang tidak akan menyebabkan kecemasan, kelelahan, kesedihan, penderitaan, dan keputus-asaan?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Para biksu, Anda hampir benar. Kapanpun ada gagasan tentang aku yang bisa berdiri sendiri, maka juga ada gagasan tentang sesuatu milik sang aku yang berdiri sendiri. Ketika tidak ada gagasan tentang sang aku yang berdiri sendiri, tidak ada gagasan sesuatu milik sang aku yang berdiri sendiri. Sang aku yang berdiri sendiri dan apa pun milik sang aku yang berdiri sendiri merupakan dua pandangan yang berlandaskan cara untuk mencoba mengenggam sesuatu yang tidak bisa digenggam dan membentuk sesuatu yang tidak bisa dibentuk.” Persepsi keliru demikian menyebabkan kita terikat pada simpul internal yang muncul dari momen ketika kita terjebak dalam gagasan yakni sesuatu yang tidak bisa digenggam atau sesuatu yang tidak bisa dibentuk dan tiada basis dalam realitas. Apakah Anda melihat ada persepsi keliru? Apakah Anda melihat konsekuensi dari persepsi keliru dalam kasus Bhante Arittha?”


Buddha melanjutkan, “Jika, seseorang menganggap enam landasan yang mengakibatkan munculnya pandangan keliru, seorang biksu tidak memunculkan gagasan tentang “Aku” atau “milikku”, dia tidak terjebak dalam rantai kehidupan. Sejak dia tidak terjebak dalam rantai kehidupan, maka tiada ketakutan dalam dirinya. Tiada ketakutan adalah ketibaan di nirwana. Orang demikian tidak lagi gelisah atas urusan lahir dan mati; kehidupan suci telah dijalani; apa pun yang perlu dilakukan telah selesai; tiada lagi kelahiran kembali, tiada lagi kematian; dan kebenaran dari segala sesuatu terlihat apa adanya. Biksu demikian telah menutupi parit yang mengelilingi benteng, dia sudah menyeberanginya, menghancurkan benteng kota, melepaskan sekrup pintu, ia mampu melihat secara langsung pada cermin pengertian tertinggi.

“Para biksu, inilah jalan para Tathagata dan mereka yang telah mencapai pembebasan. Indra, Prajapati, Brahma, dan dewa lainya beserta pesamuhannya, seberapa besar pun upaya yang mereka kerahkan untuk melihat jejak atau basis kesadaran Tathagata, mereka tidak bisa menemukannya. Tathagata merupakan sumber luhur dari kesegaran dan kesejukan. Tiada kepanasan dan kesedihan pada kondisi itu. Jika para petapa dan brahmana mendengar kata-kata ini, mereka bisa saja mencerca bahwa saya berbohong, Petapa Gotama dengan sengaja mengajarkan teori nihilisme dan mengajarkan teori non eksistensi absolut, sementara faktanya adalah makhluk hidup itu eksis. Para biksu, Tathagata tidak pernah mengajarkan apa yang barusan mereka katakan. Pada kenyataanya, Tathagata mengajarkan bagaimana penderitaan bisa berakhir agar bisa mencapai keadaan tiada ketakutan. Jika Tathagata disalahkan, dikritik, dijelek-jelekkan, atau dipukul, dia sudah tidak tergoyahkan lagi. Tathagata tidak marah, atau pergi dengan penuh kebencian, atau melakukan sesuatu untuk balas dendam. Jika ada orang yang menyalahkan, mengkritik, memukul Tathagata, bagaimana reaksinya? Tathagata akan berpikir, ‘Jika ada orang yang menghormati, menyanjung, memberikan persembahan kepada Tathagata, maka Tathagata tidak akan merasa nikmat. Dia hanya akan berpikir bahwa orang itu melakukan kebaikan seperti itu karena Tathagata telah mencapai pencerahan penuh dan transformasi.’”

Setelah mendengar pembabaran dari Buddha, para biksu berkenan mempraktikannya dengan penuh sukacita.

Arittha Sutra, Madhyama Agama 220
Alagaddupama Sutta, Majjima Nikaya 22